Sabtu, 17 November 2007

sosiologi rakyat

Menelusuri Gerakan Rakyat

Menelusuri Gerakan Rakyat


Sumber : Media Indonesia, 03 Desember 2004


BUKU berjudul Teori Pergerakan Sosial, Kilasan Sejarah dan Catatan Biblilografis karangan Robert Mirsel, kelahiran Rejo, Flores Barat 1963 ini, pada dasarnya membahas pergeseran-pergeseran paradigma dalam bidang sosiologi gerakan kemasyarakatan dalam kurun waktu kira-kira enam puluh tahun, yakni dari awal 1960-an hingga akhir 1990-an.

Irama pergeseran paradigma di dalam cabang sosiologi gerakan kemasyarakatan itu rumit, karena setiap sumber perubahan memiliki arahya sendiri yang kurang-lebih (tetapi tidak seluruhnya) lepas dari yang lainnya. Akan tetapi, tiga tahapan yang khas dapat diperlihatkan. Setiap tahapan mempunyai seperangkat paradigmanya sendiri; bukan paradigma dominan satu-satunya, melainkan seperangkat paradigma yang mengemuka dan saling berhubungan.

Setiap tahapan punya tema-tema yang khas terkandung di dalam ungkapan-ungkapan kuncinya, objek risetnya, metode riset, dan orientasi nilainya terhadap gerakan-gerakan kemasyarakatan. Tahapan-tahapan ini sedikitnya tumpang tindih, dan tatkala setiap tahapan mencapai titik puncak perkembangannya, paradigma perintis dan prototipe dari paradigma-paradigma itu yang menandai periode berikutnya.

Tahap pertama ditandai oleh pandangan yang negatif terhdap gerakan kemasyarakatan dan cenderung menjelaskanya dari sudut pandang psikologi sosial. Sebagai reaksi terhadap popularitas psikoanalisis dan pengaruh dunia nyata Nazisme, Fasisme, Stalinisme, tindakan-tindakan main hakim sendiri dan kerusuhan-kerusuhan yang berbau ras, maka pada tahun 1940-an dan 1950-an teori gerakan kemasyarakatan meneliti asal-usul irasional dari setiap gerakan yang muncul, sambil menggunakan paradigma teori psikoanalisis, psikologi sosial, dan teori perkumpulan massa.

Pada tahun 1950-an munculnya Mc Carthyisme di Amerika Serikat secara tak sengaja merangsang lahirnya teori-teori kedudukan politis yang terus bertahan hingga tahun 1960-an. Teori ketegangan sosial yang memusatkan perhatian pada interpretasi individu dan kolektif terhadap masa 1960-an sekaligus menjembatani teori-teori gerakan kemasyarakatan pada periode kedua.

Pada tahapan kedua, teori-teori gerakan kemasyarakatan didasarkan pada pandangan yang lebih positif mengenai aneka gerakan yang muncul. Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi struktural tertentu. Di tahun 1960-an gerakan-gerakan kemasyarakatan muncul dan sekaligus merangsang para pencetus teori-teori gerakan kemasyarakatan untuk memandang fenomena-fenomena tersebut secara lebih baik.

Gerakan perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat, gerakan kemerdekaan dan anti kolonial, dan gerakan anti komunis di Praha yang lebih dikenal dengan Prag Spring mendapat dukungan luas dari kalangan akademisi. Begitup ula yang terjadi dengan gerakan Kiri Baru, gerakan-gerakan mahasiswa, dan gerakan melawan perang di Vietnam yang muncul di Amerika Serikat, kendati ketiga gerakan terkhir ini tidak cukup mendapat dukungan.

Semua gerakan ini ditafsir sebagai kekuatan yang memajukan demokrasi dan persamaan di dalam masyarakat. Teori-teori pilihan rasional dan bertumbuhnya kembali minat terhadap marxisme menjadi mode di kalangan intelektual umumnya pada masa itu: para pencetus teori gerakan kemasyarakatan mengembangkan teori marxis dan teori mobilisasi sumbedaya untuk menyatukan tren-tren ini ke dalam bidang pengetahuan yang mereka geluti. Teori-teori ini menekankan tindakan rasional yang dilakukan untuk mengubah kondisi-kondisi struktural.

Para sosiolog gerakan kemasyarakatan menanggapi berbagai kenyataan dan gaya pemikiran baru ini dengan mengajukan teori yang berdasarkan konsep seperti kebudayaan, pembingkaian, dan konstruksi identitas. Dinamika gerakan kemasyarakatan dan gerakan tandingan, aktivisme lintas negara dan persoalan-persoalan lintas batas, dan hubungan antara gerakan kemasyarakatan dengan media telah mendapat perhatian yang semakin besar. Pada periode ini tumbuh kembali minat terhadap teori-teori psikologi sosial, dengan pusat perhatian pada proses pembentukan identitas kolektif.

Orientasi nilai baru di bidang sosiologi gerakan kemasyarakatan semakin kritis diri dan ironis. Hal ini juga terjadi dalam berbagai aliran pemikiran yang lebih besar, terutama dalam bidang studi kebudayaan dan filsafat post-modern. Buku setebal 270 halaman ini tampaknya mencukupi bila digunakan sebagai referensi dalam kajian gerakan masyarakat.

Laksmi Dewanti
Teori "Reality Maintenance"

Pendahuluan

Sebuah pemikiran dalam sosiologi pengetahuan menyatakan bahwa supaya suatu masyarakat dapat bertahan dan hidup
terus (viable), masyarakat ini harus mengembangkan prosedur-prosedur “pemeliharaan kenyataan” (reality-maintenance)
untuk mempertahankan suatu simetri antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Tanpa simetri ini, suatu
masyarakat akan ambruk. “Kenyataan obyektif” mengacu pada masyarakat sebagai suatu lembaga di luar manusia.
“Kenyataan subyektif” menunjuk pada masyarakat di dalam diri manusia; maksudnya: pada nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang dibuat dan dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu “dunia simbolik” yang telah diinternalisasi,
dimasukkan, ke dalam batin setiap anggota masyarakat.

Karena proses sosialisasi manusia ke dalam masyarakat (sebagai kenyataan obyektif) tidak pernah selesai dan
internalisasi (= proses memasukkan masyarakat ke dalam batin manusia sehingga lembaga sosial ini menjadi
kenyataan subyektif) juga senantiasa terancam gagal, maka prosedur-prosedur tersebut diperlukan.
Dalam keadaan krisis, yaitu ketika menghadapi ancaman-ancaman dari orang-orang atau hal-hal asing yang dapat
merobohkan simetri antara dua kenyataan itu, maka diperlukan prosedur-prosedur untuk mempertahankan simteri itu.
Prosedur-prosedur itu adalah: melakukan ritual keagamaan (misalnya, ritual pembasuhan atau pembersihan; ritual ini
dialami sebagai “nihilisasi” atau “pelenyapan subyektif’ atas realitas asing obyektif yang secara subyektif dipandang
mencemarkan dan merusak); menetapkan tabu-tabu; mengutuk orang-orang asing, para penyesat, orang-orang gila; dan
eksorsisme (= mengusir setan-setan).

Ritual Eksorsisme

Eksorsisme mempunyai suatu fungsi sosial penting untuk membuat suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan obyektif
bertahan dan langgeng; cara bekerjanya digambarkan berikut ini.
Dalam alam pemikiran mitis, orang yang menolak atau merongrong tatanan sosial (social order) yang sah, yang diklaim
dan dilegitimasi secara religius sebagai tatanan dasariah yang berasal dari Yang Ilahi (the sacred), dipandang sebagai
orang gila, orang yang kerasukan setan atau dikuasai oleh, dan bersekutu dengan, kekuatan-kekuatan gelap demonik (the
devil). Mereka dinilai merongrong tatanan (order) dan mau menggantikannya dengan kekacauan atau anomi (chaos).
Berhadapan dengan orang-orang yang dipandang demikian, ritual keagamaan berfungsi ganda. Pertama, untuk
mengingatkan kembali atau menyadarkan orang yang sebelumnya alpa ketika ia melawan tatanan sosial yang sah; ini
adalah fungsi kuratif dari ritual religius. Kedua, untuk menghadirkan kembali definisi-definisi dasariah yang ditetapkan
Yang Ilahi atas kenyataan atau tatanan yang semula serta legitimasi-legitimasinya yang pas, bagi orang-orang yang
berpartisipasi di dalam kehidupan dalam tatanan yang sah itu; ini adalah fungsi preventif dan protektif dari ritual
keagamaan.

Eksorsisme, yang tergolong sebagai suatu ritual dan akta keagamaan, berfungsi kuratif ketika dengannya orang
“menihilisasi” atau “melenyapkan secara subyektif” kekuatan-kekuatan asing jahat perusak dan pencemar yang diyakini
(dalam kenyataan subyektif) didalangi oleh, atau bersumber dari, kuasa-kuasa jahat demonik adikodrati yang tidak kasat
mata, yang mau menumbangkan tatanan obyektif yang ditetapkan Yang Ilahi dan hendak menggantikannya dengan
kekacauan, anomi, chaos. Dengan eksorsisme, “lawan” atau “musuh”, yakni kekuatan asing demonik itu, dikalahkan dan
dilenyapkan, sehingga masyarakat terbebas dari ancaman, dan dengan begitu posisi simetri antara dua kenyataan itu
terbangun kembali. Dengan cara ini, eksorsisme adalah suatu konstruksi sosial untuk mempertahankan masyarakat.

Dalam masyarakat modern, eksorsisme juga dipraktekkan, hanya di dalamnya idiom-idiom mitisnya telah diganti dengan
idiom-idiom modern, namun konfrontasi antara “order” dan “chaos” secara fundamental dipandang tetap berlangsung.
Kalau di jaman dulu para pengusir setan menangkal setan-setan melalui ritual eksorsisme untuk mengembalikan “order”
dalam tubuh manusia dan tubuh sosial (masyarakat), maka sekarang, di zaman modern, ritual eksorsisme ini
berlangsung ketika para ahli medik bertempur melawan kuman-kuman, bakteri-bakteri, mikroba-mikroba, dan virus-virus
yang tidak kasat mata yang merongrong “order” dalam tubuh manusia.

Atau sebuah contoh lain: Ketika Amerika Serikat, dalam alur kebijakan politik luar negerinya yang didukung kemampuan
intelijen modernnya, memandang Irak (dan Iran serta Korea Utara) sebagai “axis of evil” (karena disinyalir sedang menjadi
suatu ancaman terhadap dunia karena memiliki dan mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal nuklir, kimiawi
dan biologis), maka negeri yang dikuasai “evil” ini dipandang sebagai pengacau dan perongrong “order” atau tatanan
politis global yang sudah dan sedang dibangun adidaya Amerika Serikat. Maka, pemerintahan Bush pun segera mengatur,
menyiapkan dan melaksanakan suatu ritual eksorsisme untuk “menihilisasi” kekuatan demonik ini: Irak pun diserang dan
digempur dengan kekuatan militer gabungan yang luar biasa kuatnya. Inilah eksorsisme dalam idiom-idiom modern dan
dalam skala global. “The devil” yang diserang pun jauh lebih kuat dan mematikan, dibandingkan “setan-setan” yang
dipersalahkan telah merusak jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh manusia-manusia individual.
Apakah teori “reality-maintenance” dapat menjelaskan mengapa kekristenan perdana dapat tetap bertahan? Jawabnya
tegas: Ya!

Eksorsisme dalam Kekristenan Perdana

Eksorsisme sebagai suatu ritual untuk mempertahankan masyarakat mengisi kehidupan komunitas-komunitas Kristen
PB, sejak dari kegiatan-kegiatan Yesus (“Jika Aku mengusir Setan dengan Roh/jari Allah …”; Matius 12:28; par.), ke masa
rasul Paulus (“Aku tidak mau kamu bersekutu dengan setan-setan;” 1 Korintus 10:20-21), sampai ke surat 1 Petrus
(“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan berkeliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan
mencari orang yang dapat ditelannya.”; 5:8). Adanya lawan atau musuh demonik ini, membuat kekristenan perdana terus
terlibat dalam peperangan untuk menggempur dan melenyapkan musuh ini. Dorongan untuk terus berperang dan
bertempur ini memiliki andil penting dalam terbentuknya ketahanan dan kekenyalan kekristenan perdana sehingga ia
dapat langgeng.

“Kenyataan subyektif” dalam diri Yesus tentu adalah “Kerajaan Allah” yang menjadi suatu “symbolic universe” (= doktrin,
teologi, nilai) utama dalam kehidupannya. Ia memberikan definisinya sendiri terhadap konsep “Kerajaan Allah” ini;
misalnya, ia memakai metafora “ragi”, sesuatu yang dipandang najis, cemar dan tidak benar (Keluaran 12:19; Galatia 5:9;
1 Korintus 5:6-8; Markus 8:15), untuk menggambarkan karakteristik kerajaan Allah (Lukas 13:20-21; Matius 13:33). Maksud
Yesus jelas: Di tengah Tanah Yahudi yang sudah tercemar karena penjajahan bangsa asing yang (menurut sistim puritas
Yahudi) najis, dan di tengah terpusatnya pemerintahan Allah di Bait Allah yang dikuasai kalangan korup elitis imamat dan
aristokrat, maka, bagi Yesus, kerajaan Allah hanya bisa ditemukan di antara rakyat kebanyakan, yang digolongkan sebagai
lapisan masyarakat marjinal menurut sistim puritas Yahudi formal. Kenyataan subyektif ini dieksternalisasikan dan
diobyektivasikan oleh Yesus, dan ini melahirkan suatu bentuk sosial masyarakat obyektif, yakni suatu masyarakat baru
alternatif, masyarakat Kerajaan Allah, yang berpusat pada Allah dan pada nilai-nilai egalitarianisme, yang tidak diatur oleh
sistim puritas Yahudi formal yang membagi-bagi manusia dan nilai-nilai dalam peringkat hirarkis dan polarisasi-
polarisasi.

Tetapi, karena kenyataan obyektif yang lebih luas, yakni masyarakat Israel, tidak diperintah Allah dengan belas kasih-Nya
atau bela rasa-Nya, tetapi diperintah oleh penjajah Roma melalui antek-antek Yahudinya yang menguasai Bait Allah dan
memarjinalkan rakyat, maka terciptalah posisi asimetri antara “dunia simbolik” yang dipertahankan Yesus dan murid-
muridnya dan “kenyataan obyektif” masyarakat terjajah Israel.

Posisi asimetri ini menimbulkan tekanan-tekanan psikis besar pada anggota-anggota masyarakat; tekanan-tekanan ini
tampak nyata di dalam banyak kasus sakit penyakit dan kerasukan setan, yang merupakan akibat-akibat mental dan fisikal
yang diderita banyak rakyat, yang ditimbulkan oleh pemerintahan represif Roma melalui kaki tangannya. Dalam bagian-
bagian tertentu Injil-injil, Roma dan kaki tangannya digambarkan sebagai “Setan” atau “Iblis” (Lukas 13:31-32; Markus 5:1-
20 [“Namaku Legion karena kami banyak”]). “Iblis” yang dipandang sebagai aktor utama di balik penjajahan Roma
digambarkan sebagai kekuatan yang sangat besar, sebagai “Legion” (= sejumlah 3000-6000 prajurit pejalan kaki dan
pasukan berkuda Romawi), atau sebagai “orang kuat” yang harus dikalahkan dulu kalau Israel mau dipulihkan (Markus 3:
20-30). Dengan melakukan ritual-ritual eksorsisme, maka Yesus menciptakan simetri, dan dengan itu mendatangkan
Kerajaan Allah (Matius 12:28; Lukas 11:20); murid-muridnya juga diberi kemampuan dan tugas yang sama (Markus 6:7,
13; par.).

Dalam segala kegiatannya, rasul Paulus melihat dirinya sedang berada dalam suatu peperangan, dengan bersenjatakan
kuasa Allah, untuk menghadapi musuh-musuh yang didalangi kuasa-kuasa adikodrati yang jahat. Katanya, “Kami
memang masih hidup dalam dunia, tetapi kami tidak berperang (strateumetha) menurut daging, karena senjata kami
dalam peperangan bukanlah senjata kedagingan, melainkan senjata yang memiliki kuasa Allah untuk merubuhkan
benteng-benteng” (2 Korintus 10:3-4; lihat juga 6:7). Pada aras dunia kodrati, peperangan ini berlangsung ketika ia
menghadapi:
1) orang-orang yang, karena didalangi “Setan,” menghalangi penyebaran berita Kristen (1 Tesalonika 2:18);
2) “Ilah zaman ini” yang membutakan pikiran orang sehingga mereka tidak percaya (2 Korintus 4:4);
3) tipu daya “Iblis”/”Setan” yang bekerja melalui rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, saudara-saudara palsu (2
Korintus 11:13,14,26);
4) kesakitan akibat ulah “Iblis”/ “Setan” sebagai lawannya (2 Korintus 12:7);
5) orang-orang yang berpaling dari rasul Paulus sebagai akibat pekerjaan “allah-allah yang pada hakikatnya bukan Allah”
dan “roh-roh dunia yang lemah dan miskin” (Galatia 4:3,8,9; 1:6,9);
6) “binatang buas di Efesus” dalam hubungan dengan “pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan” (1 Korintus 15:32; bdk.
15:24, 25; Roma 8:38);
7) “Iblis”/”Setan” (Roma 16:20; 1 Korintus 5:5; 7:5; 2 Korintus 2:11).
Mem-“binatangbuas”-kan dan “mensetankan” (demonizing) lawan, seperti ditemukan dalam surat 1 Petrus 5:8, adalah
suatu strategi ritual sosial untuk mempertahankan simetri antara “kenyataan subyektif” dan “kenyataan obyektif.”
Kekristenan perdana penuh dengan motif ini (lihat, misalnya, Elaine Pagels, The Origin of Satan. New York: Vintage Press,
1995). Dalam “nubuat astral” penulis Wahyu Yohanes, strategi ritual dengan memakai metafora “mensetankan” dan
“membinatangbuaskan” musuh dan lawan (orang Yahudi, lembaga-lembaga kultik Yahudi dan Roma, dan Kaisar) muncul
sangat kuat dan grafis (Wahyu 2:9,10,13; 3:9; 12:9, 2; 13:1-13; 16:13). Oleh tindakan kekuatan-kekuatan kudus adikodrati
dari “angkasa luar”, “Iblis” dan para pengikutnya di bumi dikalahkan (17:14; 19:19-21; 20:10).

Kesimpulan

Teori “reality maintenance” dari sosiologi pengetahuan, yang digunakan dalam penafsiran teks-teks PB, berhasil
membantu penafsir untuk memahami fungsi-fungsi sosial strategis dari ritual eksorsisme dalam rangka
mempertahankan eksistensi kekristenan perdana di tengah banyak hambatan dan ganjalan yang berasal dari lawan-
lawan dan musuh-musuh mereka. Situasi dipaksa untuk terus bertempur dan melawan musuh-musuh yang diyakini
didalangi Setan atau Iblis, melalui ritual eksorsisme, telah memberikan andil besar dalam menciptakan ketahanan
komunitas-komunitas Kristen perdana di tengah-tengah pelbagai kesulitan yang mereka hadapi.

Sumber: Ioanes Rakhmat
Sumber: Sekolah Tinggi Teologi Liberal
Apakah agama dapat diandalkan untuk mengatasi sekian banyak permasalahan manusia pada zaman ini, ataukah nantinya agama itu akan hilang dengan sendirinya dan tidak relevan lagi bagi kehidupan manusia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya berangkat dari pandangan bahwa munculnya resistensi terhadap agama tidak jarang dipicu oleh kenyataan bahwa agama tampak sebagai salah satu sumber konflik antar manusia (para pemeluk agama). Terhadap kenyataan konflik tersebut, seolah-olah agama lalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan manusia dan bahkan justru menimbulkan permasalahan dan penderitaan bagi manusia. Dalam pandangan yang semacam ini, tentu saja tidak dapat dibenarkan bahwa konflik tersebut disebabkan pertama-tama oleh ajaran agama. Alasannya adalah bahwa pada dasarnya setiap agama itu selalu terkait dengan moralitas. [1] Dalam setiap agama itu terkandung ajaran tentang perdamaian dan hidup yang baik sehingga dengan sendirinya isi ajaran tersebut menegasi potensi untuk secara aktif menciptakan konflik dengan manusia lain.

Yang menjadi permasalahan adalah bahwa agama sebagai suatu fenomena itu terkait dengan banyak dimensi, termasuk di dalamnya dimensi sosial. Para pemikir sosial seperti Durkheim, Marx, dan Weber pun menyiratkan bahwa agama secara esensial lebih merupakan sesuatu yang beraspek sosial daripada sesuatu yang murni individual.[2] Karenanya, dapat dikatakan bahwa ada kaitan yang tak terhindarkan antara agama sebagai salah satu fenomena sosial dengan banyak aspek kehidupan masyarakat yang lain. Agama pun dapat dikatakan tidak dapat lepas dari pengaruh-pengaruh konteks masyrakat dimana agama tersebut berkembang. Pengaruh-pengaruh tersebut lalu dapat terbawa dalam tradisi dan tidak jarang pula ditemukan bahwa isi intepretasi ajaran agama sudah mengandung tendensi kepentingan politik tertentu. Lebih lanjut, Durkheim menggambarkan bahwa sistem kepercayaan atau ritual keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat. [3] Dalam hal ini, Durkheim juga melihat bahwa penghayatan afektif dan emosional individu sangatlah penting dalam agama. Individu kemudian secara bersama-sama membentuk ikatan emosional yang kuat terhadap agamanya. Agama lalu dilihat mempunyai aspek fungsional yakni mempersatukan pengikutnya dalam satu komunitas moral tertentu.[4] Saya menangkap bahwa ikatan emosional yang semacam ini mudah dibelokkan ke arah kepentingan politik dan ekonomi yang dapat memunculkan perselisihan antar kelompok yang berbeda. Dalam kenyataan dewasa ini, tidak jarang ditemukan pula simbol-simbol agama yang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik. Bahkan dalam kasus fenomena kerusuhan konflik agama di Indonesia, seringkali ditemukan adanya pertentangan kepentingan politik dan ekonomi yang melatarbelakangi.

Berdasar sudut pandang di atas, saya berkesimpulan bahwa agama jangan ditempatkan sebagai satu-satunya sumber semua solusi atas permasalahan manusia karena agama tidak lepas dari berbagai ragam konteks lingkungan sosial yang membentuknya. Agama hanyalah salah satu elemen saja. Apabila orang terlalu menekankan agama sebagai sumber jawaban utama atas semua permasalahan manusia, maka yang akan dijumpainya adalah kekecewaaan. Justru yang diperlukan sebetulnya adalah sikap kritis terhadap agama. Dalam arti bahwa orang perlu menjadi jeli terhadap konflik yang mengatasnamakan agama. Orang perlu memandang bahwa ada kemungkinan ditemukan adanya kepentingan lain yang tersembunyi di balik nama agama, seperti soal kepentingan politik ataupun ekonomi. Namun hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak perlu agama. Secara eksistensial, manusia secara bawaan mempunyai keinginan untuk mencari arti dari realitas dan kebanyakan manusia seturut pengalamannya menangkap dimensi supernatural di balik apa yang empiris.[5] Hal ini dijumpai dalam agama. Karenanya, agama masih tetaplah diperlukan.



[1] Malcolm B. Hamilton, The Sociology of Religion: The Theoretical and Comparative Perspectives, London: Routledge, 1995, page 19.

[2] Malcolm B. Hamilton, Ibid., page 218.

[3] L. Pals, Daniel, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama (terjemahan), Yogyakarta: IRSiSod, 2003, hal. 163.

[4] Malcolm B. Hamilton, Ibid., page. 17.

[5] Karlina Supelli, “Masihkah Agama Diperuntukkan bagi Kehidupan?” dalam BASIS Mei-Juni 2002, Yogkarta: Kanisius, 2002, hal. 20.
ANALISIS : Semangat Sumpah Pemuda ===> oLEH : Sunyoto Usman
28/10/2007 10:29:05

PERISTIWA Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah refleksi kecerdasan sekaligus keberanian para pemuda merumuskan cita-cita persatuan dalam keanekaragaman menuju sebuah negara merdeka yang kelak disebut Indonesia. Elemen-elemen keanekaragaman yang selama lebih tiga abad dipergunakan oleh penjajah Belanda untuk memecah belah, mereka satukan menjadi kekuatan politik untuk melawan penindasan. Jargon politik yang mereka lontarkan ketika itu adalah ”satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia”.
Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 terkait Manifesto Politik yang dideklarasikan oleh mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1925. Bahkan menurut pakar sejarah, Manifesto Politik 1925 sesungguhnya lebih fundamental dibanding dengan Sumpah Pemuda 1928. Karena prinsip-prinsip perjuangan yang melekat didalamnya ketika itu bukan hanya persatuan (unity), tetapi juga kesetaraan (equality), dan kemerdekaan (liberty).
Masihkah semangat persatuan dalam keanekaragaman demi kemerdekaan tersebut terpatri dalam lubuk hati masyarakat kita? Tidak mudah menjawabnya.
Kita menyaksikan dalam beberapa tahun terakhir ini di sejumlah daerah terjadi pelbagai macam konflik, terutama berakar pada kepentingan ekonomi dan perbedaan ideologi. Referendum, separatisme dan merdeka adalah slogan-slogan politik yang selalu diusung dalam proses konflik tersebut. Mereka seakan-akan lupa bahwa bangsa ini dahulu dibangun di atas perjuangan, pengorbanan, kebersamaan, serta perasaan senasib-sepenanggungan masyarakat yang berasal dari bermacam-macam etnis, agama, dan daerah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini kita juga disuguhi fakta politik yang apabila tidak segera ditangani secara benar bisa mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya pemilihan presiden dan kepala daerah langsung yang semula diharapkan menghasilkan pemimpin yang memiliki legitimasi dan visible (memperoleh dukungan elite sekaligus pengakuan massa), ditengarai bisa menyuburkan pengotakan politik di lembaga pemerintahan, terutama ketika posisi-posisi penting di birokrasi dimaknai sebagai saluran memperbesar logistik partai. Kemudian otonomi daerah yang semula diharapkan menghasilkan good local governance ditengarai bisa menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama jika dimaknai sebagai kebebasan elite politik lokal mengatur dan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki daerah.
Lalu bagaimana supaya semangat persatuan dalam keanekaragaman demi kemerdekaan tersebut tetap membara dalam masyarakat kita? Dari sudut pandang sosiologi, sedikitnya perlu dibangun dua macam kesadaran. Pertama, membangun kesadaran bahwa pada tataran global, bentuk kolonialisme kini semakin canggih, terutama dalam bentuk penjajahan ekonomi melalui cengkeraman korporasi multi-nasional. Imperialisme boleh jadi sudah enyah dari negeri ini, tetapi kolonialisme yang ditandai dengan daya hisap yang sangat kuat tidak sertamerta sirna setelah kemerdekaan. Praktik-praktik kolonialisme dalam bingkai korporasi multi-nasional terus menemukan bentuk-bentuk baru yang semakin sopan dan halus, dengan memanfaatkan pelbagai macam institusi (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Lambat tetapi pasti mereka menggerogoti sumber-sumber ekonomi, sampai akhirnya bangsa ini lumpuh tidak berdaya.
Kedua, membangun kesadaran bahwa pada tataran nasional dan di tingkat lokal, terjadi kolonialisme internal, yang ditandai oleh praktik-praktik penghisapan yang tidak kalah kejinya dengan korporasi multi-nasional. Mereka bisa melakukan persekongkolan dengan rezim penguasa, dan mempengaruhi arah kebijakan dan program supaya mudah melakukan monopoli, manipulasi dan mengeruk keuntungan ekonomi. Wajahnya manis penuh senyum seperti malaikat, tetapi hatinya keji melebihi setan.
Dua macam kesadaran tersebut selanjutnya diderivasi menjadi aksi-aksi nyata memerangi pelbagai macam praktik penghisapan, baik dalam bingkai korporasi multi-nasional maupun kolonialisme internal. Aksi-aksi nyata tersebut harus ditujukan untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia yang merdeka, dalam arti mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian. (Penulis adalah Sosiolog dan Guru Besar UGM)-b

Keluarga, Tempat Perlindungan Anak
Oleh SUKRON ABDILAH
”Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagi kalian sebagai tempat untuk ketenangan” (Q.S. An-Nahl: 80)

KETENANGAN dan ketenteraman batin anak-anak merupakan bagian terpenting dalam keutuhan sebuah keluarga. Tak arif rasanya, bila seorang ibu atau ayah menelantarkan anak-anak hingga tercipta suasana rumah yang panas laiknya kobaran api ketika berinteraksi dengan buah hatinya. Namun, apa boleh buat, seiring berkembangnya zaman, orang tua pun seolah tidak mampu menghiasi suasana rumahnya dengan kegembiraan dan keceriaan. Alhasil, lingkungan rumah menjelma laiknya neraka bagi anak-anak.

Kasus penyiksaan, pemerkosaan, dan penganiayaan sering kita dengar dan saksikan di berita-berita media massa. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta sering terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh ibu tiri dan ayah kandungnya sendiri. Ataupun sebaliknya. Kekerasan yang dilakukan oleh ayah tiri dan ibu kandungnya sendiri. Gejala ini bisa dijadikan alasan kuat untuk membongkar dan mempertanyakan kembali lunturnya kasih sayang orang tua sebagai ”biang kerok” munculnya kekerasan terhadap anak. Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, kenapa terulang kembali perilaku-perilaku yang tak manusiawi pada sebagian penduduk negara ini? Apakah tingkat tekanan sosial yang dirasakan oleh rakyat sudah sedemikian parah, hingga berani menanggalkan etika/norma dalam berkeluarga? Lantas, apa kegunaan dari disyariatkan pernikahan dan diaturnya melalui konstitusi negara, bila saja masih terjadi kekerasan di lingkungan keluarga?

Yang pasti, anak merupakan titipan (baca: amanah) dari Allah untuk dipelihara dan diperhatikan dengan penuh kasih sayang. Dalam ayat Al-Quran di atas, setidak-tidaknya, Allah SWT memberikan landasan yang kokoh untuk dijadikan pegangan oleh seluruh warga dalam membina hubungan keluarga. Pegangan tersebut adalah, betapa pentingnya menciptakan suasana harmonis di lingkungan keluarga/rumah. Sebab, pembinaan mental anak dimulai dan ditentukan oleh suasana rumah yang diliputi ketenangan (sakinah). Apabila kondisi lingkungan rumah menggambarkan kebengisan, bahkan sampai merenggut nyawa anak-anak, saya kira bangsa ini bakal melahirkan generasi yang terganggu jiwanya. Sejatinya, seluruh warga Indonesia tidak meniru dan bahkan tidak mengadopsi perilaku di atas. Sebab, tidak sesuai dengan semangat Agama Islam dan konstitusi negara sekalipun.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 45 disebutkan, ”Kewajiban orang tua adalah memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Artinya, sangat jahat apabila seorang ibu atau ayah yang rela menganiaya, menyiksa dan bahkan sampai membunuh anak semata wayangnya sendiri yang tak berdosa. Secara konstitusional pun perilaku ini tidak dikehendaki, apalagi oleh ajaran Islam yang cinta pada kedamaian. Al-Quran sendiri menjelaskan: ”Dan janganlah sekali-kali kamu sekalian membunuh (termasuk menganiaya dan menyiksa) anak-anak kalian karena takut kemelaratan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan kepada kamu sekalian” (Q.S. Al-Israa’: 31).

Kekerasan yang terjadi saat ini terhadap anak usia dini, ternyata disebabkan sudah melunturnya etika dan moral manusia modern akibat - meminjam istilah M. Amien Rais - penjungkirbalikan ruang dan waktu yang luar biasa (baca: zaman). Kebutuhan ekonomi yang semakin membubung tinggi, biaya hidup yang tak terjangkau, dan tekanan-tekanan sosial lainnya. Sehingga, bangsa ini menjelma menjadi ”zombi-zombi” yang tak berperasaan. Akibatnya, kekerasan terhadap anak pun menjadi kebiasaan yang mendarah daging dan susah dihilangkan. Karena itu, kondisi ketenangan di lingkungan rumah merupakan tonggak awal dari alat pertahanan diri (self defend mechanism) dalam menangkis virus-virus kekerasan terhadap anak yang menjalar di tubuh bangsa.

Keluarga dan Penumbuhan Kasih Sayang

Dalam teori sosiologi, disebutkan bahwa keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil dan penentu dari keberadaan sebuah komunitas. Oleh karenanya, agar terwujud sebuah kesatuan masyarakat, maka tidak bisa tidak, ketenangan (stabilitas) antar anggota keluarga pun harus terjaga hingga melahirkan suasana yang kondusif dan harmonis tentunya. Tanpa terwujudnya ketenangan, saya kira masyarakat ini bakal ”keropos” karena diisi oleh keluarga-keluarga yang terpecah dan pesakitan (sickness).

Rasulullah saw berpesan, ”Perbuatan baik yang paling cepat memperoleh pahalanya ialah berbuat kebaktian dan menghubungkan tali kekeluargaan. Dan perbuatan buruk yang paling cepat akan memperoleh balasannya adalah pembangkangan terhadap kewajiban agama dan memutuskan hubungan kekeluargaan” (Al-hadis). Dalam hadis ini tersirat bahwa aktivitas untuk menjaga hubungan antar anggota secara harmonis di lingkungan rumah tangga, merupakan kewajiban. Tentu saja, semua ini guna mengikat kembali keutuhan keluarga hingga mampu berperan dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Sedemikian pentingnya menjaga keutuhan keluarga, hingga beliau pun pernah bersabda, ”La yadkhulu al-jannata qaati’un” tidak akan masuk surga bagi orang yang memutuskan silaturahmi. Pemutusan silaturahmi (baca: interaksi harmonis) tersebut pada zaman ini bisa kita lihat dari merebaknya penyiksaan dan penganiayaan seorang bocah di bawah usia remaja oleh para orang tuanya. Meskipun tidak semua orang tua melakukan hal yang sama dengan mereka. Namun, alangkah arif dan bijaksananya bila kita mulai menata diri dalam membina hubungan pada lingkaran keluarga sembari menghiasinya dengan kegembiraan dan keceriaan.

Sebab, tanpa adanya hal itu, rasa optimisme bangsa untuk keluar dari krisis multi dimensi, termasuk krisis akhlak, bakal terhalangi dan terhambat. Misalnya, ketika seorang ibu atau ayah menganiaya anaknya, secara tidak langsung mental mereka bakal terbentuk sebagai seorang penyiksa dan berakhir pada keagresifan perilaku. Pun demikian, bila saja masih tetap terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh para orang tua, saya kira apa bedanya dengan perilaku bangsa Arab jahiliyah yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Apalagi terdapat kesamaan modus operandi bahwa korban penyiksaan tersebut kebanyakan terdiri dari anak-anak perempuan.

Titik perbedaannya adalah dalam dorongan (baca: motif) masyarakat jahiliyah merasa gengsi memiliki anak perempuan. Sedangkan pada masyarakat modern, penyiksaan dan pembunuhan bisa disebabkan oleh ketidaksadaran diri akan nikmat yang diberikan-Nya. Bahkan yang lebih parah lagi, kejadian ini merupakan imbas (konsekuensi logis) dari impitan/beban ekonomi yang mencekik para orang tua. Hingga pada akhirnya, untuk meredakan kecemasannya anak-anak pun mereka siksa dan sampai menelan korban yang tidak sedikit. Berkenaan dengan orang demikian, Allah SWT berfirman: ”Sungguh merugi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kedunguan dan ketidaktahuan mereka (bahwa Allah yang mengatur rezeki)” (Q.S. Al-An’am: 140).

Akhirnya, lingkungan rumah (baca: keluarga) merupakan tempat yang paling efektif dan efisien dalam menciptakan perlindungan bagi anak-anak usia dini. Perlindungan tersebut bukan berarti hanya membebaskan mereka dari siksaan fisik para orang tua yang tak beradab saja. Namun, menjaga dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sembari mendidiknya juga merupakan upaya perlindungan yang paling hakiki, bahkan yang abadi. ***

Penulis, Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN SGD Bandung, ketua Lembaga Pers Ikatan (LPI) PC. IMM Kota Bandung, serta penggiat Kajian Ahad (Jihad) Divisi Hikmah dan Advokasi Sosial.


SUPLEMEN



IKLAN








Tulisan Sani
Filsafat Pergerakan; Upaya Mewujudkan Sosiologi Gerakan dalam Praksis Kemanusiaan | Sep 12th 2007

Pendahuluan.

Kebenaran merupakan suatu yang diperlukan oleh manusia dalam justifikasi terhadap apa yang dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Kebenaran yang dinginkan oleh mansuia merupakan sutau respon terhadap realitas sekitar dan itu diterima oleh masyarakat, sesuai dengan norma yang ada maka itu dapat dikatan sebagai suatu kebenaran. Kebenaran merupakan suatu yang penting dikarenakan manusia selalu mengejar dan memburu kebneran agar mendapatkan suatu makna dalam kehidupan. Manusia dalam memahami kebenaran terletak pada kerangka berfikir yang ia gunakan dalam menghadapi sesuatu. Kebenaran yang diakui oleh manusia akan ia pertahankan sampai kapanpun. Sifat dari kebanaran dalam manusia terkadang menjadi ideology dan susah menerima yang lain dikarenakan pengetauannya benar sedangkan yang lain salah. Pengungkapan kebenaran merupakan suatu persolan yang sudah alam dibahan dalam kajian filsafat dan merupakan suatu substansi daari filsafat dikarenakan dalam filsafat yang berbicara tentang hikmah atau kebijaksanaan merupakan penggalian terhadap suatu persolan sampai akar-akarnya. Pengalian samapai dengan radik dikarenakan kita dapat memahami tentang hakekat sesuatu dan lebih dalam dan melihat farina yang lain.

Dalam filsafat terdapat pengungkapan kebenaran dan bagaimana cara manusia mengatakan bahwa itu dapat dikatan sebagai suatu kebenaran. Secara sederhana pengungkapan kebenaran terbagi menjadi tiga macam. Pertama, kebenaran yang didasarkan pada idealisme, kedua, kebenaran yang didasarkan pada empirisme dan kebenaran yang didasarkan pada kritisme. Secara ontology kebenaran sesuai dengan aliran filsafatnya, jika dalam materialisme maka ontologinya materialisme dan pengungkapan kebenarannya dengan cara empirisme sedangkan untuk idealisme pengungkapan kebenarannya dengan cara rasionalisme. Pengungkapan kebenaran kebenaran dalam filsafat barat yang terjadi ini merupakan respon terhadap realitas dan bagaimana manusia menyikapinya. Kebenaran yang didasarkan pada empirisme dalam menilai kebenaran dengan cara dimaterialkan dan dapat di indera oleh manusia. Kebenaran ini didasarkan pada hal yang empiris dan sesuai dengan realitas. Sedangkan dalam tradisi idealisme memandang kebanaran berdasarkan rasionalisme dan sesuai dengan akal. Penggabungan pengungkapan kebenaran dengan cara kritisme dimana akal menata dan merangka kebenaran empiris yang terindra. Fungsi akal dalam kritisme menyusun, menguraikan dan mensistematiskan pengetuan yang empiris agar dapat diketahui sebagai suatu kebenaran yang utuh. Misalkan dalam memandang menja dalam tradisi empiris yang namanya meja, ya sesuai dengan apa yang dilihat itu yang hakiki. Sedangkan menurut idealisme meja sudah tertanan didalam rasio atau alam idea sedangkan yang terlihat adalah semu dikarenakan ada bermacam-macam meja dan memiliki nbentuk yang beragam. Lain lagi dalam pendekatan kritisme yang namanya secara empris tersusun dari kayu, berkaki empat, miliki, bentuk yang beragama dan tugas rasio mensistematiskan sehingga dapat memberikan pernyataan bahwa meja yang terlihat tetapi memiliki bentuk yang beragam dan berkaki empat.

Pengungkapan kebenaran yang beragam mengasilkan tafsiran kebenaran yang beragam pula. Pengungkapan kebenaran yang beragam mengasilkan tafsiran kebenaran yang beragam pula dengan pandangan yang beragam dikarena pengetahuan yang luas maka secara otomaticaly dapat meminimalisir subuah konflik dan menghindarkan truth claim, serta saling menyalahkan anatar berbagai kelompok. Penghargaan terhadap kebenaran dan cara pandangnya ini menjadikan suatu kelompok atau kaum bersikap inklusif dan peka terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muhammadiyah awal yang terbuka dan toleran sampai sekarang masih eksist dan bahkan berkembang dengan luas. Sikap awal Muhammadiyah inklusif serta pilihan gerakan yang menjadikannya organiasasi ini tidak leyap termakan zaman. Pilhan gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah diakui oleh cendekiawan di Indonesia seperti Kunto dan Amin Abdullah merupakan pilihan yang cerdas dan jenius dari KH. Ahmad Dahlan pada waktu itu.

Ikatan dalam gerakannya terbagi menjadi dua macam yakni ikatan sebagai organisasi pergerakan dan ikatan sebagai organisasi kader. Ini merupakan suatu sejarah yang unik dimiliki oleh ikatan dan sudah merupakan keputusan dari awal kenapa ikatan didirikan. Dalam sejarahnya kelahiran ikatan dikarenakan benturan ideologis dan Muhammadiyah memerlukan tempat untuk mengembangkan dan mengelola kadernya untuk meneruskan dan menciptakan masyarakat yang telah diidealkan oleh Muhammadiyah. Maka gerakan yang dilakukan oleh ikatan harus memilih gerakan dengan berkesadaran dua macam gerakan yakni sebagai oraganisasi pergerakan dan sebagai organisasi kader yang berada dalam naungan Muhammadiyah. Tetapi sebelum ikatan menentukan gerakannya terlebih dahulu dapat dilihat kondisi realitas sekarang. Kondisi realitas sekarang yang diharapkan ikatan dapat mengetahui pertama ikatan dapat menentukan peta pergerakan mahasiswa dan kedua ikatan dapat mengetahui sosiologi gerakan dari berbagai macam organisasi pergerakan sehingga ikatan dapat melakukan pemetaan dan menganalisis kelemahan gerakan yang dilakukan oleh organisasi pergerakan tersebut. Sedangkan yang ketiga ikatan dapat memaparkan persoalan yang dihadapi oleh pergerakan dan bagaimana menentukan solusinya sesuai dengan paradigma Intelektual Profetik.

Realitas sekarang.[1]

Secara makro terbagi menjadi dua macam globalisasi dan realitas yang plural (multicultural). Globalisasi tidak dapat dinafikan dan harus dilalui serta dihadapi oleh berbagai Negara yang ada di belahan dunia. Globalisasi berdamapak pada semua lini kehidupan yang dihadapi oleh manusia. Kehidupan yang dilalui oleh globalisasi masuk kedalam berbagai system yang menjadi pola fakir dan langkah manusia dalam menentukan pilihan, sedangkan untuk system yang termasuki oleh system globalisasi meliputi ekonomi, social, politik, budaya, lingkungan serta agama. Bidang ekonomi dalam globalisasi merupakan ruh untuk menuju kesana. Ekonomi yang berkembang dengan menggunakan system perdagan bebas dan memalui untang yang dilakukan oleh Negara dalam rangka untuk partisipasi digunakan dalam membangun Negara. Hal ini dilakukan oleh pihak Negara maju lewat bantuan utang kepada Negara berkembang dengan membuat krisis moneter, lalu memberikan bantuan dengan bentuk utang. Yang dilakukan oleh kaum capital dunia dengan cara mendiringan lembaga keuangan Internasioan guna menjeratkan utang pada Negara yang berkembang. Lembaga keuangan internasional ini seperti IMF, Bank Dunia dan yang lain. Sedangkan yang terjadi di Negara Indonesia adalah besarnya APBN yang digunakan untuk pembangunan lebih kecil dari pada untuk membayar utang kepada lembaga keuangan internasional. Negara maju dalam memberikan bantuan asalkan mereka menanam modal sampai 60-70%, sehingga jumlah penghasilan yang didapatkan oleh pemerintah selalu menurun. Dari system ekonomi politik internasional bangsa Indonesia mengalami keterpurukan atau dalam naungan cengkraman hutang luar negeri. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil oleh pemerintah merupakan kebijkan yang kurang populis dan memberikan keuntungan pada golongan tertentu tetatpi tidak untuk masyarakat.

Sitem perpolitikan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh globalisasi, yang paling menyakitkan berkembangnya perpolitikan di Indonesia merupakan demokrasi liberal. Kebijakan yang diambil oleh demokrasi liberal dengan menggunakan logika-logika ekonomi dalam perpolitikan bukan untuk berfihak kepada kemanusiaan. Sebagai gambaran yang dapat diambil merupakan kebijakan yag dilakukan oleh pemerintah kurang berfihak kepada rakyat kecil. Masyarakat dalam demokerasi liberal yang berkuasa adalah masyarakat yang berkapital atau perpolitikan dengan logika pasar, yang menjadi kerangka berfikirnya selalu apa yang didapatkan bukan untuk memberi tanpa menuntut balas atau jasa. Sedangkan, dalam system social dan kebudayaan lahirlah seuatu kebudayaan instan dan popular culture, yang diekspos serta dikuasai oleh media dalam membentuk opini kepada masyarakat. Yang paling menyedihkan berkembangnya kerangka pikir masyarakat yang pragmatis ini melanda dalam segenap orang yang berada dalam dunia ketiga. Kebudayaan instant yang melanda bangsa menjadikan ia memikirkan diri dan dalam orientasi kehidupan untuk cepat dalam tujuan tanpa upaya yang maksimal (segala cara dalam tujuan guna mendapatkan apa yang diingiklan). Fenomena kebudayaan instant dapat dilihat dari berbagai busuknya system yang ada di Negara. Sedangkan yang riil terlihat dengan jelas yang diakibatkan oleh globalisasi merupakan kemiskinan yang terstrutur. Kemiskinan ini dikarenakan system yang berkembang hanya memberikan keuntungan pada pihak tertentu dan mengabaikan kepada orang-orang lemah. Kebijakan yang diiambil pun menyebabkan orang miskin termarginalkan baik segi akses atapun dalam bentuk informasi. Hal ini, dapat dilihat kesenjangan yang terjadi di Negara mana yang kaya dan miskin dapat dilihat dengan jelas, bahkan dapat dilihat pula tahun berganti makin banyak jumlah kemiskinan bukannya berkurang.

Globaliasasi masuk kerelung tubuh yang terdalam agama dan lingkungan yang rusak diakibatkan oleh system global. Agama mulai kehilangan perannya digantikan oleh media dan kebudayaan poo yang dikemas oleh capital. Fungsi agama hanya dalam dataran pelarian dari permasalahan bukanya berperan menjawab tantangan serta apa yang di kembangkan oleh agama untuk melakukan perubahan social. Agama memiliki fungsi dalam mengatur kehiduapan yang ukhrawi bukannya pegaplikasi dari kehidupan ukhrawi untuk proses transformasi sosial. Fenomena yang terjadi agama dihadapkan dengan globalisasi, melahirkan corak kegamaan yang beragama. Menurut Mansour Fakih dalam hal ini ummat terbagi menjadi golongan empat macam pertama golongan tradisionalis, kedua revivalis, ketiga, liberalis dan keempat golongan kritis.[2] Keempat golongan tersebut, dalam melakukan perjuangannya dengan mandiri tanpa saling sapa dan berdiri sendiri. Masig-masing mengklaim bahwa diri yang paling benar tanpa melakukan komunikasi yang lebih efektif dan berkelanjutan. Sedangkan untuk kaum beragama (masyarakat) hanya besikap mengikui perkembangan media dan juga dalam perkembangan sekarang dapat dilahirkan sebagai golongan Islam popular. Islam popular merupakan segenap aktivitas keagamaan yang dibesarkan oleh media guna memberikan manfaat yang besar bagi golongan capital. Fenomena ini dapat dilaihat dari pengungkapan film keagamaan yang lebih cenderung dalam pola fakir masyarakat irasional bukannya sekarang hidup di zaman masyarakat rasional. Selanjutnya munculnya juga dai-dai pop dan ustadz pop serta bimbingan keagamaan yang pop. Kebudayaan pop pada agam ini menjadikan agama digunakan untuk kepentingan tertentu dan agama dijadikan alat legitimasi dalam penyelasain permasalahan yang terjadi, tetapi jika dianalisis tidak memiliki keterkaitan yang signifikan. Ini dapat dilihat dari fenomena kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah dan pemuka agama (aliran pop) mengajurkan kepada umtnya agar sabar. Ajakan sabar ini dapat diinterpretasikan sebagai bentuk pasrah dengan keputusan pemerintah, bukannya melkukaan mobilisasi social selama ini umat sudah lama tertindas ileh struktur yang kurang adil. Setidaknya dengan spirit agama umat dibawa untuk berfikir solutif dalam rangkan menghadpi permaslahan tersebut sehingga agama menjadi ruh dalam setiapo melakukan perubahan gua mewujudkan masyarakat yang berkeadilan.

Selanjutnya dapat dari globalisasi rusak dan musnahya ekosistem yang berada di alam guna memenihi kebutuhan manusia yang bersifat prgamatis dan memberikan keuntungan pada golongan tertentu.dalam faktanya dapat dilihat dari pertambangan yang masuk kedalam wilayah Indonesia baik ari pihak asing atapun pengusaha dalam negeri ini kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem. Hal ini dapat dilihat dari bentuk penambangan yang dilakukan oleh prifot di dilihat dari segi ekologi memiliki kerusakan yang sangat memprihatinkan. Apa yang dilakukan oleh Negara hanya bersikap diam dan dalam perkembangan terakhir Negara telah kehilangan sumber daya alam yang sangat banyak, serta rusaknya ekologi. Kerusakan ekologi yang lain dikarenakan sikap yang rakus dari manusia dalam rangka memenuhi kebutuhanya yang selalu kurang dan terus meminta. Sikap manusia terhadap alam harus dirubah bukanya diletakan sebagai objek tetapi alam tersebut hars ditempatkan sebagai subjek yang sama dalam rangka mencapai kepada yang transcendental.[3]

Multikultural tidak dapat dielakan dikarenakan memang sudah menjadi suratan bagi pencipta. Hal ini dapat dilihat dari dalam doktrin agama bahwa Tuhan menciptaka manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa yang berbeda untuk saling mengenal, tetapi drajat yang paling tinggi disisi Tuhan merupakan orang yang bertakwa. Bertakwa disini perlu diinterpretasikan lebih lanjut. Kata takwa merupakan tantangan dari Tuhan dari realitas yang plural terciptaya rahmat bukan sebgai sumber konflik. Takwa yang didefinikan bukan dalam dataran ibdah kepada Tuhan dalam perfektif yang sempit, tetapi setiap manusia melakukan kebaikan dan berlomba didalam neyebarkan karunia Tuhan merukan salah satu unsure dari Takwa. Yang paling penting dari takwa tersebut merupakan upaya aktif manusia sebagai hamba dan khalifah guna menyebarkan asma-asma Tuhan guna menciptakan surga di bumi. Multikultural yang berkembang sekarang bukan hanya dalam dataran untuk berlomba dalam kebajikan tetapi sebagai semangat untuk menghargai suatu kebudayaan dan kerangka masyarakat tertetu sikap, yang lain menghormati dan memberikan peluang yang sama pada golongan minoritas untuk berkembang sesuai dengan apa yang telah diyakininya. Sikapa masyarakat multicultural dengan cara melakukan komunikasi yang intens agar tidak terjadinya prasangka, serta pemberian kebijakan politis kepada golongan monoritas agar mengembangkan dirinya.

Sosiologi Gerakan

Sejarah yang telah bergulir dalam bangsa peran mahasiswa sebagai wakil masyarakat yang berpengetahuan selalu mengupayakan perubahan guna terciptanya masyarakat yang berkeadilan. Kita dapat melihat dalam sejarah runtuhnya rezim penguasa di Negara dapat ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa hal ini dalam sejarahnya runtuhnya rezim penguasa orde lama dan orde baru. Tetapi di zaman sekarang gerakan mahaiswa kurang memiliki peran yang signifikan dalam melakukan perubahan dalam masyarakat atapun menekan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak populis (memihak kepada rakyat). Pergerakan mahasiswa hanyalah bersifat serpihan dan pecahan tidak dapat menjadi gerakan yang utuh dalam menghadapi permasalahan. Apalagi yang paling mengnyakitkan dialami oleh pergekan ketika melakukan pengerahan masa untuk menekan kebijakan, mahasiswa hanya mengambil manfaat yang kecil. Manfaat yang kecil tersebut ingin membuktikan bahwa pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dengan pengerahan masa sebagai bukti eksistensi pergerakan. Gerakan yang dilakukan semata-mata hanya ingin terliput media, sehingga dalam kebudayaan sekarang pergerakan mengalami pergeseran nilai dan berubah menjadi kebudayaan pop.

Pergerakan mahasiswa sebagai agen perubahan social telah mengalami disorientasi dalam gerakan, maka memerlukan rumusan terbaru dalam bentuk gerakan agar dapat menjawab persolan yang terjadi. Tetapi sebelum melakukan gerakan yang baru terlebih dahuli dilihat bagaimanakah gerakan mahasiswa pada waktu dahulu, agar dapat mengetahui kelemahan dan semangat yang mengilhami mereka dalam melakuan perubahan. Gerakan mahaiswa yang dilakkan dari zaman ode lama sampai awal terjadnya reformasi merupakan bentuk gerakan dengan pengerahan masa dalam merubah kebijakan dan bahkan dapat menmbangkan kekuasaa. Gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan gerakan moral dengan cara mengerahkan masa. Gerakan ini efektif pada waktu saat itu, tetapi untuk sekarang perlu dibenahi, ketepatan gerakan pada waktu itu dikarenakan masyarakat kampus yang mengenal perpolitikan bangsa dan ia merupakan salah satu golongan masyarakat yang tercerahkan. Masyarakat tidak memiliki akses dalam menggali data serta system demokrasi yang berjalan pada waktu itu hanya sebuah tuntutan pragmatis, tetapi yang berjalan kekuasaan tetrtinggi pada dataran eksekutif. Pelaksanaan lembaga-lembaga Negara yang berjalan kuat pihak eksekutif ini menjadikan legislative hanya untuk menunjang program yang telah dilakukan oleh eksekutif. Masyarakat pada waktu itu belum memiliki kebaranian serta perlawanan terhadap kebijaka yang tidak memihaknya. Apa yag terpikirkan oleh rakyat adalah bagaiman kebutuhan bahan makanan yang pokok dapat terpenuhi dengan baik. sifat masyarakat pragmatis dikarenakan tidak memperdulikan kondisi bangsa dikarekan sikap pemirintah yang tak mau mengakses atau melakukan pendidikan politik pada masyarakat.

Gerakan mahasiswa pada era 66 dan era reformasi memiliki modus yang hampir sama, hal ini dikarenakan pertama, mereka mengambil sebagai gerakan moral dengan pengerahan masa sehingga dapat merubah suatu kebijakan. Kedua, dalam rangka untuk mengawal kehendak rakyat para mahasiswa ada yang aktif dalam partai politik tertentu dan aktif sebagai anggota legislative. Mereka masuk dalam system dengan menggunakan logika bahwa untuk merubah system dan kebijakan yang berfihak maka sikap atau cara yang dilakukan dengan ikut didalam system. Dalam sejarahya sudah terjadi pergerakan mahasiswa yang memasuki system tetapi, sampai sekarang masih belum memiliki peran yang signifikan dalam memakukan perubahan. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya kebijakan yang telah diambil oleh pemengang kebijakan malahan dalam kebijakan yang dilakukan tidak berfihak kepada kemanusiaa, tetapi untuk kelompok tertentu.

Melihat kondisi realitas sekarang yang telah berubah baik dari masyarakat dan Negara yang telah membuat kebijakan, oleh karena iu bentuk gerakan yang ditawarkan pun harus konstektual dan berubah sesuai kebutuhan masyarakat. Masyarakat dengan adanya informasi dan berbagai macam munculnya LSM dan NGo ini memberikan pengertian dan pegantar yang kritis terhadap masyarakat. Masyarakat dapat melakukan pemetaan dalam rangka mengembangkan kreasi masyarakat dan bentuk gerakan yang dilakukannya. Bentuk gerakan yang dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi oleh SM ini menjadikan bentuk gerakan mereka bersikap lokalitas dan spesifik. Bentuk lokalitas dan spesifik ini dikarenakan mereka konsen terhadap permasalahan yang dikaji dengan menyesuaikan keahlian atau skill yang telah dimiliki oleh LSM. Gerakan masyarakat bersikap lokalitas dan professional yang mereka hadapi saat ini, gerakan ini seperti gerakan masyarakat sutet dan masyarakat pedalaman melihat tanah adat digunakan untuk lahan pembangunan. Tetapi yang menjai kelemahan pada gerakan tersebut tidak dapat menekan dan bahkan merubah kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Bentuk gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa selama ini mengalami deverensiasi dan beralir pada suatu kelompok kepentingan atau yang sesuai dengan golongannya. Sifat gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dengan pengerahan masa dengan jumlah yang tidak signifikan sehingga diaanggap angin lalu. Mahasiswa dalam gerakannya menyesuaikan dengan golongan atau kepentingannya, sehingga dalam gerakannya yang dilakukan hanya untuk memberikan manfaat bagi kelompoknya. Gerakan yang dilakukan tidak independent dan tidak untuk tujuan kemanusian, tetapi untuk kepentingan golongan tertentu. Misalkan dapat dilihat gerakan yag dilakukan oleh teman-teman KAMMI memiliki afilisasi yang jelas dalam partai politik, sehingga dalam gerakan yang dilakukan oleh teman-teman KAMMI bercorak politis dan dalam bergerak jalannya organisasi dengan logika-logika politis. Gerakan politis ini memilih jalur kekuasaan yang revolusioner dan gerakkannya bersifat sporadic dan hanya sekedar mencari momentum. Sifat gerakan ini, dalam langkahnya menggunakan logika ekonomi siapa yang menjual, dan saya mendapatkan keuntungan apa (saya memperoleh apa), dan kalau tidak mendapatkan keuntungan dalam bentuk “material” maka tidak dapat ditawarkan kerjasama. Logika ekonomi dalam gerak dan langkah organisasinya memperhitungkan untung atau rugi dalam setiap gerakannya dan anggotanya memiliki pola fikir yang pragmatis dan instant.

Bentuk pergerakan mahasiswa menghadapi tiga tantantang besar yakni pertama sebagai gerakan moral dan melakukan pengkajian isu-isu yang strategis sudah dilaksanakan oleh LSM dan anggota masyarakat. Gerakan yang dilakukan olehnya pun bersifat profesional dan spesifik sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi. Hal ini dapat dilihat bentuk gerakan yang dilakukan oleh kaum profesioanal seperti gerakan lingkungan, gerakan buruh, gerakan gender, gerakan masyarakat adapt dan makin banyak bentuk pergerakan yang di lontarkan untuk mengurangi permasalahan yang ada selama ini. Kedua, gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa bersifat differgen dan particular, hal ini dikarenakan gerakan yang dilakukan berdasarkan aspirasi tertentu dan untuk mendukung kelompok tertentu yang memberikan konstribusi kepada kelompoknya. Ketiga, masalah yang dihapi merupakan era globalisasi, teknologi, dan informasi. Era ini teah memberikan dapak yang sangat besar misalkan dalam kerangka berfikir yang terjadi manusia telah berfikir pragmatis dan isntan, baik masyarakat dan mahasiswa itu sendiri sebagai salah satu wakil masyarakat yang kritis. Sebagai suatu permasalahan yang dihapi oleh pergerakan mahasiswa, selayaknya ikatan dapat meberikan tawaran ide yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

Menuju Diaspora Gerakan Ikatan

Ikatan dalam gerakanya terbagi menjadi dua macam dalam melakukan transformasi social. Gerakan yang dilakukan oleh ikatan dikarenakan ikatan secara kelahirannya terlahir dalam dua gerak yakni sebagai organisasi kader dan organisasi pergerakan. Ini merupakan takdir social yang berada di ikatan yang tidak dapat dinafikan tetapi tugas ikatan mengupayakan ikatan dapat menjelaskan dan mencipataka secara social yang lebih baik dan humanis. Sejarah yang berkembang selama ini merupakan perkebangan materialism dialektik dikarenakan dalam peradaban unsure yang dominant merupakan nafsu kekuasaan dan menjajah bukan memanusiaakan. Hal ini dapat dilihat dari peradaban barat dengan semboyan yang dimiliki untuk melakukan imprealismenya good, gospel and glory. Oleh karena itu tugas ikatan menjadikan perkembangn sejarah lebih humanis dan religius, ini dapat dilihat dari bentuk transformasi social yang dilakukan oleh para nabi sebagai utusan Tuhan.

Diaspora gerakan ini merupakan salah satu bentuk gerakan yang terispirasikan dari kaum Yahudi yang melakukan dispora dikarenakan tertindas oleh system yang selama ini tidak menguntungkannya. Kaum Yahudi dalam sejarahnya tertindas oleh struktur, hal ini dapat dilihat dari pada zaman nabi Musa as umat Yahudi tertendas oleh raja Mesir yakni Fir’aun dan pada perang dunia kedua mereka dibantai secara masal oleh Hitler dengan Nazinya. Umat Yahudi melakukan gerakan diaspora ini merupakan pembuktian bahwa mereka merupakan umat yang terbaik dan ia buktikan lewat gerakan ini. Keberhasilan gerakan ini tidak dapat dipetik sekitar satu tahun kemudian tetapi sutu atau dua generasi yang akan dating. Keberhasilan bentuk gerakan yang dimiliki oleh umat Yahudi dapat dilihat dari tokoh-tokoh dan para filusuf adalah sebagian besar umat Yahudi. Bahkan zaman sekarang umat Yahudi menguasai sebagian besar peradaban yang berada dalam belahan dunia. Keberhasilan mereka jika mau digali secara sederhana pada diri mereka terdapat etik yang membedakan dengan umat yang lain. Mereka menyakini bahwa umat Yahudi sebagai umat terbaik dan ini dinternalisasikan kepada umatnya untuk membuktikan sebagai umat pilihan Tuhan. Pada tahapan selanjutnya Yahudi tertindas oleh system dan struktur sehingga ia harus berjuang dengan keras dengan menggunakan logika pilihan harus hidup. Etik yang dimiliki oleh Yahudi dan kerja kerasnya patut dijadikan pelajaran untuk refleksi kepada umat yang lain. Tetepi yang menjadikan kelemahan dari kaum ini, dalam bahasa yang digunakan oleh Paulo Freire mereka memiliki alam bawah sadar sebagai tertindas, maka ketika ia berkuasa akan menjadi seorang penindas baru. Secara tak langsung diaspora gerakan kaum Yahudi dikarenakan tertindas oleh system dan struktur maka ia berjuang untuk hidup dan meraih kehidupan.

Bentuk diaspora gerakan sebenarnya sudah dilaksanakan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan pesan yang singkat tetapi memberikan arti dan makna; “Jadilah kamu seorang insinyur, dokter, matri tetapi kembalilah untuk Muhammadiyah”. Anjuran yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan pilihan yang tepat dan konstekstual diterapkan pada ikatan atapun Muhammadiyah. Sederhananya Muhammadiyah ingin bahwa umatnya memiliki pengetahuan yang beragam tetapi mereka memiliki tidak lalai bahwa yang membesarkan mereka merupakan Muhammadiyah. Kepulangan ke Muhammadiyah yang diharapakan memberikan pengetahuan yang baru dan untuk mengembangkan gumna mewujudkan Muhammadiyah yang makin peka terhadap realitas social. Tetapi sebelum melakukan diaspora gerakan KH. Ahmad Dahlan memberikan ethic yang membedakan seorang kader itu, memilii kepekaan terhaap Muhammadiyah atau tidak.

Hal ini jika mau dikonstekskan pada ikatan dari dua ilustrasi tentang diaspora gerakan yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Muhammadiyah dapat diambil nilai-nilai apa yang harus diberikan kepada kader dalam mengembangkan diri baik dalam organisasi atapun dalam diri individu kader. Ikatan memiliki jumalah klader dan latar belakang yang beragam, hal ini dilihat dari struktur yang berada dalam ikatan beragam, jadi yang dilakukan oleh ikatan hanyalah pergulatan ettik yang membedakan kder ikatan dengan yang lai. Jika ikatan akan menyeragamakan potensial yang dimiliki oleh iaktan berarti iktan tidak bijak dan kurang arif melihat kader, yang itu semua jika dilakukan merupakan cirri pada ikatan gejolak modernisme dengan penyeragaman. Penyeragaman bentuk pada ikatan ini menjadikan ikatan tidak dapat merespon perkembangan zaman sehingga pergerakan ikatan hanya mengikuti arus utama tanpa adanya gerakan yang barau da kreatif. Tetapi sekali lagi perlu dilakukan oleh ikatan dalam gerakannya bersifat internal sebagai organisasi kader dan bersifat eksternal ikatan sebagai organisasi pergerakan. Perjuangan gerakan bersifat internal merupakan bentuk pengkaderan yang dilakukan oleh Muhammadiyah untuk mengisi kepemimpinannya yang akan dating. Ikatan dalam gerakan ini membengun jaringan agar dapat mendistribusikan kader yang terbaik untuk menempati berbagai amal usha yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan ethic yang telah dimiliki oleh ikatan. Yang tidak boleh lupa sebelum melakukan gerakan diaspora ikatan merupakan pematangan ethic ikatan berupa terbentuknya kesadaran individu atau kolektif ikatan sebagai intelektual profetik. Bentuk gerakan yang dilakukan berdasarkan ethic profetik guna mewujudkan khoirul umat dengan menggunakan dispora gerakan. Pelaksanakan ethic profetik ini merupakan pilihan sadar guna mewujudkan umat yang terbaik dalam menciptakan masyarakat yang khoirul umah. Ethic profetik ikatan sebagai sayarat untuk menjadi umat yang terbaik bukan semata-mata pemberian dari Tuhan tetapi perlu adanya kerja keras dan melkukan aktivisme dalam sejarah.

Kepemilikan ethic ikatan ini menjadikan bentuk diaspora gerakan yang dilakukan oleh ikatan merupakan upaya sadar, sehingga yang diharapkan kader ikatan tidak mudah untuk terjebak dengan logika pragmatisme dan dapat menyiasati gerakan dengan professional dan kreatif. Ini dilakukan ikatan dalam dua lahan sebagai organisasi kader di Muhammadiyah sedangkan sebagai organisasi pergerakan pada wilayah eksternal. Bentuk gerakan diaspora didasari ethic profetik dengan kesadaran ilmu bukan ideologis. Bentuk kesadaran ilmu ini menjadikan kader dan ikatan secara kolektif menjadi terbuka dan tidak berpandangan sempit. Kesadaran ilmu juga ini menjadikan ruh dalam dalam melakukan perubahan baik dalam dataran Muhammadiyah ataupun diluar Muhammadiyah dengan paradigma intelektual profetik. Yang dialkukan oleh ikatan bentuk transformasinya memberikan penyadaran dengan kesadaran profetik dilandasi basik keilmuan masing-masing kader guna menciptakan khoirul umat dengan cirri masyarakat ilmu yang bercorak berkeadilan. Tugas dari masing-masing kader menciptakan dan melakukan pemberdayaan dengan ilmu pada masyarakat, sehingga dalam pola pikir masyarakat menjadi terbuka, ilmiah objektif dan rasional, tidak terkunkung oleh tradisi, mistis dan irasional. Pemberdayaan dengan ilmu ini juga menghidari masyarakat dari kerangka berfikir pragmatis, kebudayaan konsumerinsme dan bentuk budaya pop, serta menghilangkan atau meminimalisir ketergantungan.

Bentuk dispora kedalam. Diaspora ikatan kedalam merupakan suatu kewajiban bagi ikatan dan tidak dapat ditinggalkan dikarenakan ikatan merupakan organisasi kader dan bertugas untuk menjadi penerus dan penyempurna Muhammadiyah. Apa yang dilakukan oleh ikatan merupakan penguatan jaringan dengan Muhammadiyah dan memberikan dorongan serta teguran bagi Muhammadiyah yang tidak menjalankan amanatnya secara konsekuen. Ikatan dalam konstribusi pada Muhammadiyah dalam bagian disiplin keilmuan masing-masing kader dan melkukan perberdayaan guna mempersiapkan masyarakat yang berilmu sebagai cirri dari khoirul umat (masyarakat utama), dalam bahsa yang dignakan oleh Muhammadiyah. Ikatan mendelegasikan kader terbaiknya guna mewarnai Muhammadiyah dan memberikan corak yang berbeda dengan ortom yang lain di Muhammadiyah. Ikatan mengantarkan kader terbaik untuk memberikan pencerahan pada Muhammadiyah dan perluasan jaringan guna dapat mengembangkan bakat dan minat kader sesuaid engan disiplin keilmuannya sehingga dalam mengamdi dalam Muhammadiyah bersikap professional bukan sekedar kader. Pengabdian yang bersifat professional pada Muhammadiyah ini mencirikan ikatan sebagai gerakan yang professional dan sebagai cirri dari gerakan ilmu yang didasari, serta dikampayekan pada ikatan terus-menerus (kontiyu) oleh ikatan.

Bentuk diaspora keluar. Diaspora keluar merupakan bentuk keniscayaan yang dilakukan oleh ikatan guna menciptakan masyarakat yang diidealkan oleh ikatan. Disapora keluar ini dalam ikatan terbagi mejadi dua macam ikatan secara kolektif dan kader ikatan secara individu. Bentuk diaspora gerakan dalam bentuk secara individu merupakan sesuai dengan disiplin keilmuan kader dan spesialisasi yang dimiliki oleh masing-masing kader dalam melakukan perubahan social. Kader dalam ikatan bersikap mandiri dan memiliki tujuan yang sama dalam menciptakan masyarakat yang telah diidealkan. Ikatan yang secara individual berkumpul dengan golongan yang professional dan yang dilakukan oleh kader mengupayakan gerakan transformasi kesadaran dan mengajak untuk melkukan gerakan kebudayaan guna menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Sifat dari ikatan ini dalam gerakan yang dilakukan dengan dua cra sebagai gerakan social dan gerakan kebudayaan. Gerakan social yang dilakukan oleh individu kader yang berkumpul dengan kaum professional menjadikan gerakan social yang spesifik dan menuju isu tertentu, bukan politis tetapi menyikapi realitas yang nyata-nyata riil terjadi. Individu kader dalam gerakannya bersifat mandiri atapun berkumpul dengan golongan yang professional, ini dikarenakn dapat dilihat dari masing-masing latar belakang dan disiplin keilmuan kader yang berbeda, maka dalam gerakannya pun bersifat diaspora dan bukan satu arah tetapi dari berbagai arah dalam tujuan yang sama.

Ikatan yang terdiri dari berbagai individu yang berkesadaran maka dalam ikatan secara otomatis, ia memiliki kesadaran kolektif yang sama. Kesadaran kolektif yang sama ini bukan dalam dataran penyeragaman tetapi merupakan bentuk kesadaran yang dibutuhkan ikatan dalam bentuk ethic bukannya seragam dalam bentuk gerakan. Gerakan yang dilakukan oleh oraganisasi ikatan dalam kebijakannya berisfat beragam dan tidak dapat seragam dikarenakan latar belakang keilmuan kader yang beragam pula.gerakan yang beragama yang dilakukan oleh kolektif ikatan menjadikan suatu gerak serta cirri pergerakan ikatan yang berbeda dengan golongan yang lain. Ikatan dalam geraknya sesuaid engan keilmuan dan dibekali dengan ethic profetik, serta bentuk gerakan yang didasari oleh kesdaran ilmu bukannya ideologis. Ikan dalam hal ini sebagai organisasi pergerakan yang dilakukan dalam bentuk gerakannya ada empat macam; pertama dispora gerakan masuk kedalam berbagai macam system yang ada, kedua, penerjunan ikatan dalam praksis untuk melakukan pemberdayaan dan transformasi social kepada masyarakat atau kelompok yang termarginalkan, serta ketiga, pengalihan isu yang bersifat local dan kedaerahan dalam permasalahan social menjadi isu yang bersifat nasional, serta yang keempat melakukan koordinasi dengen berbagai pergerakan social yang berada dalam masyarakat guan menuntut keadilan bersama dalam satu isu yang sama dan tujuan yang sama dalam rangka menciptakan masyarakat yang telah diinginkan oleh ikatan.

Pertama, masuk kedalam system merupakan tujuan alam strategi perubahan dan cara untuk melakukan transformasi social. Ikatan sebagai gerakan intelektual profetik dengan basik keilmuan diharapkan dapat memasuki system yang ada dan bahkan menjadi pembuat kebijakan yang telah dikeluarkan dapat memihak kepada rakyat. Syarat dari kader yang masuk kedalam system yang paling utama melakukan transformasi kesadaran sehingga system tersebut berethic profetik dalam rangka mewujudkan system yang adil. Jika kader ikatan tidak dapat membuat kebijakan tersebut pali tidak ia cukup mewarnai dalam keijakan sehingga dihasilkan suatu bentuk kebijakan yang berkeadilan. Ikatan harus dapat megontrol kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah atau paling tidak membuat legal drafting yang telah dikeluarkan pemerintah gua menggantikan kebikajan yang tidak adil. Ikatan disini ,emerlukan lembaga-lembaga khusus dalam menangani permaslahan. Lembaga khusus ini merupakan suatu upaya memberikan tanggapan kepada Negara agar kebijakan sesuai dengan ethic profetik. Begitupula kader ikatan yang masuk kedalam partai politik dengan ikatan sudah tidak berkedudukan sebagai anggota ikatan, tetapi mereka merupakan kader ikatan. Kader ikatan ini harus memiliki ethic ikatan guna menciptakan kebijkan partai menjadi populis dan memihak kepada rakyat dengan menciptakan politik diarahkan untuk kepentingan kemanusiaan bukan dasar kepentingan pragmatis. Jika kader ikatan tidak dapat mempemgaruhi maka sebaiknya bagi kader ikatan keluar dari system dan membentuk system baru guna mewujudkan transformasi social agar tercipta khoirul ummah.

Kedua, pembentukan system yang adil dan berpihak kepada kemanusiaan merupakan suatu keniscayaan. Pembentukan ini merupakan penerjunan langsung bagi ikatan untuk melakukakan pemberdayaan langsung pada kelompok yang termarginalkan oleh kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Penerjunan ikatan dalam melakukan transformasi dengan mengembangkan desa binaan dan pemberdayaan kaum yang termarginal. Pendampingan yang dilakukan ikatan bersifat kontiyu dan trus menerus sehingga masyarakat memiliki keasdaran dan bersikap kritis. Ikatan dalam hal ini merupakan pengabdosian dari gerakan yang telah dilakukan oleh LSM dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat. Transformasi yang dilakukan oleh ikatan berbeda dengan LSM dikarenakan ikatan memiliki ethic profetik dan bentuk transfoemasi yang berbeda pula, serta tujuan yang diinginkan oleh ikatan juga berbeda. Pemberdayaan bentuk transfoemasi dalam masyarakat bersikap langsung dengan menganggap bahwa masyarakt sebagai subjek perubahan dan memberikan penyadaran dalam bentuk gerakan social atau gerakan kebudayaan. Gerakan kedua dalam masyarakat didasarkan pada ilmu sehingga dapat mentransformasikan kepada masyarakat sebagai masyarak yang berilmu, bersikap kritis, ilmiah, rasional, terbuka, tidak terkungkung mitos, tradisi dan tak berfikir material. Bentuk transformasi yang dilakukan oleh ikatan berdasarkan ethic profetik guna menciptakan garden city.

Ketiga, isu bersifat local merupakan suatu permasaahan nasinal meruapakan rasa empati dari gerakan masyarakat yang harus didukung dan mendapatkan advoasi dari bentuk gerakan ikatan dan merupakan suatu keharusan. Dalam peta gerakan social sekarang masyarakat mulai tercerahkan dan mulai peka terhdap ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah maka memunculkan gerakan social. Gerakan social yang sekarang berkembang sangat menyebar dan divergen dan permasalahan yang diangkap merupakan isu local dan berdampak atau menjadi isu nasional. Ikatan memiliki kesadaran yang peka dan melakukan pengkajian terhadap permasalahan yang terjadi serta memberikan suatu jalan penyelesaian agar lebih baik. pengembangan isu merupakan langkah gerakan ikatan untuk memberikan rasa solidaritas terhadap suatu kelompok dalam melakukan pembaharuan. Pengalihan in diharapkan dapat merubah suatu kebijakan yang telah dikeluarkan agar dapat ditinjau ulang atau bahkan dihentikan.

Keempat, ikatan melakukan kerjasama perluasan jaringan yang melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat. Kerjasama yang dilakukan oeh ikatan gun amemberikan dukugan secara moral dan material terhadap suatu bentuk pembedayaan terhadap masyarakat untuk dapat mandiri supaya tidak mengalami ketergantungan kepada Negara. Bahkan sewaktu-waktu ikatan mengadakan aksi bersama dengan seluruh elemen dari lembag social yag konsen terhadap permberdayaan gar terciptanya suatu keadilan dalam masyarakat. Gerakan social yang terfragmentasikan ini oleh ikatan di satukan dalam rangka menghadapi satu persolan yang sama yakni masalah kemiskinan dan kemanusiaan. Sedangkan untuk permaslahan yang lain spesifik seperti gender, masyarakat adat dan keagamaan, sikap ikatan ikut mengembil peran dan alih gerakan tersebut dengan cara melakukan transfomasi sesuai dengan tujuan dan yang dicita-citakan oleh ikatan. Ikatan melakukan dorongan dan membantu pemyelesaian apa yang dihapai oleh masing-masing gerakan dalam upaya transformasi social.

Gerakan diaspora ikatan baik alam bentuk keluar atapun kedalam merupakan ikatan mewujudkan masyarakat yang telah diidealkan. Masyarakat yang telah diidealkan suatu bentuk masyarakat yang berkeadilan dan menjungjung tinggi ham, serta hukum yang berlaku. Ikatan dalam mewujudkan itu semua berlomba degan waktu dan upaya melakukan rekonstrusi terhadap peradaban yang terjadi di barat dikarenakan mengalami ketimpangan, dimana terjadinya dehumanisasi bukannya peradaban merupakan bagian dari humanisasi manusia. Ikkatan melakukan perubahan social dalam bentuks transfoemasi atau kalu bisa jga dapat merubah kebijaka agar lebih memberikan makna kepada kaum miskin bukannya kaum pemodal.

[1]Untuk lebih lengkapnya baca bagian V tentang realitas sekarang.

[2]Untuk lebih jelasnya baca Mansour Fakih, Manifesto Intelektual Organik.

[3]Keterangan lebih lanjut baca bagain Filsafat Manusia.


Keluarga, Tempat Perlindungan Anak

Oleh SUKRON ABDILAH

”Dan Allah menjadikan rumah-rumah bagi kalian sebagai tempat untuk ketenangan” (Q.S. An-Nahl: 80)

KETENANGAN dan ketenteraman batin anak-anak merupakan bagian terpenting dalam keutuhan sebuah keluarga. Tak arif rasanya, bila seorang ibu atau ayah menelantarkan anak-anak hingga tercipta suasana rumah yang panas laiknya kobaran api ketika berinteraksi dengan buah hatinya. Namun, apa boleh buat, seiring berkembangnya zaman, orang tua pun seolah tidak mampu menghiasi suasana rumahnya dengan kegembiraan dan keceriaan. Alhasil, lingkungan rumah menjelma laiknya neraka bagi anak-anak.

Kasus penyiksaan, pemerkosaan, dan penganiayaan sering kita dengar dan saksikan di berita-berita media massa. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta sering terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh ibu tiri dan ayah kandungnya sendiri. Ataupun sebaliknya. Kekerasan yang dilakukan oleh ayah tiri dan ibu kandungnya sendiri. Gejala ini bisa dijadikan alasan kuat untuk membongkar dan mempertanyakan kembali lunturnya kasih sayang orang tua sebagai ”biang kerok” munculnya kekerasan terhadap anak. Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, kenapa terulang kembali perilaku-perilaku yang tak manusiawi pada sebagian penduduk negara ini? Apakah tingkat tekanan sosial yang dirasakan oleh rakyat sudah sedemikian parah, hingga berani menanggalkan etika/norma dalam berkeluarga? Lantas, apa kegunaan dari disyariatkan pernikahan dan diaturnya melalui konstitusi negara, bila saja masih terjadi kekerasan di lingkungan keluarga?

Yang pasti, anak merupakan titipan (baca: amanah) dari Allah untuk dipelihara dan diperhatikan dengan penuh kasih sayang. Dalam ayat Al-Quran di atas, setidak-tidaknya, Allah SWT memberikan landasan yang kokoh untuk dijadikan pegangan oleh seluruh warga dalam membina hubungan keluarga. Pegangan tersebut adalah, betapa pentingnya menciptakan suasana harmonis di lingkungan keluarga/rumah. Sebab, pembinaan mental anak dimulai dan ditentukan oleh suasana rumah yang diliputi ketenangan (sakinah). Apabila kondisi lingkungan rumah menggambarkan kebengisan, bahkan sampai merenggut nyawa anak-anak, saya kira bangsa ini bakal melahirkan generasi yang terganggu jiwanya. Sejatinya, seluruh warga Indonesia tidak meniru dan bahkan tidak mengadopsi perilaku di atas. Sebab, tidak sesuai dengan semangat Agama Islam dan konstitusi negara sekalipun.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 45 disebutkan, ”Kewajiban orang tua adalah memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Artinya, sangat jahat apabila seorang ibu atau ayah yang rela menganiaya, menyiksa dan bahkan sampai membunuh anak semata wayangnya sendiri yang tak berdosa. Secara konstitusional pun perilaku ini tidak dikehendaki, apalagi oleh ajaran Islam yang cinta pada kedamaian. Al-Quran sendiri menjelaskan: ”Dan janganlah sekali-kali kamu sekalian membunuh (termasuk menganiaya dan menyiksa) anak-anak kalian karena takut kemelaratan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan kepada kamu sekalian” (Q.S. Al-Israa’: 31).

Kekerasan yang terjadi saat ini terhadap anak usia dini, ternyata disebabkan sudah melunturnya etika dan moral manusia modern akibat - meminjam istilah M. Amien Rais - penjungkirbalikan ruang dan waktu yang luar biasa (baca: zaman). Kebutuhan ekonomi yang semakin membubung tinggi, biaya hidup yang tak terjangkau, dan tekanan-tekanan sosial lainnya. Sehingga, bangsa ini menjelma menjadi ”zombi-zombi” yang tak berperasaan. Akibatnya, kekerasan terhadap anak pun menjadi kebiasaan yang mendarah daging dan susah dihilangkan. Karena itu, kondisi ketenangan di lingkungan rumah merupakan tonggak awal dari alat pertahanan diri (self defend mechanism) dalam menangkis virus-virus kekerasan terhadap anak yang menjalar di tubuh bangsa.

Keluarga dan Penumbuhan Kasih Sayang

Dalam teori sosiologi, disebutkan bahwa keluarga merupakan satuan masyarakat terkecil dan penentu dari keberadaan sebuah komunitas. Oleh karenanya, agar terwujud sebuah kesatuan masyarakat, maka tidak bisa tidak, ketenangan (stabilitas) antar anggota keluarga pun harus terjaga hingga melahirkan suasana yang kondusif dan harmonis tentunya. Tanpa terwujudnya ketenangan, saya kira masyarakat ini bakal ”keropos” karena diisi oleh keluarga-keluarga yang terpecah dan pesakitan (sickness).

Rasulullah saw berpesan, ”Perbuatan baik yang paling cepat memperoleh pahalanya ialah berbuat kebaktian dan menghubungkan tali kekeluargaan. Dan perbuatan buruk yang paling cepat akan memperoleh balasannya adalah pembangkangan terhadap kewajiban agama dan memutuskan hubungan kekeluargaan” (Al-hadis). Dalam hadis ini tersirat bahwa aktivitas untuk menjaga hubungan antar anggota secara harmonis di lingkungan rumah tangga, merupakan kewajiban. Tentu saja, semua ini guna mengikat kembali keutuhan keluarga hingga mampu berperan dalam proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Sedemikian pentingnya menjaga keutuhan keluarga, hingga beliau pun pernah bersabda, ”La yadkhulu al-jannata qaati’un” tidak akan masuk surga bagi orang yang memutuskan silaturahmi. Pemutusan silaturahmi (baca: interaksi harmonis) tersebut pada zaman ini bisa kita lihat dari merebaknya penyiksaan dan penganiayaan seorang bocah di bawah usia remaja oleh para orang tuanya. Meskipun tidak semua orang tua melakukan hal yang sama dengan mereka. Namun, alangkah arif dan bijaksananya bila kita mulai menata diri dalam membina hubungan pada lingkaran keluarga sembari menghiasinya dengan kegembiraan dan keceriaan.

Sebab, tanpa adanya hal itu, rasa optimisme bangsa untuk keluar dari krisis multi dimensi, termasuk krisis akhlak, bakal terhalangi dan terhambat. Misalnya, ketika seorang ibu atau ayah menganiaya anaknya, secara tidak langsung mental mereka bakal terbentuk sebagai seorang penyiksa dan berakhir pada keagresifan perilaku. Pun demikian, bila saja masih tetap terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh para orang tua, saya kira apa bedanya dengan perilaku bangsa Arab jahiliyah yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Apalagi terdapat kesamaan modus operandi bahwa korban penyiksaan tersebut kebanyakan terdiri dari anak-anak perempuan.

Titik perbedaannya adalah dalam dorongan (baca: motif) masyarakat jahiliyah merasa gengsi memiliki anak perempuan. Sedangkan pada masyarakat modern, penyiksaan dan pembunuhan bisa disebabkan oleh ketidaksadaran diri akan nikmat yang diberikan-Nya. Bahkan yang lebih parah lagi, kejadian ini merupakan imbas (konsekuensi logis) dari impitan/beban ekonomi yang mencekik para orang tua. Hingga pada akhirnya, untuk meredakan kecemasannya anak-anak pun mereka siksa dan sampai menelan korban yang tidak sedikit. Berkenaan dengan orang demikian, Allah SWT berfirman: ”Sungguh merugi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kedunguan dan ketidaktahuan mereka (bahwa Allah yang mengatur rezeki)” (Q.S. Al-An’am: 140).

Akhirnya, lingkungan rumah (baca: keluarga) merupakan tempat yang paling efektif dan efisien dalam menciptakan perlindungan bagi anak-anak usia dini. Perlindungan tersebut bukan berarti hanya membebaskan mereka dari siksaan fisik para orang tua yang tak beradab saja. Namun, menjaga dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sembari mendidiknya juga merupakan upaya perlindungan yang paling hakiki, bahkan yang abadi. ***

Penulis, Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN SGD Bandung, ketua Lembaga Pers Ikatan (LPI) PC. IMM Kota Bandung, serta penggiat Kajian Ahad (Jihad) Divisi Hikmah dan Advokasi Sosial.
Prof Dr Hotman M Siahaan:
Rakyat Harus Menata Ulang Proses Transaksi Sosial

Pemilihan presiden secara langsung berpeluang membangun kembali civil society sehingga bisa merekatkan kembali bangsa ini. Civil society di Indonesia hancur sejak masa Demokrasi Terpimpin. Saat itu, dominasi negara telah menghancurkan batu-batu civil society yang mulai tertanam sejak tahun 1955.

Keprihatinan akan hancurnya civil society itu disuarakan Prof Dr Hotman M Siahaan, seorang peneliti sosial sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Pria kelahiran Lumban Gorat, Balige, Sumatera Utara, 26 November 1951, ini melihat masih ada peluang untuk membangun civil society dalam pemilu presiden 5 Juli 2004.

Sosiolog yang menulis disertasi tentang "Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi" ini berniat untuk memberikan suaranya.

"Sampai saat ini saya masih berniat mencoblos. Tapi, niat saya bisa berubah pada satu hari sebelum pemungutan suara. Saya sudah punya pilihan. Pasangan itu pilihan terbaik dari yang terburuk. Tapi, ia bisa jadi terburuk dari yang terburuk, dan berarti saya akan mengubah niat," kata Hotman tertawa.

Bagi Hotman, tak berkembangnya civil society karena ketiadaan zona netral yang seharusnya diperankan oleh partai politik. Civil society harus dibangun. Itu merupakan pilihan. Jika tidak, disintegrasi bangsa akan terjadi. Berikut petikan perbincangan Kompas dengan ayah tiga anak di Ruang Dekan FISIP Unair, Surabaya, Kamis (24/6).

Mengapa masalah bangsa Indonesia ini tak kunjung selesai kendati Soeharto sudah turun enam tahun lalu?

Kita baru mengalami sebuah proses besar yang belum selesai ketika tarik-menarik antara kekuatan state building yang sebelumnya dominan dengan civil society kita yang lemah.

Civil society kita belum berdaya dan tidak memiliki kemampuan untuk membangun civic culture. Suatu civil society yang baik memiliki civic culture yang kuat. Salah satu indikator dari civic culture adalah hukum yang benar. Orang mematuhi hukum sehingga transaksi sosial di antara masyarakat terjadi sesuai aturan main yang disepakati. Tapi civic culture kita tidak tumbuh. Yang terjadi kemudian adalah amok. Protes luar biasa terjadi. Seluruh ketidakadilan di masa lalu ditumpukkan di masa sekarang. Akibatnya, terjadi transaksi politik yang bersifat etnis. Isu putra daerah. Persaudaraan sebangsa tercabut.

Itulah yang terjadi di Pontianak, konflik Dayak dengan Madura, yang kemudian memuncak pada persoalan Sampit. Tiba-tiba orang yang sudah bertempat tinggal tiga generasi diusir dari tempat tinggalnya. Ini semua karena sendi-sendi kita tak terbangun. Itu yang kita alami di tengah negara yang sedang mengalami perubahan.

Belum lagi persoalan etnik bercampur baur lagi dengan agama. Itulah yang terjadi di Ambon. Bayangkan, satu etnis, satu frame kebudayaan, tiba-tiba mengalami konflik bertahun-tahun yang menghancurkan kekuatan civil society.

Civil society kita masuk dalam transaksi sosial yang dilandasi kesadaran primordialisme. Itu kita alami. Papua mengalami. Oleh karena itu, Papua minta merdeka. Riau pun minta merdeka. Pemimpin lokal yang lahir pasca-otonomi daerah bukan lahir karena kesadaran transaksi sosial. Tetapi, lebih karena primordialisme.

Dulu negara memperlemah civil society, bagaimana sekarang?

Masyarakat sendiri. Karena mereka belum pernah membangun sendiri transaksi sosialnya dengan benar di antara mereka secara sejajar. Karena selama ini transaksi di antara mereka dikendalikan oleh negara. Negara yang berkepentingan.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini?

Ini adalah akumulasi dari frustrasi setelah selama ini dikendalikan oleh kekuatan negara yang sangat kuat dan represif. Represif dilakukan oleh ideological state aparatus dan represif state aparatus.

Ideological state aparatus dilakukan melalui manggala-manggala. Pancasila sebagai ideologi sudah final. Tetapi, ketika Pancasila harus menjadi ideologi sesuai kepentingan negara, yang ada adalah penjabaran butir-butir. Bukan pengamalan, tapi penghafalan.

Tapi rakyat nyatanya bisa menata diri sendiri?

Betul, tetapi tidak mungkin sebuah masyarakat tanpa pemerintahan yang benar dan kuat. Bukan kuat yang represif, tetapi kuat dalam pengertian kekuatan hukum. Masyarakat berjalan karena ada daya lentur masyarakat. Daya lentur masyarakat yang dipaksa survive di tengah realitas ini. Itulah yang menjadi daya apung kita supaya tidak tenggelam.

Seberapa lama daya lentur masyarakat itu?

Di tengah kekuatan masyarakat yang survive dengan ekonomi kerakyatan, tiba-tiba lapis atas melahirkan konsumerisme yang luar biasa. Pernahkah Anda membayangkan orang menggunakan mobil Rp 1,2 miliar. Sekarang dengan tanpa dosa berkeliaran di mana-mana. Di mana ada pameran mobil mahal, sold out. Rakyat dengan logikanya sendiri bertahan dengan ekonominya sendiri. Lapis menengah atas survive dengan konsumerismenya. Bukan hanya itu, tiba-tiba aktor-aktor politik pun menikmati konsumerisme.

Ketika rakyat berjalan dengan logikanya sendiri, apakah itu bukan proses mencari bentuk civil society?

Betul, tetapi kalau hal itu tidak dilakukan dengan proses dialogis yang baik di antara kekuatan civil society, daya pegas ekonomi yang selama ini membuat mereka survive buntu. Akhirnya terjadi perebutan ekonomi di kalangan rakyat itu. Dan pada dasarnya sudah terjadi. Penjarahan sekian banyak petani terhadap tanah-tanah perkebunan.

Pasca-melemahnya state building, apa yang terjadi pada kekuatan civil society?

Di mana-mana lahir semacam civil society yang tidak memiliki civic culture di situ. Yang ada hanyalah energi yang kuat. Tetapi, pengaturan energi itu agar produktif dan memiliki arah sebuah interaksi sosial sebagai sebuah bangsa tidak terjadi.

Mengapa Pemilu 1999 tidak mampu menata hal ini?

Harusnya partai politik menjadi motor dari civil society. Partai politik, dalam bahasa sosiologi, seharusnya menjadi zona netral, di mana kepentingan masyarakat bertemu. Kepentingan masyarakat bertemu atas dasar ideologi partai. Karena tujuan partai adalah mendapatkan kekuasaan untuk menciptakan kesejahteraan.

Mari kita saksikan. Pemilu 1999 hanya menghasilkan enam yang memenuhi electoral treshold. Sekarang, 24 partai. Tetapi, terjadi proses perubahan orientasi politik yang besar. Yang muncul adalah figur-figur. Itu karena partai lahir bukan didasarkan pada ideologi yang cukup kuat. Partai yang berideologi kuat, dalam konteks ini partai agama, ternyata tidak berlaku. Itu terjadi karena orang memilih tidak didasarkan pada ideologi. Dalam pemilihan umum legislatif lalu tidak didasarkan pada ideologi partai politik. Ada protest voter yang marah terhadap kondisi, mencari alternatif. Karena itulah Partai Keadilan Sejahtera menang di Jakarta.

Selain itu, ada pula partai yang dibesarkan bukan oleh ideologi, tetapi oleh figur. Itu yang dialami oleh Partai Demokrat. Hal sama terjadi pada Megawati, yang lebih besar dari partainya di PDI-P. Partai yang betul-betul besar tanpa figur adalah Partai Golkar. Orang mencoblos Partai Golkar karena ideologi, bukan karena figurnya.

Kita akan memilih presiden secara langsung. Kalau kita baca program mereka, problem bangsa akan diselesaikan dengan apa?

Ada jargon ’Pilihlah presiden yang akan memimpin dengan kuat’. Kuat di situ dalam pengertian kuat yang mana? Kuat yang represif, karena itu dikeluarkan seorang militer. Tidak ada yang menawarkan untuk membangun civil society. Misalnya, ’saya akan membangun kembali transaksi sosial di antara masyarakat-masyarakat yang setara’. ’Saya akan menghilangkan diskriminasi’. Apakah ada pasangan calon yang berjanji akan menghilangkan diskriminasi? Yang terjadi malah timbulnya diskriminasi.

Kalau kita melihat pendekatan kesejahteraan yang ditawarkan, akankah bisa meredam potensi disintegrasi?

Itu masih sebatas slogan retorika politik karena seluruh program yang ditawarkan itu sama sekali tidak menjelaskan termin waktu. Selama program yang ditawarkan tidak menawarkan indikator jangka pendek atau jangka panjang, maka itu hanya retorika politik.

Persoalan rakyat memilih presiden tampaknya tidak akan didasari pada program yang ditawarkan. Ini hipotetik, tapi saya kira orientasi memilih lebih karena personal. Dan itu bisa terlihat dari upaya untuk menciptakan koalisi. Semua tidak berdasarkan pada program, tetapi didasarkan pada figur yang dianggap memiliki magnet untuk meraih suara.

Kemampuan menarik suara itu terjabarkan dalam spektrum-spektrum. Semakin luas spektrum calon presiden dan wakil presiden, ia diasumsikan akan meraih lebih banyak suara. Variabel spektrum yang selalu ditawarkan adalah sipil-militer, Jawa-luar Jawa, Islam-nasional, itulah spektrum yang coba dibangun. Dan selalu diasumsikan orang yang menjangkau lebih banyak spektrum akan meraih lebih banyak suara.

Dengan ketiadaan masyarakat yang berideologi, koalisi di antara partai yang dulu saling ’berlawanan’ seharusnya tidak menjadi masalah?

Justru karena tidak ada ideologi, maka ditaruhlah figur-figur. Nasionalis-religius, misalnya, tidak mengacu pada ideologi nasional atau ideologi religius. Tetapi, mengacu pada simbol yang mewakili religius. Megawati dianggap sebagai simbol yang mewakili nasionalis. Bukan ideologi nasional. Hasyim Muzadi dianggap simbol religius. Ada lagi simbol Susilo Bambang Yudhoyono dari Militer dan dari Jawa, Jusuf Kalla simbol luar Jawa. Wiranto menjadi simbol religius-militer, dengan Salahuddin sipil-religius sekaligus aktivis hak asasi manusia. Hal yang sama terjadi pada Amien Rais, yang menjadi simbol Jawa, ditambah simbol tokoh yang bersih dari masa lalu.

Tapi, upaya untuk membangun image itu yang lebih menonjol dalam kampanye calon presiden dibandingkan dengan sebuah pemahaman program substansial untuk menyelesaikan problem bangsa. Kita belum mendengar bagaimana konsep para pasangan calon dalam membangun resolusi konflik.

Apakah tanpa pemerintah, rakyat tidak bisa menata sendiri civil society?

Tidak bisa. Pemerintahan harus kuat. Di negara yang civil society-nya sangat kuat pun membutuhkan peran negara. Negara sebagai kesatuan politik mengatur semua kepentingan rakyat. Jadi kita tidak bisa mengatakan kalau rakyat bisa menata sendiri. Itu cita-cita Marx, yang menyatakan pada akhirnya negara hilang. Bukan itu yang kita mau.

Kita harus menempatkan civil society yang kuat, dan negara memfasilitasi dan mengatur kekuatan itu sedemikian rupa sehingga produktif demi peningkatan martabat dan kesejahteraan. Apalagi di negara kita yang sangat plural, termasuk adanya kesenjangan yang luar biasa secara ekonomis, rakyat harus belajar menata ulang transaksi sosial di antara mereka di dalam zona netral. Jadi, harus ada proses pendidikan transaksi sosial. Itu bukan proses pendidikan formal.

Melalui partai politik?

Harusnya seperti itu, tapi partai tidak menjalankan peran itu. Karena partai kita tidak dibangun melalui proses ideologi yang benar. Partai kita adalah partai dadakan. Jangankan membangun civil society, mengontrol kadernya saja partai tidak bisa.

Apa yang bisa diharapkan dari pemerintahan nanti?

Pertanyaannya, apakah calon pemimpin negeri ini punya target untuk segera menyelesaikan transisi ini. Kalau dia punya target, jalan apa yang akan ditempuh? Jalan demokrasi atau jalan represif. Kalau ingin memilih jalan demokrasi, maka ciptakan pemerintahan yang kuat berdasarkan pilihan rakyat. Pemilihan presiden itu sudah cukup benar. Sebab, dengan pemilihan langsung, tarik-menarik kepentingan legislatif dengan eksekutif berkurang jauh. Kini tanggung jawab presiden kepada rakyat. Konsekuensinya, presiden harus punya konsep yang jelas.

Sekarang presiden terpilih tidak lagi memiliki kepentingan untuk berkompromi dengan alinsi-aliansi di parlemen. Oleh karena itu, terbuka peluang bagi presiden terpilih untuk memilih dengan benar anggota kabinetnya. Terbuka peluang bagi calon presiden untuk menentukan program yang betul-betul baik, karena dia bertanggung jawab kepada rakyat. Ia tidak perlu lagi berkompromi.

Setelah partai politik gagal membangun state society, bagaimana negara harus memainkan perannya?

Harus diadakan perbaikan peraturan perundang- undangan. Negara harus memberi peluang kepada kekuatan rakyat. Misalnya, persoalan ekonomi diserahkan penuh kepada rakyat. Negara memberi jalan ke arah pemberdayaan ekonomi. Bukan mendominasi. Kepentingan negara adalah mengatur pasar. Negara harus kuat, tapi kuat di atas konsensus yang disepakati. Bukan kuat yang menindas. (S02)

Tidak ada komentar: