Selasa, 06 November 2007

sosiologi

Etika Protestan Muslim Puritan
Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan

Sukidi

LEBIH pendek dan berserakan. Itulah komentar akademikus Barat atas catatan Max Weber (1864-1920) tentang Islam. Studi Weber tentang agama-agama dunia, mulai dari Yahudi kuno, Kristen, Hindu, sampai Buddha jauh lebih sempurna dan sistematis. Weber keburu meninggal dunia. Padahal, menurut Talcott Parsons, (1964), ia merencanakan studi perbandingan antara Islam, Kristen periode awal, dan Katolik abad pertengahan.

ITU sebabnya, riset akademis tema ini masih relatif langka. Bryan S Turner adalah sarjana Barat pertama yang studi sistematis. Dalam karyanya, Weber and Islam, (1974:2), Turner berargumen bahwa bagi Weber "ini adalah sifat alami institusi politik Muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, 'ekonomi uang', dan kelas borjuis." Semua prakondisi kapitalisme rasional-modern di Barat ini, faktanya, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.

Tahun 1987, Wolfgang Schluchter di Universitas Heidelberg, Jerman menyunting buku Max Webers Sicht des Islams. Interpretation und Kritik. Buku ini hasil konferensi tahun 1984 tentang sosiologi Islam Weber, yang kini tersedia dalam edisi Inggris, Max Weber & Islam, (1999). Schluchter merekonstruksi catatan Weber tentang Islam yang berserakan melalui empat model perbandingan: model etika agama-penguasaan dunia sebagai penaklukan dan penyesuaian dunia; model dominasi politik-feudalisme prebendel dunia Timur; model kota-anarki urban dunia Timur; model hukum-hakim teokratik dan patrimonial; dan keterkaitan antara tatanan-tatanan itu dengan kekuasan-sentralisme.

Sejumlah sarjana keislaman--mulai Lapidus, Levtzion, Eaton, Hardy, Peters, Metcalf, Robinson, Crone, Cook, dan SN Eisenstadt-- diundang mempresentasikan tafsiran dan kritik mereka terhadap Weber dan Islam. Namun, tak satu pun di antara mereka yang fokus pada dua hal berikut, yang sekaligus menjadi fokus tulisan ini: Pertama, catatan Weber tentang Islam dibandingkan langsung dengan Calvinisme. Kedua, tulisan ini menguji sejauh mana muncul Muslim Puritan Muhammadiyah mirip dengan Protestan asketis, terutama Calvinis.

Calvinisme dan Islam dalam Pemikiran Weber

Catatan Weber tentang Islam akan dibandingkan dengan Calvinisme melalui empat kerangka pemikiran: doktrin predestinasi, pencarian keselamatan, asketisisme dunia-sini, dan konsep rasionalisasi.

Doktrin Predestinasi

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi yang berlawanan.

Dalam The Protestant Ethic (2005:56), Weber menekankan betapa penting predestinasi dalam keyakinan Calvinis. Ide utamanya terletak pada: bagaimana para Calvinis yakin bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih? Dalam teologi Calvinis, terdapat predestinasi ganda yang membuat para Calvinis tidak tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu, sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan diyakini sebagai "tanda" atau "konfirmasi" bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber "suatu tanda keberkahan Tuhan".

Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak ada predestinasi ganda dalam Islam. Malahan, menurut Weber (2005:185), Islam memiliki keyakinan pada predeterminasi, bukan predestinasi, dan berlaku pada nasib seorang Muslim di dunia ini, bukan di akhirat kelak. Jika doktrin predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras, hal demikian tidak terjadi pada Muslim. Malahan, lanjut Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya, Muslim bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia-sini dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.

Pencarian Keselamatan

Ada sejumlah agama yang dikategorikan Weber sebagai agama keselamatan, mulai dari Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan seterusnya. Agama-agama ini punya cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Namun, semuanya dipakai sebagai jalan pembebas dari penderitaan dan sebagai respons terhadap ketegangan yang terus berlangsung antara dunia dan agama (Weber, 1978:527). Ketertarikan Weber lebih terletak pada sejauh mana usaha manusia mencari keselamatan itu berdampak langsung terhadap suatu perilaku hidup tertentu di dunia ini. Dalam Economy and Society (1978) Weber berpendapat "perhatian kita pada dasarnya adalah pada usaha pencarian keselamatan, apa pun bentuknya, sejauh hal itu menciptakan konsekuensi tertentu pada perilaku praktis di dunia". Pencarian individu pada keselamatan inilah, menurutnya, yang menjadi karakteristik utama Calvinis. Bagi para Calvinis, perilaku asketis dan kerja etos kerja keras dipandang sebagai sebuah tanda keselamatan di dunia kelak.

Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Usaha pencarian keselamatan benar-benar asing dalam Islam. Malahan, menurut Weber (1965:263), "Islam sesungguhnya tidak pernah menjadi agama keselamatan; etika konsep keselamatan benar-benar tak dikenal dalam Islam. Islam tidak pernah menjadikan akumulasi harta kekayaan sebagai tanda keselamatan. Absennya upaya pencarian keselamatan di kalangan Muslim ini berpengaruh terhadap metode dan perilaku hidup yang sistematis di dunia ini."

Asketisisme Dunia-Sini

Asketisisme, menurut Weber (2005:140), terbagi dua: asketisisme dunia-sini (innerweltliche Askese) dan asketisisme dunia-sana (ausserweltliche Askese). Asketisisme dunia-sini menjadi karakteristik Calvinis, yang memakai metode asketik untuk mengubah dunia. Sementara asketisisme dunia-sana menjadi karakteristik utama kehidupan monastik dan meditasi Yoga India, yang sama-sama memakai cara asketik, tapi tidak untuk mengubah dunia. Parsons menerjemahkan innerweltliche Askese sebagai asketisisme yang dipraktikkan dalam dunia ini, sebagai lawan terhadap ausserweltliche Askese, yang menarik diri dari kehidupan dunia.

Dengan asketisisme dunia-sini, Calvinis berperan penting dalam asal-mula munculnya kapitalisme modern sejak akhir abad ke-16 dan sesudahnya. Kata Weber, terdapat "afinitas elektif" antara asketisisme dan sikap disiplin-diri. Karena itu, sikap asketisisme dunia-sini secara kuat memotivasi Calvinis untuk bekerja keras, mencari uang, menabung apa yang diperoleh dan menginvestasikan lagi nilai keuntungannya untuk keuntungan yang lebih besar.

Islam, lagi-lagi, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak terdapat asketisisme dunia-sini dalam Islam. Pada periode Mekah, menurut Weber (1978:624), "Islam berkembang ke orientasi untuk memisahkan diri dari dunia. Namun, Islam segera menjadi agama penakluk dan agama pejuang nasional Arab pada periode Madinah. Karena itu, Islam mendukung etika prajurit dan pejuang di dunia-sini di bawah panji jihâd melalui pembagian klasik antara 'wilayah Islam' (dâr al-Islâm) dan 'wilayah yang diperangi' (dâr al-Harb)."

Sebagaimana sekte-sekte dalam Protestan, Weber mengakui munculnya sekte-sekte asketis dalam sejarah Islam. Namun, mereka tidak dapat dikategorikan sebagai Muslim asketis yang memakai cara-cara asketik untuk mengubah dunia. Malah, kelompok prajurit dan pejuang Muslim berhasil menarik Islam ke arah apa yang disebut Weber "asketisisme militer", bukannya ke arah sistematisasi perilaku hidup asketis pada kelas menengah Muslim." Berbeda dengan Protestan asketis, terutama Calvinis, sekte-sekte asketik dalam Islam tidaklah menghasilkan sistem perilaku hidup yang sistematis dan terkontrol.

Rasionalisasi

Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama Calvinis.

Pertama, para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi problem makna mendasar: akankah mereka diselamatkan ke surga? Tuhan Calvinis menetapkan predestinasi ganda pada setiap orang: sebagai yang terpilih atau terkutuk? Para Calvinis mulai meyakinkan diri bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih yang terselamatkan ke surga.

Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Menurut Weber (1958:139), "pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional". Inilah yang oleh Weber disebut Entzauberung der Welt: yakni demagifikasi atau demistifikasi dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis ditandai, secara teoretis, dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi hubungan Calvinis dan Tuhan.

Kedua, Calvinis merasionalisasikan perilaku hidup melalui disiplin-diri, kalkulasi rasional, individualisme, dan dipraktikkan secara sistematik. Dalam Protestant Ethic (2005:71), Weber berpendapat, "Tuhan Calvinis menuntut penganutnya bukan semata-mata dengan kerja baik, tapi kerja baik yang dikombinasikan dengan suatu sistem terpadu."

Pada bagian awal The Protestant Ethic, Weber memilih "Nasihat kepada Saudagar Muda" yang disampaikan salah satu Bapak Amerika, Benjamin Franklin, sebagai fondasi keagamaan untuk perilaku hidup rasional. "Ingat," demikian nasihat Franklin, "waktu adalah uang; kredit adalah uang; dan kejujuran bermanfaat dalam bisnis." Inti pesan Franklin adalah menghasilkan uang-melalui etos kerja keras dalam bisnis, menabung hasil, dan menginvestasikannya demi keuntungan yang lebih besar-dimaknai sebagai panggilan hidup (Beruf; bukan dalam pengertian Luther yang tradisionalistik). Franklin menyandarkan rujukan teologis: "Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam bisnisnya? Dia akan berdiri di hadapan raja-rajanya" (Prov xxii. 29). Inilah yang memberi inspirasi kepada Weber (2005:19) untuk berkesimpulan bahwa "kebajikan dan kecakapan" dalam mencari dan menabung uang sebagai panggilan hidup adalah benar-benar bentuk Alpa dan Omega dari etika Franklin." Dan Franklin dijadikan Weber sebagai personifikasi ideal etika Protestan itu sendiri.

Calvinis yakin bahwa motivasi moral-keagamaan untuk bekerja keras dan menghasilkan uang adalah benar-benar diberkati Tuhan. Sebaliknya, hidup dengan sikap hura-hura dinilai berdosa. Karena itu, Calvinis bukanlah tipe orang yang boros dan suka berpesta-pora. Dan perilaku hidup rasional dalam kerja profesional dan keseharian, pada gilirannya, menghasilkan kelebihan produksi atas konsumsi. Inilah asal-mula munculnya spirit kapitalisme rasional modern di Barat, yang berakar kuat pada Protestan asketis, terutama Calvinis. Mereka ini, misalnya, memandang akumulasi harta kekayaan sebagai suatu tanda diberkati Tuhan.

Islam, kata Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup benar-benar asing dalam Islam. Perlu diingat, Weber memakai doktrin predestinasi sebagai konsep kunci untuk menjelaskan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Di Calvinisme, keyakinan pada predestinasi berhasil membangkitkan etika kerja dan perilaku hidup yang legal-rasional. Namun, hal demikian tidak terjadi di Islam. Doktrin Islam tentang predestinasi, menurut Weber (1978:573), "sering menghasilkan kelalaian penuh terhadap diri (seorang Muslim) demi memenuhi kewajiban jihad untuk penaklukan dunia". Hal ini akibat dominannya peran pejuang Muslim dalam penyebaran Islam di Timur Tengah. Kelompok ini telah menggeser Islam ke arah etika militeristik untuk penaklukan dunia. Mereka tidak memberlakukan perilaku hidup asketis dan rasional. Keyakinan Islam atas predestinasi tidaklah menghasilkan rasionalisasi doktrin dan perilaku hidup. Malahan, kata Weber, doktrin predestinasi mengarahkan umat Islam ke arah perilaku hidup yang nonrasional dan fatalistik. "Islam," lanjut Weber (1978:575), "justru dialihkan sepenuhnya dari perilaku hidup yang rasional dengan munculnya pemujaan terhadap orang-orang suci, dan akhirnya, magis".

Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan

Mirip Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar negeri sebagai model gerakan reformasi keagamaan dalam konteks Islam Indonesia. Didirikan tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta, kini Muhammadiyah hampir berusia satu abad. Sebagai sebuah kado pemikiran kader muda Muhammadiyah untuk Muktamar ke-45 di Malang, perkenankan saya membawa arah baru studi Muhammadiyah dalam cahaya Reformasi Protestan, terutama pada Calvinis. Argumen utamanya adalah prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model Protestan, dengan argumen berikut.

Pertama-tama, baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Alquran). Inilah doktrin sola scriptura. "Kembali pada Kitab Suci" sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Alquran diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.

Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan "Kembali pada Kitab Suci", baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. "Para Calvinis," kata Weber (2005:68), "ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman". Inilah doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada: minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya.

Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan Weber sebagai "disenchantment of the world". Menurut Weber, proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul, bid'ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern.

Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep "disenchantment of the world", Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Dan taklid harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern.

Sebagai organisasi modernis-reformis, rasionalisasi organisasi Muhammadiyah dapat disimak gerakan yang terorganisasi secara sistematik dan melalui birokrasi modern. Semua ini, tentunya, sejalan dengan kebutuhan efisiensi dan administrasi dunia modern. Sementara Calvinisme, menurut Kemper Fullerton (1928), telah menunjukkan pencapaian secara lebih jenius untuk organisasi sosial dibandingkan Lutheran, maka Muhammadiyah mungkin sebagai organisasi sosial Islam terkaya di dunia saat ini.

Mirip Calvinisme, rasionalisasi perilaku hidup dapat disimak pada upaya reinterpretasi doktrin keislaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang bernafaskan pada rasionalitas dan kemajuan. Islam dan kemajuan direkonsiliasikan.

Kelima, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengadopsi apa yang oleh Weber disebut "innerworldy asceticism". Protestan asketis, terutama Calvinis, memakai metode asketis untuk mengubah dunia. Spirit kapiralisme muncul dari proses yang disebut "afinitas elektif" antara asketisisme dan disiplin diri di kalangan Calvinis. Muslim puritan pun menganut asketisisme dunia-sini melalui tasawuf modern tanpa melarikan diri dari kehidupan duniawi.

Etika Protestan di Kalangan Muslim Puritan

Dalam The Protestant Ethic, terbit pertama kalinya tahun 1904-1905, Weber meletakkan Protestan asketis sebagai "suatu kontribusi terhadap pemahaman atas masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah". Nama Karl Marx tentu ada dalam pikiran Weber. Dan Weber tampak sengaja ingin meletakkan "kekuatan ide" sebagai wacana tandingan atas doktrin materialisme sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan dalam perubahan sejarah. Weber hadir dengan tesis baru: bagaimana ide dan keyakinan di antara protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) menjadi kekuatan-kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme rasional modern di Barat.

Dengan alasan demikian, Weber (2005:3) lalu menunjuk fakta empiris: mereka yang menjadi industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja yang cakap di bidang industri lainnya, ternyata jumlahnya jauh lebih besar Protestan ketimbang Katolik. Yang terakhir ini malah sering diasosiasikan dengan pekerja kasar dan bawahan. Tingginya pertumbuhan aktivitas kapitalisme juga lazim terjadi di antara gereja protestan dan Calvinis Perancis, Belanda, dan puritan Inggris. Fakta-fakta ini menginspirasi Weber menarik kesimpulan adanya "afinitas elektif" antara Protestan asketis, terutama Calvinis, dan spirit kapitalisme.

Jika demikian, tesis Weber dapat dipakai sebagai model: adakah "afinitas elektif" antara etika/keyakinan Islam dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim puritan? "Ya" jawab Clifford Geertz, antropolog Amerika terkemuka di Universitas Princeton. Seperti halnya Robert N Bellah yang datang ke Jepang untuk studi agama Tokugawa, Geertz pun terbayang-bayangi tesis Weber untuk studi agama Jawa. Ia datang ke Mojokuto awal 1950-an dengan kesimpulan: "pertumbuhan ekonomi dan pembaharuan Islam berjalan secara beriringan". Suatu kesimpulan yang mirip antara pertumbuhan kapitalisme dengan Reformasi Protestan di kalangan Calvinis.

Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz studi perbandingan dua kota: Mojokuto di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber. "Dalam kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam menstimulasi pertumbuhan komunitas bisnis di Barat," demikian laporan Geertz (1963:49), "bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah sebagian besar Muslim reformis". Ia memang menemukan sebagian besar pemimpin usaha bisnis tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan justru didominasi Muslim reformis-puritan. "Tujuh dari pertokoan modern yang berdiri kokoh di Mojokuto," lanjut Geertz, "enam di antaranya dijalankan oleh Muslim reformis-puritan." Ia lalu berkesimpulan "Reformisme Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin majoritas para saudagar" (Geertz, 1963:150). Tulisan ini memang mengikuti tesis Geertz, namun beda dalam studi kasus. Mojokuto bagi Geertz dan Yogyakarta bagi saya. Dengan telah meletakkan kerangka pemikiran Muhammadiyah sebagai reformasi Islam model Protestan, maka tulisan ini diakhiri dengan adanya beberapa elemen mendasar Etika Protestan yang berakar kuat dalam Muslim puritan Muhammadiyah.

Pertama, Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai Muslim reformis-puritan yang asketis sekaligus seorang saudagar. Dahlan lahir di tengah keluarga beragama dan sikap hidup asketis mewarnai hidupnya. Ia berpendidikan di sekolah Islam, rajin salat lima waktu, berpuasa Senin dan Kamis, dan naik haji ke Mekkah. Selama di Mekkah tahun 1890 dan 1903, minat keilmuan Dahlan, antara lain, pada tulisan-tulisan Muslim reformis Mesir Muhammad 'Abduh (1849-1905), seperti Risalât al-Tawhîd, al-Islâm wa al-Nasranîyah, Tafsîr Juz’ ‘Amma, dan Tafsîr al-Manâr (Solichin, 1963:6). Barangkali terinspirasi Abduh, ia pulang ke tanah air dan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 untuk mengemban misi pembaharuan Islam, seperti pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, penolakan takhayul, bidah dan khurafat, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia modern.

Kepergian Dahlan untuk haji ke Mekkah ternyata sangat menentukan tahap penting dalam hidupnya. Meminjam tesis Geertz (1963:56), bahwasanya masyarakat Jawa yang telah menunaikan ibadah haji lebih memiliki modal dan jiwa berwirausaha ketimbang rekan-rekan mereka di pedesaan. Sesudah haji, Dahlan menjalani hidup sebagai sebuah panggilan: sebagai khatib di Kraton Yogyakarta dengan gaji 7 gulden per bulan sekaligus sebagai saudagar batik. Ini memperkuat asumsi bahwa nilai simbolis haji menjadi kekuatan penggerak Dahlan menumbuhkan kebajikan dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis. Asketisisme dan disiplin-diri dipadukan secara sistematis. Etika kerja ini telah terefleksikan dalam perilaku hidup Dahlan, yang "rajin, jujur, suka membantu" dan "luar biasa cerdas dan tekunnya" (Peacock, 1978:34).

Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes, pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan menilai Dahlan sebagai "prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis: tekun, militan, dan cerdas". Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati Dahlan beristirahat. Ia jawab: "saya harus bekerja keras sebagai upaya meletakkan batu pertama dalam gerakan mulia ini. Jika saya terlambat atau berhenti, akibat sakit, maka tak seorang pun yang akan membangun fondasi ini. Saya sudah merasa bahwa waktuku sudah hampir lewat, karenanya, jika saya bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa dapat disempurnakan oleh yang lain" (Peacock, 1978:38-9).

Kedua, "afinitas elektif" Weber antara Protestanisme asketis dengan spirit kapitalisme memiliki kemiripan antara Muslim puritan Muhammadiyah dan keterlibatan ekonomi secara aktif pada usaha pabrik Batik di Yogyakarta. Yogyakarta perlu dingat karena kota kelahiran Muhammadiyah dan Dahlan, yang meniti karir sebagai khatib asketis dan saudagar batik. Hawkins (1961:12-52) menggelar survei terhadap perusahaan batik tahun 1960 dengan kesimpulan yang mengejutkan: semua perusahaan batik di Yogyakarta mayoritas dimiliki dan dijalankan oleh Muslim puritan Muhammadiyah.

Terakhir, Muslim reformis-puritan dapat digambarkan, meminjam tesis W.F. Wertheim (1969:212), sebagai "saudagar urban pada tahun-tahun awal abad sekarang". Mereka ini sering pula disebut Muslim borjuis. Seperti Calvinis, etika kerja dan sikap Muslim asketis mengindikasikan model etika kaum borjuis yang individualis dan rasional. "Seorang Muhammadiyah," kata Wertheim, "didorong ke arah hidup sederhana dan etos kerja yang saleh-asketis, dengan harta kekayaan yang diperolehnya sendiri." Mereka menjadi Muslim puritan yang asketis dengan mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus.

SUKIDI Mahasiswa Teologi di Fakultas Teologi, Universitas Harvard, Cambridge, Amerika Serikat; Pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Muhammadiyah

Sosiologi Agama Durkheim

oleh Mohamad Zaki Hussein

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

A. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.

Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

Sumber Acuan:

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Membongkar Hegemoni Wacana Sosiologi Barat

Happy Susanto

Judul Buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme; Penulis : Bryan S. Turner; Penerbit : Ar-Ruzz Press Yogyakarta; Cetakan I Tahun : Agustus 2002; Penerjemah : Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan Muzir, dan Muhammad Syukri; Tebal : 453 halaman.

“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis dalam sosiologi Barat selama ini. Apa yang kita terima dalam berbagai literatur dari wacana mereka adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness, Timur, Islam) sebagai “barang rendahan”. Maaf, jika kata-kata ini penulis kemukakan dalam tulisan ini karena memang demikianlah apa yang menjadi realitas saat ini.

Bryan S. Turner, sosiolog kondang kenamaan abad ini, membongkar universalitas sosiologi Barat ini dalam bukunya yang versi aslinya berjudul, Orientalism, Postmodernism, and Globalism. Soal keangkuhan Barat dalam menilai Timur dan Islam, bisa diamati dari berbagai analisis akademik kaum orientalis yang mencibir kebudayaan non-Barat, dan menganggap Timur adalah irrasional, tidak demokratis, dan sangat mistik. Turner mencoba menunjukkan bahwa “sikap manis” Barat itu sesungguhnya memendam kelemahan, bahwa mereka belum tentu diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, universal, dan independen. Keangkuhan Barat mesti kita “lawan” (lewat wacana) karena jika tidak maka mustahil kita mampu memberikan alternatif bagi kemunculan keilmuan yang lebih memihak pada obyektivitas dan kemanusiaan. Apalagi, untuk konteks “Islamisasi” ilmu-ilmu sosial dalam “garapan besar” The International Institute of Islamic Thought (IIIT), langkah strategisnya adalah—seperti apa yang dilakukan Turner ini—yaitu membongkar superiority Barat dalam kajian akademis dan keilmuan.

Gejala modernitas dan kapitalisme global telah mengeruskan kekuatan religiusitas yang dilakukan agama-agama selama ini. Agama Kristen telah melakukan perombakan total dengan jalan sekularisasi general yang memadukan apa yang telah menjadi komitmen dan keyakinan religiusitas sebagai bagian kebudayaan Barat, sehingga memunculkan laju pertumbuhan masyarakat industri dan urban. Hal demikian pernah dianalisis Max Weber dalam bukunya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958). Di sisi lain, ternyata Islam, seperti diklaim Turner, mulai tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam bidang politik dan kebudayaan, tidak hanya di Timur tapi juga pada kebudayaan Barat.

Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan pada kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal. Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme menjadi menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita kepadanya. Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap kuat pada ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme (juga dalam hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme. Postmodernisme ingin mendekonstruksi “narasi besar” (grand narrative) ini dengan mengajukan pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai emansipasinya juga.

Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme

Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat. Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient (1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said, kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari kolonialisme.. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.

Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling signifikan bagi Said :

Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya. Pendeknya orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan menguasai Timur.

Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel Foucault, yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian humaniora dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang telah diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.

Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner, “metodologi teks” adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said, dengan alasan bahwa Said menggunakan metode “dekonstruksionime” (deconstructionism), dan dia pun mampu menunjukkan bagaimana wacana-wacana, nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis, namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan politik Palestina dan Timur Tengah.

Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, dalam bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said adalah berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan Foucault tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di Perancis memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah posisi politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap politik Said terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism (hal. 34). Said, seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran “epistemologi realis”, yang menghubungkan antara pengetahuan dan sikap politik yang merupakan buah dari pemikirannya.

Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said berpendirian bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela sebuah kasus demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana kolonialis. Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan adalah untuk menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan kekuatan opresif. Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena Foucault tidak berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah pengetahuan secara kritis dan obyektif.

Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan ini terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh sejumlah peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai sebuah gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim pengetahuan kolonial dan neo-kolonial. Yang melatarbelakangi aksi praksis Said adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka anti-Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil kebijakan Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, pergulatan antara orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap penduduk-penduduk Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk pada umumnya. Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang melekat padanya. Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan orang-orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris. Dan berdasarkan pengalaman yang dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap kerancuan-kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang melawan kolonialisme Barat --bahkan menjadi tokoh garis depan.

Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah konsentrasinya terhadap “tekstualitas” dan “tektualisme”. Tekstualisme menyebabkan solipsisme—yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri-- buta yang tidak dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang sebuah rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35). Turner juga mengkaitkan pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).

Kemunculan orientalisme menyebabkan kemunculan wacana baru sebagai tandingannya, yaitu oksidentalisme. Menurut Turner, oksidentalisme berisikan penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat dan penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Sikap penolakan anti Barat ini sejalan dengan kemunculan gagasan “indigenisasi” (indigenization) pengetahuan yang tumbuh dan berkembang pada “masyarakat dunia-ketiga” (the third-world society) akhir-akhir ini. Oksedentalisme menjadi menarik dikaji bersamaan dengan maraknya perbncangan tentang “islamisasi ilmu pengetahuan” (islamization of knowledge). Jika boleh berpendapat, secara real kekuatan yang sangat bernilai strategis apabila gerakan islamisasi ilmu pengetahun diproyeksikan untuk melawan hegemonisasi pengetahuan Barat yang mengklaim sebagai universalis dan instrumentalis. Bukan justru berkehendak untuk menampilkan sisi normativitas Islam, yang sesungguhnya masih kabur, untuk dianggap sebagai sebuah ilmu yang mandiri dan independen.

Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah anti-modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya, apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme yang menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas, penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan. Apakah islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, bagaimana mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?

Kelemahan yang terasa dalam wacana orientalisme menyebabkan para pengkaji dari barat untuk menggiring wacana itu kepada globalisasi atau disebut dengan sosiologi global. Banyak orang menyederhankan pengertian globalisasi (globalization) dengan westernisasi (westernization). Menurut Turner, munculnya globalisasi akan menyulitkan pemahaman kita tentang istilah ini apabila masih membicarakan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat yang terpisah, otonom, atau independen (hal 40). Kenapa? Karena, perbincangan terakhir itu telah ditinggalkan oleh wacana orientalisme yang sudah ketinggalan zaman dan melangkah pada sosiologi global. Akan menarik apabila wacana orientalisme yang menuju globalisasi ini dihubungkan dengan perbincangan mengenai postmodernisme. Perdebatan-perdebatan postmodern menekankan pentingnya perbedaan dan “ke-yanglain-an” (otherness).

Apa itu “postmodernisme”? J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), mengartikan postmodernisme secara sederhana sebagai “incredulity towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Metanarasi yang dimaksud, misalnya : kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat. Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah “intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”. Terkadang orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.

Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan meta- narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan, filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai “narasi-narasi besar” (grand narrative) yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut Turner, perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme menjadi tantangan besar bagi orientalisme (hal 46). Orientalisme yang merupakan bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi sebuah ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan.

Pasca runtuhnya Komunisme Soviet (yang menurunkan citra sosialisme dan tumbuhnya pengaruh postmodernisme), membuat posisi global Islam menjadi kembali diperhitungkan. Menurut Turner, adalah memungkinkan bagi Islam untuk “bergandengan tangan” dengan postmodernisme, dengan catatan bahwa perlu ada reformasi di dalam tubuh Islam dengan menghilangkan kecenderungan mengarah pada “narasi besar” yang disebabkan dari citra keseragaman dan ortodoksi keagamaan yang secara fundamental memegang teguh gagasan rasionalisme universal, disiplin, dan asketis.

Menyoal Hubungan antara Islam dan Barat

Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan Barat. Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat) memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini, Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya. Kita pernah diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :

“Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda”.

Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)? Keduanya merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna. Orientalisme berhak kita “gugat” karena meta-wacana ini telah menyebabkan pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya sejumlah jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan kebudayaan Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah orientalisme muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur. Dalam sosiologi Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik, dan asketik. Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan peran yang sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber, masyarakat Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak memiliki unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan sebagai sebuah sistem ketiadaan --tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak ada lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101).

Pandangan sosiologi Barat menggambarkan sebuah bentuk idealisme subyektif yang tanpa disadarinya telah mereproduksi unsur-unsur pemikiran borjuis. Weber membandingkan dunia Timur dan Barat dengan sistem penjelasan yang menggunakan “hukum rasional” (rational law), “kota-kota bebas” (free cities), “borjuis perkotaan” (urban bourgeoisie), dan “negara modern” (modern state), sebagai ciri-ciri pada masyarakat Barat. Sebaliknya, sistem yang berbentuk “hukum dan ad hoc” (ad hoc law), “kamp-kamp militer” (military camps), “pedagang yang dikontrol negara” (state-controled merchants), dan “negara patrimonial” (patrimonial state), sebagai ciri-ciri dalam masyarakat Timur. Sebuah perbandingan sosiologis yang dilakukan melalui fakta yang tidak berimbang. Weber dikenal sebagai pencetus “rasionalisme instrumental” sehingga metode pemikiran sosiologinya menjadi begitu dominan bagi masyarakat Barat sampai saat ini.

Lalu, timbul pertanyaan selanjutnya : apakah kemudian pemikiran Karl Marx menyiratkan sebuah pemihakan terhadap budaya dan masyarakat Timur? Pertanyaan ini dijawab oleh Turner bahwa keduanya (Weber dan Marx) sama-sama menganut pola-pola penjelasan yang agak mirip dalam menjelaskan keberadaan sejarah dalam masyarakat-masyarakat Barat dan ketiadaannya (sejarah) dalam masyarakat Timur (hal 104). Penjelasan Weber dan Marx adalah bentuk lain dari “despotisme Timur” karena keduanya sama-sama menganut pandangan bahwa politik negara di Timur bersewenang-sewenang dan tidak menentu. Akhirnya, penjelasan sosiologi weberian dan Marxisme strukturalis tidak mengembangkan tanggapan-tanggapan yang memuaskan terhadap prosedur-prosedur penjelasan mengenai orientalisme.

Pembedaan antara Islam dan Barat sangat ditentukan oleh keberhasilan orientalisme dalam menancapkan wacana hegemoniknya pada masyarakat Barat. Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam membentuk citra Barat tentang Islam dan analitis mereka tentang masyarakat-masyarakat ketimuran atau oriental society. Dengan meminjam kerangka analisis Foucault, seperti diadopsi Said, kekuasaan dan pengetahuan ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan sebenarnya melekat dalam bahasa dan institusi yang kita gunakan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengotrol dunia. Dan Said berhasil menunjukkan bahwa sebagai sebuah wacana, dikotomi Timur/Barat yang secara sekilas tampak netral sebenarnya merupakan ekspresi dari suatu relasi kekuasaan tertentu (hal 64). Dan dengan jelas sekali orientalisme mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial masyarakat Timur.

Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner mengklaim bahwa Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan Kristen, tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. “Mengkategorikan Islam dengan Timur (oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam wacana orientalis”, kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang berharga bagi Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat Mediteranian. Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun sebenarnya tidak bisa dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan Turner? Ia melihatnya secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai kepercayaan Smitik yang berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai agama Timur. Sementara Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat (hal 66). Jadi, pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan karena wacana orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara keduanya. Dan juga disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba keterblakangan dan Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas pandangan orientalis, dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.

Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep “masyarakat sipil” selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari kontrol mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan. Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). Turner kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan persoalan Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, “despotisme Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang monarkhi Barat”, yang pendangannya “dilempar” ke dalam Islam. Entah, apa sebenarnya penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.

Beberapa Pandangan Orientalis Mengenai Islam

Dalam tulisannya, Turner membedah beberapa orientalis yang mengkaji tentang masalah Islam. Kita mengenal Marshal Hodgson melalui karya monumentalnya tiga jilid berjudul The Venture of Islam (1974). Dalam buku itu, Hodgson berusaha melampaui pendekatan-pendekatan filosofis tradisional terhadap Islam dengan memberikan perhatian penuh terhadap sejumlah daerah yang di dalamnya Islam ditentukan oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomis, dan geografis yang melingkupinya. Sebuah kajian sejarah tentang Islam yang sangat lengkap. Menurut Turner, pendekatan Turner ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam menciptakan peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani dianggap sebagai sebuah aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas di luarnya.

Hodgson membedakan antara kajian-kajian tentang Islam an sich dan kajian-kajian tentang dunia Islam (Islamdom). Ia membedakan Islam sebagai ajaran (iman) dengan Islam sebagai sebuah konteks sejarah. Bagi Hodgson, kebutuhan untuk membedakan antara keduanya cukup mendesak karena, menurutnya, siapa saja sering terjebak untuk menyamakan antara Islam sebagai agama dan sebagai budaya. Istilah “Islamdom” dapat saja diperbandingkan dengan “Christendom”. Menurut Hodgson, “Islamdom” adalah masyarakat di mana kaum muslimin dan kepercayaan yang diakuinya sebagai yang berlaku umum dan dominan secara sosial, dan menjadi sangat penting pada beberapa arti untuk membentuk kebudayaan bersama. Dalam pandangan Hodgson, kesalehan spiritual (ketaatan spiritual seseorang) adalah “cara seseorang merespon ilahi”, sedangkan agama mencangkup “percabangan yang bermacam-macam dari tradisi-tradisi yang dimaksudkan untuk mewadahi respon-respon semacam itu”. Jadi, agama adalah kulit luar yang dapat dijelaskan secara sosiologis, sedangkan kesalehan adalah bagian dalam, inti yang tak dapat dijelaskan secara sosiologis.

Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama memunculkan apa yang disebut “kekebalan” (imunitas) sosiologis bagi keimanan. Pendapat Hodgson memisahkan mana yang merupakan ruang privat (keimanan) dan mana ruang publik (agama yang membudaya dalam konteks sosial). Seperti kata Hodgson : “Pada akhirnya seluruh kepercayaan adalah hal privat…Kita terutama adalah anak manusia, dan secara sekunder saja kita kita berpartisipasi dalam tradisi ini atau tradisi itu”. Tapi, menurut Turner, penjelasan Hodgson terhadap bagaimana memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak memuaskan, karena jawabannya tidak meyakinkan (hal 135). Alasannya, karena Hodgson sendiri adalah pemeluk Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap usaha untuk memilih elemen tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap sama dan dapat diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis, atau setiap pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama karena semuanya berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap yang ilahi ditolak oleh Hodgson. Kritik minor terhadap Hodgson adalah bahwa dia tidak mengemukakan komitmennya sendiri secara tepat dan sistematik. Dia adalah penganut Kristen yang yakin dan mengikuti ajakan Quaker, tapi dalam analisis sejarah kegamaan banyak berhutang budi pada Rudolf Otto dan Mircea Eliade.

Setelah membedah Hodgson, Turner kemudian mengkaji pemikiran Von Grunebaum, seorang sejarahwan tentang dekadensi dan kemunduran Islam. Menurut Von Grunebaum, kemunduran Islam dari perwujudan kebajikan agama yang ideal diperparah dengan masalah-masalah yang ada dalam tradisi hukum sucinya yang tidak dapat dikembangkan untuk memberikan kondisi baru bagi perkembangan sosial (hal 163). Baginya, kekakuan hukum dan gap atau ruang kosong antara ideal keagamaan (secara normatif) dan praktik politik kekuasaan (secara empirik) dalam Islam, menunjukkan kegagalan teologis Islam. Islam gagal disebabkan karena konservatisme dan tidak adanya integrasi kultural. Dia memandang bahwa umat Islam hanya melakukan pengulangan sejarah, atau bisa disebut dengan “romantisme historis”, sehingga hakikat realitas Islam adalah tidak berubah.

Bagi Grunebaum, sifat terus-menerus mengulang dari sejarah Islam menunjukkan sisi lebih lanjut dari daya memiliki kultural dan imitasi sosial Islam (cultural mimicry social imitation). Islam kemudian dipandang sebagai barang pinjaman yang tak ada habisnya dari masa lalu pagan Arab, dari teologi monotheistik Yahudi-Kristen, dari logika Hellenistik, dan dari teknologi Cina. Hampir secara keseluruhan masyarakat Islam dianggap tidak kreatif dan tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan aturan-aturan komposisi puisi Arab dianggap hanya membuat pengulangan-pengulangan dan tidak adanya penemuan baru (hal 164). Ketika Grunebaum beralih kepada permasalahan-permasalahan tentang kepercayaan dan praktik peribadatan dalam Islam, dia sekali lagi menuduh bahwa Islam itu gersang, sederhana, dan secara emosional tidak memuaskan. Secara singkat, Grunebaum memberikan kepada kita sebuah tesis bahwa kegagalan Islam pada akhirnya adalah kegagalan pemikiran dan keinginan. Jika di Islam sikap kesalehan ritual diorientasikan untuk mencari kehidupan yang damai dan tenang sehingga meminimalisir kegiatan berfikir dan etos kerja, sedangkan di Barat, munculnya dunia modern ditandai dengan deklarasi tentang pikiran aktif mencari, yakni I think, therefore I am (aku berfikir maka aku ada). Filsafat Cartesian membuka jalan bagi modernisasi yang didasarkan pada nilai-nilai pencapaian dan tindakan. Fenomena modernitas juga pernah ditunjukkan oleh Weber tentang etos kapitalisme Barat yang berasal dari doktrin Protestanisme.

Turner kemudian mengkritik pendapat Grunebaum dengan dua catatan. Pertama, Turner menganggap Grunebaum mengkaji Islam dari luar dan benar-benar menganggapnya sebagai tugas akademik untuk ikut memberikan penilaian atas Islam. Pernyataannya tentang gap antara cita dan realitas dalam Islam tidak berimbang dengan yang terjadi Kristen, yang seharusnya mendapat sorotan pula. Dengan mengutip Edward Said, Turner menganggap bahwa pespektif Grunebaum penuh dengan “sikap tidak suka yang jahat terhadap Islam” (hal 169). Kedua, soal pernyatan Grunebaum tentang romantisme atau pengulangan sejarah dalam Islam. Wacana yang dikemukan dibumbui dengan keanehan literatur, di mana ia menggambungkan antara antropologi dan filologi. Ia juga melakukan pengulangan dengan mereproduksi seluruh tema mimetik orientalisme.

Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan bahwa sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi keseragaman pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Di zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya tentang orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang final, universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner mengajukan sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip dengan gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple Paradigm Science (1980) --walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun nama Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk “dibongkar” kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat yang obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan.

Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan yang suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa terjemahannya. Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner berupaya mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan amat komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa dari obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup berhasil dalam menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk “menghabisi” kerancuan-kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara tidak adil. Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah “karya agung” untuk memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan analisa-analisa baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan.

Catatan:

Disampaikan pada diskusi rutin internal IIIT Indonesia pada Hari Senin, 10 Maret 2003.

Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. iii, hal. 2-3.

Ibid, hal.2-4.

Said mengakui bahwa penggunaan wacana (discourse) dari Foucault, sebagaimana dijelaskan dalam The Archeology of Knowlodge dan dalam Discipline and Punish, berguna sekali untuk mengindentifikasi orientalisme. Kata Said : “tanpa memeriksa orientalisme sebagai suatu discourse, kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang snagat sistematis ini, dengan mana budaya Barat mampu mengatur --bahkan menciptakan-- dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan”. Ibid, hal. 4

Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta : Qalam, 2001), hal. 164-5.

Ibid, hal. 166.

Edward Said, op.cit. hal. 34-5.

Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 20.

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1996), hal. 27-8.

Ibid, hal. 24.

Samuel P. Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta : Qalam, 2000), hal. 9.

Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 1999), hal. 81.

Happy Susanto, lahir di Jakarta, 3 April 1980, tercatat sebagai mahasiswa akhir Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Islam ’45 (UNISMA) Bekasi. Pernah belajar Bahasa Arab (I’dad Lughawy) di Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta (1998-2000). Kini aktif sebagai peneliti Bidang Sosiologi pada International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, Jakarta, dan menjadi Ketua Bidang Komunikasi Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi, dan pengurus di Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Menggagas “Sosiologi Profetik”:

Sebuah Tinjauan Awal

Happy Susanto

Abstract

Prophetic sociology is academic study in sociology that tries to explore prophetic idea into observation or social research. By exploring history of prophets critically, scientific idea of prophecy included in sociological studies. Basic principle of the study is its character that is not-value-free and based on interdisciplinary sociology, as well as having multi-paradigms. Reflecting on realities those are showed by prophets, sociologist should involved in “historical activism” to create valuable social change. Three main principles of this project are: liberation, emancipation, and transcendence. The principles are being integral part of prophet process in reflecting social realities they faced. Henceforth, disenchantment of meaningful life to be explored critically through prophetic sociology

Keywords: prophetic sociology, value-free, multi-disciplines, liberation, emancipation, transcendence, activism, history, consciousness, paradigm

“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang akan terlontar dari beberapa orang ketika mendengar istilah “Sosiologi” disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah sebuah “omong kosong” manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang ilmiah, obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term yang memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan ini merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah milis (www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik), yang telah beberapa bulan ini penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo, sejarawah dan budayawan dari Yogya, lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP) yang pernah mencuat dan dilontarkannya pada tahun 1997-an.

Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9 Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya. Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.

Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas), “liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.

Konsep-konsep ISP Pak Kunto ini akan kita bahas secara mendalam pada gagasan mengenai sosiologi profetik lanjutan. Perlu dicatat, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama (khairu ummah) --mirip dengan “Negara Utama”-nya Al-Farabi (al-Madinah al-Fadhilah). Untuk mencapai tujuan itu diperlukan kerja aktif tangan-tangan manusia, atau istilahnya perlu “kesadaran aktif sejarah” umat manusia. Manusia telah diberikan kekuatan dan kemauan untuk melangkah ke arah yang lebih baik dengan kesadaran individual dan kolektifnya dalam membentuk sebuah komunitas ideal. Manusia diturunkan ke muka bumi (ukhrijat linnas) adalah demi keterlibatan aktif mereka untuk melakukan perubahan sosial dan membentuk peradaban yang menjadi miliknya.

Berangkat dari pemikiran siapakah pemikiran Pak Kunto dalam ISP ini? Beliau mengklaim bahwa asal-usul pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Geraudy. Yang ingin diambil oleh beliau dari kedua pemikir itu adalah sisi “realitas kenabian” (prophetic reality) yang telah menjadi bagian penting dalam proses kesejarahan umat manusia. Muhammad Iqbal, dengan mengutip ucapan Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam dari Ganggoh, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah memberikan “kesadaran kreatif” (creative consciousness) dalam menciptakan suatu dunia ide baru (Islam) dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sejarah. Berbeda dengan kalangan sufi umumnya yang lebih mengandung dimensi mistis, sedang kemunculan Nabi di muka bumi telah memasukkan unsur-unsur kenabian yang menancap dalam akar kehidupan duniawi. Artinya, realitas “perjuangan” Nabi lebih membumi dan masuk pada kancah zaman dan pergolakan sejarah manusia. Roger Geraudy menyatakan bawah di tengah hancurnya peradaban umat manusia di mana filsafat Barat memiliki banyak kelemahan maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada. Yang diambil adalah “filsafat kenabian” (filsafat profetika) dari Islam. Kenapa? Karena, yang menjadi pertanyaan sentral dalam filsafat Islam adalah: bagaimana wahyu (kenabian) itu mungkin? Yaitu, bagaimana keterlibatan aktif sejarah kenabian dalam proses penyampaian wahyu itu telah mampu mengubah sejarah masyarakat menjadi positif. Geraudy mengklaim bahwa bangunan filsafat itu telah dilakukan oleh para filosof Muslim sejak dari Al-Farabi sampai dengan Mulla Shadra, dengan puncaknya pada Ibn ‘Arabi.

Gagasan ISP Kuntowijoyo tersebut terlihat berangkat dari “ide”, yaitu bagaimana ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu bisa digunakan dalam melihat realitas. Tentu saja, hal ini meniadakan prinsip ilmu sosial yang bebas nilai. Ilmu sosial, dengan paradigma profetis, harus melakukan pembebasan seperti apa yang pernah dilakukan oleh para Nabi. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu menghantui kehidupan masyarakat. Mereka tetap berangkat dari substansi ajaran agama (transedensi) yang itu harus “diaktivasi” dalam realitas kesejarahan manusia. Ada tiga unsur yang menjadi bagian dari kerangka kerja ilmiah dalam memahami realitas, yaitu liberasi, emansipasi, dan transendensi. Ketiga unsur itu harus digerakkan dalam aktivisme sejarah. Tapi, gagasan mengenai sosiologi profetik yang akan dikaji dalam tulisan ini baru beranjak dari upaya mengembangkan ilmu sosiologi yang multi-disiplin, tidak menafikan adanya kepentingan “nilai” (prophetic as a value), dan berkewajiban untuk melakukan pembebasan dan perubahan sosial. Gagasan sosiologi profetik tidak cukup hanya dengan kontribusi tulisan ini saja, perlu perluasan wacana di masa mendatang.

Paradigma-paradigma Sosiologi

Secara sederhana paradigma kita artikan sebagai kacamata atau sudut pandang dalam melihat obyek sesuatu yang diamati. Istilah “paradigma” (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970). Menurutnya, paradigma adalah satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Dalam buku itu Kuhn mejelaskan tentang perubahan paradigma dalam ilmu, dan menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma. Bisa jadi, suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru yang mengikutinya.

Dalam bidang sosiologi, pandangan ini dikembangkan secara sistematis dan integrated oleh George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Boston: Allyn and Bacon, Inc, 1980). Hanya saja, dalam penjelasan di bawah ini penulis tidak memakai buku asli versi Bahasa Inggrisnya, tapi cukup menggunakan buku hasil saduran Alimandan dalam versi terjemahan yang berjudul Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Dalam buku itu, Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Tapi, dari ketiga paradigma itu Ritzer menjelaskan, seperti dikutip Mansour Fakih, bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma lain lebih disebabkan karena para pendukung dari paradigma yang menang itu lebih mengandalkan kekuatan dan penguasaan dari atas pengikut paradigma yang dikalahkan, bukan karena persoalan benar atau salah dalam struktur dan makna teori itu. Sehingga, pada ketiga paradigma itu terdapat kekurangan dan kelemahannya masing-masing.

Paradigma pertama adalah Fakta Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog “integrasi sosial” asal Perancis, melalui dua karyanya, The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada “individualisme”. Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal. Ada kemiripan pandangan Spencer dengan August Comte, “Bapak Sosiologi” dan pencetus “positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial. Keduanya sama-sama ingin menerapkan teori evolusionisme pada alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Spencer lebih memperhatikan terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat, dan tidak pada perkembangan intelektual.

Menurut paradigma ini, “Fakta sosial” menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial itu dianggap sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Ia berangkat dari realitas (segala sesuatu) yang menjadi obyek penelitian dan penyelidikan dalam studi sosiologi. Titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif (yang menjadi khas filsafat), tapi untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Dan penelitian yang dihasilkannya pun bersifat deskripstif dan hanya berupa pemaparan atas data dan realitas yang terjadi. Fakta sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social instistution).

Menurut Ritzer, teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah : Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton, yang menjadikan obyek analisa sosiologisnya adalah peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Penganut teori ini cenderung melihat pada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem lain, dan secara ekstrim beranggapan bahwa semua peristiwa atau struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Sedangkan Teori Konflik, yang tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf, sebagai kebalikan dari teori pertama, menitikberatkan pada konsep tentang kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga bisa menimbulkan konflik. Dan tugas utama dalam menganalisa konflik adalah dengan mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial, yang dikembangkan oleh Max Weber untuk menganalisa tindakan sosial (social action). Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen. Paradigma ini dimasuki oleh tiga teori, yaitu Teori Aksi (dari Weber sendiri), Teori Fenomenologis yang dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan Teori Interaksionalisme Simbolis yang tokoh populernya adalah G. H. Mead.

Paradigma yang terakhir adalah Perilaku Sosial. Paradigma ini dikembangkan oleh B. F. Skiner dengan meminjam pendekatan behaviorisme dari ilmu psikologi. Ia sangat kecewa dengan dua paradigma sebelumnya karena dinilai tidak ilmiah, dan dianggap bernuansa mistis. Menurutnya, obyek studi yang konkret-realistik itu adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavioral of man and contingencies of reinforcement). Skinner juga berusaha menghilangkan konsep volunterisme Parson dari dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi. Yang tergabung dalam paradigma ini adalah Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange.

Dari ketiga paradigma di atas, Ritzer mengusulkan sebuah paradigma integratif yang menggabungkan kesemua paradigma di atas, yang kemudian disebut dengan istilah “Multi- Paradigma” (multi-paradigm). Ritzer mengingatkan bahwa penggunaan paradigma fakta sosial akan memusatkan perhatian pada makro masyarakat, dan metode yang dipakai adalah interpiu/kuesioner dalam penelitiannya. Sedangkan dalam paradigma definisi sosial lebih memusatkan perhatiannya kepada aksi dan interaksi sosial yang “ditelorkan” melalui proses berfikir, dan metodenya menggunakan model observasi dalam penelitian sosial. Dan jika paradigmanya adalah perilaku sosial maka perhatiannya dicurahkan pada “tingkah laku dan perulangan tingkah laku”, dan metode yang dipakai lebih menyukai model eksperimen. Ritzer kemudian menawarkan suatu exemplar paradigma yang terpadu, yang kuncinya adalah “tingkatan realitas sosial”, yaitu makro-obyektif, makro-subyektif, mikro-obyektif, dan mikro-subyektif.

Berbeda dengan Ritzer, Ilyas Ba-Yunus membagi paradigma sosiologi ke dalam tiga bagian juga, yaitu: paradigma struktural-fungsional, paradigma konflik, dan interaksionisme simbolik. Paradigma pertama digagas oleh para sosiolog Eropa, yaitu Max Weber, Emile Durkheim, Vilfredo Patero, dan yang pertama kalinya Talcott Parson. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi dasar: (1) masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi mereka masing-masing, saling bergantungan, sehingga perubahan yang terjadi dalam fungsi satu substruktur, akan mempengaruhi pada substruktur lainnya, dan (2) setiap substruktur yang telah mantap akan menopang aktivitas-aktivitas atau substruktur lainnya. Teori ini dikritik karena mengabaikan peranan konflik, ketidaksepakatan, perselisihan dan evolusi dalam menganalisis masyarakat. Pendekatan ini dianggap juga mendukung status-quo (apa yang sudah ada itu adalah baik), dan orang kemudian menduga bahwa teori ini membenarkan dan memajukan struktur kapitalistis demokrasi Barat.

Paradigma kedua adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paradigma ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan masyarakat, dan (2) melihat masyarakat manusia dari sudut konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik antara kelas atas dan kelas bawah.

Ketiga paradigma di atas memang menjadi dominan dalam kajian sosiologi. Tapi, untuk mempermudah bayangan kita tentang mana pendekatan yang utama maka di sini akan dibahas analisis Habermas dalam membagi paradigma ilmu-ilmu sosial, termasuk juga kategori sosiologis. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya. Paradigma ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme, atau dekat dengan paradigma fungsional. Positivisme adalah aliran filsafat dalam ilmu sosial yang mengambil cara kerja ilmu alam dalam menguasai benda, dengan kepercayaan pada universalisme dan generalisasi. Untuk itulah, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dengan nilai (value) agar didapati suatu pemahaman yang obyektif atas realitas sosial.

Kedua, paradigma intepretatif. Dasar dalam paradigma ini adalah fenomenologi dan hermeneutik, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan pada minat yang besar untuk memahami. Semboyannya adalah “biarkan fakta berbicara atas nama dirinya sendiri”. Yang ingin dicapai hanya memahami secara sungguh-sungguh, tapi tidak sampai pada upaya untuk melakukan pembebasan. Prinsipnya tetapi bebas nilai, walaupun kelompok paradigma ini kontra dengan positivisme. Ketiga, paradigma kritik. Paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Prinsipnya sudah tidak lagi bebas nilai, dan melihat realitas sosial menurut perspektif kesejarahan (historisitas). Paradigma ini menempatkan rakyat atau manusia sebagai subyek utama yang perlu dicermati dan diperjuangkan. Positivisme telah menyebabkan determinisme dan dominasi irasional dalam masyarakat modern. Kelompok dalam paradigma ini biasanya diwakili oleh kalangan critical theory Madzhab Frankfurt.

Beberapa paradigma di atas memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Mengikuti pemikiran Ritzer yang menyatakan bahwa sosiologi itu adalah ilmu pengetahuan berparadigma ganda, maka sosiologi profetik, seperti yang pernah diklaim oleh Kuntowijoyo, menghubungkan perbedaan pada masing-masing paradigma tersebut. Paradigma yang diwakili oleh Emile Durkheim ternyata memiliki kelemahan karena fakta yang obyektif menjadi sangat rancu ketika nilai begitu dikesampingkan. Kerja penelitian sosial hanya bersifat deskriptif saja, sehingga hal demikian menimbulkan kemandulan dalam teoritisasi ilmu sosial. Pendekatan yang diwakili oleh Weber dengan verstehen-nya ternyata masih menganggap fakta dan realitas sosial hanya sesuatu yang cukup dipahami, tapi tidak perlu ada upaya kritis untuk melihat bagaimana fakta dan realitas itu memiliki sejarah yang mesti dikritisi. Paradigma kritik, penulis yakin, akan lebih bisa berkesesuaian dengan pendekatan profetika dalam kajian sosiologi karena melihat masyarakat secara kritis dan perlu adanya keterlibatan aktif sosiolog dalam proses perubahan sosial.

Dengan prinsip “multi-paradigma” itulah, sosiologi profetik berkeinginan mencari kelebihan dari masing-masing paradigma, karena tidak mungkin di tengah persoalan yang sangat kompleks ini kita hanya berlandaskan pada satu teori atau satu paradigma saja. Kelebihan yang dimiliki pada paradigma fakta sosial, yang sangat terpengaruh oleh positivisme, adalah terletak pada netralitas dan obyektivitas. Tapi, kelemahannya tidak bisa melihat pada sisi historitas obyek kajian. Untuk itulah paradigma definisi sosial, atau yang bisa kita sebut sebagai paradigma intepretatif, bisa diadopsi sebagai sebuah paradigma ilmu untuk memahami kenyataan sosial. Proses memahami itu perlu memasukkan pendekatan hermeneutik dan fenomenologi agar realitas bisa didekati secara lebih mendalam. Dan barulah kemudian kita masuk pada pendekatan kritis untuk memahami dinamika masyarakat. Dan sosiologi pun tidak berhenti hanya sekedar sebagai ilmu deskriptif, tapi juga mampu melakukan perubahan sosial secara positif. Akhirnya, kita tidak lagi hanya berpatokan pada pengetahuan yang bebas nilai, tapi nilai menjadi bagian inherent dalam pengamatan sosial. Sosiologi profetik, penulis kira, sangat dekat dengan pendekatan ilmu sosial kritis, tapi hanya saja dalam sosiologi profetik “realitas kenabian” sebagai kerangka kerja ilmiah dipakai untuk memahami masyatakat. Sosiologi profetik juga tidak mengabaikan pentingnya analisis kultural yang menjadi bagian penting dalam realitas sosial.

Menggugurkan Prinsip “Bebas-Nilai”

Hampir mayoritas sosiolog akan berpendapat bahwa ilmu sosiologi menggunakan prinsip “value free” (bebas nilai) demi menjaga obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu atau teori. Unsur nilai yang memasukkan asumsi subyektivitas ke dalam kajian sosiologi akan menyebabkan ketidakobyektifan sebuah gagasan. Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksteral di luar struktur obyektif sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).

Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, kita sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Menurut Ignas Kleden, dalam pengertian pengetahuan yang praktis ini terkandung dua makna, yaitu persoalan nilai dan kepentingan yang akan menimbulkan perdebatan dan pernyataan apakah pengetahuan itu bebas nilai dan tanpa adanya kepentingan.

Kalau dalam makna pengetahuan yang bebas nilai, sosiologi itu sekedar menjadi ilmu yang mendeskripsikan kenyataan obyektif, dan berputar pada persoalan teoritis. Tidak ada campur tangan seorang peneliti dalam kajian dan pengamatannya. Di sinilah kemudian ada cap yang teralamatkan pada pengetahuan dengan makna demikian sebagai pengetahuan yang tidak perlu memecahkan masalah karena jika sudah seperti itu maka persoalan nilai dan kepentingan pasti akan masuk. Menurut Ilyas Ba-Yunus, jika kita teliti sumbangan-sumbangan para pelopor sosiologi modern yang kini dianggap klasik, ternyata terlihat bagaimana mereka melakukan penilaian-penilaian tentang fenomena-fenomena yang dikajinya walaupun dengan klaim tetap berprinsip netralitas nilai. Ia menunjuk Weber ketika menyebut kapitalisme yang terorganisasi secara birokratis itu ternyata dilengkapi dengan semacam kepentingan (self-importance), Durkheim yang menjelaskan bunuh diri dari sudut kejahatan juga berusaha untuk mencari pemecahannya, dan Agust Comte yang sangat dikenal sebagai pelopor positivisme dalam sosiologi mengklaim bahwa ilmu yang digagasnya itu dapat memecahkan masalah. Jadi, tidak bisa semata-mata itu bebas nilai, pasti ada campur tangan nilai dan kepentingan ke mana arah manfaat dan tujuan sebuah ilmu. Atau ilmu itu tidak semata-mata teoritik, tapi juga terkandung kegunaan praktisnya. Dalam hal ini sosiologi profetik tidak hanya terpaku pada ilmu teoritik saja, tapi juga bersifat praktis.

Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan: ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis. Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang dilakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi.

Lalu, Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan. Pertama, pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah amalam spesies manusia. Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan. Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. Dan yang kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Dengan kelima tesis ini Habermas menghujamkan kritikannya terhadap positivisme dan sainstisme. Artinya, ia mengkritik kenaifan ilmu pengetahuan yang bernafsu mencari teori murni yang bebas dari opini-opini subyektif, tendensi-tendensi, penilaian moral, dan kepentingan lainnya.

Prinsip bebas nilai dalam ilmu pengetahuan itu menafikan adanya “historisisme” yang sangat menentukan bagaimana konstruksi atas pengetahuan itu. Jika dilihat menurut kacamata sosiologi pengetahuan maka sesunggunya ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sangat terkait dengan konteks historis kemunculannya. Max Scheler dan Karl Mannheim, dari aliran sosiologi pengetahuan, menentang ide mengenai ilmu-ilmu sosial yang bebas nilai. Keduanya menyatakan bahwa pikiran, bahkan pikiran logis para ilmuan sekalipun, dibentuk secara historis dan itu, baik disadari atau tidak, sedang merefleksikan kebudayaan mereka sendiri dan perspektif sosial yang mereka adopsi. Seorang ilmuan memang harus mengatasi prasangka-prasangka mereka dengan memperbaiki kadar kualitas pembacaan mereka atas realitas, dengan berpangkal pada obyektivitas, tapi pada saat yang sama mereka harus mengklarifikasi asumsi-asumsi yang mendasar, memahami lokasi-lokasi sosial mereka sendiri dalam masyarakat, dan juga secara kritis mempertanyaan cita-cita sosial yang ada di masyarakat. Jadi, konstruksi berpikir seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, yang itu kemudian menuntut dirinya mampu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ideal pengetahuan obyektif Abad Pencerahan “membasmi” semua pra-pendapat subyektif untuk membentuk suatu pendekatan yang “netral” dan “obyektif”. Hal ini dimaksudkan agar terbebas dari bias-bias emosional, afektif, dan pribadi, dengan mengunggulkan akal dan metodologi yang logis sebagai jalan menuju pencerahan. Pengetahuan yang dihasilkan seperti ini adalah akibat historis yang terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural dengan bangkitnya pemikiran Abad Pencerahan. Berkebalikan dari nuansa abad itu, Gadamer menegaskan kembali pentingnya tradisi dan prasangka dalam memahami segala sesuatu. Seorang ilmuan tidak bisa terlepas dari batas-batas tradisinya. Tradisi sangat terkait dengan prasangka yang melatarbelakangi penafsiran kita atas realitas. Pentingnya tradisi dan prasangka ini menjadi upaya yang dilakukan oleh Gadamer dalam hermeneutikanya. Memahami (understanding) terkondisikan oleh masa lalu (“tradisi” kita) dan prasangka kita pada saat sekarang. Yang ingin ditekankan oleh Gadamer adalah pentingnya tradisi sebagai sebuah faktor yang mengkondisikan dan menjaid batas yang jelas dalam cara-cara di mana orang menafsirkan teks. Dalam proses menafsirkan itu, menurut Gadamer, pasti melibatkan proyeksi nilai, kepentingan, dan agenda seseorang ke dalam teks. Dalam perspektif Gadamerian, “kebenaran” itu tidak pernah final, definitif atau obyektif, karena terkondisikan historisnya. Kata Gadamer, orang tidak dapat memahami sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Konsep penafsiran obyektif dan bebas nilai menjadi problematis untuk diterapkan secara pasti. Maka, ketika kita memahami teks maupun juga realitas, yang terjadi justru “relativisme”, bukan universalisme dan absolutisme kebenaran. Apa yang ingin diraih dalam netralitas nilai untuk mencapai obyektivitas dan keilmiahan sebuah ilmu menjadi absurd.

Ada sebuah tafsiran mengenai nilai yang dilihat menurut kaca mata sosiologi. Kita mungkin pernah mendengar pernyataan Max Weber, salah satu tokoh yang mengembangkan sosiologi, yang sampai pada kesimpulan bahwa sosiologi harus bersifat bebas-nilai. Memang, tafsiran Weber mengenai rasionalitas ada yang berorientasi pada nilai. Tapi, nilai apa yang dimaksud di sini? Seorang pengikut Weberian, Peter L. Berger, menyatakan bahwa hampir tidak mungkin bagi seseorang manusia berada tanpa suatu nilai apapun. Ia mengakui bahwa seorang ahli sosiologi secara normal memang mempunyai banyak nilai, tapi dalam batas-batas kegiatannya sebagai seorang ahli sosiologi hanya ada satu nilai fundamental, yaitu integritas ilmiah. Jadi, nilai yang dimaksud adalah integritas seorang sosiolog dalam mencapai pengetahuan yang obyektif. Seorang sosiolog dengan berbagai macam praduga dan subyektivitas yang mungkin muncul pada dirinya, maka dia harus mampu mencoba memahami dan mengendalikan kemencengan yang harus dihapuskan dalam karya-karyanya.

Apakah dengan pernyataan Weber yang mengambil kesimpulan bahwa sosiologi itu harus bebas nilai menafikan adanya historisitas sebuah kebenaran obyektif? Rasionalitas yang dibangun Weber ternyata secara konsisten bersifat historis, yaitu menempatkan diri di dalam makna suatu zaman di mana ilmu pengetahuan tidak mampu lagi menciptakan makna karena agama dan pengetahuan telah diceraikan. Di tengah memudarnya pesona modernitas dengan nihilisme makna, Weber masih berkeyakinan bahwa Tuhan dan nilai-nilai pemandu bisa untuk dipilih. Tuhan tidak mati, dan justru pengetahuan tidak bisa lagi menciptakan nilai-nilai mengenai diri kita sendiri. Maksud dari teori sosial Weber yang bersifat historis adalah karena pengetahuan yang dihasilkan dari modernitas --salah satu sisi historis peradaban pada Abda Pencerahan-- itu memiliki kekaburan makna maka kita kini sebaiknya menciptakan makna-makna baru dengan tidak menafikan peran nilai dan Tuhan (agama) sebagai pemandu.

Menuju “Sosiologi Profetik”

Keilmuan sosiologi sampai hari ini masih didominasi oleh pendekatan fungsionalisme. Sejak Perang Dunia (PD) II, di mana Amerika muncul sebagai pemenang, maka “sistem Amerika” yang menggunakan pendekatan fungsionalisme menjadi dominan. Pendekatan ini dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang akademis, obyektif, dan empiris. Fungsionalisme sangat menekankan sistem, keseimbangan, adaptasi, maintance, dan latency. Talcott Parson, pendiri aliran ini, yakin bahwa metodologi yang paling memadai adalah metodologi “fungsionalisme struktural”. Menurutnya gagasan mengenai “fungsi” berguna agar kita terus dapat mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Sistem ini dipakai oleh kaum borjuis yang merupakan status quo, karena tidak mau menerima perubahan melalui jalan konflik atau pertentangan. Menurut Ritzer, Kalau terjadi konflik, maka penganut teori ini memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Sehingga perubahan yang terjadi dalam masyarakat berjalan secara evolusionis, perlahan-lahan.

Paradigma fungsionalisme kemudian dikritik oleh banyak kalangan. Salah satunya datang dari gerakan intelektual The New Left, yang banyak dipengaruhi oleh Critical Theory Madhab Frankfurt. Menurut kelompok ini, sosiologi akademis yang telah terjerat oleh pendekatan fungsionalis hanya mengerjakan tugas yang rutin saja. Apa yang dilakukan selama ini hanya menjadikan sosiologi menjadi sebuah ilmu yang abstrak dan murni, tapi punya pengaruh untuk melakukan perubahan di masyarakat.

Michael Root dalam Philoshopy of Social Science (1993), membedakan dua jenis ilmu sosial, yaitu yang liberal dan yang perpeksionis. Ilmu sosial yang liberal mengusung cita-cita untuk memperoleh data yang bebas dari muatan nilai, moral, dan kebajikan obyek penelitiannya. Sedangkan ilmu sosial yang perpeksionis berusaha menjadi wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, ilmu yang partisan. Pembedaan dua jenis ilmu sosial itu mirip dengan pembagian antara ilmu yang teoritis dan yang praktis.

Salah satu model dari ilmu sosial yang partisan ini adalah sosiologi yang humanistik. Pondasi sosiologi yang humanistik dibangun berlandaskan “refleksi diri” (self reflection) dan “daya aktivitas” (activism). Pondasi sosiologi yang humanistik adalah sosiologi yang refleksif. Alvin W. Gouldner adalah sosiolog yang menggagas Reflextive Sociology dalam bukunya, The Coming Crisis of Wertern Sociology (1970). Ia menyatakan bahwa sosiologi refleksif sangat konsern dengan apa yang ingin dilakukan oleh sosiolog, yang secara faktual dilakukan di dunia (what sociologis want to do and with what, in fact, they actually do in the world). Sosiologi refleksif adalah pengkajian diri secara kritis melalui proses empati sehingga nilai-nilai ideologis serta pelaksanaan real akan selaras dengan kebudayaan di mana dia hidup. Maka, seorang sosiolog harus menyadari bias-bias pribadinya dan kulturalnya sehingga lebih dapat menyadari tujuan sosiologi yang bebas.

Robert Friedrichs (1970) mengembangkan ide-ide Thomas Khun ke dalam sosiologi secara sistematis, dengan mempresentasikan dua image berbeda dari status paradigma dalam sosiologi, yang sama-sama menyatakan sebagai ilmu yang berparadigma lebih dari satu (a multiple paradigm science). Image pertama adalah image sosiolog tentang diri mereka sebagai agen keilmuan (self-image of the sociologist), yang meliputi dua paradigma, yaitu : paradigma yang bersifat seperti Nabi (prophetic paradigm) dan paradigma yang bersifat seperti pendeta (priestly paradigm). Yang pertama sosiolog itu sebagai agen perubahan sosial, sedangkan yang kedua memandang sosiolog sebagai ilmuan bebas nilai. Image kedua berlandaskan pada image dari pokok persoalan (subject matter), yang membedakan antara paradigma sistem dan paradigma konflik. Yang pertama menekankan keseimbangan dan intergrasi sosial, sedangkan yang kedua menekankan pada disintegrasi dan adanya paksaan.

Sosiologi profetik melandaskan dirinya pada prinsip untuk melakukan perubahan sosial yang berangkat nilai profetika dengan kerangka pemikiran sosiologi yang multi paradigmatik. Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiologi profetik itu hampir mirip dengan sosiologi humanis ataupun sosiologi kritis yang merefleksikan secara kritis terhadap masyarakat dengan ragam bentuk struktur dan kultur sosialnya. Dengan tetap berpijak pada realitas yang otonom maka seorang peneliti harus mengkritisi apa yang merupakan bagian dari stuktur realitas tersebut. Maka, penelitian yang harus dikembangkan dalam sosiologi profetik adalah model penelitian partisipatif, yang masuk secara langsung dan melebur bersama dengan obyek kajian. Ya, seperti halnya para Nabi yang masuk secara langsung ke dalam masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Ketika data diperoleh maka analisis yang dilakukan perlu melibatkan pendekatan pemahaman (intepretatif) untuk membaca realitas secara obyektif dan kritis, baik dari hermeneutika, verstehen, maupun kajian secara fenomenologis.

Di tengah pesona modernitas yang mengalami nihilisme makna kehidupan, sudah saatnya sosiologi profetik mengembangkan kerangka kerja ilmiah untuk melanjutkan usaha-usaha yang dilakukan para Nabi. Sosiologi profetik hanyalah salah satu model sosiologi alternatif, yang tidak mengenal kata akhir proses pencarian dalam upaya memahami masyarakat dengan baik. Seperti kata Pak Kunto, hanya dengan keberanian akademik kita maju melangkah ke depan. Yang akan kita usung adalah “kesadaran aktif sejarah” untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang adil dan manusiawi, dengan berangkat dari tiga unsur pembentuk kesadaran, yaitu emansipasi, liberasi, dan transedensi. Tugas yang sangat berat adalah bagaimana mengembangkan kemampuan daya pikir ilmiah dan kritis dalam memahami realitas yang dihubungkan dengan spirit keagamaan dan kenabian. Dan itu menjadi agenda penting dalam gagasan ini selanjutnya. Wallahu A’lam Bish-Shawab.

Catatan:

Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Goenawan Muhammad dkk, (Tintamas: Djakarta, 1966), hal. 123.

Roger Geraudy, Janji-janji Islam, terj. HM. Rasyidi, (Bulan Bintang: Jakarta, 1984), cet. II, hal. 109-34.

Lihat Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), Edisi Revisi, hal. 20.

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi, Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1986), Jilid 1, hal. 171-2.

George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Alimandan, (Jakarta: Jakarta, 1985), hal. 15-42.

Lihat Ibid, hal. 24-35. Saya kira kurang tepat jika Ritzer menempatkan Teori Konflik ke dalam Paradigma Fakta Sosial yang disandingkan dengan Fungsionalisme Struktural, karena Karl Marx, sebagai salah satu penggagas teori ini lebih menekankan pada paradigma “aksi sosial-kritis”. Dan pada buku itu, Ritzer tidak membahas tentang pemikiran Karl Marx secara utuh tersendiri --kecuali dalam buku teori sosiologinya--, dan juga tidak ditaruh pada paradigma yang mana sehingga terkesan kurang jelas.

Ibid, hal. 44.

Apa yang dilakukan melalui kerangka verstehen ini? Yaitu melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna subyektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya (put one's self imaginatively in the place of the actor and thus sympathetically to participate in his experience). Tapi, yang diminta adalah “empati”, yaitu kemampuan untuk menempati diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Lihat Max Weber, Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free Press, 1963), hal. 90.

Ibid, hal. 151-2.

Ibid, hal. 157-9.

Ilyas Ba-Yunus, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, (Jakarta: Mizan, 1988), hal. 20-27.

Dikutip oleh Mansour Faqih, op. cit., hal. 23-29.

Joseph MMT Situmorang, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-nilai”, dalam Majalah Driyarkara, Tahun XXII, No.4, hal. 13.

Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1988), cet.II, hal.24-25.

Ilyas Ba-Ynus, op.cit, hal. 37.

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 8-10.

Ibid, hal. 11-14.

Gregory Baum, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme, terj. A. Murtajib Chaeri dan Masyhuri Arow, (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Sisiphus, 1999), hal. 23-24.

Lihat Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001) hlm. 137-144.

Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Seabury Press, 1975), hal. 15.

Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tindakan rasional (menurut Weber) menurut pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Weber membagi rasionalitas tindakan ini ke dalam empat macam, yaitu: rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Rasionalitas instrumental sangat menekankan tujuan tindakan dan alat yang dipergunakan dengan adanya pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam melakukan tindakan sosial. Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yangs sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau nilai akhir baginya. Lihat Paul Johnson, op.cit., hal. 220-1.

Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hal. 11.

Peter Beilharz, Teori-teori Sosial, terj. Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 370.

Max Weber, From Max weber, peny. H.H. Gerth dan C.W. Mills, (London: Routledge, 1948), hal. 155.

HA. Cubbin, “Talcott Parsons”, dalam Peter Beilharz, op.cit., hal. 294-5.

George Ritzer, op.cit, hal. 25.

Dikutip oleh Pak Kunto dalam tulisannya mengenai ISP.

Lihat Julia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCSS, 2002), hal. 43-46.

George Ritzer, Modern Sociological Theory, (USA: McGraw-Hill Companies Inc., 1996). Hal 500-1.

Happy Susanto, lahir di Jakarta, 3 April 1980, tercatat sebagai mahasiswa akhir Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Islam ’45 (UNISMA) Bekasi. Pernah belajar Bahasa Arab (I’dad Lughawy) di Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta (1998-2000). Kini aktif sebagai peneliti Bidang Sosiologi pada International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, Jakarta, dan menjadi Ketua Bidang Komunikasi Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi, dan pengurus di Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Wawancara

Ngatawi Al-Zastrow:

Nabi Muhammad Paham Sosiologi Umat

02/07/2007

Kita kadang lupa bahwa agama ini diturunkan kepada umat manusia. Kadang kita terbalik memahaminya: manusia yang disuruh mengabdi untuk agama. Di sinilah pentingnya memahami sosiologi agama; supaya kita bisa memilah-milah mana yang merupakan dogma dan doktrin agama dan mana yang merupakan konteks dari konstruksi sosial umat beragama.




Perspektif sosiologis sangat perlu untuk memahami masyarakat Indonesia yang masih menganggap pentingnya peran dan kedudukan agama. Namun ironisnya, pendekatan ini masih belum banyak berkembang di kalangan agamawan. Apa sebab dan akibatnya? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ngatawi al-Azstrow, peneliti di Institute for Indonesian Sociology Universitas Indonesia, di Kantar Berita Radio 68 H Jakarta, 15 Juni lalu.

Bung Zastrow, bagaimana Anda melihat perkembangan sosiologi agama di Indonesia?

Saya melihat belum adanya perkembangan yang berarti. Itu karena dua hal utama. Pertama, orang masih menyamakan antara fakta atau fenomena sosial dengan ajaran normatif agama. Karena itu, ketika melakukan kritik atas suatu fenomena sosial-keagamaan, kita dianggap melecehkan dan mendekonstruksi suatu agama. Padahal, dalam sosiologi agama, kita hanya melihat kelompok agama sebagai fenomena sosial. Nah, ketika kelompok agama itu melakukan suatu tindakan, lalu tindakan itu kita kritisi, kita sudah dianggap melecehkan agama. Ini adalah salah satu hambatan.

Kedua, ketika melakukan kritik atas suatu pemikiran sosial yang berlabelkan agama, kita juga dianggap merusak agama. Contohnya, ketika mengkritik ketidakadilan gender dalam komunitas suatu agama. Padahal, isu gender merupakan fenomena sosial yang terkait atau tidak terkait dengan persoalan agama. Intinya, masyarakat kita belum bisa memilah mana dogma agama dan mana fakta sosial. Semuanya diagamakan. Inilah yang menjadi kendala dalam mengembangkan kajian sosiologi agama.

Apa pentingnya sosiologi agama bagi masyarakat Indonesia?

Saya belum tahu persis. Menurut saya, ini sesuatu yang sangat penting. Karena ada banyak perkembangan sosial-keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua itu butuh kajian yang lebih sosiologis. Misalnya ketika saya melakukan penelitian di daerah Gamping, Jogjakarta. Konon, di sana sedang gencar-gencarnya kampanye ijo royo-royo oleh ICMI. Semua orang berasumsi bahwa gejala ini adalah tanda kebangkitan Islam. Lalu saya bertanya kepada salah seorang responden saya: apa kesan Anda terhadap gejala ini?

Dia bilang, saya tambah bingung, mas! ”Kenapa,” tanya saya. “Dulu, sebelum ada kebangkitan-kebangkitan ini, kita bebas-bebas saja. Kalau ada kematian, ya, kita melayat. Ada lahiran atau ngantenan, ya kita datang. Tapi setelah ada istilah kebangkitan agama ini, kita malah dipisah-pisahkan.” Jadi, mulai ada pemilah-milahan dan pengotak-ngotakan sosial dengan label-label agama. Nah, ungkapan itu saya lihat sebagai hal yang menarik.

Dari sini saya menganggap pentingnya menyadarkan orang-orang bahwa ada hal-hal yang sifatnya sosiologis dari ritual agama sekalipun. Soal datang ke kematian, kawinan atau lahiran, itu kan soal interaksi sosial biasa. Kenapa harus diagama-agamakan? Padahal, agama juga mempersilahkan orang untuk ber-muasyarah (bergaul) dengan baik, tanpa mempedulikan dengan siapa. Dengan adanya perbedaan kelompok dan suku ini, Islam misalnya justru menganjurkan agar kita bergaul dengan baik dan berupaya untuk saling mengenal. Dari sinilah tampak pentingnya upaya membedakan antara dogma agama dan persoalan sosial.

Kadang terjadi gap antara pergaulan sosial yang wajar antarkomunitas agama dengan doktrin-doktrin resmi sebuah agama. Misalnya soal ucapan selamat hari besar untuk umat beragama lain. Bagaimana sosiologi agama menanggulangi ketegangan semacam itu?

Lembaga agama resmi seperti MUI mestinya juga memahami agama dari konteks sosiologisnya. Jangan semua hal didogmakan. Secara sosiologis, mana ada sih orang Islam yang gara-gara mengucap Natal, misalnya, lalu jadi Kristen atau murtad. Di lingkungan NU, soal seperti ini pun kadang jadi repot. Itu karena kurang memperhatikan perspektif sosiologis dalam memahami masyarakat. Perspektifnya selalu normatif, dogmatis, dan tekstualis. Yang mengaku tekstualis ini pun terkadang tidak komplit menelaah teks-teks agama.

Misalnya, soal mengucapkan selamat natal itu. Dalam Islam, nabi Isa termasuk salah satu rasul yang harus kita hormati. Dan di dalam Alquran pun ada teks yang mengunkapkan selamat atas kelahiran, kematian, dan kebangkitan kembali nabi Isa. Kalau Anda konsisten mengikuti Alquran, itu kan boleh-boleh saja. Toh kita mengucapkan itu sekadar untuk mengikuti tuntutan sosial agar kita tetap baik dan srawung dengan sesama. Kan tidak ada salahnya. Faktanya, kita tidak menjadi Kristen atau kafir hanya dengan mengucap selamat natal.

Ada fatwa lain yang Anda anggap tidak peka terhadap sosiologi masyarakat?

Contoh lain adalah fatwa pluralisme itu haram. Dalam soal ini, saya pernah mengeceknya langsung ke KH Ma’ruf Amin. “Pak kiai, mengapa Anda memfatwakan pluralisme itu haram?” Dia jawab: “Lho, pluralisme itu kan mengatakan bahwa semua agama sama. Lalu bagaimana dengan Islam?!” ”Kalau pemahaman Anda tentang pluralisme seperti itu, ya benar saja kalau itu haram. Tapi, pemahaman pluralisme itu bukan seperti itu, Pak Kiai,” kata saya.

Secara sosiologis, pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang dimaksud, namanya sudah menyalahi kodrat. Begitulah kata saya.

Nah, menurut saya, MUI memberi fatwa berdasarkan asumsi dan imajinasi sendiri yang salah. Jadi tashawur -nya sudah tidak benar. Tapi apa jawaban KH Ma’ruf Amin? “Ya, sudahlah. Nanti kan ada orang seperti sampeyan yang menjelaskan!” Rupanya, dia tidak berpikir bahwa fatwa itu punya dampak sosiologis yang luar biasa. Kadang saya berpikir, tampaknya ada kesenjangan antara fakta sosial di masyarakat yang ingin menjadikan agama sebagai faktor harmoni dengan pandangan elit agama yang justru ingin menjadikan agama sebagai faktor pengkotakan. Sepertinya itu dua paradigma yang berbeda.

Jadi, sosiologi agama juga membuat kita peka terhadap dampak doktrin agama terhadap pola hubungan sosial di masyarakat, ya?

Ya. Bukan hanya itu, tapi juga membuat kita bisa mendudukkan agama pas pada konteksnya. Kita kadang lupa bahwa agama ini diturunkan kepada umat manusia. Kadang kita terbalik memahaminya: manusia yang disuruh mengabdi untuk agama. Di sinilah pentingnya memahami sosiologi agama; supaya kita bisa memilah-milah mana yang merupakan dogma dan doktrin agama dan mana yang merupakan konteks dari konstruksi sosial umat beragama.

Mungkin dari kalangan agamawan ada keberatan untuk menggunakan pendekatan sosiologis dalam memahami kehidupan masyarakat. Sosiologi kan diharapkan bebas-nilai dan empu-empunya pun terdiri dari orang Barat seperti Weber, Marx, dan Durkheim. Komentar Anda?

Anggapan seperti ini harus kita luruskan. Yang dimaksud pendekatan sosiologis itu bukan berarti mempelajari agama dari perspektif sosiologi semata. Sosiologi agama sebetulnya mengajak kita mempelajari sosiologi komunitas masyarakat beragama; bagaimana mereka mengonstruksi agama, atau sebaliknya, dan bagaimana agama mengonstruksi masyarakat. Dan pendekatan sosiologi pun hanya sekedar alat. Kalau fungsinya sebagai alat, apa saja bisa dipakai. Kalau ada anggapan bahwa dengan sosiologi agama akan rusak, itu menurut saya anggapan orang-orang yang cengeng saja.

Kini ada beberapa buku yang melakukan studi agama dengan pendekatan sosiologis. Misalnya buku Islam Sasak, Islam Pesisir, Islam Wetu Telu, dan lain sebagainya. Yang membuat agamawan dogmatis keberatan adalah tidak adanya penghakiman teologis terhadap aliran-aliran tersebut. Tanggapan Anda?

Ini seperti yang saya bilang tadi: karena kecengengan kaum agamawan sendiri. Mereka khawatir dogma agama akan rusak. Lho, memangnya kenapa sih? Agama ini kan rahmatan lil `alamin. Soal apakah itu benar atau salah, ya, serahkan saja pada Tuhan nantinya. Yang berhak menghakimi benar-salah itu kan hanya Allah. Kalau urusan muasyarah dalam soal-soal duniawi, kan sudah ada sabda Nabi: “antum a`lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia kalian).

Sederhananya, permisalan agama itu seperti kelapa. Kelapa hanya bisa dimanfaatkan secara optimal tergantung pada kreativitas orang. Agama pun juga begitu. Kalau agama dipahami secara global, ya tidak ada manfaatnya. Seperti buah kelapa, kalau dipahami gelondongan, ya tidak ada manfaatnya. Fungsi buah kelapa itu tergantung kreativitas kita. Kalau butuhnya mau bikin sapu, ya cukup lidinya saja. Kalau pengen menghilangkan haus, ya ambil air degan-nya.

Apa fungsi agama secara sosiologis menurut Anda?

Ya, mestinya agama itu ngemong rakyatnya. Pengertian ngemong di situ harus disesuaikan dengan al-mashlahah al-`âmmah (kemaslahatan umum). Kadang-kadang masyarakat antaragama rukun dan baik-baik saja. Tapi kemudian, atas nama rakyat tertentu, agama justru menjadi palu godam ideologi. Dulu jagong bayen di rumah tetangga Kristen itu dianggap hal lumrah saja oleh orang Islam. Tapi sekarang tiba-tiba dianggap tabu.

Kebangkitan macam apa yang diinginkan dari agama ini?

Saya mengamati adanya perbedaan perkembangan sosial-keagamaan di dalam masyarakat Islam. Dulu, para ulama kita pergi ke Timur Tengah. Lalu setelah pulang, mereka bukan mengislamkan Indonesia, tapi ingin mengindonesiakan Islam. Karena itu, seluruh perangkat kultural yang sudah kita punya tidak mereka rusak. Instrumen itu malah mereka jadikan alat untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang damai. Ketika ada tuntutan agar dasar negara ini dilandaskan pada Islam dan menggunakan syariat Islam, mereka justru menolak. Pernyataan Mbah Hasyim Asyari waktu itu sudah sangat jelas: Anda mau minyak babi cap unta atau minyak unta cap babi?

Apakah soal spiritualitas suatu masyarakat juga masuk ruang lingkup kajian sosiologi agama?

Saya pikir, ya. Sebab, spiritualitas seseorang itu ikut berpengaruh dalam membangun pola hubungan sosial di dalam masyarakat. Spiritualitas orang yang fundamentalis dan formalis dalam beragama, mungkin berbeda hasilnya di masyarakat dengan spiritualitas orang-orang kayak kita ini. Jadi, yang dikaji dalam sosiologi agama adalah: bagaimana orang membentuk suatu konstruksi sosial di dalam masyarakatnya, dan bagaimana interaksi antara pemahaman keagamaannya dengan realitas yang ada.

Bagi saya, Nabi Muhammad itu adalah tokoh yang paling sosiologis dalam memahami masyarakatnya. Ketika beliau berdakwah untuk kebajiakan tapi justru dilempari, malaikat Jibril malah menawarkan diri untuk membalas orang-orang yang melemparinya. Tapi apa kata nabi? “Biarkan saja, karena mereka belum mengerti.” Artinya apa? Itu berarti Nabi memahami bahwa konteks sosial masyarakat ketika itu, ya seperti itu. Jangan dipaksakan. Padahal kalau Nabi mau membalas, masyarakat saat itu bisa habis. Tapi Nabi memahami perkembangan masyarakat baru sebatas itu. Pelan-pelan mereka harus diajari pelan-pelan.

Mengapa sesuatu yang tertulis dalam kitab suci tidak dianggap hal yang paling menentukan perkembangan masyarakat dalam kajian sosiologi agama?

Karena tidak semua orang punya kesempatan untuk mempelajari kitab-kitab itu. Dan lebih dari itu, ketika teks-teks suci itu dibaca dan dipelajari, ia juga masih tergantung pada pemahaman dan imajinasi seseorang terhadap teks. Bisa saja orang menganjurkan suatu masyarakat untuk kembali ke kitab suci. Oke, kita setuju, dan memang itulah pegangan kita. Tapi dalam suatu teks suci, terutama dalam Alquran, juga diterangkan ayat-ayat yang bersifat kauniyyah.

Misalnya anjuran untuk merenungkan pergantian siang dan malam, serta penciptaan langit dan bumi yang merupakan tanda kekuasaan Allah. Jadi, selain ada ayat-ayat yang sifatnya qauliyyah (terucap dalam kata, Red) dalam hidup masyarakat, ada juga ayat-ayat yang sifatnya kauniyyah (terhampar di alam, Red). Dan Alquran menganjurkan agar kita senantiasa mendialogkan antara yang qauliyyah dengan kauniyyah itu.

Kalau kita hanya membaca yang tekstual saja dari kitab suci, bagaimana kita bisa menerjemahkan ayat-ayat kauniyyah supaya tepat dan sesuai dengan kenyataan sosiologis dalam suatu masyarakat?! Wong Alquran sendiri mengajarkan kita untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyyah! Jadi, lingkup sosiologi itu masuk juga dalam ayat-ayat kauniyyah ini.

Menurut Anda, kapan agama menjadi faktor harmoni dan kapan ia menjadi faktor disharmoni?

Kalau dipahami secara substansial, agama bisa menjadi faktor harmoni antar sesama masyarakat yang berlainan agama sekalipun. Usulan untuk membaca Alquran secara komplit bagi orang Islam itu benar. Misalnya, ayat “Innaddîna `indalLâhil Islâm”. Itu harus ditanamkan betul bagi umat Islam. Tapi ingat, Allah juga menciptakan agama lain seperti kekristenan. Itu kan juga ciptaan Allah. Apakah kalau kita bergaul akrab dengan orang Kristen itu dianggap ikut melecehkan Islam? Ya tidak, dong!

Jadi, setiap ayat itu pasti punya konteks yang disebut asbâbun nuzûl (sebab-sebab turunnya). Dan inilah yang perlu dijadikan referensi untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sebetulnya, perlunya kita belajar sosiologi agama, ya, di sini ini: supaya kita tahu konteksnya ayat. Ketika ayat mengatakan bahwa kita ini umat yang satu atau ummatan wâhidah, maka kita perlu bertanya: yang dimaksud satu itu apa? Ketika ayat ”bagiku agamaku dan bagimu agamamu” diterapkan di dalam masyarakat, kita akan tahu hasilnya; apaklah agama dijadikan faktor harmoni atau justru disharmoni.

Bagaimana sosiologi agama memahami agama yang dianggap sempalan?

Pertama, ahli sosiologi agama itu memperlakukan semua agama sebagai obyek kajian yang setara. Dia tidak memvonis mana yang benar dan mana yang salah. Tapi dia melihat fakta sosial tentang bagaimana interaksi antara agama, baik sebagai dogma maupun keyakinan suatu masyarakat yang mempercayainya. Nah, dalam soal ini, tanyalah ahlinya! Di Islam juga sudah banyak ahlinya, seperti Ibnu Batutah, Ibn Khaldun, dan lain-lain. Agama mereka pahami sebagai sesuatu yang tidak bisa hidup tanpa adanya interaksi dengan manusia. Sebab, agama itu kan suatu keyakinan yang abstrak. Dia hidup kalau ada dalam realitas sosialnya. Inilah wilayah yang dipelajari oleh sosiologi agama. [Novriantoni]

ISLAM LIBERAL Prospek dan Tantangannya

(dari brosur agama Paramadina)

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"

Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.

Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.

Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.

Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!

Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.

Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.

Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.





Subject: [hikmah] Islam Liberal
Date: Fri, 22 Dec 2000 04:43:50 +0700
From: Mohamad Zaki Hussein 
Reply-To: hikmah@isnet.org

Stabilitas Politik dan Syariat Islam

Zuly Qodir

Survei terbaru Lembaga Survei Indonesia atau LSI Oktober 2006 menyebutkan bahwa dari 1.092 informan yang diwawancarai mengatakan, 80 persen umat Islam Indonesia menganggap bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam. Demokrasi sudah searah dengan Islam, dan demokrasi senapas dengan Pancasila. Hanya 5 persen yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam.

Sementara itu, dukungan terhadap organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti terhadap Majelis Mujahidin Indonesia yang pro syariat Islam 16,1 persen, dan 17,4 persen mendukung Jemaah Islamiyah.

Kecenderungan meningkat atau menurunnya dukungan untuk pemberlakuan syariat Islam di Indonesia tentu memerlukan penelitian yang lebih luas, lebih sahih, dan lebih dapat diandalkan. Semuanya perlu dibaca dalam kacamata sosiologi politik umat Islam Indonesia mutakhir.

Masih belum stabil

Data survei LSI di atas dapat kita jadikan semacam patokan untuk mengukur bagaimana sebenarnya respons umat Islam atas maraknya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia yang dimulai dari bermunculannya perda-perda bernuansa syariat Islam, seperti Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras, Perda Pelacuran, Perda Jilbab, dan seterusnya. Di DIY saja ada usulan perlunya sebuah Perda Jilbab bagi wanita pegawai pemerintahan dan pelajar-mahasiswa DIY yang diusulkan oleh Forum Umat Islam Yogyakarta, seperti diberitakan Radar Jogja, Jumat (8/9).

Ada apa sebenarnya dengan umat Islam Indonesia? Mengapa belakangan menjadi sangat bersemangat dengan hal-hal yang sifatnya sangat artifisial dan artikulatif? Salah seorang pengamat gerakan Islam politik, Bahtiar Effendy, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah, tuntutan tersebut, seperti oleh kelompok-kelompok radikal Islam lainnya, sebenarnya karena situasi politik Indonesia yang masih belum stabil, umat Islam banyak yang belum sejahtera. Jika situasi politik nasional stabil dan umat Islam makmur, dengan sendirinya tuntutan-tuntutan yang artifisial dan artikulatif akan hilang (Tempo, edisi 30 Oktober-5 November 2006).

Tentu saja ada kekhawatiran, sekalipun gejala menguatnya radikalisme Islam di Indonesia tidak perlu diwaspadai kelewat batas. Artinya, sebagai sebuah fenomena, radikalisme Islam Indonesia hanyalah sebuah dinamika umat Islam yang berada dalam situasi transisi politik dan ekonomi. Namun, sejatinya bisa juga memberikan gambaran kepada kita bahwa selama situasi politik dan ekonomi Indonesia tidak kunjung stabil, maka kelompok radikal Islam akan semakin membesar.

Di situlah tugas organisasi sosial keagamaan mainstream (baca: Muhammadiyah dan NU) karena jelas memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis dalam peta perkembangan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Hal seperti ini penting disadari, sebab, seperti dinyatakan Saiful Mujani—peneliti senior LSI—bahwa sebagai sebuah gerakan, 10 persen dari 177 juta umat Islam Indonesia yang mendukung gerakan radikal, artinya di Indonesia sekurang-kurangnya terdapat 10 juta orang. Ini yang perlu diwaspadai, karena sebagai sebuah gerakan sosial mereka merupakan kelompok yang cukup signifikan. Terlebih dalam sebuah transisi politik.

Mendapat pembenaran

Memang apabila membaca hasil survei LSI tentang umat Islam Indonesia, mayoritas mendukung Pancasila sebagai dasar negara serta mendukung demokrasi sebagai pilihan politiknya. Hanya saja, seperti kita ketahui, banyaknya usulan perda-perda bernuansa syariat Islam tentu saja agak merisaukan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam sebuah nation state yang pluralistik.

Suka atau tidak suka, fenomena radikal Islam di Indonesia dengan sendirinya menjadi fenomena yang riil adanya, sehingga Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam yang memiliki jemaah mayoritas umat Islam harus dengan sungguh-sungguh mengembangkan perspektif agama (keislaman) yang tasamuh sehingga moderasi Islam Indonesia benar-benar bisa dikembangkan.

Apakah dalam tahun-tahun berikutnya dukungan atas rencana pemberlakuan syariat Islam, baik melalui perda-perda maupun conun-conun yang lainnya akan mengalami peningkatan atau penurunan, terletak pada kemampuan bangsa ini mengelola politik dan ekonomi yang berpihak kepada kaum duafa. Selama situasi politik nasional dengan gampang berubahubah pada kondisi menjepit kaum duafa, yang sebagian besar adalah umat Islam, maka kelompok radikal Islam seakan-akan mendapatkan pembenaran agar syariat Islam menjadi alternatif penyelesaian masalah nasional.

Tentu saja pilihan bahwa syariat Islam merupakan panacea bagi Indonesia masih bisa diperdebatkan secara serius, tetapi bagi kelompok radikal tentu saja dengan semangat hendak menyatakan bahwa telah terbukti sistem Pancasila, demokrasi, modernisasi, dan seterusnya tidak mampu menyelamatkan Indonesia, saat inilah syariat Islam sebagai pilihan.

Apakah Indonesia akan benar-benar menjadi negara Islam, dengan embrionya perda-perda bernuansa syariat? Dalam sejarah umat manusia di dunia ini belum ada sistem politik yang mendasarkan diri pada Islam sebagai dasar negaranya lebih makmur, lebih sejahtera, dan lebih demokratis, seperti survei Abdulahi An-Naim (1993) dan Khaled Abou el Fadl (2004).

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyatakan bahwa siapa saja yang hendak mengganti Pancasila dengan syariat Islam di Indonesia adalah sebuah tindakan kudeta konstitusi. Tentu umat Islam di Indonesia tidak ingin dikatakan akan melakukan "kudeta konstitusi".

Zuly Qodir Peneliti PSKP UGM, Pendidik di UIN, Yogyakarta slam Sebagai Ajaran Persaudaraan (2)

FASILITAS


ARTIKEL LAIN

29/11/2005 02:43

Terorisme, Bukanlah Jihad

21/06/2005 02:23

Islam Sebagai Ajaran Persaudaraan (2)

13/06/2005 04:55

Islam Sebagai Ajaran Persaudaraan (1)

Agama bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi terjalinnya persaudaraan, karena pada dasarnya bahwa rasa persaudaraan itu merupakan fitrah manusia. Agama hanyalah salah satu bagian saja yang menguatkan akan fitrah manusia itu. Dengan nilai substantifnya sebagai dorongan dan spirit bagi keberlangsungan hubungan persaudaraan di antara sesama manusia. Nilai substantif agama tentang persaudaraan ini haruslah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (--red.).

Bersamaan dengan Talk Show “Khazanah Progresif” atas kerjasama P3M dengan 97,5 Jakarta News FM, Desember 2004. Dengan mengangkat tema: Islam sebagai Ajaran Persaudaraan; Memerankan Fungsi Substantif Agama. Sebagai narasumber: Agus Muhammad dan Achmad `Aly MD; Moderator: Nurpud Binarto.

Nurpud: Pemakaian istilah ukhuwwah islâmiyyah menimbulkan suatu pertanyaan, apakah agama itu menjadi faktor atau basis bagi persaudaraan?

Agus Muhammad: Ketika kita menekankan penggunaan istilah ukhuwwah Islâmiyyah, kita jadi berpikir, apakah persaudaraan itu harus menggunakan agama? Menurut saya, persaudaraan itu sebenarnya fitrah, naluri manusiawi yang sudah lahir dengan sendirinya. Dan sebenarnya, manusia itu mempunyai potensi al-hanîfiyyah, yaitu potensi untuk selalu berbuat baik. Namun lingkungan itu sering kali membentuk karakter yang berbeda, maka potensi al-hanîfiyyah tersebut sering kali terbenam. Maksud saya, potensi al-hanîfiyyah adalah potensi fitrah, sebagaimana persaudaraan itu juga merupakan fitrah. Misalnya, di jalan ada orang kecelakaan dan ketika kita menolong sama sekali tidak ada tendensi (pamrih) apa pun, dan kita tidak perlu bertanya, agamanya apa? Dengan sendirinya hal itu merupakan insting. Namun, mungkin ada sebagian orang ketika ada kecelakaan, ia lewat begitu saja dan membiarkannya, dan berkata dalam hatinya, “Itu bukan urusan saya”. Hal ini tentu jauh lebih buruk.

Tetapi saya kira, di lubuk hati manusia tetap ada potensi fitrah. Misalnya, kalau ada orang yang kena musibah, dia akan terhanyut dan membantu. Hal itu merupakan potensi fitrah. Namun, potensi fitrah ini levelnya berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau kita menggunakan terminologi sosiologi atas keprihatinan kita terhadap saudara-saudara kita yang malang misalnya, ada 3 (tiga) tingkat. Pertama, adalah tingkat simpati, artinya ketika kita melihat pengemis di jalan, kita terenyuh, tetapi menurut saya, bahwa perihatin ini merupakan tingkat yang paling dasar. Kedua, tingkat empati, artinya ada keberpihakan dan berusaha melakukan sesuatu sekecil apapun, misalnya, kalau ada pengemis di jalanan kita memberi sesuai dengan kemampuan kita. Ketiga, komitmen, artinya ketika kita melihat problem kemanusiaan yang melanda saudara-saudara kita yang terjadi di depan mata kita, maka kita bukan sekedar simpati dan empati dengan memberikan sesuatu, tapi ikut terlibat menolong orang itu.

Sekali lagi bahwa hal semacam ini merupakan potensi fitrah, artinya di lubuk hati manusia yang paling dalam ada potensi untuk selalu berbuat baik. Meski harus diakui bahwa potensi itu karakternya dibentuk tidak hanya dalam lingkungan tempat dia berada, tetapi juga dibentuk dengan cara sudut pandang bacaan apa yang dia baca; dengan mata apa yang dia lihat; dengan panca indra apa yang dia saksikan atau dia dengarkan. Artinya, keseluruhan karakter atau yang disebut dengan horison yang melingkupinya, seringkali membentuk karakternya, tapi horison itu lebih berat ke makna nantinya. Karena itu ada pertanyaan nakal misalnya, apakah untuk bersimpati kepada rakyat kecil kita perlu agama? Dan di P3M, beberapa kali kita melaksanakan pendidikan semacam workshop, di mana kita berbicara soal agama, dan salah satu tema yang dibicarakannya adalah refleksi keberagamaan. Salah satu pertanyaan agar dijawab oleh peserta, adalah peristiwa apa? Bacaan apa atau sesuatu apapun yang paling menentukan pilihan anda? Ini pertanyaan yang sangat umum, dan kita sengaja membuat pertanyaan seperti itu agar kita bisa mengetes sejauh mana peran agama ketika mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Jangan-jangan agama tidak memberi peluang dan peran apapun.

Pengalaman kami di P3M misalnya, ketika memberikan pertanyaan seperti itu, ternyata yang paling mempengaruhi dan membekas pada pikiran, menjadi semacam sifat yang agak sedikit permanen. Misalnya, hal yang paling menentukan seseorang itu bukan agama. Maksud saya, mayoritas peserta workshop tidak mengatakan, bahwa saya mendapat sesuatu kemudian membentuk karakter saya dari membaca al-Qur’an, tetapi saya terpengaruh oleh Kahlil Gibran, atau saya terpengaruh oleh catatan buku Ahmad Wahib, misalnya, mengenai pergolakan pemikiran Islam, atau saya terpengaruh ketika membaca otobiografi tokoh. Itulah yang membentuk persepsi saya tentang Islam dan segala macamnya. Dan kita menjadi bertanya, sebetulnya di mana peran agama ketika membentuk karakter seseorang? Ini menjadi pertanyaan kita semua. Kita tidak bermaksud mengatakan bahwa agama sama sekali tidak berfungsi, tetapi memang yang lebih menentukan ternyata bukan agama. Saya kira termasuk dalam hal persaudaraan, apakah persaudaraan itu harus selalu datang dari agama? Dan apakah di luar agama tidak bisa melahirkan persaudaraan?

Nurpud: Artinya, jangan-jangan pada saat tertentu bahwa agama berhenti pada fungsinya. Dan pada galibnya, operasional persaudaraan itu semata-mata atas kesadaran relasi antar manusia. Bagaimana menurut anda?

Aly MD: Yang menjadi persoalannya adalah, mengapa agama tidak menjadi pilihan penentu karakter seseorang? Agama tidak dimasukkan dalam tataran praktisnya, tetapi lebih pada landasan substansialnya, yaitu nilai-nilai etika sosial. Minimal agama sebagai sumber inspirasi menjadi motivator atau faktor pendorong dan menjadi pengontrol atas segala relasi kehidupan manusia. Artinya, landasan substansial agama itu akan diam saja. Dan tentunya, yang mempraksiskan agama adalah manusia itu sendiri.

Namun yang menjadi persoalannya ketika agama tidak mendasarkan persaudaraan, kita bersaudara menghubungkan relasi persaudaraan dengan lintas agama itu seolah-olah tanpa memandang agama. Dan tentu menurut saya, bahwa relasi ada tujuannya termasuk untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Dan kalau dipertanyakan, apakah fungsi agama? Dan apakah fungsi agama itu memberikan peran? Tentunya yang mengapresiasikan itu adalah manusia sendiri.

Agus Muhammad: Sesungguhnya memang sering kali ada jarak atau kesenjangan antara ajaran yang demikian luhur dari Islam yang demikian agung, termasuk ajaran perdamaian dengan praktek yang diperlihatkan oleh umat Islam. Saya kira konflik antara agama di Indonesia itu sudah sangat sering terjadi dan mengecewakan sekali, seperti telah saya katakan, dalam acara talk show sebelumnya bahwa konflik agama terjadi bukan semata-mata karena agama tetapi karena ada faktor lain (ekonomi, pilitik dll-red).

Nurpud: Jadi agama bisa dipakai untuk kendaraan politik sehingga timbul konflik?

Agus Muhammad: Ya. Namun sebenarnya ada persoalan lain yang menyebabkan konflik, --misalnya, ketidakadilan dalam masyarakat --red. Kalaupun agama bukan faktor dominan atau faktor penentu dari konflik paling tidak mestinya menjadi ajaran yang memiliki nilai-nilai persaudaraan, perdamaian, dan kemaslahatan-- yang harus diimplementasikan dalam kehidupan ini --red. Tokoh-tokoh seharusnya memberikan contoh, bagaimana melahirkan persaudaraan, perdamaian, kemaslahatan, dll.

Nurpud: Bagaimana kalau pada gilirannya bahwa agama melahirkan potensi konflik?

Aly MD: Telah saya ungkapkan diawal, bahwa fungsi agama itu lebih pada fungsi substansial, dan yang mempraksiskannya adalah manusia itu sendiri sebagai pemeluk agama. Kemudian bagaimana menginternalisasikannya? Yakni memahami kandungan substantif secara mendalam terhadap nilai-nilai agama. Dalam hal ini mengaplikasikan nilai-nilai itu yang dapat dirasakan oleh kalangan Islam sendiri, dan kemudian berlanjut mengobjektifkannya sehingga dapat pula dirasakan manfaatnya oleh sesama manusia dalam konteks lintas agama. Jadi nilai agama bisa dirasakan kalau dalam ajaran zakat mislanya bisa dirasakan bukan hanya orang Islam saja. Dalam konteks ini, saya ingin mengkritisi tentang zakat yang diberikan kepada fakir miskin. Di mana dalam kitab klasik, bahwa fakir miskin itu dimaknai yang beragama Islam saja, padahal di luar itu (non-muslim) tentu ada yang membutuhkan. Jadi bukan agamanya, tetapi bagaimana pemahaman dan pengejawantahan manusia terhadap agama itu dalam konteks kehidupan.

Nurpud: Kami di sini punya tradisi, kalau bulan puasa menjelang Maghrib suka mensadaqahkan beras dari para pendengar kita. Dan muncul ide untuk menolong orang yang tidak mampu. Kami mengirimkan sadaqah itu kepada adik-adik kita yang ada di kalangan non-Islam. Bagaimana apresiasi atas hal ini?

Agus Muhammad: Sejak awal Islam dalam konteks persaudaraan sangat menekankan tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, ada hadits yang bisa memperjelas bahasan ini dalam konteks memberi salam “yusallimu al-râkib `alâ al-mâsyî wa al-mâsyî `alâ al-qâ`id wa al-qalîl `alâ al-katsîr” (seorang yang berkendaraan diharuskan memberi salam pada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit memberi salam kepada orang yang jumlahnya banyak). Ini merupakan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim. Dalam hadits ini tidak ada penjelasan bahwa yang disebut di atas bukan orang Islam atau mukmin. Dan kalau dilihat dari segi ilmu Nahwu atau gramatika Arab, di situ kata-kata yusallimu al-râkib `alâ al-mâsyî. Kata al-mâsyî itu merupakan ma’rifat, dan ma’rifat itu sudah diketahui bukan sesuatu yang asing. Maksud saya, sedikit tahu pejalan kaki itu siapa, dan itu sudah ma’rifat atau diketahui identitasnya, kira-kira seperti itu.

Tetapi menurut saya, identitas itu diketahui oleh orang yang berkendaraan tadi, bahwa ada orang yang berjalan kaki dan orang yang berkendaraan harus mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki.

Ada hadits lain yang mengatakan, “idzâ sallama alaikum yahûdu fainnamâ yaqûlu al-samm faqul wa`alaikum” (jika ada orang Yahudi mengucapkan salam, mereka sesungguhnya mengucapkan al-samm, maka kemudian Nabi berkata, ucapkanlah wa`alaikum) . Namun al-Nawâwî dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, bahwa yang dimaksud Nabi ketika ada orang Yahudi mengucapkan salam sebetulnya dia mengucapkan al-samm. Kata al-samm itulah yang didengar Nabi ketika itu, yang artinya kematian. Jadi al-samm `alaikum (kematian atas kalian), maka Nabi menjawab wa`alaikum (dan atas kamu juga kematian). Artinya, bukan hanya kami yang akan mati kalian pun juga akan mati. Dalam hadits itu ingin disampaikan, bahwa kalau mislanya orang Yahudi, Nasrani, Ahl al-Kitâb itu betul-betul mengatakan al-salâmu `alaikum bukan al-samm, maka kata Nawawi, kita harus menjawab wa`alakum al-salâm. Maksudnya, secara normatif dari segi ajaran Islam bahwa persaudaraan itu betul-betul lintas agama.

Tanya jawab/Tanggapan:

Hendrik: Kalau saya mengomentari kehidupan beragama di negara kita tercinta ini, dalam partisipasi kehidupan bernegara sepertinya mengalami kemunduran. Artinya, maju dari sisi serimonial saja tetapi dari segi penjiwaanya justeru melemah. Sebagai contoh, saya sendiri dari agama Kristen Katolik dan kebetulan saya berasal dari Manado. Sejak dulu sampai saat ini di Manado kehidupan umat beragama itu harmonis. Di salah satu kota di Minahasa, di sana ada yang namanya Bukit Kasih, dibangun tempat yang begitu indah, juga dijadikan monument umat-umat beragama. Daya tarik lainnya, berupa budaya, pariwisata, dan keagamaan. Ini mencerminkan keharmonisan kehidupan umat beragama di Manado. Khususnya saya berbicara masyarakat Minahasa, dan maaf jika hanya menyebut Minahasa karena suku-suku yang lain di Manado tidak terwakili. Tapi paling tidak pada umumnya demikian.

Kembali pada permasalahan, bagaimana peran kehidupan keberagamaan ini bisa diterima di masyarakat. Khususnya di tempat-tempat yang mayoritasnya bukan Kristen. Misalnya, sejak dulu dan sampai saat ini masyarakat di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan masih mengakui bahwa mereka mempunyai tokoh pahlawan nasional yaitu orang Kristen. Di Ujung Pandang, Gubernur Sulawesi pertama itu Samratullangi, dan mungkin saat ini saya lihat tidak akan mungkin lagi seseorang yang non-muslim ditokohkan di daerah muslim. Tetapi dalam sejarah tempo dulu itu terjadi bahwa pahlawan Sulawesi Tenggara dan kalau tidak salah Bandar Udara Sulawesi Tenggara dinamakan Bandar Udara Mangungsidi.

Kemudian pahlawan Sulawesi Selatan dan mungkin kepada para pendengar lebih tahu, kalau saya salah dibetulkan, bahwa tokoh kepahlawanan kepemudaan Sulawesi Selatan itu Mangungsidi. Yang lain, di DKI Jakarta ini pernah sekali waktu gubernurnya orang Sulawesi Utara yang Kristen dan kondisi-kondisi itu sangat tidak mungkin terjadi. Jadi yang saya lihat saat ini adalah, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kemunduran, di mana menurut hemat saya, karena yang terjadi agama itu dipolitisir dan dijadikan lokomotif untuk kepentingan tertentu. Tepatnya kepentingan politis yang sangat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, masyarakat kita sangat kental dengan isu-isu keagamaan dan memang pada tempo dulu hal semacam itu ada tapi tidak separah saat ini.

Saya ini juga besar di masyarakat yang mayoritasnya Kristen. Di sana apabila ada Natal masyarakat yang non-Kristen juga turut meramaikan. Begitu pun sebaliknya, apabila ada hari raya umat Islam, yang non-Islam pun juga ikut merayakan. Tepatnya di daerah Minahasa terutama di daerah yang masyarakatnya sudah bercampuran, mereka saling menghargai. Ini sangat kental dan sampai saat ini masih terpelihara. Tetapi setelah saya Hijrah dari kota kelahiran dan datang ke Jakarta, ketika kita berlebaran dan saudara-saudara kita berlebaran, saya dengan tulus mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, tetapi pada saat bernatalan saudara-saudara saya yang non-Kristen sepertinya ada satu halangan untuk mengucapkan selamat Natal.

Jadi, hal ini menggangu kehidupan berbangsa. Padahal dengan mengucapkan itu saudara kita yang non-kristen tidak mungkin menjadi kristen, jadi sikap menghormati sepertinya kurang mendapatkan tempat lagi, padahal sama dengan saya ketika mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri tidak menjadikan saya Islam. Jadi saya lihat di sini ketidakdewasaan umat untuk beragama. Jangan sampai Indonesia terpengaruh seperti Perancis, dengan konstitusinya dalam kehidupan berbangsa seseorang dilarang menggunakan atribut-atribut agama di depan umum karena mereka menghawatirkan kehidupan keagamaan ini bisa merusak kehidupan berbangsa.

Agus Muhammad: Saya setuju dengan poin terakhir, bahwa jangan sampai atribut-atribut keagamaan itu sampai dibawa-bawa ke ruang publik karena itu akan sangat mengganggu. Tetapi saya perlu memberikan catatan, bahwa sebenarnya munculnya atribut-atribut atau simbol-simbol keagamaan di ruang publik itu sebenarnya tidak menjadi masalah, sejauh itu tidak melahirkan ketegangan. Dan simbol agama apapun itu mempunyai hak yang sama di ruang publik, cuman masalahnya jangan sampai atribut itu melahirkan ketegangan, misalnya sampai melukai perasaan agama lain. Dalam hal ini, tidak perlu merinci untuk melukai agama lain, tetapi simbol-simbol agama yang dibawa ke ruang publik itu sebenarnya simbol agama yang menjadi representasi dari ajaran yang paling dasar.

Dalam Islam misalnya, salah satu ajaran yang sangat fundamental dan itu sangat menonjol adalah ajaran keadilan dan kesetaraan. Dan mestinya, simbol-simbol keadilan dan kesetaraan itulah yang harus dibawa ke ruang publik. Demikian juga dalam Kristen, ajaran yang paling menonjol saya kira adalah ajaran cinta kasih, dan simbol-simbol cinta kasih inilah yang diletakkan dan dibawa ke ruang publik, bukan simbol-simbol yang dapat melahirkan ketegangan. Misalnya, dalam Hindu atau Budha yang sangat menonjol darinya adalah ajaran anti kekerasan. Kalau simbol-simbol anti kekerasan, simbol kasih sayang, simbol perdamaian dan simbol keadilan dan kesetaraan yang dibawa ke ruang publik, dan ini akan melahirkan pendidikan yang sangat baik dalam umat beragama.

Hendrik: Saya sependapat dengan Bapak, cuman kalau kita melihat peran itu sudah kebablasan. Namun menurut proses pembelajaran harus terus dilakukan. Dengan begitu akan ada kesadaran beragama. Artinya, bukan berarti tidak beragama, tetapi perlu dibatasi tidak boleh sampai ke ruang publik. Saya yakin ada suatu proses yang panjang berupa pembelajaran itu sendiri. Memang terjadi gesekan-gesekan antara umat di republik ini, tetapi saya tidak akan melihat seperti yang di Perancis. Namun, bagaimana baiknya kita umat beragama bisa saling menghormati sehingga ada keharmonisan. Secara pribadi, saya termasuk orang yang tidak ragu untuk berdiskusi dengan agama yang lain sejauh kita sama-sama saling menghormati.

Aly MD: Untuk menghentikan terjadinya konflik, saya kira simbol-simbol itu jangan terlalu ditampilkan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan ketegangan. Kemudian lebih ditekankan, bagaimana mengatasi problem-problem yang saya sebutkan tadi, yakni bagaimana agama bisa memberikan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, untuk menghindarkan bermacam konflik, sekali lagi saya kira simbol-simbol agama perlu dihindarkan.

Kemudian berkenaan dengan persoalan Natal. Menurut saya, sebisa mungkin kita tetap konsisten dengan nilai-nilai dan ajaran agama kita, terutama berhubungan dengan hal saling menghormati. Dengan mengucapkan rasa kebahagian kepada orang lain yang sedang merayakannya. Ini sebenarnya yang perlu kita tampilkan ke tengah-tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana kita bisa mengucapkan selamat natal kepada mereka yang sedang berbahagia merayakannya, ini menurut saya bukan berarti kita ikut menjalankan natal.

Hendrik: Kebebasan melaksanakan kegiatan keagamaan dijamin oleh Undang-undang tetapi ada yang tidak sebebas-bebasnya dalam artian apabila kegiatan keagamaan itu berpotensi untuk menimbulkan konflik atau bisa menimbulkan ketersinggungan, itu diatur dalam undang-undang dan itu dilarang. Yang terjadi bukan hanya antar Kristen dan Islam tetapi antar Kriten dan Kristen pun sendiri juga demikian. Begitu fulgar mereka mengajarkan ajarannya sehingga berpotensi timbul konflik dan persinggungan.

***

Catatan: Pembahasan ini dilanjutkan pada tema Islam Sebagai Ajaran Persaudaraan (3)

WESTERNISASI DAN ISLAMISASI ILMU

PDF

| Cetak |

E-mail

Ditulis oleh Adnin Armas

Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) telah membawa dampak negatif terhadap peradaban lainnya, khususnya dalam bidang epistemologi. Barangkali, “Westernisasi ilmu pengetahuan” adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Jika hal ini difahami dengan baik, maka terma Islamisasi Ilmu pengetahuan kontemporer” bukan hanya istilah yang wajar dan mudah diterima, tapi lebih merupakan proyek yang membawa keharusan konseptual. Oleh sebab itu, substansi Islamisasi tidak dapat sepenuhnya dimengerti jika tidak dikaitkan dengan persoalan epistemologis yang melanda dunia Islam dan tantangan yang menjadi sumbernya. Kajian ini akan memaparkan secara singkat Westernisasi ilmu pengetahuan yang menjadi tantangan bagi banguan ilmu pengetahuan Islam untuk dapat memahami makna dan relevansi Islamisasi.

I. Westernisasi Ilmu Pengetahuan

Sejarawan Barat menganugerahkan gelar Bapak filsafat modern kepada René Descartes (m. 1650), yang memformulasi sebuah prinsip, aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (m. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (m. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (m. 1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emilio Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain.

Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value).

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah ongoing process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu, dalam cahaya pengetahuan kemudian, kelihatan terbatas. Jadi tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.

Epistemologi Barat modern-sekular juga melahirkan faham ateisme. Akibatnya, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Ludwig Feurbach (1804-1872), murid kepada Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi.

Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions).

Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Kharasteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas–entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.

Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan.

Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menulis: “God died; now we want the overman to live.” Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “seseorang tidak dapat memercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.” Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, pesahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.

Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is death, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan the author is death.

Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Selain itu, jika pada zaman pertengahan (medieval times), agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augustinus (m. 430), Boethius (m. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anselm (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modern yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular.

Pemaparan ringkas diatas menunjukkan Westernisasi ilmu, yang bersumber kepada akal dan panca-indera telah melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, rasionalisme, humanisme, eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, skeptisisme, relatifisme, agnostisme dan ateisme. Westernisasi ilmu telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu. Westernisasi ilmu juga telah menceraikan hubungan antara keduanya.

II. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer (Islamization of present-day Knowledge)

Mengingat bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang populer di tahun 80 an, sejatinya telah dicanangkan kurang lebih dua dekade sebelumnya oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, maka kajian mengenai substansi Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer akan lebih jelas jika merujuk kepada konsep-konsepnya. Selain itu, konsep-konsep yang diajukannya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap pandangan hidup dan peradaban manusia Barat dan epistemologinya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun, peradaban Barat modern menghasilkan juga ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama. Namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.

Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidup itu dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. Oleh karena ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat itu justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden).

Memang antara Islam dengan filsafat dan sains modern, sebagaimana yang disadari oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas terdapat persamaan khususnya dalam hal-hal yang menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan empiris, kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif bagi filsafat sains; proses dan filsafat sains. Bagaimanapun, ia menegaskan terdapat juga sejumlah perbedaan mendasar dalam pandangan hidup (divergent worldviews) mengenai Realitas akhir. Baginya, dalam Islam, Wahyu merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan Pencipta.Wahyu merupakan dasar kepada kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisesme. Tanpa Wahyu, ilmu sains dianggap satu-satunya pengetahuan yang otentik (science is the sole authentic knowledge). Tanpa Wahyu, ilmu pengetahuan ini hanya terkait dengan fenomena. Akibatnya, kesimpulan kepada fenomena akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa Wahyu, realitas yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata ini yang dianggap satu-satunya realitas.

Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Alasannya, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral dan telah diinfus ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis, yang sebenarnya berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Jadi, ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.

Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan mudah seperti labelisasi. Selain itu, tidak semua dari Barat berarti ditolak, karena terdapat sejumlah persamaan dengan Islam seperti disebutkan diatas. Oleh sebab itu, seseorang yang mengislamkan ilmu, perlu memenuhi pra-syarat, yaitu ia harus mampu mengidentifikasi pandangan-hidup Islam (the Islamic worldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat. Pandangan-hidup dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Jadi, pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (al-maÑlËm min al-dÊn bi al-ÌarËrah). Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan-hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.

Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan-hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dll. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena merelatifkan semua sistem akhlak.

Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan-hidup Islam dan Barat, maka proses Islamisasi baru bisa dilakukan. Sebabnya, Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini (the Islamization of present-day knowledge), melibatkan dua proses yang saling terkait:

i) mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (5 unsur yang telah disebutkan sebelumnya), dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, jika tidak sesuai dengan pandangan-hidup Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern; beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika; penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.

ii) memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.

Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magik, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam, dan kemudian dari kontrol sekular kepada akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (Ðann) dan argumentasi kosong (mirÉ’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekular.

III. Kritikan Terhadap Islamisasi Ilmu

Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menuai kritik dari beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.

Fazlur Rahman tepat dengan menyatakan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara menggunakannya. Bagaimanapun, Fazlur Rahman tampaknya mengabaikan jika konsep dasar mengenai ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara seseorang memandang ilmu pengetahuan.

Selain itu, pemikiran sekular tampaknya juga hinggap dalam pemikiran Fazlur Rahman. Hal ini tampak jelas, ketika ia berpendapat ilmu tidak perlu mencapai tingkat finalitas atau keyakinan. Ia menyatakan: “Jelas bukan suatu keharusan penafsiran tertentu sekali diterima harus selalu diterima; akan selalu ada ruang dan keharusan untuk penafsiran-penafsiran baru, dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.”

Berbeda dengan Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas menegaskan ilmu pengetahuan dalam hal-hal yang yakin, adalah final, tidak terbuka untuk direvisi oleh generasi kemudian, selain elaborasi dan aplikasi. Penafsiran baru hanya benar terkait dengan aspek-aspek ilmiah al-Qur’an dan fenomena alam.

Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independent dari manusia, budaya atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya, menyatakan: “Hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.”

Pernyataan Abdus Salam menunjukkan tidak ada yang namanya sains Islam. Pernyataan sekular ini menunjukkan bahwa Abdus Salam menceraikan pandangan-hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains. Padahal, pandangan-hidup Islam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktifitas seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam diatas menunjukkan hasil pemikiran seorang saintis Muslim sekular. Menurut Prof. Alparslan Açikgenç, pemikiran dan aktifitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keilmuan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya.

Kritikan terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, Realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Kebenaran untuk hal tersebut bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, Sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independent dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diislamkan; (3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan.

Pandangan-alam yang terkandung dalam argumentasi Abdul Karim Sorush adalah realitas sebagai sebuah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, reality is at once both permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs.

Islamisasi ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai pribumisasi (indigenization), sebagaimana dinyatakan oleh Bassam Tibi. Ia memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) local untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi. Namun, pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.

Sekalipun istilah Islamisasi adalah baru, namun konsep yang terkandung di dalam kata tersebut bukanlah baru. Al-Qur’an, misalnya telah mengislamkan sejumlah kosa-kata Arab yang digunakan pada saat itu. Al-Qur’Én mengislamkan struktur-struktur konseptual, bidang-bidang semantik dan kosa kata. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak.

Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan meruMax Weber

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Maximilian Weber

Maximilian Weber

ahli ekonomi politik and sosiolog Jerman

Lahir

21 April 1864
Erfurt, Jerman

Wafat

14 Juni 1920
München, Jerman

Maximilian Weber (21 April 186414 Juni 1920) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sosiologi agama

Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.

Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya Barat.

Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona" ("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang penting dari budaya Barat.

[sunting] Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme

Sampul salah satu edisi The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Sampul salah satu edisi The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai gagasan agama dan perilaku ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi, termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme? Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.

Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat, apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum, gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya, hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan kelompok manusia."

Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat perdagangan.

Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya berikutnya.

Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari "etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan orang-orang non-Kristen.

[sunting] Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme

Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar (Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.

Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan Antar-Negara.

Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan. Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar, tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah seperti para warga kota Eropa.


Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah penderitaan) dari para nabi.

Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam, tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern, karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh budaya-budaya Helenistik dan Romawi.

Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini, Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."

[sunting] Referensi

Karya Weber pada umumnya dikutip menurut Gesamtausgabe kritis (edisi kumpulan tulisan), yang diterbitkan oleh Mohr Siebeck di Tübingen, Jerman.

pakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.

aturday, July 21, 2007

Mengenang Pemikir Pejuang

[Sumber Republika, 20 Juli 2007]

Ahmad SahidahKandidat
Doktor Kajian Peradaban Islam dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema 'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin orientalisme.

Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.

Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.

Karya-karya penting

Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi, kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di negeri ini.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.

Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas' dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.

Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang diciptakan 'penjajah'.

Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan, termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna, beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara dalam kehidupan masyarakat.

Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.

Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.

Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju pada

LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI

Nuansa Dasariah Buku Islamku Islam Anda Islam Kita:
Sebuah Tinjauan Teologis, Sosiologis dan Antropologis1

Oleh P. Dr. Philipus Tule, SVD

Pendahuluan
Pengalaman konflik antaragama yang sering dialami di persada nusantara ini, telah mendorong pemerintah, tokoh agama, cendekiawan dan aneka LSM di Indonesia untuk mencarikan solusi, baik secara preventif maupun kuratif. Acara bedah buku karya KH Abdurrahman Wahid, yang diprakarsai oleh PADMA Indonesia dan The Wahid Institute ini merupakan inisiatif positif untuk mensosialisasikan karya monumental seorang Kiyai Intelektual dan Negarawan berwawasan kosmopolitan itu, menghimpun para alim ulama dan cendekiawan, untuk bersama-sama mendiagnosis situasi nasional dan umat masa kini yang ditandai oleh aneka bentuk konflik bernuansa SARA. Selanjutnya, bersama-sama memprognosis masa depan kehidupan bermasyarakat dan beragama yang lebih kondusif serta memungkinkan kita membuat pilihan tepat dalam menata kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera (dkl maslahah ’ammah atau bonum commune).

Demi memperkaya telaah sosial, politik dan agama yang telah dirajut oleh Bapak KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya, serta menambah secercah sinar pada makalah Pembahas Pertama (bpk Dr. M. Syafi’i Anwar), saya coba menyoroti eksistensi agama dalam masyarakat dari perspektif teologis, sosiologis.dan antropologis. Saya menawarkan sebuah judul sebagaimana tertera diatas, karena kebanggaan akan profesi saya sebagai seorang pastor Katolik yang sambil menekuni studi Islamologi dan Antropologi Agama-Agama, saya pun tetap setia pada iman dan keyakinanku pada aspek teologis dari agama wahyu (Agama Revelasi seperti Kristen dan Islam).

Pergumulan akademis seperti itu, tentu saja tidak menggiring aku kepada posisi merelativisir ataupun mengabsolutir dimensi tertentu, tapi justeru membimbing aku kepada sikap yang lebih seimbang dalam memahami dan menghayati kehidupan keagamaan sebagai yang berdimensi wahyu (revelasi) dan yang berdimensi sosial (masyarakat) dan budaya (kultural) sebagaimana juga dilakukan oleh Gus Dur.

Makalah ini dikemas dalam kerangka pikir sebagai berikut: pendahuluan, data sosiologis agama-agama di dunia (internasional dan nasional). Lalu disusul dengan pembahasan mengenai arti agama dan masyarakat, teori-teori sosiologi agama, mosaik pemikiran toleran - inklusif dari KH Abdurrahman Wahid, dan beberapa kesimpulan praktis untuk konteks kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia.

Data Sosiologis Agama-Agama
Indonesia adalah negara dengan konsentrasi penduduk Islam terbesar di dunia yakni 88,22 % dari total 210 jiwa (BPS, 2004). Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi paling tinggi persentase orang Kristen di Indonesia. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, yang dianalisis dalam buku “ Indonesia’s Population” oleh Leo Surjadinata, Evi N. Arifin dan Aris Ananta, jumlah penduduk beragama Katolik dan Protestan sebesar 89.7 persen dari populasi 3,8 Juta (BPS 2000). NTT, sbagaimana di beberapa kawasan Indonesia lainnya, Muslim justru minoritas hanya 9.07 %. Di Bali misalnya, jumlah pemeluk Hindu sekitar 87,4 persen dari total penduduk 3.1 juta sedangkan Muslim hanya 10,3 persen. Jumlah orang Kristen juga besar di Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara.

Masalah perbedaan agama, baik secara kwantitatif (minoritas ataupun mayoritas) maupun kwalitatif (toleran ataupun fanatik/radikal, konservatif ataupun modern), telah menimbulkan dampak samping dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk konflik dan mencemarkan nama baik bangsa Indonesia yang secara historis berkarakter toleran dan damai. Lebih dari 10,000 orang mati dalam sengketa sektarian di Maluku sejak 1999. Ini juga terjadi di Poso. Jikalau di pulau Jawa dan Sumatra, orang sering dicemaskan oleh isue “Kristenisasi”, maka di Minahasa, Bali, Timor, Flores, Papua, Sumba dan kawasan Indonesia Timur lainnya, isu yang mencemaskan adalah “Islamisasi.”

Isue agama yang sering dipolitisasi seperti itu, sering berdampak pada munculnya sikap-sikap emosional dan primordial. Di Bali, ribut-ribut RUU Pornografi, mendorong tokoh dan organisasi di pulau Dewata itu melontarkan ide “merdeka dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar di Manado, menulis dalam lembaran editorialnya bahwa kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.”

Data Statistik Agama di Dunia
Kristen : 33,00 %; Islam: 21,00 %; Hindu: 13,42 %; Buddha : 06,00 %; Tao : 06,00 %; Agama Asli: 06,00 %; Tak Beragama: 14,00 %; Yudaisme : 00,22 %; Sikh: 00,36 %.

[ Total Penduduk dunia: 6.185.000.000].

Data Statistik Agama di Indonesia (Nasional)
Islam : 88.22 %; Protestan: 5.87 %; Katolik: 3.05 %; Hindu: 1.81 %; Budha: 0.84 %; Lain-lain: 0.2 % [ Total Penduduk Indonesia: 210 juta pada 2004]

Data Statistik Agama di NTT
Catholic 55.49%; Protestant 34.46%; Muslim 9.07%; Other 0.88%

[Total penduduk NTT: 3,8 juta (Sumber BPS, 2000)]

Masyarakat Beragama: Tinjauan Teologis dan Sosiologis
Sebelum kita menggumuli makna sosiologisnya, baiklah kita menyimak refleksi teologis tentang konsep atau nuansa kata masyarakat itu. Disiplin ilmu yang secara khusus ditata untuk menafsir apakah agama itu rasional atau irasional dan apakah agama itu mengatasi pelbagai ujian inkoherensi dan sesuai dengan Realitas Tertinggi, Terluas dan Terdalam (yang disebut ALLAH, God, Ngga’e Ndewa) dinamakan Teologi. 2 Teologi itu menafsir agama-agama dan keseluruhan peradaban ataupun kultur yang dipengaruhinya dalam standar etis. Pelbagai orientasi keagamaan yang cenderung melahirkan perang suci dalam artian harafiah (mis. Jihad dan kemartiran dalam abad pertengahan) ataupun genocide sebagai usaha pemusnahan secara sistematis dan teratur terhadap suatu kelompok masyarakat atas nama agama dengan penindasan serta korban-korban dehumanisasi ataupun aktivitas yang menuntut kita berbohong kepada diri sendiri ataupun sesama demi agama, haruslah ditinggalkan demi Yang Suci itu sendiri. 3 Dewasa ini, teologi menjadi mitra perbincangan utama bagi sosiologi agama karena keduanya dibutuhkan dalam pengembangan civil society (masyarakat berkebudayaan) di masa depan.

Selanjutnya arti kata masyarakat baik secara etimologis maupun terminologis kiranya membantu kita memahami secara lebih baik karakter teologisnya dalam aktivitas pembangunan. Kata masyarakat (bhs Indonesia) merupakan terjemahan dari kata society (bhs Inggeris), yang berkaitan erat dengan kata socius (bhs Latin) yang berarti kawan, sahabat, sekutu dan teman. Kata masyarakat itu berkaitan erat dengan kata bahasa Arab MUSYAARAKAT yang berarti kemitraan, kooperasi, kolaborasi, komunitas. 4 Dalam artian sosiologis, term bahasa Arab MUSYAARAKAT itu berkaitan erat dengan kata MA (yang berarti YANG) dan SYARIKA (yang berarti BERSEKUTU). Oleh karena itu term MUSYARAKAT (SOCIETY) diartikan sebagai suatu persekutuan sosial; persekutuan dari insan-insan yang bersahabat (Socius) dan yang berakal budi (LOGICUS). Tetapi suatu perkembangan baru dalam filsafat manusia menggaris-bawahi bahwa manusia itu bukan saja merupakan ens rationale (atau ens logicus), tapi juga ens sociale dan ens teologicus. Manusia adalah insan-insan sosial yang menyadari keterbatasan dirinya sendiri serta membutuhkan sesama dan kekuatan supranatural yaitu ALLAH. Oleh sebab itu, sedari kodratnya isi konsep MASYARAKAT (persekutuan sosiologis) senantiasa berimplikasi teologis.

Malahan implikasi teologis itu lebih jelas bila dipahami kata MA sebagai sinonim dengan LA yang berarti TIDAK, dan yang ditautkan dengan SYARIKA (mempersekutukan, membagi, berpartisipasi). Dalam Islam, term SYARIKA senantiasa dihubungkan dengan ide teologis tidak mempersekutukan Allah Esa (TAWHID) dengan dewa/i lainnya. Dalam arti itulah masyarakat mengandung konsep persekutuan insan-insan rasional yang percaya akan Allah Esa. Masyarakat adalah persekutuan insan-insan beragama. Karena itu, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai iman harus dihayati dan diamalkan dalam kebersamaan. Agama dan nilai-nilainya harus menjadi sumbangan bagi pembangunan masyarakat bangsa umumnya dan pelestarian alam dan lingkungan hidup khususnya. Dengan kata lain, agama itu berdampak sosial. 5

Aneka Definisi Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang ternyata mempunyai beberapa arti. Kelompok pertama mengatakan bahwa agama berasal dari a (tidak) dan gam (kacau). Agama berarti tidak kacau. Pandangan kedua mengatakan bahwa a (tidak) dan gam (pergi). Agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun. Yang lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, karena agama biasanya mempunyai Kitab Suci.

Secara terminologis agama juga didefinisikan sbb: Agama sebagai ad-Din: Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata din mengandung arti menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Bila kata din dihubungkan dengan kata Allah jadi din Allah (agama dari Allah), din Nabi (agama dari Nabi), dinul-ummah (agama yang diwajibkan agar umat manusia memeluknya). Ad-Din juga berarti syariah, yakni nama bagi perarturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah selengkapnya (ataupun prinsip-prinsip saja) dan diwajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakannya, yang mengikat hubungan mereka dengan Allah dan sesamanya. Ad-Din juga berarti millah, atau mengikat yakni mengikat dan memepersatukan segenap pemeluknya dalam satu ikatan yang erat (ummat) dan juga dengan Allah mereka.

Agama juga didefinisi sebagai Religi: dari bahasa Latin (religio). Namun para pakar masih berbeda pendapat tentang asal dan akar katanya yang asali serta artinya. Diantara para penulis Romawi, Cicero yang berpendapat bahwa religion (religio) berasal dari kata legare yang berarti mengambil (menjemput), mengumpulkan, menghitung atau memperhatikan sebagai contoh, memperhatikan tanda-tanda tentang suatu hubungandengan ketuhanan atau membaca alamat.6

Bertolak dari konsep literer itu, Emile Durkheim dari Perancis memberikan definisi sbb: Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faith and practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known as a church. 7 Dari definisi tersebut terungkaplah empat komponen berikut: (1). Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. (2). Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud dari alam gaib (supranatural). (3). Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewi atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. (4). Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dan yang melakukan sistem upacara-upacara.

Glock dan Stark 8 mengemukakan bahwa betapa sulit mengukur religiositas seseorang ataupun komunitas (umat) karena setiap agama bisa mengukurnya dengan rujukan pada hal-hal seperti: keanggotaan, kepercayaan pada doktrin agama, etika dan moralitas, pandangan dan cara hidup, dll. Namun hampir semua pakar agama mengemukakan bahwa ada lima dimensi dasar yang paling menonjol dalam setiap agama dan dapat dipakai untuk mengukur atau menguji kadar/mutu keagamaan (religiositas) seseorang. Kelima dimensi komitmen keagamaan (dimensions of religious commitment) itu adalah sbb:

  1. Dimensi iman (belief dimension), yang mencakup ekspektasi (harapan) bahwa seorang penganut agama menganut dan memahami suatu pandangan teologis yang menyebabkan dia mengakui dan menerima kebenaran agama tertentu.
  2. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yang mencakup ibadat (rituals) dan devosi, yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penganut agama. (bdk. Dalam Islam dan Katolik…… contoh konkrit)
  3. Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious experience), yang mencakup kenyataan bahwa semua agama punya harapan yang standard (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu pengalaman langsung dan pribadi (subyektif) dalam berkomunikasi dengan realitas ultimate (supranatural) itu.
  4. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension), yang merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki pengatahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, ritus, Kitab Suci dan tradisi. Dimensi iman dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, yang mempengaruhi sikap hidup dalam penghayatan agamanya setiap hari.
  5. Dimensi konsekwensi sosial (the consequences dimension). Dimensi ini mengidentifikasi efek dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman serta kehidupan sehari-hari.

Aneka Teori Sosiologi Agama 9
Salah satu aliran sosiologi yang berbicara mengenai prospek agama-agama adalah sosiologi fungsional. Aliran ini memandang agama sebagai realitas sosial, yaitu suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai “realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. 10

Aliran sosiologi modern sebagaimana dipelopori oleh E. Durkheim dan Max Weber, menjadikan agama sebagai suatu yang sentral dalam teori sosial. Durkheim memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat menghasilkan dan mempertahankan kohesi sosialnya? Bagi Durkheim, agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan suatu sistem interpretasi-diri kolektif; agama adalah cara khas berpikir tentang eksistensi kolektif.” 11 Dengan kata lain, agama adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusiawi para anggotanya. Sejauh masyarakat masih ada dan berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan ”kebaktian” pada representasi-diri simboliknya, menegaskan dan meneguhkan perasaan dan gagasan kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya.” 12

Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori R. Bellah mengenai agama sipil (civil religion). 13 Menurut pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala yang disebutnya civilreligion, suatu konsep yang berasal dari Rousseau, yang tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Negara Amerika Serikat, seperti upacara-upacara dalam pengukuhan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memupuk America’s national self understanding. Bagi Bellah, civil religion adalah subordinasi bangsa pada prinsip-prinsip etis yang mengatasi bangsa itu sendiri dan atas dasar prinsip itu martabat bangsa dinilai. 14

Max Weber memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana masyarakat berubah dan mengalami kemajuan. Ia justeru menemukan bahwa agama merupakan faktor penggerak perubahan sosial. Menurut T. Parsons, ”Perhatian utama Weber adalah agama sebagai sumber dinamika perubahan social dan bukan sebagai instrumen peneguhan struktur masyarakat.” 15 Kendatipun Weber tidak memberikan definisi eksplisit mengenai agama, tetapi dari tulisannya dapat dibaca bahwa baginya agama memberikan ”kerangka makna” pada dunia dan perilaku manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya, ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya, termasuk kematiannya. Ia menelaah agama dari segi dampaknya terhadap masyarakat. Agama juga berpautan dengan penciptaan budaya. Bukunya The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism 16 merupakan rintisan penelitian dan pendekatan baru dalam abad XX mengenai peranan kreatif agama dalam pembentukan kebudayaan.

Selanjutnya bagi Peter Berger, agama merupakan langit-langit sakral (the Sacred Canopy) yang terbentang di atas kerapuhan (vulnerabilitas) eksistensi manusia, yang berpuncak pada kematian. Seperti Heidegger, Berger melihat kecemasan manusia ketika menghadapi maut yang merupakan ciri ”eksistensialis”-nya. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. 17

Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah, ummat, sangha dan lain-lain. Pada kesimpulannya Berger mengingatkan pengertian agama dalam uraiannya sebagai: “the establishment through human activity, of an all embracing sacred order, that is, of a sacred that will be capable of maintaining itself in the ever present face of chaos”. 18

Kritik terhadap Agama
Pembicaraan mengenai sosiologi agama serta prospek agama-agama tidak akan lengkap bila kita mengabaikan kritik atas agama oleh Marxisme. Marx menekankan peranan institusi (ekonomi dan sosial) dalam membentuk kesadaran. Kesadaran tidak dapat lain daripada eksistensi yang sadar dan eksistensi manusia adalah proses hidup yang aktual ...... kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan....... kesadaran dari awal adalah produk sosial dan akan tetap begitu selama manusia masih ada. 19 Marx memandang agama sebagai proyeksi diri masyarakat dalam kesadaran, sebagai kesadaran palsu yang mencerminkan dan melindungi ketidakadilan tatanan sosial. Manakala manusia dibebaskan dari penindasan ekonomis dan dari konsekwensi dehumanisasinya, agama akan digantikan oleh pemahaman yang realistik tentang kehidupan sosial.

Toynbee dalam dialog dengan Ikeda sampai pada kesimpulan bahwa ”bangsa manusia telah disatukan, secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh penyebaran secara mondial peradaban modern. Masalah masa depan agama muncul, karena semua agama yang ada sekarang terbukti tidak memuaskan. Agama di masa depan tidak harus merupakan agama yang sama sekali baru. Hal ini dapat merupakan versi baru dari agama lama. Tetapi bila agama lama harus dihidupkan dalam suatu bentuk yang mampu menjawab kebutuhan baru bangsa manusia, kiranya mungkin bahwa agama itu ditransformasikan sedemikian radikal sehingga hampir tak dikenal lagi. 20 Toynbee mengharapkan bahwa agama yang baru itu adalah agama yang memungkinkan bangsa manusia mengatasi kejahatan yang paling mengerikan dan mengancam kelestarian bangsa manusia seperti keserakahan, perang dan ketidakadilan sosial, lingkungan artifisial yang diciptakan bangsa manusia lewat penerapan ilmu pada teknologi untuk memuaskan keserakahan.

Mosaik Pemikiran Agama yang toleran – inklusif dari KH Abdurrahman Wahid:

Lakum Dinukum wa Liya Dini
Melengkapi aneka pandangan para pakar sosiologi dan sejarahwan tersebut, Kiyai dan Cendekiawan (c.q. KH Abdurrahman Wahid), tampil dengan wawasan religius yang ”Kosmopolitan yang menyejarah (historis), kontekstual, plural dan inklusif serta menawarkan kesejukan, kenyamanan dan kedamaian”. Mosaik pemikiran religius yang kontekstual, toleran, plural dan inklusif itu terungkap baik secara eksplisit maupun implisit dalam artikelnya berjudul ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat 29 April 2003), yang sekaligus menjadi judul bukunya ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (Wahid, 2006: 66-ss). 21

Dalam gaya bahasanya yang plastis, terkadang sarkastis dan heroik (pemberani) mosaik ide brilian seputar ISLAM dalam tautannya dengan masyarakat, agama, politik dan kebudayaan dikemasnya menjadi 7 (tujuh) bab sebagai berikut: Islam dalam Diskursus Ideologi, Kultural dan Gerakan (Bab I), Islam Negara dan Kepemimpinan Umat (Bab II), Islam Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Bab III), Islam dan Ekonomi Kerakyatan (Bab IV), Islam Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya (Bab V), Islam Tentang Kekerasan dan Terorisme (Bab VI), dan Islam Perdamaian dan Masalah Internasional (Bab VII).

Tanpa mengelaborasi semua pemikiran positif dan universal sebagaimana terkandung dalam karya monumental itu, ataupun yang telah dipaparkan oleh Pemakalah Pertama (Bpk Dr. M. Syafi’i Anwar, baik dalam Kata Pengantar Buku maupun dalam paparan lisan hari ini), saya ingin menggaris-bawahi beberapa pokok pikiran berikut ini.

Penguatan ISLAMKU Mengantisipasi Pendangkalan Agama
Pada penghujung pengembaraan intelektual dan imannya, Gus Dur sampai pada suatu titik kesadaran akan watak kosmopolitannya, dengan pemikirannya yang khas dan berbeda dari orang-orang lain. Itulah yang dinamakannya ISLAMKU. Pengembaraan individualnya ini, baik secara geografis spasial sejak dari tahun 1950-an di Jombang, hingga tahun 1960-an di Mesir dan Baghdad, maupun secara intelektual telah membuktikan kepiwaiannya untuk belajar tanpa kenal batas waktu, 22 batas wilayah dan agama 23 serta ideologi, termasuk saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama serta agama-agama lain (Wahid, 2006: 66).

Sikap demikian mengisyaratkan apa yang telah dicanangkan filsuf kondang Al-Kindi (800 – 870M) dari Kufa (Arab) bahwa

”kita patut bersyukur kepada usaha atau jasa para filsuf yang telah berhasil mengembangkan pengetahuan yang benar...... Sepantasnyalah kita tidak malu-malu lagi untuk menerapkan suatu kebenaran (al-haqq) dalam kebijaksanaan legal (istihsan), dan meyakini kebenaran itu darimana pun asalnya, sekalipun dari bangsa-bangsa lain yang menjadi saingan kita”. 24

Dengan wawasan demikian, dapatlah diyakini kemampuan untuk mengatasi pendangkalan pemahaman keagamaan, yang sering berdampak pada pembentukan sikap fanatisme atau radikalisme yang terwujud dalam aneka bentuk tindak kekerasan di pelbagai tempat seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit, Bali dan Jakarta (Wahid, 2006: 299).

Penghargaan akan ISLAM ANDA Menjadi Buaian Toleransi dan Pengakuan Akan Pluralitas
Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam konteks pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Fenomena Islam yang demikianlah yang dinamakannya ISLAM ANDA, sebagai kebenaran religius yang diperoleh atas dasar keyakinan, dan bukan pengalaman. Kadar penghormatan terhadap Islam seperti ini ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran (Wahid, 2006: 67-68). Sebagai tokoh agama dan negararawan, Gus Dur sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang lain, yang berbeda dari penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal menjadi buaian bagi toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan pluralitas agama serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.

Menurut pengamatanku, apresiasi Gus Dur terhadap pluralitas pemahaman dan penghayatan Islam itu telah menjadi sumber inspirasinya juga untuk mengapresiasi pluralitas agama-agama dunia serta respeknya terhadap kebebasan beragama, sebagaimana diamanatkan dalam beberapa ayat Quran: Lakum dinukum wa liya dini // bagimu agamamu, bagiku agamaku (bdk. Q.2, 256; 8, 29; 14, 4; 28,56). Baginya, toleransi dan respek terhadap kebebasan beragama itu merupakan salah satu amanat dasar dalam Quran, sebagaimana ditegaskan pula dalam Q.21, 107: ”Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia // wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li al-’aalamiin” (Wahid, 2006: 78). 25

Penolakan terhadap Negara Agama dan Terorisme Agama
Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide pembentukan sebuah negara agama’ dan ’aneka bentuk terorisme atas nama agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya suatu sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang jelas dalam Quran tentang sistem Islam itu (Wahid, 2006: 99), maupun karena Mukhtamar NU 1935 di Banjarmasin menegaskan hal itu; tambahan pula karena ketika NU mendeklarasikan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan bahwa partai itu adalah Partai Islam, karena NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah atau politisasi terhadap teks keagamaan (Wahid, 2006: 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26

Di hadapan konsep pembentukan Negara Islam dan penolakannya baik oleh sekelompok Muslim sendiri maupun oleh Pemerintah dan warga minoritas, terjadilah aneka bentuk terorisme yang mengatas-namai agama Islam. Sebagaimana terungkap dalam artikelnya berjudul ”NU dan Terorisme Berkedok Islam” (Duta Masyarakat, 12 April 2003), Gus Dur menulis bahwa dalam jenis-jenis tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan........... Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri mereka bertindak atas nama Islam (Wahid, 2006: 304). Sebagaimana halnya Gus Dur menolak tindakan kekerasan di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, perusakan Mesjid Babri oleh warga Hindu di India, maka dia dengan tegas membela kaum minoritas dan menolak semua tindakan terorisme yang mengatas-namai Islam mayoritas, karena mayoritas Muslim di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan seperti itu (Wahid, 2006: 304).

Mengupayakan AGAMA KITA sebagai Sarana Kemasyarakatan, Penegakan HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia
Bagi Gus Dur, agama Islam sebagai AGAMA KITA bukanlah sebuah agama politik semata-mata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam itu sangatlah kecil, yang terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain, Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, masyarakat sejahtera. Islam menjadi sarana kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita (Wahid, 2006: 32 - 33). Oleh karena itu, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan dan Perdamaian Dunia menjadi opsinya yang fundamental dari agama Islam.

Kesadaran akan fungsi agama Islam dan semua agama lainnya dalam penegakan HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia juga ditegaskan oleh Gus Dur pada kesempatan menjadi Keynote Speaker dalam sebuah konferensi mengenai Good Governance and Global Ethics, di Paris pada Mei 2003. Perjuangan penegakan hukum dan keadilan harus menjadi agenda utama dari semua agama dan pemerintahan, teristimewa dalam zaman dimana korupsi, pelanggaran hukum, peremehan nilai-nilai religius merajalela di dunia. Oleh karena itu, dialog terus menerus tentang penegakan hukum dan keadilan, serta sharing spiritualitas baru antara para tokoh dan pemeluk berbagai agama sangatlah bermanfaat (Wahid, 2006: 280 – 283; 355-359).

Memperkaya Wawasan Keagamaan dengan Pendekatan Akademis dan Kultural
Tak dapat disangkal bahwa para kerabat yang ber­iman Muslim senantiasa memandang agama Islam sebagai norma dan ideal. Sedangkan sebagai cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim bisa memandang Islam sebagai suatu objek studi dan sasaran penelitian. Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu distingsi jelas hendaknya di­buat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam normatif adalah Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang belum tentu terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari. Dalam Islam normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai yang diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu ilahi. Sedangkan Islam aktual adalah Islam historis atau sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan diterjemahkan kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawabi aneka tantangan yang kompleks dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di dalam Islam aktual itulah tercakup aneka gerakan, praktik dan cita-cita yang ada dalam masyarakat Islam di pelbagai zaman dan tempat, termasuk Indonesia.

Dari sudut pandangan ilmiah (akademis) dengan pendekatan kultural ini, kita tak beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu dapat mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik daripada masyarakat Islam lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang universal hendak­nya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola peng­hayatan iman di pelbagai komunitas muslim lokal yang diharapkan mampu menjelaskan pelbagai cita-cita dan praktik ke-Islaman yang beraneka ragam (pluralitas). 27

Gus Dur menyadari hal itu sehingga dia menandaskan bahwa kendati pun Islam diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan berlaku di segala tempat dan zaman, namun cita-cita dan praktiknya harus dipelajari sebagaimana ‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda sesuai komunikasi kultural timbal balik yang terjadi antara budaya Islam dengan budaya lokal dalam nuansa akomodatif. Dengan demikian, studi kawasan Islam atau Islamic Area Studies sangat dibutuhkan dan mendesak (Wahid, 2006: 22-23; 391). Sealur dengan pandangan Gus Dur itulah, maka studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh Evans-Pritchard (1949), 28 Geertz (1960), 29 Siegel (1969), 30 Bowen (1993), 31 Heffner (1985), 32 Barnes (1995, 1996), 33 Tule (2004) 34 dan lain-lain merupakan sumbangan besar demi memperkaya pemahaman agama Islam yang lebih kontekstual dan kultural.

Kesimpulan
Dari khasanah pemikiran Gus Dur sebagaimana terungkap dalam karya monumentalnya itu serta berdasarkan analisis yang dikedepankan dari perspektif teologi, sosiologi dan antropologi agama, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Masa depan agama-agama di dunia ini tidak lagi ditentukan hanya oleh wahyu (revelasi) dan instrumen legitimasi (seperti institusionalisasi teologis) serta fenomena sosial kwantitatif (minoritas-mayoritas) sebagaimana diwacanakan para sosiolog dan teolog. Faktor lain yang perlu diperhitungkan juga ialah persepsi insan beragama itu sendiri mengenai dirinya dalam proses sosio-kulturalnya: bagaimana ia mendefenisikan dirinya, tugasnya dan sikap imannya terhadap perkembangan situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi itu. Berbagai macam usaha pembaharuan, reformulasi visi keagamaan dan berbagai gerakan reformasi agama-agama termasuk apa yang dilakukan oleh para pakar Indonesia (semisal bapak KH Abdurrahman Wahid) mempunyai pengaruh terhadap masa depan agama, baik dalam tataran nasional maupun mondial.
  2. Tendensi agama masa depan hendaknya lebih memberi tekanan pada orthopraksis daripada orthodoksi. Praksis dalam arti perlunya selalu memuat refleksi atau kajian yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas. Dalam rangka ini pula menjadi penting peranan para pemikir agama, terutama para teolog (alim ulama) dan para mahasiswa/i dari aneka agama di Indonesia. Budaya reflektif ini lebih mendesak lagi dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat dan mendalam dalam agama, yang sedang menghadapi tantangan ateisme, jahiliyah modern, radikalisme atau fanatisme sempit. Maka dapat dikatakan bahwa masa depan agama dan masyarakatnya dalam arti tertentu tergantung pada pengembangan wawasan falsafah dan teologinya yang kontekstual. 35
  3. Dalam konteks global setiap agama memiliki dimensi yang normatif-ideal, yang sama dan konstan, namun selalu ada dimensi yang dinamis dan berubah. Penilaian mengenai agama-agama harus ditempatkan dalam konteksnya yang spesifik, yang riil dan partikular. Meskipun demikian, dari pengamatan sosiologis makro atau mikro dapat ditunjuk faktor-faktor utama perubahan struktur dan perilaku agama manusia zaman sekarang, antara lain :
    • Penghargaan akan nilai-nilai duniawi serta otonomi manusia dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya, seperti kemandirian, kebebasan, hak-hak asasi dan lain sebagainya.
    • Pandangan yang ”pluralistik”. Ini berkaitan dengan semakin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi, munculnya aneka stratifikasi sosial sebagai akibat proses modernisasi.
    • Migrasi dan urbanisasi manusia serta konsentrasi penduduk pada pusat-pusat produksi serta kota-kota besar telah melahirkan perubahan struktur sosial, perilaku serta orientasi pada nilai baru dari kebanyakan insan beragama.
    • Dibutuhkan spiritualitas baru. Perjumpaan antaragama dan antarpenganut agama dengan latar kebudayaan beraneka seperti di Indonesia merupakan kesempatan akulturasi yang luas dan membuka kemungkinan pembaruan. Manusia merupakan makhluk yang terus menerus menafsirkan situasinya. Perjumpaan antarbudaya dan antaragama selalu memuat proses hermeneutik, yang membawa kepada pemahaman baru baik mengenai agamanya sendiri maupun agama serta budaya yang lain dan yang ikut menentukan corak penghayatan keagamaan yang terbuka dan inklusif di masa depan. Untuk itu, dibutuhkan suatu ’spiritualitas baru’ (religiositas universal atau perennial) yang harus dihayati oleh semua umat beriman, khususnya para pemimpin agama (Wahid, 2006: 280). Hanya dengan modal ’spiritualitas baru’ itu, pelbagai pendekatan interdisipliner (politis, teologis, antropologis-kultural) terhadap dialog antaragama dapat berjalan dengan spirit atau jiwa yang menghidupkan.

Akhirnya kemampuan agama untuk memberikan makna pada hidup manusia dan kemampuan untuk bersama-sama memecahkan masalah-masalah kemanusiaan zaman sekarang dalam semangat CINTA SEJATI dan dengan SPIRITUALITAS BARU akan merubah masa depan Indonesia. Setiap warganya yang beragama akan dapat berkata: Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Tapi lebih lanjut setiap warga pun akan dapat berkata dan lebih memahami apa artinya LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI (Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku).[]

tahun 2020.

Tidak ada komentar: