Selasa, 20 November 2007

anak-anak

Senin, 12 Nopember 2007
WACANA

Sarjana Bermental Wirausaha

Oleh Zamhuri

Pendidikan enterpreneur akan memberikan karakter para sarjana
memiliki mental dan moral yang kuat, jiwa kemandirian, dan sikap ulet (tahan
banting), pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta mampu mengahadapi
persaingan global.

PROBLEM menganggur bagi sarjana masih menjadi momok. Mereka akan
berbondong-bondong untuk memburu kesempatan kerja ketika lowongan pekerjaan
dibuka. Padahal, kesempatan kerja menjadi pegawai, baik di swasta maupun
pegawai negeri sipil (PNS), tentu sangat terbatas. Seringkali sangat tidak
seimbang antara jumlah peminat dengan kapasitas daya tampung.

Pengumuan penerimaan calon PNS tiap tahun selalu dibanjiri para pemburu
kerja, terutama para sarjana.

Masalah selalu berulang; ketika akan kuliah sudah berhadapan dengan
kompetisi meraih tiket kursi kuliah di perguruan tinggi (PT). Dengan berkesempatan
mengenyam kuliah di PT yang diidamkan, akan lebih mudah memperoleh pekerjaan,
tanpa bersusah payah berkompetisi. Tetapi saat atribut sarjana sudah didapat,
ternyata mereka dibelit dengan persoalan lapangan kerja. Akhirnya sarjana
hanya menjadi bagian dari antrean beban angkatan tenaga yang bertambah
setiap tahunnya.

Menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, jumlah
pengangguran terbuka mencapai 11,104,693 orang. Pengangguran yang tidak
lulus atau lulus sekolah dasar (SD) mencapai 3,524,884 orang. Lulusan sekolah
menengah pertama (SMP) sebanyak 2,860,006 orang; lulusan sekolah menengah
atas (SMA) sebanyak 4,047,016 orang. Lulusan akademi/diploma sebanyak 297,185
orang, dan jumlah sarjana yang masih menganggur berjumlah 375,601 orang.

Menurut Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, M Tri Sambodo, angka pengangguran baru pada
2007 akan bertambah 1,6 juta orang, yang tentu di dalamnya termasuk lulusan
PT.

Tingginya tingkat pengangguran yang dialami oleh para lulusan PT menandakan
bahwa para sarjana masih menjadi problem dan penambah beban berat angkatan
kerja. Problem itu hendaknya menjadi perhatian semua pihak, baik oleh PT
maupun alumnus, dan semua pihak yang memiliki kepentingan bagi masa depan
anak bangsa dalam rangka ikut mengatasi angka pengangguran, terutama pengangguran
terdidik.

Para sarjana yang terjun ke masyarakat lebih memilih mencari pekerjaan
dengan menjadi pegawai swasta atau negeri daripada bersusah payah membuat
pekerjaan untuk dirinya sendiri.

Orientasi tak mau bersusah payah dan meraih kesuksesan secara instan
telah menjangkiti angkatan kerja usia produktif. Dampak dari perkembangan
dan kemajuan teknologi yang membuat manusia mudah untuk memperoleh kebutuhan,
ternyata berdampak kepada rendahnya mental untuk berusaha dan bersusah
payah ketika problem kehidupan mereka alami.

Karena itu, perlu ada satu kesadaran kolektif dalam upaya mengatasi
problem ketenagakerjaan, terutama para sarjana sebagai tenaga kerja terdidik.

Karakter Wirausahawan

Salah satu upaya untuk mengatasi dan mencegah pengangguran bagi
kalangan terdidik, terutama para sarjana, adalah perlu secara serius mempersiapkan
generasi sarjana enterpreneur (wirausahawan).

Menurut Ir Ciputra, pendiri Universitas Ciputra, bangsa Indonesia perlu
melakukan lompatan kuantum untuk menanggulangi masalah pengangguran dan
kemiskinan dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan.

Dengan demikian akan tercipta generasi sarjana pencipta kerja, bukan
pencari kerja, sehingga potensi kekayaan alam yang dimiliki dapat dimanfaatkan
untuk mencapai kemakmuran bangsa.

Pendidikan kewirausahaan bukan semata-mata untuk kepentingan dunia bisnis,
melainkan setiap lapangan pekerjaan yang memiliki semangat, pola pikir,
dan karakter enterpreneur akan membuat perbedaan, perubahan, dan
pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaan mereka di luar bidang dunia
bisnis. Jiwa enterpreneur akan memiliki daya kreatif dan inovatif,
mencari peluang dan berani mengambl risiko.

Pendidikan enterpreneur akan memberikan karakter para sarjana
memiliki mental dan moral yang kuat, jiwa kemandirian, dan sikap ulet (tahan
banting), pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, serta mampu mengahadapi
persaingan global.

Dengan sikap kreatif, mandiri, ulet, dan didukung dengan karakter yang
baik, maka para sarjana akan mampu mengatasi problem dirinya sendiri. Bahkan
bisa memberikan kontribusi dalam ikut memecahkan problem kehidupan yang
dihadapai oleh masyarakat.

Menurut Ciputra, dengan mengutip ahli sosiologi David McCelland (Kompas,
24/10), suatu negara bisa menjadi makmur bila memiliki sedikitnya dua persen
enterpreneur dari jumlah penduduk tersebut. Dari data statistik,
saat ini di Indonesia baru memiliki 0,18 % enterpreneur atau sekitar
400,000 dari penduduk Indonesia yang berjumlah kurang lebih 220 juta jiwa.

Dalam lingkup yang berbeda, Dr Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo,
yang belum lama ini mempertahankan disertasinya tentang "Signifikansi
Peran Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah"
di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan memperoleh predikat
cumlaude, menyatakan bahwa manajemen kewirausahaan sangat signifikan
menentukan kinerja pemerintah daerah (Suara Merdeka, 28/10).

Dalam paradigma sistem kewirausahaan, pemerintah diajak untuk tidak
mengutamakan sistem dan prosedur, tetapi lebih beroreintasi kepada kinerja
dan hasil kerja dengan mengutamakan jiwa dan semangat enterpreneurship.

Seorang pemimpin daerah juga harus mampu menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif, sehingga prestasinya bisa dinikmati oleh masyarakat.

Agaknya, jiwa kewirausahaan sudah harus menjadi bagian dari desain utama
(grand design) dalam kurikulum pendidikan di PT. Melihat timpangnya
antara kesempatan kerja dengan jumlah angkatan kerja yang membengkak tiap
tahun, perlu upaya serius dari dunia pendidikan, terutama PT, untuk ikut
membekali para mahasiswanya dengan pendidikan kewirausahaan.

Jika para sarjana memiliki sikap dan mental kemandirian yang ditumbuhkan
melalui pendidikan kewirausahaan, maka tidak canggung lagi setelah terjun
di masyarakat. Seandarinya satu orang sarjana bisa menciptakan lapangan
pekerjaan untuk satu orang saja, maka paling tidak problem pengangguran
dapat berkurang dua orang.

Ribuan sarjana yang menciptakan lapangan pekerjaan masing-masing sebanyak
satu orang, maka dua kali lipat dari ribuan tersebut, beban pengangguran
akan teratasi.

Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan sarjana seharusnya sudah tidak
lagi menjadi problem ketenagakerjaan di Indonesia. Sebab, dengan tingkat
pendidikan yang memadai seharusnya sarjana menjadi kontributor untuk memecahakan
problem ketenagakerjaan. Paling tidak, para sarjana tidak semata-mata berorientasi
untuk menjadi pegawai, terutama PNS, karena menjalani pekerjaan terhormat
tidak hanya menjadi pegawai dan atau PNS.(68)

- Zamhuri, manajer Yayasan Pembina Universitas Muria Kudus.

MAX WABER

Max Waber merupakan seoarang ahli sosiologi German yang menekankan pendekatan birokrasi-iaitu perlunya sesebuah organisasi untuk mempraktikkan system pengurusan formal yang bercirikan PERATURAN & UNDANG-UNDANG ,GARIS HIERARKI ORGANISASI yang jelas HUBUNGAN BUKAN PERIBADI dikalangan ahli organisasi.

Beliau menyarankan 6 ciri birokrasi iaitu:

· Pengkhususan kerja
· Hierarki Autoriti
· Peratiran dan Tatacara yg Formal
· Pemilihan kakitangan Berdasarkan Kelulusan Teknik
· Imperseonaliti
· Pentadbir Tertakluk Kepada Peraturan dan Disiplin

Menurut Waber ,Organisasi yang birokratik merupakan sebuah institusi yang dominan dalam masyarakat kerana menganggap nya yang paling ceka

Tidak Ada Resep Tunggal untuk Mendidik Anak

Jakarta, Kompas
Kirim Teman | Print Artikel


Berita Terkait:
• Cara Orang Batak dan Tionghoa Mendidik Anak





Sejak kedua anaknya masih kecil, Suwarni (50) mengaku tidak pernah memaksa anak-anaknya belajar. Ia justru memberikan kebebasan yang besar pada anak-anaknya.

Tidak ada aturan khusus kapan anaknya harus belajar, tidak ada larangan nonton televisi atau main game pada hari-hari sekolah. Ia juga tidak pernah memberikan hadiah saat anaknya meraih nilai bagus atau sebaliknya memberikan hukuman ketika nilai anaknya jelek.

”Biasa-biasa saja, semua berjalan alamiah. Saya tidak pernah menekan-nekan anak agar belajar. Semua terserah mereka,” kata Suwarni, pegawai arsip Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Anak keduanya, Arko Jatmiko (17), tahun ini masuk Fakultas Farmasi UGM tanpa tes. Ia dibebaskan dari seluruh biaya sekolah sampai lulus karena tergolong anak berprestasi.

Ketika duduk di bangku SMA, Arko telah menaruh minat yang besar dalam bidang penelitian. Ia pernah memperoleh juara dalam Lomba Ilmiah Remaja karena penelitiannya membuat keripik dari bonggol pisang.

Sederet penghargaan diterima Arko karena keberhasilannya mengikuti lomba karya tulis ilmiah. Kakaknya, Arya S Ramadhani (22), kini di semester akhir Fakultas Teknik UGM.

Saat Arko masih kecil, baik Suwarni maupun suaminya sibuk bekerja. Pada tahun-tahun pertama bersekolah, Arko malah agak ketinggalan dibandingkan kawan-kawannya karena ia belum cukup umur saat masuk SD.

Namun sejak kelas empat SD, nilai rata-rata rapornya terus meningkat dan berhasil memperoleh peringkat dua di kelas enam. Meski Suwarni dan suaminya sibuk bekerja, rumahnya tidak pernah sepi karena ada empat keponakan yang tinggal di sana. Keempat-empatnya harus bekerja keras mencari uang supaya bisa tetap kuliah.

”Saya juga sering bercerita tentang keberhasilan anak-anak orang lain yang bisa dicontoh. Anak pembantu saya pun bisa menjadi contoh karena bisa kuliah, bahkan sekarang sedang mengambil program doktoral di Australia,” kata Suwarni.

Suasana kerja dan belajar yang ada di rumah itu membuat anak-anak Suwarni belajar tanpa harus disuruh-suruh. Tidak ada jam belajar yang ketat diberlakukan. Ketika menginjak remaja, Arko dan kakaknya justru belajar dini hari, sekitar pukul 02.00 usai melaksanakan shalat.

Tanpa banyak diketahui Suwarni, Arko senang mengamati lingkungan sekitarnya sehingga ketika di SMA ia berkenalan dengan kegiatan kelompok ilmiah remaja, minatnya pada dunia riset tumbuh dengan baik.

Didampingi ibu
Menumbuhkan etos kerja, tidak mudah menyerah, dan semangat belajar juga bisa tumbuh dalam keluarga bersahaja, dengan fasilitas belajar seadanya, dan dengan latar belakang orangtua tidak berpendidikan tinggi.

Keluarga Wahyo Martopawiro (75) merupakan salah satunya.

Meski Wahyo hanya sempat bersekolah di Sekolah Rakyat dan istrinya hanya belajar di kelompok pemberantasan buta huruf, akan tetapi sembilan dari sepuluh anaknya berpendidikan tinggi. Lima menjadi dokter dan tiga di antaranya telah mengambil program spesialis.

Wahyo sehari-hari bekerja sebagai mantri kesehatan di dinas kemiliteran. Latar belakang militer itu yang membuat Wahyo disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Jam enam pagi, anak-anaknya sudah harus siap bersekolah. Tidak hanya pakaian yang harus rapi tetapi sepeda pun mesti mengilap.

Menurut Ny Kristiana Asih, anak ketujuh dalam keluarga itu, ayah dan ibunya tidak pernah mematok jam belajar khusus untuk anak-anaknya. Sang ibu yang setia mendampingi mereka belajar. Ketika anak-anaknya belajar, ia duduk di ruang tengah membaca koran dan belum pergi tidur sebelum anak-anaknya selesai belajar.

Tidak ada jam belajar khusus yang diberlakukan. Anak-anak diperbolehkan mengatur jam belajarnya sendiri. Ada yang belajar sore hari tapi ada pula yang belajar pagi-pagi.

”Sebelum berangkat sekolah kami selalu berdoa bersama. Saya tidak pernah dimarahi atau dipaksa-paksa belajar. Saya belajar karena kakak-kakak saya juga belajar. Bahkan kawan-kawan sering belajar bersama dan menginap di rumah,” kata Asih, lulusan Fakultas Geografi UGM.

Suwardi (42), anak keempat Wahyo yang kini bertugas sebagai dokter bedah di RSUP Jebres, Solo, mengaku tidak ada pengalaman dalam pendidikannya yang istimewa sewaktu ia kecil. ”Yang jelas setelah bangun tidur siap-siap ke sekolah. Waktu sekolah ya bersekolah. Kalau bolos sekolah, ya diikat di cagak,” kata Suwardi.

Cagak adalah tiang utama penopang rumah. ”Teman saya banyak yang pintar. Saya lulus dari SD malah ada angka limanya,” ujarnya.

Semasa duduk di bangku SD, Suwardi mengaku lebih banyak bermain daripada belajar, sebagaimana anak-anak di kampung pada saat itu. Sambil bersekolah, ia juga membantu ayahya mencari rumput.

Suwardi mengaku kesadaran untuk belajar baru terbentuk ketika di SMP. Ia berhasil menjadi juara kelas di kelas tiga SMA. Suwardi bisa masuk ke Fakultas Kedokteran UGM berkat sapi yang dijual ayahnya. Seperti dikemukakan Asih, ibunya sangat perhatian ketika mereka belajar.

”Perhatian itu antara lain dengan membuatkan kami teh atau singkong goreng untuk teman belajar,” kata Suwardi, bapak dua orang anak itu.

Menyikapi perubahan
Zaman memang berubah. Pengaruh di luar rumah dan sekolah sangat menentukan perkembangan anak. Televisi dengan informasi dan tontonan 24 jam tersedia bahkan di dalam kamar tidur.

Perubahan itu, menurut psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia Lucia RM Royanto, justru peran keluarga dalam mendidik anak harus lebih besar lagi.

Peran orangtua, kata Lucia, tidak bisa dialihkan ke sekolah, pembantu, atau pengasuh anak. Karena itu harus ada kesepakatan antara suami dan istri siapa yang lebih besar perannya dalam mendampingi anak.

”Suami-istri harus bisa menyiasati dengan memilih pekerjaan komplementer. Suami bisa bekerja penuh waktu, istri bekerja paruh waktu. Atau istri bekerja di kantor dan suami membuka usaha di rumah. Nilai-nilai harus ditanamkan melalui orangtua karena anak jangan sampai mengikuti nilai-nilai pembantu atau baby sitter,” kata Lucia.

Perubahan lingkungan menuntut pula perubahan dalam mendidik anak. Bila banyak orang yang sekarang berhasil meski pada masa kecilnya tidak ketat dalam belajar itu karena mereka dibekali atau membekali dirinya dengan perangkat untuk belajar. Mereka terbentuk bukan karena pemaksaan tetapi karena suka belajar.

Beban belajar yang terlalu berat, yang lebih menekankan isi daripada membekali anak dengan alat untuk belajar, justru bisa tidak produktif.

Ketika anak masih kecil, kata Lucia, anak perlu dididik berdisiplin, ada aturan yang jelas, tetapi semakin besar sebaiknya semakin diberi keleluasaan untuk mengatur diri sendiri.

Ahli Sosiologi Pendidikan dari Universitas Indonesia Eri Seda mengemukakan, pilihan terbaik dalam mendidik anak adalah menempuh jalan tengah. Dalam mendidik anak, menurut Eri, sebaiknya tidak ditempuh cara-cara ekstrem seperti terlalu memberikan kebebasan kepada anak, atau sebaliknya terlalu keras.

Menurut Eri, bila orangtua terlalu mendorong anak, menekan anak untuk belajar, dan membebani anak dengan berbagai macam les sampai pada tingkat tidak bisa menikmati lagi, hasilnya juga tidak akan beres. Sebaliknya dalam masa pertumbuhan, anak perlu tetap dibimbing dan diberi rambu-rambu.

Suwardi mengakui, untuk masa sekarang mau tidak mau anak sudah harus belajar sejak taman kanak-kanak karena pelajaran di sekolah makin sulit. Bila tidak belajar, ia akan ketinggalan dibandingkan dengan kawan-kawannya. ”Saya kaget ketika anak saya di kelas empat SD sudah belajar anatomi,” ujarnya.

Oleh: P BAMBANG WISUD
okoh
Qasim Amien
Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern
Oleh Anisia Kumala Masyhadi
24/07/2002

Pendidikan perempuan harus ditekankan pada kemandirian supaya mereka paham dan menjadi dirnyai sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki saja.


artikel Anisia Kumala Masyhadi lainnya
Total 0 artikel
Lebih lengkap lihat biodata penulis
artikel baru
13/11/2007
Abd Moqsith Ghazali
Refleksi Menuju Perdamaian
09/11/2007
Novriantoni
Aspek Sosiologis Kelompok Sempalan
05/10/2007
Maljaul Abror
Siapa Yang Rancu: Para Filosof atau al-Ghazali?
05/10/2007
Saidiman
Takfir Minimalis al-Ghazali
04/10/2007
Burhanuddin
Pasifisme Demokrasi
artikel sebelumnya
24/01/2002
Daniel S. Lev
Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia
02/09/2001
Burhanuddin
Vocal Minority
26/08/2001
Burhanuddin
Membangun Pluralitas Alquran
21/07/2002
Tegas Bukan Berarti Keras
14/07/2002
Burhanuddin
Konflik Metafisik


Pendahuluan[1]

Mengangkat masalah relasi gender dan feminisme terasa melelahkan, sekaligus mengasyikkan. Melelahkan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena bahasan ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh membahasnya. Maka, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah yang “membumi”, artinya, tidak saja menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun ideologis, namun lebih merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu.

Di Jepang, kita akan menemui Michiko, sebagai tokoh pergerakan kaum perempuan, di Maroko kita berjumpa dengan pemikiran Fatimma Mernissi. Ashgar Ali Engineer dan Rifat Hassan dari India, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia. Dan di Indonesia sendiri kita temui para pakar dan pemerhati gender, sejak periode pra-kemerdekaan. Kita bisa runtut dari RA. Kartini, dan Dewi Sartika sebagai pioner “feminisme” kala itu, dan untuk saat kini, kita bisa menyebut nama Wardah Hafid, Nurul Agustina, Ratna Megawangi, hingga mantan first lady Indonesia, Sinta Nuriyah Abd Rahman Wahid berada di garda terdepan membela dan membekali kaum perempuan. Hingga tidak heran muncul “Teologi Perempuan” yang menjadi “akidah-akidah” baru yang mengagendakan pembebasan dan pemberdayaan kaum Hawa.

Di dunia Arab sendiri, khususnya Mesir, masalah relasi gender ini menjadi bagian problem-problem sentral (al-isykaliyât al-markaziyah) dari pergolakan pemikiran Mesir. Kita mengenal Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi, May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang lain. Namun kalau kita coba menarik sejarah aksi-aksi para feminis ini ke belakang, maka, Qasim Amien-lah, yang menciptakan mainstream dan aksi-aksi kaum Hawa ini. Karena itu, pada saat kita berbicara tentang gerakan feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari pembicaraan tentang Qasim Amien, seorang tokoh yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum perempuan Arab khususnya dan kaum perempuan muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak “Feminisme” Arab.[2] Namanya dikenang sebagai pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Dan pemikirannya banyak mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme yang datang setelah zamannya.

Sebagaimana biasanya, seperti pemikiran tokoh-tokoh yang lain dalam bidang apapun, tidak akan lepas dari permasalahan pro dan kontra terhadap pemikirannya, apalagi gerakan dan pemikirannya termasuk gerakan yang mengusung reformasi yang gegap gempita pada saat itu. Demikian halnya pemikiran Qasim Amien, yang berangkat dari analisa sosial, hingga mengkritisi teks-teks agama hingga dipahami sebagai tradisi yang profan dan tunduk pada nilai sosial dan sejarah. Pemikiran Qasim mampu meruntuhkan “tembok” kejumudan berpikir dan menjadi “shock theraphy” dari permasalahan-permasalahan yang menjadi “blunder” dalam masyarakat.

Ide-ide perubahan sosial yang digulirkan oleh Qasim Amin memang bisa dikatakan sebuah pembaruan yang radikal jika kita lihat dalam konteks sosio-kultural pada waktu itu. Karena bagaimanapun juga, ide-ide tersebut berani “menantang arus” dari mainstream (arus utama) masyarakat, baik para ulama-ulama Al-Azhar maupun golongan pemerintah.

Dalam artikel kali ini, kita akan mengkaji pemikiran-pemikiran Qasim Amien dari dimensi al-ishlâh al-ijtimâ‘î (reformasi sosial), di mana salah satu agenda untuk mensukseskan reformasi ini dengan “merombak” keadaan kaum perempuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang sering “terdiskriminasi”, baik dengan “kedok” syariat, mitos, adat-istiadat atau pun budaya.

Menurut Qasim Amien masalah perempuan adalah akibat dari konstruksi sosial (social contruc) yang sering menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Selanjutnya, Qasim Amien berusaha untuk mencari solusi dan terobosan-terobosan baru demi memperbaiki keadaan umatnya yang terpuruk dalam jurang kemunduran dan kejumudan.

Sekelumit Biografi Qasim Amien

Ketika kita mencoba menganalisa pemikiran seorang tokoh, maka, usaha ini tidak akan lepas dari keharusan untuk mengetahui sekelumit sejarah dan catatan hidupnya yang banyak mempengaruhi dan melatarbelakangi struktur dan “ideologi” pemikiran-pemikirannya. Tujuan dari “pembacaan” ini agar kita bisa mengungkap pemikiran tokoh tersebut dengan lebih objektif dan tepat, sehingga kita bisa terhindar dari “analisis ideologis” yang melahirkan analisa yang subjektif dan menyudutkan. Di bawah ini sekelumit ringkasan riwayat hidup Qasim Amien dengan menekankan segi pendidikan dan sosio-kulturalnya yang banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran beliau, tentang realitas sosio-kultural masyarakat Mesir secara umum, dan nasib perempuan secara khusus.

Qasim Amien, dilahirkan di sebuah dusun di daerah Mesir dari seorang ayah keturunan Turki Ustmani dan dari ibu yang berdarah asli Mesir. Beliau lahir pada awal bulan Desember tahun 1863 M. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada waktu itu, Qasim Amien masih berumur 20 tahun. Pada masa kuliahnya itu, ia mulai kenal dengan sosok Jamaluddin Al-Afgahani dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir pada saat itu.

Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.

Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.[3]

Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dari daerah ini ia memulai pergerakannnya dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial (ishlâh ijtimâ'î). Jasa-jasanya yang patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya keras membebaskan para narapida politik.

Tahun 1894, Qasim Amien menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq.[4] Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D'harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amien dalam dunia tulis-menulis.[5] Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amien yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah'” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.

Qasim Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir

Dalam kajian sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Font Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah warisan tersebut merupakan syariat murni atau hasil ijtihad manusia terhadap masalah-masalah kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan berusaha mencari terobosan-terobosan baru, guna menyelesaikan problem kontekstual dengan mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman hidup leluhurnya.

Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam dua golongan tersebut, yaitu Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal, maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua. Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Dalam menyikapi pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka, pemikiran Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang benar-benar positif, mengentaskan umat manusia dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm) menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan dari kekangan-kekangan dan terlepas dari pandangan negatif dan nyinyir dari kaum laki-laki.

Kedua, kubu yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati. Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut tidak lain hanyalah bentuk lain dari westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur, yang akan mengikis habis identitas budaya Timur itu sendiri.

Sedangkan penulis sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini, karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak, tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa, dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas dari “karat-karat” ideologi dan kepentingan kelompok.

Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan

Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari “atas meja” akan melahirkan teori dan kesimpulan yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, dan bahkan jauh dari nilai kebenaran. Kita bisa melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas terhadap tulisan D'Harcouri tentang kondisi sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa dalam tulisan D'Harcouri itu—dapat dikatakan— sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia (D'Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika realitanya demikian, bagaimana mungkin tesa-tesa D'Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa kita katakan bahwa pemikiran-pemikiran seseorang bermula dari analisa sosial yang tajam dan kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh “berijtihad” untuk menyusun tesa-tesa demi memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap wajib untuk diperbarui.[6]

Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut—termasuk di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.

Norma-norma agama yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam Islam, teori hijâb ini menjadi syariat karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka, tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantikannya dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini.[7]

Qasim Amien juga memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Baginya, kondisi ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi, ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke atas akan lebih termotivasi melakukan poligami. Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya lemah dan pas-pasan, akan mengurangi kemungkinan menjamurnya tradisi poligami. Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan primernya, mereka memiliki kesempatan lebih banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan sekunder.

Namun, premis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial masyarakat, tetapi, di samping itu masih banyak lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat, dan budaya.[8]

Pada masa Qasim Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitas generasi umat sangat tergantung pada pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan awal.

Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan, pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja. Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di antara dinding-dinding rumah mereka sendiri. Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi inilah yang menyentuh hati Qasim dan mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke arah yang lebih “memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.

Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial.[9] Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.

Pembebasan Perempuan melalui Tradisi “Kritik Teks”

Seperti diketahui, pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amien telah membidik teks-teks agama yang menjadi “momok” perempuan lewat karyanya Tahrîr Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan poligami.

Sebelum terlalu jauh membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita mencoba mengetahui terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut Qasim Amien hijab mempunyai dua makna. Pertama, hijab secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas dianggap sebagai syariat Islam. Kedua, adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini dari dua sudut pandang; agama dan sosial.

Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum perempuan sangat memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi punah.

Menurut Qasim Amien masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya dianggap sebagai pesan syariat agama an sich. Sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab. Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun nash-nash sharîh yang mewajibkan pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan yang beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika pemakaian hijab bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.[10]

Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang lebih menentukan baik atau tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan hatinya, bukanlah dari penampilan lahiriyah.

Pada sisi sosial, Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya.[11]

Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam kelompok yang paling menentang adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak akan pernah rela jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.

Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah permusuhan batin antara istri yang satu dengan yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Karena bisa jadi seorang ibu—secara tidak sadar— menyulut api permusuhan dan kedengkian antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya akan mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka adalah persaingan yang tidak sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama manusia,—karena poligami ini—akan cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan permusuhan.

Walaupun secara radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang istri minta cerai, maka sang suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami adalah bentuk dari pemuasan nafsu binatang dan tanda-tanda dari dekadensi moral.[12]

Pemberdayaan Perempuan melalui Pendidikan

Dalam hal pendidikan, Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara berurutan. Pertama adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya (kebutuhan primer setiap individu). Kedua adalah pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya Ketiga pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.[13] Nah, pendidikan kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis pendidikan yang pertama dan kedua. Karena pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh jangkauannya jika diterapkan bagi kaum perempuan Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum perempuan dan kondisi sosiologis masyarakat yang masih memprihatinkan dan belum siap. Namun walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga jenis pendidikan tersebut merupakan kewajiban dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa terkecuali.

Dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan ini, Qasim menemui banyak kendala yang justru timbul akibat dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat perempuan. Asumsi-asumsi ini berasal dari teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, seperti, asumsi masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah (Nâqishah al-Dîn wa al-‘Aql).[14] Pada hakikatnya asumsi ini terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab dulu, di mana perang menjadi kebiasaan. Tidak sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan keadaan yang seperti ini maka peran kaum perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama seperti harta rampasan perang lainnya. Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa saat perang sudah tidak menjadi kebanggaan masyarakat Arab.

Menghadapi adat istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam membela hak pendidikan bagi kaum perempuan, karena baginya pendidikan adalah hak setiap manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat, bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi mereka semua tanpa pandang bulu.

Menurut sebagian ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu itu hanya berkutat pada masalah ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada mengatur rumah tangga dan tetek bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau sejenak kita melihat realitas kehidupan masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena yang bertolak belakang dengan fenomena dan asumsi tersebut.

Tidak sedikit kita mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau ayah) yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan tidak sedikit kaum perempuan hidup tanpa sistem herarki kepala keluarga seperti ini, karena beberapa hal, misalnya perceraian ataupun meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya, sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia sendiri adalah seorang yang lemah, miskin dan bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia lakukan? Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan yang layak dan memadai agar mereka dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya sendiri dan keluarga.[15]

Kemudian, jika kita tengok posisi kaum perempuan yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya, maka pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks ini sangat urgen bahkan menjadi kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka, pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari proses pendidikan mental dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna. Nah, agenda-agenda dan harapan-harapan di atas akan sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Bagaiamana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu saja masih terbelakangan tanpa pendidikan? Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka masih terseret fenomena-fenomena ini?

Dari Konservatifisme Menuju Liberalisme

Jika kita runtut dan cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk kita kaji berkaitan dengan metaformosa (perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan dahsyat.

Dalam karya perdananya “Les Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu, kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan secara negatif oleh Duc D'harcouri—dalam sebuah tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang, terisolir, dari kemodernan dan kemajuan. Sebagai seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme tinggi, Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi negatif dari keadaan masyarakat di negerinya harus dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi mengembalikan nama baik masyarakatnya yang sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. Dalam tulisan inilah, Qasim dengan konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang positif.[16] Misalnya, ketika D'harcouri memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, yaitu masyarakat yang benar-benar memisahkan antara kelompok perempuan dan laki-laki—sebagai sebuah tradisi yang negatif dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru menganggapnya sebagai tradisi yang sangat positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini merupakan identitas masyarakat yang beretika, lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran agama.[17]

Lima Tahun kemudian, 1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya yang sederhana dan—dalam prediksinya—tidak terlalu berharga, namun ternyata berhasil menimbulkan ledakan besar bagi masyarakat Mesir dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial. Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar'ah ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika dalam Mashriyyûn beliau sangat konservatif, anti barat dan membabi buta, dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat barat untuk melakukan kritik terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Misalnya saja ketika mengangkat masalah disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum lelaki karena dibatasi hijab. Awalnya, beliau menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar'ah ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi hijab ini dan meminta tradisi tersebut “ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar'ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) sebagai “terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.

Kita bisa bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat (lima tahun), Qasim Amien merubah cara pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang melatar belakangi ini semua? Benarkan ini pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat latar belakang lahirnya buku yang pertama itu, adalah refleksi dari pembelaan diri ketika masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain, pemikirannya dalam Mashriyyûn ini belum bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari tuntutan-tuntutan psikologis yang mendesak.

Sedangkan nafas-nafas pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr Al-Mar'ah, beliau lebih menekankan pada sisi reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau benar-benar mendalami syariat Islam dengan membaca buku-buku referensi utama (ummahât al-kutb) yang berjilid-jilid sehingga dapat menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi terjadi plagiasi dalam karya-karya ini?

Menurut Muhammad ‘Imarah, Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing partner Qasim— memiliki kontribusi dalam penulisan karya ini, karena pemikiran dan pembaruan yang menjadi subtansi buku ini sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad ‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar'ah ini bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr Al-Mar'ah ini mengandung dua dimensi; agama dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi sosial budaya yang menjadi keahliannya.[18]

Penutup

Dua karya besar yang menjadi magnum opus Qasim Amin adalah Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qasim lebih menekankan pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi dan kungkungan subordinasi. Qasim mencoba membuka “kran-kran” penyumbat kemajuan ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi kaum lelaki. Dan metode yang digunakannya pun lebih menitikberatkan pada reinterpretasi al-Quran dan Hadist yang seakan selalu melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat.

Sedangkan dalam al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern) Qasim mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok dalam karya sebelumnya. Ketika kaum perempuan telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide pembebasan (liberalisasi), maka Qasim Amien memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan urgensi pendidikan kaum perempuan. Menurutnya, perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya tanpa harus ada ketergantungan pada kaum laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini, kita menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan perempuan melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern yang “berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”. Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih berbau teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim Amien ingin merekonstruksi sosial, setelah mendekonstruksinya.

Namun, di zaman modern ini, model-model usaha Qasim Amien kelihatannya sudah tidak begitu menemukan relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup pada era globalisasi ini, pembebasan perempuan dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum perempuan untuk menikmati pendidikan bukalah hal yang sulit untuk didapat. Di segala lini kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan. Artinya, diskriminasi kaum perempuan dan subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan dirasakan oleh masyarakat semasa hidup Qasim Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah. Walaupun tidak menutup kemungkinan kita masih menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam kehidupan sosial. Nah, agenda yang mungkin masih relevan saat ini adalah “pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi “pembebasan kaum perempuan” seperti perjuangan Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain pada zamannya.

Jadi, yang bisa kita ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien bukanlah model-model materialistis usahanya, namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat yang senantiasa diperjuangkannya. Kita harus bisa menghidupkan kembali ruh perjuangan itu sesuai dengan konteks yang ada. Semoga semangat dan jasa-jasa Qasim Amien dalam ijtihad dan perjuangannya dalam merekonstruksi masyarakat selalu menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb
Dorama dalam Tinjauan Sosiologis
Avant propos
Tercatat dalam pengamatan saya, sejak tahun ’90-an negara-negara timur adidaya mulai merambahi pertarungan di industri hiburan, menyaingi Hollywood dan sekaligus menawarkan bentuk-bentuk baru. Saya lebih suka menamainya pertarungan budaya dan nilai. Karena memang nyatanya demikian, bukan? Tidak ada yang bebas-nilai di dunia ini. Di mana letak sosiologisnya? Bagi saya, melalui sosiologi kita bisa belajar tentang banyak hal. Saya tidak menerjemahkan sosiologi sebagai ilmu untuk merumuskan masalah pertentangan kelas, konstelasi sosial yang rumit, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah ramuan antitesis. Sosiologi dalam pandangan saya berarti menemukan ”permainan” menarik yang tengah dimainkan oleh para makhluk di sebuah planet bernama bumi. Toh, menurut (Kang) Roby Muhamad tidak ada konsensus mengenai definisi sosiologi. Dan lagi, bagi saya dalam dunia ilmu pengetahuan, semua orang berhak merumuskan definisi dan teorinya sendiri, terlepas dari teori mana yang pada akhirnya menjadi anutan banyak orang dan dirasa paling rasional, walaupun pada kenyataannya independensi teori dan pemikiran dalam ilmu sains mungkin agak rumit dibicarakan (berbeda halnya dengan dalam ilmu sosial). Maka itu saya tidak terlalu suka kegiatan menghafal teori-teori para sosiolog. Bagi saya, dalam ranah sosial-lah kita berkesempatan membahas ambiguitas yang niscaya dari sebuah pernyataan, aksioma, atau teorema di ranah sains (dalam konteks sains sebagai ilmu untuk merumuskan kehidupan dalam suatu model).

Dari Telenovela ke Dorama
Diawali dengan kejayaan Hongkong lewat nama-nama Andy Lau dan Jimmy Lin, lalu tahta penguasa media hiburan audiovisual beralih ke Jepang dan Korea (Selatan, red.). Saya ingat betul ketika saya yang masih duduk di bangku SMP dibuat menangis patah hati karena dorama Tokyo Love Story berakhir dengan ending tidak-bahagia. Ibu-ibu rumah tangga dan remaja muda tentu juga merasakan peralihan tren dari telenovela Latinos menuju dorama, seperti Winter Sonata atau Memories of Bali. Yah, apa sih yang tidak dikonsumsi oleh penduduk negeri permisif ini?

Seperti halnya telenovela yang juga disajikan secara berseri, dorama pun demikian. Tetapi ada perbedaan yang menarik antara telenovela dan dorama. Anamnesis saya mengatakan bahwa dorama lebih berkarakter dan berpengaruh luas dibandingkan dengan telenovela. Telenovela yang dominan menjadi inspirasi munculnya sinetron-sinetron era ’90-an memiliki cakupan tema yang terbatas dan sepertinya sangat sulit membungkus muatan-muatan pesan secara elegan. Telenovela sangat sulit beralih dari setting kemewahan, ketampanan, dan kecantikan. Kalaulah ada Betty La Fea yang agak berbeda, ceritanya pun diakhiri dengan revolusi Betty si cupu menjadi wanita cantik dan peka mode. Bagi saya sih, gak seru! Kebanyakan telenovela disponsori oleh perusahaan kosmetik (dekoratif) terkenal yang memang memiliki konsep ”how to change women’s body based on our standard”. Konten virus akal-budi yang teramat kentara (bagi saya) adalah soal persepsi tentang kesuksesan hidup dan nilai keberartian seorang manusia. Nilai moral diselipkan hanya sebagai common sense dan pelengkap mahkota orang-orang yang diceritakan beruntung di dalam skenario telenovela.

Berbeda dengan telenovela, tema dorama mengalami dinamika dan kaya akan pengembangan imajinasi. Kini, bahkan dorama menjadi penguat nuansa ”konyol” yang selama ini hanya dapat dilukiskan secara animatif di dalam komik. Dorama menyuguhkan tema yang lebih realis dibanding telenovela, atau bahkan absurd sama sekali. Dorama tidak menyuguhkan dongeng atau mimpi layaknya cerita-cerita telenovela. Relasi masalah di dalam sebuah dorama dijabarkan secara dewasa, bukan digambarkan dengan metode yang lateral (seperti yang satu jahat, yang satu baik, lalu si baik menang melawan si jahat). Dorama juga menjadi media representasi aliran humor baru, humor komikal atau humor keseharian yang seringkali menyentuh dasar kemanusiaan kita.

Secara umum, dorama mampu mengubah pola pikir penonton tentang masyarakat negara produsen dorama tersebut. Pada awalnya saya mempersepsikan masyarakat Jepang (sebab saya tidak terlalu concern tentang Korea) adalah masyarakat yang miskin humor, masyarakat yang didominasi oleh kaum geeks dan gila kerja, dan cenderung bertindak pragmatis. Dan jika berpikir secara konspiratif, tampaknya Jepang dan Korea tahu benar bagaimana cara mengopinikan citra negara dan masyarakat mereka pada dunia.

Style and Culture Marketing
Begitu banyak muatan yang terkandung dalam dorama. Yang pertama, yang bagi saya secara langsung dapat ditangkap oleh banyak pihak, ialah muatan budaya. Di dalam dorama-dorama Jepang, seringkali terselip adegan-adegan makan. Mereka menyuguhkan makanan-makanan khas Jepang. Dalam dorama-dorama remaja, seperti Itazura Na Kiss, kegiatan membawa kotak bekal makan siang ke sekolah merupakan detil yang menonjol. Kotak makan tersebut khas, terbuat dari kayu yang dipernis halus, lalu dibungkus lagi dengan sapu tangan khas Jepang. Dalam dorama Nodame Cantabile, yang menceritakan Chiaki, figur remaja Jepang yang lebih banyak dididik dengan metode Eropa, ditampilkan adegan ketika Chiaki begitu terpesona pada kotatsu (meja makan yang memiliki selimut dan penghangat). Dalam dorama begitu banyak penjelasan dan pengenalan kebiasaan hidup yang diperkenalkan. Lain halnya dengan yang “disampaikan” oleh dorama Korea. Dalam semua dorama Korea yang telah saya tonton (juga film Korea), terdapat satu adegan yang sama, yakni adegan mabuk. Mabuk sepertinya merupakan aktivitas yang wajar di Korea. Pernyataan cinta seringkali disampaikan dalam keadaan mabuk.

Selain itu, kesan “standar” yang saya rasakan ketika menonton dorama ialah kesan betapa bersihnya negara mereka, betapa masyarakat mereka memiliki standar tinggi tentang kebersihan (ya, ini mungkin terkait dengan diri saya pribadi saja, yang sangat “antusias” pada “stabilitas” lingkungan). Dalam banyak scene saya melihat pasar-pasar tradisional yang bersih, kebun binatang, taman kota, pedagang asongan yang tertib-rapi, atau rumah-rumah yang tertata dalam blok yang rapi, yang tidak terdapat satu bangunan lebih tinggi dari bangunan yang lain. Dan kesemua itu ditampilkan dalam satu gambar yang tidak hiperbolis atau artifisial. Yang tampak adalah bahwa seolah-olah memang demikianlah keseharian mereka.

Dalam dorama-dorama aktual, tampak bahwa pesona Harajuku akan segera ditransfer melintasi batas benua dan samudra. Jepang dan Korea, dalam penjelasan yang belum mampu saya jabarkan, memiliki arah dan “gaya” globalisasi tersendiri. Menurut saya, kedua negara tersebut memiliki andil besar dalam menciptakan globalisasi beraliran timur. Jepang, misalnya, merepresentasikan Ginza sebagai ikon gaya hidup kosmopolitan Jepang (satu dari tiga wanita Jepang menenteng tas Louis Vuitton!,-Cosmopolitan, Mei 2007). Jelas, bahwa menurut teori kapitalis, negara yang menguasai ekonomi akan dengan mudah menguasai sektor-sektor pemikiran dan budaya. Menurut prediksi saya, teori ini hanya akan dipatahkan oleh fenomena Iran.

Language and Attitude Marketing
Muatan yang kedua adalah muatan bahasa dan tingkah laku. Dalam dorama Jepang, kita akan menemui perbedaan penghormatan antara lelaki dan perempuan. Lelaki akan melakukan penghormatan dengan posisi yang mirip dengan posisi ruku’ dalam shalat, sedangkan wanita melakukan penghormatan dengan posisi agak sedikit membungkuk hingga setengah punggung saja. Menurut tafsiran saya, perempuan Jepang termasuk ke dalam jajaran perempuan yang agresif dan sangat terbuka dalam mengemukakan cara pikir/perasaannya. Mekanisme penghargaan dan hukuman di negara ini berlangsung sangat ketat. Begitu banyak ungkapan-ungkapan serta ekspresi wajah khas yang hanya dimiliki oleh orang Jepang, ataupun ekspresi yang hanya akan diproduksi ketika kita mengungkapkan kata-kata dalam bahasa Jepang. ”iiee”, ”so yo ne”, ”wakatta”, atau ”yokatta”, dan terlebih lagi ”ganbatte” semakin akrab saja di telinga saya.

Dalam dorama Korea saya mempelajari bahwa ternyata masyarakat Korea lebih ”kasar” dari masyarakat Jepang. Hal ini dapat dilihat dari intonasi bicara atau juga kebiasaan menepuk keras kepala kawan dekat sebagai canda atau tanda kesal. Dalam dorama Korea yang telah saya tonton banyak sekali teriakan ”Yaaa!!” yang maknanya kurang lebih ”Hehhh! (Sini lo!)”, yang berarti merupakan ungkapan menantang.

Tidak seperti tontonan lokal kita yang berkisar pada adegan makan mewah, menangis, disiksa, masuk rumah sakit, lalu tiba-tiba ganti wajah (nahh..loo bingung kan?), mengikuti dorama membuat kita lebih terlibat dengan kehidupan keseharian mereka. Masalah inti dalam dorama ditampilkan tanpa berlebihan. Ia ditampilkan bersama dinamika yang menyertainya, sehingga tampak alami.

Mindset Marketing
Muatan yang terakhir adalah muatan pola pikir. Dorama Jepang (terutama) sangat kental sekali mengajarkan profesionalisme dan penghargaan terhadap profesi. Dalam Iryu Team Medical Dragon, dikisahkan tentang kebobrokan dunia medis dengan tokoh utama seorang dokter progesif, antikemapanan, dan sangat benci pada remeh-temeh birokrasi. Dalam Nurse Aoi, saya mengetahui bahwa kebejatan moral dokter dan kebodohan medical representative juga menjadi concern di Jepang. Sebuah profesi dalam dorama dijabarkan secara filosofis dan mendalam. Sebuah profesi menjadi jelas berkorelasi terhadap kehidupan.

Selain soal profesi, terdapat pesan-pesan moral yang sungguh baik dan terselip dengan elegan dalam dialog-dialog dan mimik para pemain. Dalam My Boss My Hero, yang menceritakan calon pemimpin yakuza yang kuat tapi bodoh, dipesankan pada para penonton bahwa kita perlu mengubah paradigma kita tentang pendidikan dan sekolah. Sekolah seharusnya bukankah institusi yang kaku. Di sekolah kita bisa belajar tentang banyak hal, termasuk tentang kehidupan. Dalam Nodame Cantabile dikisahkan bahwa Nodame sangat trauma dengan kekerasan yang dilakukan gurunya ketika ia masih kecil. Pelajaran yang dapat diambil ialah bahwa apa yang dilakukan guru pada anak didiknya akan sangat mempengaruhi perkembangan anak didik tersebut di masa depan.

Dalam banyak dorama baru, terdapat satu pesan yang menonjol, yakni tentang perempuan. Tidak seperti tontonan lokal kita yang berpesan bahwa ”perempuan hamil karena zina itu kasihan dan tak berdaya”, dorama banyak bicara tentang bahwa ”perempuan tidak boleh dipermainkan lelaki”. Dalam dorama seperti O Dal Ja, My Old Diary, My Name is Kim Sam Soon, atau dorama Jepang yang cukup lama, Anchor Women, begitu banyak pelajaran tentang perempuan. Perempuan harus memiliki visi dalam hidup, tidak hanya meleburkan diri dalam visi lelaki yang dicintainya (sehingga ketika ia kehilangan lelaki tersebut, hidupnya tetap memiliki arah). Perempuan harus kuat dan memiliki harga diri. Dalam dorama-dorama dengan tokoh sentral perempuan juga sedang kuat dikampanyekan tentang ”Being Single in Thirty Wasn’t Matter”. Ya Allah Ya Rabb, kalo buat saya yhaaa... it was a matter:), tetapi terlepas dari kecemasan syar’iyah, hal penting yang disampaikan dalam dorama-dorama sejenis ialah bahwa kehidupan ini begitu luas, begitu banyak amal yang bisa dikerjakan terkait dalam keadaan lajang, dan yang terpenting adalah kekuatan menjaga optimisme bahwa love will find you (halah!)

Secara pribadi, saya menyukai cara dorama mendeskripsikan tokoh perempuan dengan karakter yang kuat, ceria, ”gila”, konyol, dan memiliki cara/gaya tersendiri. Terlebih lagi di dalam dorama seringkali tokoh dengan karakter tersebut dijadikan pihak yang menang atas permasalahan yang ada. Menurut saya, hal ini merepresentasikan paradigma yang berkembang (atau yang sedang berusaha diopinikan) terhadap sosok perempuan, perbedaan, dan kelaziman. Cara dorama menyajikan masalah berat dengan ringan, cerah, dan sarat humor juga mengagumkan bagi saya. Satu hal (lagi) yang menandai kematangan dorama ialah kemampuannya dalam menghadirkan warna emosi yang berbeda-beda dalam satu karya, hingga pada akhirnya para penontonnya dibuat sadar bahwa tangis dan tawa adalah perhiasan hidup yang telah disematkan Allah ke dalam setiap jiwa.

Wallahu a’lam bisshowab[waras]

Labels: Cultural Studies

posted by Warastuti | Permalink |


3 Comments:



At May 20, 2007 4:10 AM, Awan Diga Aristo

duh!
gw belom pernah nonton gituan (sinetron jepang/korea). tapi yang jelas gw muak ngeliat sinetron lokal.

jangan salah... gw cinta negara dan bangsa ini, termasuk produk dalam negeri. justru karena gw rasa sinetron lokal itu ngerusak mental bangsa, makanya gw muak.

perkaranya, pergeseran pola hidup (dan pikir), pada dasarnya merupakan potensi yang dimiliki semua tayangan. sinetron dari manapun itu.

seandainya bisa lebih mendidik daripada sekedar mengajarkan remaja-remaji bercinta semenjak usia dini...

NB : tapi gw bnr2 suka nagabonar jadi 2...

At May 21, 2007 4:46 AM, Warastuti

Gw juga suka (ide) nagabonar jadi 2.

Tapi sayang, detil-detil filmnya kurang tergarap dg baik. Ya, maklumlah...

Tapi alangkah indah dan kerennya Nagabonar Jadi 2 kalo peran Wulan Guritno yg ga penting itu diapus, trus Tora diganti sama sapaa gitu yang aktingnya lebih bagus...(bagi gw Tora jago akting itu cuma opini yang dihembuskan gara2 pengaruh tampangnya doang, sama kaya mitos Dian Sastro. Riilnya nihil)

At October 27, 2007 2:03 AM, ^_^

Salam kenal, setuju banget tuh sama detil2 film Jepang dan Koreanya.

Ada banyak kebiasaan mereka yang unik yang bisa kita lihat dari drama2nya.

Salah satunya adalah kontradiksi antara kehidupan mereka yang serba modern dan individualis tapi tetap menghargai kekeluargaan, mereka jg sangat hormat sama orang tua ya? biarpun orangtua itu anak buah di kantornya.

Beda banget sama film Indonesia yang kalo ngomong sama orang yang lebih tua suka kurang ajar banget, jangankan sama pembantu, sama ortu aja berani main tangan... jangan sampe deh sinetron kita diekspor, nanti disangkanya kita semua kayak gitu...hiks.
Sederhana Itu Sulit

Salah satu bentuk paradok yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan di mana menjalani hidup sederhana (mudah) justru yang paling sulit (The simplest is the most difficult). Padahal kenyataan juga menunjukkan bahwa biasanya konsep yang sederhana lah justru yang bekerja dengan efektif. Konsep yang ruwet, acak-acakan, njelimet justru seringkali bernasib mandul dan menelan banyak biaya. Kita bisa buktikan jumlah waktu dan biaya pulsa telephone yang kita gunakan untuk hal yang jelas dan hal yang tidak jelas. Bisa-bisa berlaku formula Paretto (20:80). Dua puluh persen untuk hal yang jelas dan delapan puluh persen untuk hal yang tidak karuan. Mengapa hal demikian ini bisa terjadi?

Hambatan

Mudah sekali kita terjebak dalam pola hidup yang tidak sederhana. Banyak alasan yang menjadi penyebabnya. Pertama adalah persepsi lingkungan di mana kesederhanaan berpikir, bersikap, dan dan bertindak dianggap sebagai kelemahan. Bentuk kelemahan yang mewakili persepsi demikian adalah terlalu sembrono, menyepelekan atau miskin. Padahal seperti pepatah leluhur bilang, sederhana bukan berarti miskin tetapi tepat sesuai kebutuhan. Sederhana berpikir dan bersikap juga berbeda dengan sembrono. Berpikir dan
bersikap sederhana lahir dari kematangan dan kedalaman pengetahuan / pemahaman seseorang tentang diri dan wilayahnya sehingga lebih tepat dikatakan sebagai keunggulan. Sementara sembrono lahir dari kedangkalan yang berarti kelemahan.

Alasan kedua adalah kualitas-diri. Kualitas diri yang rendah bisa jadi merupakan hambatan utama bagi kesederhanaan. Sebagian di antaranya dapat kita uraikan sebagai berikut:

1. Kecenderungan Liar

Sulit memiliki pola hidup sederhana kalau kita tidak mampu menjinakkan kecenderungan yang ingin memperluas wilayah secara liar atau dengan kata lain terlalu serakah untuk menekuni banyak hal sekaligus sementara satu hal belum lagi tuntas. Justru yang lebih banyak kita butuhkan adalah mendalami wilayah. Kita perlu belajar dari kehidupan orang sukses yang rata-rata memulai sesuatu dari satu hal tertentu, baru meluas ke wilayah atau hal berikutnya. Bahkan ada isyarat bahwa perluasan wilayah itu hanya side - effect dari kedalamannya. Contoh: dari sukses di bisnis kemudian di tarik ke politik, sosial, dll.

2. Ketidakpuasan

Kecenderungan liar di atas tidak bisa dipisahkan dari unsur ketidakpuasan di dalam diri sang. Seperti yang pernah di tulis oleh Swenson (Creating "White Space in your life, Kathy Paauw: 2002), bahwa ketidakpuasan merupakan penyebab yang menghalangi orang untuk hidup sederhana. Ketidakpuasan di sini diartikan kehilangan margin - space yang kosong untuk membedakan space hidup yang lain. Ketidakpuasan identik dengan ketidakmampuan menciptakan rasa bahagia di dalam. Padahal kebahagian adalah kunci.

3. Rendah Diri

Kemungkinan yang paling dekat mengapa orang tidak merasa bahagia dengan dirinya adalah karena adanya rasa rendah diri (Inferioritas). Orang yang punya merasa rendah diri akan mudah terjebak dalam pola hidup yang tidak sederhana dengan cara menipu diri -self deception (Hamacheck: 1987). Praktek hidup yang mudah dikenali dari orang-orang yang rendah diri adalah: a) mengurangi tanggung jawab (taking credit) atau minimalistis, b) terlalu mementingkan diri sendiri (self ego) karena rasa takut, c) beranggapan bahwa orang lainlah yang harus berubah, d) menolak tanggung jawab hidup untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Karakteristik

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang harus dimiliki oleh seseorang untuk bisa memiliki pola hidup sederhana. Beberapa esensi yang menjadi ciri khas pola hidup sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Keputusan

Esensi ini dapat membedakan antara sederhana, sembrono, terlalu berhati-hati atau bentuk pola pikir, sikap, dan perilaku yang berlebihan lainnya. Kesederhanaan adalah kemampuan menentukan keputusan hidup berdasarkan pada fakta optimal yang nyata dan efektif. Keputusan hidup yang lebih banyak didasarkan pada muatan perasaan pribadi atau ikut-ikutan seringkali tidak sederhana, irrational dan dibumbui muatan 'mestinya'. Padahal keputusan harus menjadi solusi pada persoalan yang bermuataan 'kenyataannya'.

Keputusan yang lahir dari kedangkalan pengetahuan dan pemahaman fakta optimal seringkali bukanlah ketukan palu pengadilan solusi melainkan awal dari suatu masalah. Dan sudah menjadi titah alam, persoalan apapun akan menjadi sederhana apabila diterima oleh orang yang berada dalam kapasitas mengambil keputusan. Sederhana di sini berarti jelas antara YA & TIDAK. Orang yang tidak jelas keputusannya (ketidaksederhanaan) akan rentan terhadap berbagai kafatikan, frustasi yang bisa merembet pada stress, konflik dan lain-lain (Bradford dalam Living simply in complex world: 1998 )

2. Kekokohan

Esensi kedua adalah kekokohan pondasi personal yang berisi kejelasan (clear-cut) tujuan & fokus. Seseorang baru bisa berpikir, berbuat dan bersikap sederhana kalau dirinya sudah jelas melihat wilayah di mana ia berdiri. Dengan usia dunia yang makin tua ini dipastikan semakin banyak distraksi dan godaan yang membuat kita mudah mengatakan YA atau pun TIDAK di luar konteks wilayah hidup kita yang sebenarnya. Pondasi inilah yang menjadi sekat personal. Banyak persoalan kemanusiaan timbul dari sekat personal yang hilang. Mestinya sekat kita dengan orang lain adalah saling membantu tetapi ketika kita langgar dengan tindakan intervensi, misalnya saja, maka hilanglah kesederhanaan itu.

3. Kemanunggalan

Berdasarkan The law of natural fixation ( keteraturan alamiyah), dunia ini satu dan menyatu antara sekian objek yang kelihatannya di tingkat permukaan terpisah. Kita menyatu dengan dunia di luar kita. Kita akan dapat menjalani hidup dengan kesederhanaan kalau kita sudah dapat menyatukan sekat yang terpisah dalam bentuk pemahaman dan pemaknaan. Pemimpin perusahan akan sederhana ketika seluruh urusan usaha yang kelihatannya terpisah berakhir di meja kerjanya yang satu. Sebaliknya akan tidak sederhana apabila laporan tentang keadaan di lapangan yang terpisah tidak menyatu di mejanya.

Beberapa Kiat

Ada banyak cara untuk memulai hidup sederhana. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah 'tip guideline' yang dikemukakan oleh Julie Jordan Scott ( 2000) sebagai berikut:

1. Merumuskan Tujuan Hidup dan Cara Mencapainya

Kita bisa membuat rumusan hidup dengan formula sederhana, yaitu Formula SMART:

· Jelas (spesific),

· Terukur, punya padanan fisik (measurable),

· Bisa dicapai (attainable),

· Relevan (relevant)

· Ada tahapan waktu (time-based)

2. Mengidentifikasi dan Menyeleksi

Untuk bis ahidup sderhana maka diperlukan kemampuan dalam mengidentifikasi dan menyeleksi bentuk distraksi, toleransi, dan dukungan yang menyangkut obyek berikut:

· Barang. Survey menunjukkan bahwa perusahaan membuang banyak biaya pada peralatan teknologi yang mestinya belum perlu sehingga hilanglah dimensi kesederhanaan hidup di dalamnya (Progressive Leadership: 2002).

· Keadaan. Tidak semua keadaan membutuhkan response dari kita. Ada yang perlu dilupakan dan diselesaikan.

· Cara. Tidak semua pekerjaan harus ditangani sendiri tetapi tidak semua bisa didelegasikan. Ada kalanya - seperti digariskan teori manajemen - to spend money in order to save time atau to spend time in order to save money.

· Masa Lalu. Dari sekian lembar masa lalu, ada yang masih bisa kita gunakan landasan merumuskan masa depan dan juga ada yang sama sekali tidak berguna.

Solusi yang ditawarkan Julie di atas dapat kita lengkapi dengan menaati saran para ahli lain yaitu menulis rumusan tujuan hidup, hasil identifikasi dan seleksi di atas kertas putih (agenda harian). Memang ada benarnya, justru menulis sesuatu yang kelihatannya nyata, mudah, dan dekat dengan diri kita itulah yang terkadang dirasakan sulit. Oleh karena itu tetap dibutuhkan pembelajaran-diri. Mudah-mudahan bisa direnungkan.
Para Plagiator Itu Sama Dengan Seorang Balita
Minggu, 10 Juni 2007


Hanya sekedar renungan pikiran singkat saya saja. Benar-benar suatu pikiran yang sangat singkat, karena memang hanya terlintas di kepala sekilas-sekilas saja.



…Balita? Tidak salah nih?




Pernyataan ini terlintas di kepala saya ketika sedang membuka Wikipedia. Tidak, tidak untuk yang aneh-aneh, juga bukan untuk penelitian atau asal copy-paste tanpa diedit-edit untuk bahan presentasi. Tapi hanya sekadar iseng. Apa yang saya buka? Tentang Bleach dan Sosiologi. Apa hubungannya dengan plagiat? Tidak ada.

Kedua hal itu memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pernyataan saya bahwa “Para Plagiator Itu Sama Dengan Seorang Balita”. Tapi tidak jika saya bilang bahwa saya sedang membuat daftar indeks entri-entri saya di blog ini, dan kemudian melihat tulisan saya yang berlebihan dan cenderung gila, juga tidak waras mengenai plagiator.

Nah, dengan adanya 2 tab di Mozilla Firefox yang saya buka yang berisi tulisan mengenai Sosiologi serta halaman dengan textbox serta beberapa komponen yang tersusun dengan AJAX untuk menulis daftar indeks saya, terbesitlah di benak saya mengenai pernyataan itu. Bahwa plagiator sama saja dengan balita.

Sekarang masuk ke inti permasalahannya, yang akan saya jelaskan dengan singkat dan tanpa omong-kosong penjelasan yang panjang lebar. Saat itu, saya teringat dengan pelajaran Sosiologi sewaktu kelas X, bahwa manusia ketika anak-anak memiliki 3 tahap pada perkembangannya ketika dia beradaptasi dengan lingkungan. Tahap pertama adalah Imitation Stage, kedua adalah Play Stage, ketiga adalah Game Stage.

Seingat saya, Imitation Stage adalah tahap dimana manusia masih benar-benar meniru–terkadang sama persis– orang yang berada di sekitarnya. Bisa ayah, bisa ibu, bisa kakak, bisa kakek, bisa teman, bisa siapa pun. Saat menjalani tahap ini manusia berada pada usia, kurang lebih, balita.

Tahap kedua, Play Stage. Mereka masih meniru, tapi tidak sama persis. Mereka meniru tanpa mengetahui peran atau fungsi yang sebenarnya dari yang mereka tiru tersebut. Contohnya mereka meniru polisi yang mereka lihat pada adegan tembak-tembakan di televisi. Yang mereka tahu polisi hanya menembak penjahat saja, dan itu yang mereka tiru. Misalnya sewaktu bermain polisi-polisian. Saat ini, umurnya mungkin sekitar… umur anak SD.

Tahap ketiga, Game Stage. Mereka sudah mengerti peran masing-masing. Dan sebagian sudah tidak meniru lagi. Sudah mengerti polisi itu harus melakukan apa saja, bukan sekedar dar-der-dor. Pada tahap ini, mereka sudah mencapai sekitar umurnya anak-anak yang mengalami masa transisi SD-SMP.

Nah, berangkat dari sini, berarti dapat disimpulkan bahwa plagiator adalah balita. Kenapa balita? Karena mereka masih berada dalam tahap Imitation Stage, tahap dimana mereka hanya bisa meniru-niru saja, meniru secara keseluruhan. Mereka belum mengerti apa-apa tentang yang mereka tiru. Sama saja dengan balita, sesuai teori Imitation Stage dalam Sosiologi yang telah dijabarkan tadi.

Begitulah kira-kira kali ini. Pikiran singkat yang juga saya jabarkan dengan singkat. Jadi, kalau mengacu pada teori yang telah dijabarkan diatas, tidak salah bukan menyebut plagiator itu sama dengan seorang balita?
mile Durkheim
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Emile Durkheim)

Emile Durkheim

David Émile Durkheim (15 April 1858 - 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Année Sociologique pada 1896.

Daftar isi [sembunyikan]
1 Biografi
2 Teori dan gagasan
3 Tentang pendidikan
4 Literatur
5 Pranala luar


[sunting]
Biografi

Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.

Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.

Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.

Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.

Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.

Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.

Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.

[sunting]
Teori dan gagasan

Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.

Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.

Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.

Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.

Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.

Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.

Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)

[sunting]
Tentang pendidikan

Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini sebagian karena ia secara profesional dipekerjakan untuk melatih guru, dan ia menggunakan kemampuannya untuk menciptakan kurikulum untuk mengembangkan tujuan-tujuannya untuk membuat sosiologi diajarkan seluas mungkin. Lebih luas lagi, Durkheim juga tertarik pada bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memberikan kepada warga Prancis semacam latar belakang sekular bersama yang dibutuhkan untuk mencegah anomi (keadaan tanpa hukum) dalam masyarakat modern. Dengan tujuan inilah ia mengusulkan pembentukan kelompok-kelompok profesional yang berfungsi sebagai sumber solidaritas bagi orang-orang dewasa.

Durkheim berpendapat bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi:

1) Memperkuat solidaritas sosial
Sejarah: belajar tentang orang-orang yang melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang membuat seorang individu merasa tidak berarti.
Menyatakan kesetiaan: membuat individu merasa bagian dari kelompok dan dengan demikian akan mengurangi kecenderungan untuk melanggar peraturan.

2) Mempertahankan peranan sosial
Sekolah adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Sekolah mempunyai hierarkhi, aturan, tuntutan yang sama dengan "dunia luar". Sekolah mendidik orang muda untuk memenuhi berbagai peranan.

3) Mempertahankan pembagian kerja.
Membagi-bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecakapan. Mengajar siswa untuk mencari pekerjaan sesuai dengan kecakapan mereka
Teori Konflik Struktural dan Kritis
Posted on November 10, 2007 by socialpeace

Teori Konflik Struktural dan Kritis

(Positivisme dan Sosial Kritik)

@ Novri Susan, 2003



Bab singkat ini ingin mendiskusikan analisis konflik dalam dua aliran besar ilmu-ilmu sosial, yaitu tradisi konflik struktural dan kritis. Dua tradisi ini berakar dalam tradisi positivisme dan kritis. Fakta akademisnya, analisis konflik dalam ilmu sosial memang selalu didominasi oleh positivisme dan ilmu sosial kritik. Aliran humanisme-kultural tidak begitu banyak dipertimbangkan untuk memberi analisis konflik. Aliran humanisme kultural—historis heuermenetik seringkali dipandang hanya menelaah apa-apa saja yang dipandang sebagai realitas kultural. Sebelum nya, menjadi cukup penting melakukan pemetaan teori konflik yang lahir dari tradisi positivisme dan kritis. Pada bab selanjutnya akan secara khusus mendiskusikan bagaimana aliran humanisme-kultral yang diresentasikan dengan sangat menarik oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam sosiologi pengetahuan mereka tentang konstruksi sosial atas kenyataan (1966/1990).


A. Perkembangan Umum Teori Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.

Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918). Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Khouldun bahkan merupakan satu analisis komprehensive mengenai horisontal dan vertikal konflik.

Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material. Sebagaimana dijelaskan Cambell dalam Tujuh Teori Sosial (1994), bahwa Marx menciptakan tradisi materialisme historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomis, dari masyarakat komunis primitif kepada feodalisme, berlanjut ke kapitalisme, dan terakhir adalah masyarakat komunis.

Berkaitan dengan konflik, Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke 19 di Eropa dimana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis, false consiousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan dan cita-cita akhirat. Dengan ini Marx mejadi orang yang tidak tertarik pada agama karena itu candu yang mengantar manusia pada halusinasi kosong dan menipu, untuk itulah komunisme selalu diintepretasikan dengan politik anti Tuhan (atheisme).

Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.

Max Weber tidak sepakat dengan konsepsi Marx tentang determinisme ekonomi, ia mengajukan konsepsi sosiologis yang bagi sebagian ilmuwan sosial dipandang lebih komprehensive. Weber menciptakan teori tindakan yang mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe. Zwecrational, wertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional. Zwectrational berkaitan dengan means and ends, dimana tujuan-tujuan (ends) dicapai dengan menggunakan alat atau cara (means), perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertrational adalah tindakan nilai dimana orientasi tindakan itu tidak berdasarkan pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Ada sebagian yang menyebutkan Weber adalah seorang teoritikus micro anlysis karena ia berangkat dari tindakan individual.

Tetapi, seperti yang ditulis George Ritzer (1960), Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan tetapi ia sendiri membuat suatu analisis luas tentang masyarakat. Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme ekonomi, Weber memberikan konsep sosiologis kelas yang lebih luas dan lebih dapat diterima secara teoritis.

Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik. Weber melihat persoalan wewenang dalam kerangka politik diperebutkan oleh partai-partai. Pengaruh pemikiran Weber ini akan banyak kita lihat dalam pemikiran Ralf Dahrendorf. Pemikiran Marx cenderung determinis dan Weber cenderung masuk ke subyektivisme, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan perhatian di luar pemikiran Marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai social fact atau fakta sosial.

Fakta sosial bersifat exteriority, yang diluar atau eksternal, dan mendesakkan kehendaknya kedalam diri individu-individu. Individu bergerak atas dasar nilai sosial yang eksternal, di luar dirinya dan memaksa dalam bertindak. Hal ini adalah suatu aturan yang tidak tertulis, unwritten, dan merupakan pembahasan sosiologi ilmiah. Konsepsi sosiologis Durkheim dapat dipahami melalui pembuktiannya tentang suicide, yang secara umum ia membagi masyarakat kedalam masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience collective, kesadaran umum, yang mendasari tindakan-tindakan yang bersifat kolektif. Kesadaran umum dapat juga sebagai moral bersama yang koersif pada setiap anggota-anggotanya. Suicide dalam masa ini berdasarkan kesadaran umum, Durkheim menyebutknya sebagai suicide altruism. Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu.

Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108). Baik Marx, Weber, dan Durkheim, sebenarnya menurut Giddens, mempunyai kepentingan terhadap kerangka teori yang mereka bangun terhadap realitas aktual masing-masing. Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim, di Jerman George Simmel memberikan pemikiran yang bercorak realis. Simmel adalah seorang ilmuwan murni, dalam arti tidak berpretensi membangun ideologi sebagaimana Marx, yang berfokus pada interaksi sosial, berusaha mengerti tentang struktur sosial.

Simmel konsern pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari proses asosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi dari impuls naluriah dari pelaku dan ketentuan yang memerintah oleh berbagai macam tipe hubungan sosial. Proses konflik adalah, oleh sebab itu, satu ciri dimana-mana dari sistem sosial, tetapi tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petunjuk mengenai kerusakan sistem dan atau perubahan sosial.

Kenyataannya, konflik dalam satu proses prinsip pengoperasian pada pemeliharaan keseluruhan sosial dan atau beberapa sub bagiannya (Turner, 1985: 128), pemikiran ini akan banyak mempengaruhi Lewis Coser. Pada dasarnya, Turner mencatat, perbedaan antara Marx dan Simmel terletak pada bahwa hubungan sosial terjadi di dalam konteks sitematik yang hanya dapat ditipekan sebagai pecampuradukan organis dari proses asosiasi dan disasosiasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial, kenyataannya konflik adalah satu prinsip operasional memelihara keseluruhan sosial dan atau beberapa bagiannya.

B. Teori Konflik Struktural Dielektika Konflik Ralf Dahrendorf

Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).

Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.

Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.

Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.

Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.

Analisis Konflik Lewis Coser

Pada sisi lain dalam pemikiran teori konflik, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasarnya usaha menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsern pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.

Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar koflik (Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.

Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.


C. Teori Konflik Madzab Kritis

Tradisi kritis yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat pada dasarnya melakukan usaha melpaskan hubungan dominatif penguasa terhadap masyarakat dalam struktur sosial. Karena itulah kepentingan teori sosial kritis adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas yang dikuasi oleh kelompok kekuasaan. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.

Suatu analisis sosiologis yangh kritis telah dilakukan dengan sangat jelas oleh Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di Amerika (The Power Elite, 1956). Mills tidak sepakat terhadap dua hubungan konflik yang hanya terdiri dari dimensi ekonomi, dia lebih sepakat terhadap paparan Weber tentang terbaginya stratifikasi sosial kedalam tiga dimensi, ekonomi, prestis, dan politik. Mills sendiri melihat hubungan konflik, yang mengandaikan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi dan politik.

Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha (ekonomi).Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai kencederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka.

Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses itu merupakan bagian dari indoktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit.

Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan yang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 ini dapat ditemukan dua orang elit dari militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden. Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan bersuami pengusaha bahkan telah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik.

Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif dalam stukrur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran kritis.

C. Penutup

School of tought tokoh-tokoh klasik ini berperan besar terhadap perkembangan selanjutnya dalam ilmu-ilmu sosial di Eropa maupun Amerika. Seolah kelengkapan sosiologi tidak bisa diperoleh dari satu pemikiran saja tetapi di sumbang oleh karya-karya seperti keempat tokoh klasik di atas. Sosiologi konflik kemudian adalah semacam pergolakan pemikiran mencari kebenaran di antara gejolak pemikiran dan respon terhadap konteks daerah pemikiran itu muncul.

Kita melihat optimisme radikal tentang perubahan struktur kelas kapitalisme Marx dan pesimisme konservatif Weber dalam perhatiannya tentang rasionalisasi telah membentuk tema tak terpecahkan dalam sosiologi modern. Aliran konflik sendiri kemudian menjadi terbagi sebagai dua kubu pemikiran, antara madzab kritis Frankurt, termasuk Charles W. Mills dari Amerika, dan madzab sosiologi analitis Amerika, seperti Ralp Dahrendorf dan Lewis Coser, yang pada dasarnya adalah kelanjutan dari perdebatan antara Marx dan Weber (Wallace & Wolf, 1986: 63).

Tradisi pertama adalah kelompok yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat. Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.

Kelompok kedua, sebaliknya, mempertimbangkan konflik menjadi tak terhindarkan dan aspek permanen kehidupan sosial; dan mereka juga menolak ide bahwa kesimpulan ilmuwan sosial sarat nilai. Sebaliknya, pendukungnya tertarik dalam pendirian ilmu sosial dengan ukuran sama obyektivitas sebagaimana ilmu alam. Kelompok kedua ini masih dipengaruhi oleh Marx namun lebih banyak melanjutkan pemikiran Max Weber, mereka seperti Lewis Coser yang dipengaruhi pemikiran realis George Simmel (1956, 1967) dengan fungsi-fungsi konfliknya, Ralf Dahrendorf yang banyak terpengaruh oleh Max Weber dan Marx dala sisi tertentu (1958/1959) dengan konflik dialektis yang ia kembangkan.

Pada dasarnya walaupun analisis konflik terbagi menjadi dua tradisi pemikiran orientasi mereka dihubungkan oleh tiga asumsi umum yang menghubungkannya (Wallace & Wolf, 1986: 62-63), pertama bahwa setiap orang mempunyai angka dasar kepentingan, mereka ingin dan mencoba mendapatkannya, dimana masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam meraih kepentingannya.

Kedua, dan pusat pada perspektif teori konflik secara keseluruhan, adalah satu pemusatan perhatian pada kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga sebagai paksaan penting. Ketiga aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ide-ide dilihat sebagai senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda mempermudah tujuan mereka, daripada sebagai cara-cara pendefinisian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya.

Sampai di sini, sesungguhnya analisis konflik didominasi oleh dua aliran besar, positivisme atau empiris analitis dan tradisi ilmu sosial kritis. Artinya, analisis konflik dapat kita pilahkan teori konflik positivistis dan teori konflik kritis. Lalu dimana posisi pendekatan humanisme-historis heurmenetik dalam analisis konflik? Untuk melihatnya, pada bab selanjutnya secara khusus akan dilihat bagaimana pendekatan humanisme kultural– historis heurmentik melakukan analisis konflik.


Referensi

(terpisah)

Lihat dalam bab tentang kelas dari Das Capital vol. 1

Lewis Coser, Social Conflict and The Theory of Social Change, British Journal of Sociology 8:3 (Sept. 1957).

Satu elaborasi baru yang tentang teori konflik dalam pandangan Ibn Khouldun, yang sesungguhnya teori Ibnu Kholudun mampu menjadi presentasi dari tradisi empiris sekaligus kritis. Lihat dalam Ikhwanul Hakim, 2004, Elaborasi Teori Konflik Ibn Khouldun, Pustaka Pelajar.
PERLUNYA REORIENTASI SOSIOLOGI DI INDONESIA


I. PENDAHULUAN

Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generasasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.

Sociology (Pratt & Fairhild): is the scientific study of the phenomena arising out of the group relations of human being. The verified generalizations which are earmark of true science, are being progressively built up.

Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.

Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara.

Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).

Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power).

Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan.

Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.

Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.

Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Sejak tahun 1920-an timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas, karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua konteks itu bercorak Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan ilmu Sosiologi yang menjadi garapan Schrieke adalah Akulturasi.

Misalnya Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan Ekonomi di Nusantara antara abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke kurang dikenal dan tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa Belanda. Baru setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).

Tokoh Belanda lain yang melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah J.C. van Leur (1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan seperti a.l. Indonesian Trade and Society.

Seorang Sarjana Hukum lain yang dikenal dan menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga meletakkan Indonesia dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim (1899-2001) yang pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan menjadi guru besar tamu di Fakultas Pertanian, UI (Bogor) 1957.

Karena Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia dan sempat mengamati kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam perubahan sosial dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah menjadi Republik yang berdaulat.



II. PERKEMBANGAN THEORI SOSIOLOGI

Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati.

Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857).

Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi.

Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa.

Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori.

Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.

“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)

Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa.

Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”.

Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS.

Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.



III. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik.

Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.

Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]

K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]

Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]

[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press

[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.

[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita.

Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998.

Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global.

Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.



Bogor, 20 Agustus 2002



Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro, Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Pusat, 1999 - 2003.

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan”. Diselenggarakan oleh Ikatan Sosiologi Indonesia, tanggal 28 Agustus 2002 di Bogor.


SUMBER ACUAN

BOUMAN, P.J. (1976). Sosiologi, Pengertian dan masalah. Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius.

COSER, L. (1964). The Function of Social Conflict. New York, The Free Press.

DURKHEIM, E. (1966). The Division of Labour (Translation). New York, The Free Press.

_____________ (1962). Socialism. London, Colliers Books

GOULDNER, Alvin W. (1973). The Coming Crisis of Western Sociology. London, Heineman

HINDESS, Barry (ed. 1977). Sociological theories of the Economy. London, the Mac Millan Press.

KAZACIGIL, Ali (ed. 1994). Sociology: State of the Art I. International Social Sciences Journal, February 1994:139. Paris, Blackwell Publ.

MARX, K. (1956). Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. (Translation by T.B. Bottomore). New York, Mc Graw-Hill Books.

MARTINELLI, alberto (2002). “Markets, Government and Global Governance”. Presidential address, ISA XV Congress, Brisbane 2002

MILLS, C, Wright (1961). The Sociological Imagination. New York, Grove Press, Inc.

MUDIM BE, V.Y. (ed. Dkk, 1996). Open the Social Sciences. Refort of the Guilbenkian Commission of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science. Stanford, Stanford Univ. Press.

PARSONS, Talcot (1951). The Social System; The Major Exposition of the Author’s Conceptual Scheme. New York, Free Press.

SIMMEL, G. (1955). Conflict and the Web of Group Affixations. New York, The Free Press.

____________ (1950). The sociology of George Simmel. New York, The Free Press of Glencol

SIMONDS, A.P. (1978). Karl Mennheim’s Sociology of Knowledge. Oxford, Clarendom Press

SOROKIN, P.A. (1928). Contemporary Sociological Theories; through the First Quarter of the 20th Century. New York, Harper Torchbooks.

STEINER, Philippe (2001). “The Sociology of Economic Knowledge”. The Return of Economic Sociology in Europe (a. Symposium) dalam European Journal of Social Theory 4 (4). London, Sage Publications

WEBER, M. (1964). The Theory of Sociology Imagination. New York, Grove Press, Inc.

WERTHEIM, W.F. et.al. (ed.s 1955-1957). Indonesian Sociological Studies; Selected Writings of B. Schrieke (2 parts). The Haque, W. van Hoeve.
Friday, September 28, 2007
GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS (Critical Legal Studies Movement)

Oleh: Muchamad Ali Safa’at[1]

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis.[2] Beberapa nama yang menjadi penggerak GSHK adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies oleh Ifdhal Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK)[3]. Istilah yang akan digunakan dalam tulisan ini selanjutnya adalah Gerakan Studi Hukum Kritis disingkat GSHK.

Perbedaan utama antara GSHK dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah bahwa GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai perhatian utama[4].

Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur[5] serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis, GSHK mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat. Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas[6], Emil Durkheim[7], Karl Mannheim, Herbert Marcuse[8], Antonio Gramsci[9], dan lain-lain. Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis. Filasafat kritis adalah salah satu aliran filasat yang berkembang dengan menggunakan pendekatan kritis terhadap realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran Hegel dan Karl Marx. Aliran ini berkembang mulai dari Mahzab Frankfurt sampai dengan Post Modernisme.[10] Pendukung GSHK memahami dan menggunakan pemikiran hukum dan teori-teori sosial secara lebih intensif dibanding kaum realis. Mereka telah banyak menghancurkan segala hal yang berlaku dalam hukum[11]. Namun banyak juga yang mengkritik bahwa hanya sedikit dari pemikir GSHK yang menawarkan model yang konstruktif.
Tulisan ini bertujuan untuk mengenal secara singkat pemikiran-pemikiran dalam GSHK dari berbagai ahli hukum, kelebihan dan kekurangannya, serta konteksnya dengan perkembangan hukum di Indonesia. Sebagai pijakan awal pada bagian pertama, akan diuraikan pemikiran GSHK yang dijelaskan dalam buku Modern Jurisprudence tulisan Hari Chand, disertai dengan beberapa kritikan yang ada dalam buku tersebut.[12] Dikatakan sebagai pijakan awal, karena pada bagian ini juga akan diberikan beberapa penambahan baik secara langsung maupun dalam catatan kaki hal-hal yang terkait dengan pembahasan GSHK dari sumber lain. Pada bagian kedua akan diuraikan beberapa pemikiran lain dari GSHK yang tidak dibahas dalam buku Modern Jurisprudence. Bagian ketiga, setelah mengetahui pemikiran GSHK, merupakan analisis terhadap keseluruhan Pemikiran GSHK dengan tujuan untuk menemukan kekuatan dan kelemahan dari GSHK, baik pada tataran teoritis maupun dalam pelaksanaannya.
Bagian tersebut akan dirangkaikan dengan penerapan pemikiran GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia[13]. Bagian akhir adalah penutup dari seluruh tulisan ini yang lebih merupakan catatan akhir bagaimana menyikapi GSHK dari pada sebuah kesimpulan sebagaimana lazimnya sebuah tulisan.

A. Gerakan Studi Hukum Kritis Dalam Buku Modern Jurisprudence

Seperti praktek pemikiran hukum sebelumnya, American Legal Realist, GSHK melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang digunakan adalah paradigma-paradigma ilmu sosial "kiri"[14] seperti aliran Marxisme, teori kritis mazhab Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain-lain[15]. Hal ini tidak berarti GSHK merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya secara ekletis[16]. Secara radikal GSHK menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics distinction)[17].

Gerakan Studi Hukum Kritis dan Pemikiran Hukum Amerika
Sampai tahun 1850, pendapat umum menyatakan bahwa hakim memutus perkara dengan menggunakan pertimbangan kebijakan (instrumental view). Mulai pada tahun 1890, pandangan yang dianut kemudian adalah bahwa hakim memutuskan perkara dengan penerapan suatu peraturan tersendiri yang tepat[18]. Setelah tahun 1937, paham hukum realis berpendapat bahwa pencarian obyektivitas, dan sistem pemikiran hukum yang tidak memihak adalah ilusi semata. Gerakan kaum realis menciptakan ketidakpercayaan terhadap peradilan dan menambah kekuasaan pakar dan aparat negara. Menurut kaum realis, hukum dan moralitas itu terpisah. Sementara paham kontemporer menyatakan bahwa antara hukum dan moralitas memiliki hubungan yang erat. Hukum adalah suatu ilmu moral dan hakim memutus sebagai seorang aparat moral. Ronald Dworkin dan Posner menemukan moralitas yang berada dalam hukum kebiasaan.[19]

Kritik terhadap Liberalisme
Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Lisberalisme membengkokan moral, intelektual, dan sisi spiritual seseorang. Maka dia melontarkan suatu kritik yang menyeluruh. Dia menemukan "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam prinsip; (1) rasionalitas dan hawa nafsu, (2) keinginan yang sewenang-wenang, (3) Analisis, (4) Aturan-aturan dan nilai-nilai, (5) nilai subyektif, dan (6) individualisme.[20] Dia menunjukan antinomi yang ada antara rasionalitas dan hawa nafsu, antara aturan dan nilai. Untuk menyelesaikan antinomi tersebut, ada dua jalan, yaitu; pertama, suatu penyelesaian politis untuk mewujudkan transformasi kondisi kehidupan sosial di mana dominasi harus dihilangkan karena menimbulkan nilai yang kebetulan dan berubah-ubah. Kedua, suatu revolusi teroritis dibutuhkan untuk menciptakan suatu sistem berpikir yang berdasar pada kebaikan umat manusia. Alan Hunt menyatakan bahwa kritik liberalisme ini tidak sesuai dengan ilmu hukum modern kontemporer yang paling banyak berpengaruh.

Dominasi dan Hierarkhi
GSHK menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya.[21] Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial. Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku[22]. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu[23]. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur[24].
GSHK mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideologi tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam[25]. Bagi GSHK, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.[26]

Penekanan pada pengaruh eksternal
Para ahli hukum banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial, ekonomi, politik dan psikologi, tetapi kaum GSHK lebih menekankan pada konteks sosial dan politik. Interpretasi banyak dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan rasionalitas hukum tidak kebal dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka menegaskan bahwa pemikiran hukum mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi tatanan sosial yang telah ada dengan cara yang berlaku tanpa terasa[27].

Kritik terhadap Teori Hukum
Alirah Hukum kritis merupakan kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa pendekatan doktrinal itu cacat, dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan, kebebasan berkontrak dan hak milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal[28]. Mereka menggunakan teknik-teknik sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan hukum. Mereka mencoba melukiskan penekanan antara ide normatif dan struktur sosial. GSHK menunjukan bagaimana hukum memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan mengabadikan tatanan sosial yang ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of Blackstone’s Commentaries merupakan salah satu contoh bagus dari metode ini yang menggambarkan analisis mendalam tentang bagaimana komentar-komentar tersebut melegitimasikan praktek-praktek sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini Kennedy dapat menunjukan bahwa keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan sumbangan terhadap stabilitas suatu tatanan sosial.
Sedangkan Unger melihat mainstream aliran hukum dan ekonomi sebagai salah satu aliran utama yang melayani hak politik, aliran hak dan prinsip yang melayani sentralisme[29]. Instrumen utama aliran hukum dan ekonomi adalah penggunaan yang samar-samar atas konsepsi pasar.[30]

Penghilangan dan Pengafkiran Ortodoksi
GSHK berpendapat bahwa pen-delegitamasi-an diperlukan untuk mengangkat kemungkinan-kemungkinan yang mengekspresikan realitas. Sesuatu harus membebaskan diri terlebih dahulu dari ilusi-ilusi mistik[31] yang mewujud dalam kesadaran dengan jalan dunia hukum liberal dan aktivitas kritis yang dapat membebaskan masa depan. Tetapi hal ini sangat tergantung pada seseorang untuk mengadopsi filsafat ini atau tidak. Sebagai sebuah teori untuk tindakan politik, GSHK sendiri penting, seseorang harus memiliki pandangan terhadap tanggungjawabnya sendiri.

Unger menawarkan sebuah "struktur dari non struktur", suatu komitmen terhadap penataan sosial yang akan selalu menjadi perdebatan dan percobaan dalam berbagai macam kehidupan sosial. Dia mencoba melakukan suatu “perputaran kapital” dana untuk membiayai program individual dan untuk memberikan akibat pada desentralisasi produksi dan perdagangan[32]. Dia menyarankan penciptaan empat macam hak:
1. Hak kekebalan yang memberikan kekuasaan untuk melawan intervensi dan dominasi oleh individu atau organisasi lain, termasuk negara.
2. Hak de-stabilisasi yang menuntut untuk meruntuhkan praktek institusi dan bentuk-bentuk sosial yang telah ada.
3. Hak pasar yang memberikan suatu pendakuan (claim) kondisional terhadap bagian modal sosial yang dapat dibagi.
4. Hak solidaritas yang memupuk jalinan saling menguntungkan, loyalitas dan pertanggungjawaban.
Hari Chand mengkritik struktur dari non struktur Unger ini membatasi pertentangan sosial yang dituntut untuk difasilitasi. Hal ini tidak legitimate dan dapat diobyektifkan seperti tatanan sosial yang lain[33].
Penganut GSHK menempatkan negara sebagai pelaksana aksi transformasi yang paling efektif. Kebebasan yang sebenarnya membutuhkan kehidupan sosial yang memiliki instrumen untuk revisinya sendiri. Kebebasan sesungguhnya ada pada aktivitas penemuan batas perbedaan antara kemampuan transendensi dan pembatasan struktur dimana disitulah hidup dan perjuangan dari setiap perbedaan maksud pencapaian dan pengaburan tujuan.

Transformasi Sosial
Aliran kritis tidak percaya terhadap rekayasa sosial dan reformasi liberal, mereka menginginkan untuk memajukan sosial melalui transformasi sosial. Mereka harus mencari suatu potensi hukum dan sosial yang transformatif. Pencarian tersebut terutama dengan tiga metodologi yaitu pengungkapan makna implisit text, teori sosial, dan kritik murni. Penafsiran aturan hukum dilakukan untuk membuka idedologi, struktur dan materi, dan kemudian mencoba memperlihatkan kebenaran-kebenaran yang bermukim dalam system hukum. Dalam lapangan hukum, digambarkan bahwa doktrin hukum saat ini adalah tidak efektif, tidak merepresentasikan perasaan dan pikiran umum rakyat[34].
GSHK mempercayai bahwa sebuah teori harus merupakan hasil dari eksperimentasi dan penyelidikan sosial sehingga dapat bersifat praktis untuk mengembangkan teori. Hal ini paralel dengan pemikiran Karl Mark tentang makna obyektif praksis yang dimulai dari kritiknya terhadap filsafat hingga doktrin materialisme historis[35]. Sebagai contoh, mekanisme penyelesaian perselisihan diupayakan dengan persatuan dan partisipasi. Mereka melihat dampak hukum terhadap nilai-nilai, persepsi sendiri dan ide-ide. Aliran kritis memberontak terhadap tradisi masyarakat akademik sebagaimana mereka menolak ide-idee, cita-cita atau suposisi dari pendidikan tradisional.[36] Aliran hukum kritis ingin mencapai mimpi transformasi sosial yang ambisius di bawah universitas.

Tema-tema pokok gerakan GSHK
Ketidakpastian
Positivisme menuntut bahwa memutuskan suatu kasus menunjuk pada ketetapan dan kepastian. Namun GSHK menganggap bahwa klaim atas suatu kepastian adalah palsu. Baik aturan hukum maupun ajaran prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa digunakan untuk menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Rasionalitas hukum adalah semacam manipulasi. Hal ini karena prinsip-prinsip, doktrin atau pepatah yang sama dapat digunakan untuk lapangan kasus yang berbeda dengan hasil yang berlawanan atau berbeda. Berbagai aturan hukum dan berbagai kata atau frase yang digunakan dalam aturan sangat rentan terhadap berbagai penafsiran tergantung pada hakim menerima interpretasi yang mana. Singkatnya, tidak tergantung pada substansi hukum, apalagi alasan rasio hukum. Yang ditolak adalah bahwa seluruh hukum memiliki aturan yang tetap.
Namun menurut Hari Chand, positivis memang salah dengan menuntut hukum memutuskan kasus sebagaimana GSHK juga salah karena melihat hukum sebagai ketidakpastian. Kenyataan kepastian hukum juga ada tetapi tidak benar jika hal itu ada pada masing-masing dan setiap hukum dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus yang berat, mungkin tidak aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta ketidakmenentuan banyak terdapat pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis ketidakmenentuan tidak dapat dibenarkan dalam banyak kasus lainnya.

Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung kontradiksi adalah pandangan pokok lain dari aliran hukum kritis. Unger memberikan contoh hukum kontrak yang didasarkan atas prinsip kebebasan untuk memilih dari patner dan ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak dan counterprinsip tidak boleh meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak dilakukannya transaksi dan bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan prinsip dominasi dalam hukum kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam kesatuan .

Prof. Finnis mengatakan bahwa Unger gagal untuk melihat bahwa seseorang dapat mempertahankan seperangkat aturan dan doktrin dengan mewujudkan prinsip pertentangan tanpa mendaku hal ini. Hal ini dikatakan oleh Chand bahwa pandangan unger tentang tesis kontradiksinya tidak menunjukan bahwa sistem hukum menuju keruntuhan, namun hanya mengindikasikan bahwa doktrin yang tidak sempurna tersebut harus diperbaiki agar sesuai dengan situasi yang baru.

Legitimasi dan Kesadaran yang salah
Profesor Horwitz mengajukan sebuah tesis dalam bukunya The Transformation of American Law, bahwa doktrin-doktrin hukum dibangun dengan bantuan pertumbuhan industri dan maka melayani kepentingan ekonomis dari bagian masyarakat yang kaya. Tidak semua aliran hukum kritis menerima pandangan yang terdengar seperti sebuah Marxisme ortodok ini.[37]

Tesis lain yang dianut sebagian besar pendukung GSHK adalah bahwa hukum melayani yang berkuasa melalui legitimasi. Sebagai contoh, penekanan pada hak dan aturan hukum membuat rakyat percaya bahwa sistem hukum adalah semata-mata adil dan masuk akal, sehingga seolah-olah tidak ada alternatif lain bagi rakyat. Beberapa orang tokoh GSHK menerapkan ide Antonio Gramci tentang ideologi dalam atmosfir hukum. Dalam buku Prison Note[38], Gramci menyatakan bahwa kelas penguasa memupuk kekuasaannya bukan dengan kekuatan secara khusus tetapi juga dengan berbagai macam moral dan kepercayaan sosial yang memaksa rakyat menerima sistem tersebut sebagai menguntungkan, dapat mencapai keadilan dan bagus. Sama halnya sistem hukum mempropagandakan seperangkat ide tentang kesejahteraan, perjanjian, hak individual dan aturan hukum yang mempengaruhi pikiran rakyat bahwa ssstem tersebut pada dasarnya adil. Sebagai contoh, Klare mendeskripsikan Hukum Perburuhan Amerika sebagai perwujudan suatu moral dan visi politik yang berisi seperangkat kepercayaan, nilai, dan asumsi politik yang menyatu dalam kekuasaan (yaitu pandangan dunia) dan yang melayani sebagai suatu pelegitimasian ideologi. Menurut Chand, Klaim GSHK bahwa hukum maju selangkah dan melegitimasi aturan yang tidak adil dan sistem hukum yang tidak adil menimbulkan pertanyaan besar. Seseorang dapat mengatakan bahwa hukum telah tidak mendapatkan monopoli untuk mencetak kesadaran manusia. Mungkin pikiran seseorang cukup luas mementingkan akibat dari penemuan manusia, termasuk hukum.

Aturan-aturan dan Standar-standar
Duncan Kennedy mempresentasikan suatu analisis tentang aturan-aturan dan standar-standar. Ada dua bentuk aturan; bentuk formal yang umumnya penggunaannya jelas dan pasti, sangat administratif, aturan umum dan bentuk yang mendukung penggunaan standar yang sesuai. Legal Reasoning, ditujukan untuk kedua bentuk, hasilnya adalah semua argumen hukum menunjukan ketidakstabilan dan pertentangan. Kennedy menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari bentuk-bentuk argumen:
1. Realisabilitas Formal
Kennedy meminjam bentuk Spirit of Roman Law yang dikemukakan Ihering untuk menyampaikan ide bahwa kualitas keteraturan dalam peraturan ditentukan dalam penentuannya atau persyaratan spesifik dari beberapa aspek kenyataan, misalnya, umur tertentu dari seseorang dapat digunakan menentukan kapasitasnya, menentukan jumlah kerusakan untuk tuntutan tertentu.[39]
Disamping Realisabilitas yang formal, kemampuan menyadari adalah sebuah standar prinsip dan kebijakan, misalnya, persaingan sehat, kepedulian, keadilan, dll.
2. Generalisasi
Peraturan-peraturan dibuat untuk mencakup sebanyak mungkin situasi yang ada pada kenyataannya. Beberapa peraturan lebih umum atau lebih khusus dari pada yang lainnya. Semakin luas jangkauan peraturan, semakin serius ketidaktepatan diatas atau dibawah tingkat pencapaian. Sebagai contoh, adalah mungkin untuk menyediakan suatu perbedaan umur dari kapasitas untuk memilih, minum, mengemudi, membuat kontrak, dll. Tetapi satu aturan umum tentang kemampuan hukum pada usia 18 tahun menghilangkan semua pertentangan yang mungkin muncul dari perbedaan usia dalam kemampuan hukum. Peraturan khusus dimunculkan jika sebuah standar dilaksanakan untuk suatu situsasi khusus di lapangan.

Individualisme dan Altruisme
Orientasi peraturan menunjukan cita-cita individualisme sementara altruisme merepresentasi dalam bentuk standar yang menunjukan kepentingan individu adalah bukan hal yang utama[40]. Individual percaya bahwa aktivitas hukum adalah salah tempat sementara altruisme mengharapkan hakim untuk menerapkan standar komunitas bersama. Selalu ada konflik antara individualisme dan altruisme[41].

Tujuan kaum individualis terdiri dari aturan kepemilikan yang menyediakan suatu kepemilikan hukum dengan kebebasan kewenangan tetapi dalam batasan yang pasti, dan peraturan kontrak dibuat sebagian oleh para pihak sebagian oleh kelompok. Teori liberal yang mewujud dalam individualisme menolak kebebasan peradilan, sebagai hakim adalah hakim yang seharusnya menerapkan hukum dan tidak membuatnya. Kalangan altruis berharap untuk memiliki kolektivisme[42] sehingga nilai yang diajukan dan dituju adalah pelayanan. Bagi altruis, nilai kewenangan tidak hanya tidak menyenangkan, tetapi juga tidak adil.Altruisme tidak mengijinkan hakim untuk menerapkan peraturan tanpa melihat hasil yang dicapai. Kerja altruis untuk mempertahankan nilai moral seseorang yang sesuai dengan kawannya.
Keberadaan pertentangan menyebabkan ketidakmungkinan untuk menyeimbangkan nilai-nilai individualis dan altruis. Kennedy melukiskan gambaran bahw Lawyer dibutuhkan karena nilai-nilai; wibawa hakim adalah karena professional dan teknis, kharisma dan spirit, karenanya penggugat yang ahli dalam pembentukan bahasa dapat mendominasi dan menindas yang lain, atau mungkin secara sederhana mensejahterakan karenya; individualisme adalah struktur dari status quo.”[43]
Tentu saja, seseorang tidak bisa menentukan keputusan akhir dari suatu kasus berdasarkan argumen individualis atau altruis sebagaimana keduanya dapat diderivasikan dari materi hukum yang sama.
Dalam kenyataan hidup seorang individu tidak pernah sendirian. Kita tidak bisa menjadi orang yang bebas tanpa keluarga, negara, masyarakat atau komunitas. Individu dileburkan dalam kolektivitas. Pada saat yang sama peleburan dengan yang lain mungkin dipaksakan pada keberadaan kita.
Selanjutnya dia mengambil pandangan bahwa norma-norma kolektif sangat berat dalam berbagai macam status quo yang dalam gerakan yang benar-benar sukarela adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami dan jalan keluarnya adalah mengasumsikan pertanggungjawaban untuk dominasi totalitarian terhadap pikiran orang lain, maka paksa mereka untuk menjadi bebas.

Kritik Roberto Unger terhadap Formalisme dan Obyektivisme[44]
Bagi Unger, formalisme berarti sebuah komitmen untuk, dan kepercayaan terhadap kemungkinan dari sebuah metode pembenaran hukum. Termasuk di dalamnya tujuan yang impersonal, kebijakan dan prinsip-prinsip yang merupakan komponen yang dibutuhkan dalam rasionalisasi hukum. Sedangkan obyektivisme, Unger mengartikan sebagai kepercayaan bahwa materi hukum yang memiliki otoritas yang merupakan sistem pengundangan, kasus-kasus, dan ide-ide hukum yang diterima, mewujud dan hidup dalam sebuah skema pengelompokan manusia yang dapat dipertahankan. Hal tersebut menggambarkan tatanan moral, walaupun tidak sempurna.
Menurut Unger, formalisme dan obyektivisme gagal, sebagimana halnya keduanya gagal untuk dipidahkan satu dan lainnya. Dia mengkritik obyektivisme sebagai hukum yang memiliki pertentangan dan persaingan dedngan prinsip-prinsip. Sebagai contoh, hukum kontrak memiliki prinsip kebebasan bagi para pihak dan counterprinsip yang tidak mengijinkan akibat terhadap kepentingan umum dari seluruh komunitas. Unger juga mengkritik fomalisme sebagai adanya kebutuhan teori bagi yang mempercayai formalisme. Tanpa beberapa teori, rasionalisasi hukum adalah sebuah permainan analogi yang mudah.
Dalam buku The Critical Legal Studies Movement, Unger memulai kritiknya terhadap obyektivisme berdasarkan pada usaha akbar para ahli hukum untuk mencari suatu struktur hukum yang di dalamnya built-in demokrasi dan pasar. Bangsa telah memilih suatu jenis masyarakat tertentu yaitu komitment terhadap republik demokratis dan suatu sistem pasar sebagai bagian yang harus ada dalam republik. Namun kegagalan yang tidak berkesudahan dalam menemukan bahasa hukum yang universal mengenai demokrasi dan pasar mengungkapkan bahwa bahasa semacam itu tidak pernah ada. Teori kontrak dan kepemilikan menyediakan ruang bagi usaha kaum obyektivis untuk mengungkapkan isi hukum yang sudah built-in dengan pasar, sama halnya dengan teori perlindungan kepentingan-kepentingan konstitusional serta tujuan-tujuan sah tindakan negara yang dirancang untuk mengungkapkan esensi hukum suatu republik demokratis.
Sedangkan kritik Unger terhadap formalisme bertitik tolak dari argumen bahwa pemikiran setiap cabang doktrin harus bersandar secara diam-diam, kalau tidak secara eksplisit, pada suatu pemerian bentuk-bentuk interaksi manusia yang benar dan realistis di bidang kehidupan masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Misalnya, seorang ahli hukum konstitusi membutuhkan suatu teori republik demokratis yang menggambarkan hubungan yang tepat antara negara dan masyarakat atau ciri-ciri esensial organisasi sosial dan pemberian hak pribadi yang harus dilindungi pemerintah.
Tanpa visi pembimbing ini, pemikiran hukum tampak terkungkung dalam permainan analogi murahan. Pertentangan kepentingan dan visi yang banyak ragamnya yang menyangkut pembentukan undang-undang harus merupakan wahana suatu rasionalitas yang dapat diartikulasikan dalam suatu teori tunggal yang terpadu. Teori-teori hukum dominan sebenarnya melakukan penyucian yang berani dan tidak masuk akal dengan mengambil bentuk untuk memperlakukan hukum sebagai suatu tempat penyimpanan tujuan, kebijakan, dan prinsip yang sama sekali bertentangan dengan pandangan percaturan politik legislatif standar.
Konstribusi Roberto Unger terhadap gerakan GSHK telah diterima dengan baik dan dihargai oleh Hugh Collins. Unger dalam teori sosial kritisnya memunculkan kemungkinan mempertahankan kondisi sosial yang memuaskan pertanyaan untuk kepuasan sendiri, maka seseorang memperoleh keberhasilan dengan berbagai macam jalan yang dalam kehidupannya mungkin sesuai dan memiliki arti bagi tujuan. Unger mengkritik pendekatan yang berlaku pada sosiologi, sejarah dan ekonomi yang gagal untuk mengambil pentingnya pertentangan struktur. Dia memberikan contoh seseorang yang menginginkan menjadi seorang penulis tetapi pasar tidak berposisi memilih profesi itu.

Konteks Formatif
Unger mengatakan bahwa masyarakat merepresentasikan individu-individu dengan seperangkat struktur paksaan yang disebutnya konteks formatif. Dia mendefinisikan konteks formatif Sebagai dasar penyusunan institusional dan perspektif imaginatif yang melingkupi aktivitas rutin kita atau aktivitas imaginatif dan konflik dan perlawanan akibat ketidakstabilan. Unger mengkritik hitungan konvensional rasionalisasi hukum, khususnya rasionalisasi yang berdasarkan pada formalisme atau obyektivisme.

Doktrin Penyimpangan
Unger menuntut bahwa aliran hukum yang menganut pandangan GSHK harus melakukan aktivitas politik untuk merubah masyarakat. Untuk menentukan kesalahan formalisme dan obyektivisme, Unger mengusulkan tiga tingkatan doktrin hukum:
1. Peraturan yang otoritatif
2. Tujuan (cita-cita), prinsip yang bersandar dalam peraturan.
3. Konflik antara prinsip-prinsip dan counterprinsip menunjukan ketidakharmonisan dan pertentangan asumsi ideologis tentang kehidupan sosial.
Masyarakat modern telah dipaksa membuka konflik yang transformatif. Dia mengatakan bahwa fungsi doktrin hukum dalam masyarakat saat ini adalah bertarung terhadap hak dan bentuk yang memungkinkan dari kehidupan sosial. Kalangan hukum modern telah mencoba menghindari konflik ini tetapi gerakan hukum kritis juga menuntut tidak dilakukan. Dipertahankannya bentuk-bentuk doktrin yang mapan selalu terletak pada tantangan implisit untuk menerima genre yang berkuasa. Kita selalu dihadapkan pada menyerahkan diri pada versi tatanan sosial yang sudah stabil atau menghadapi perang antara semua melawan semua. Ciri pokok dari doktrin penyimpangan adalah usaha untuk menyeberangi tapal batas empiris maupun normatif yang memisahkan antara hukum dari teori sosial empiris dan argumen mengenai organisasi masyarakat yang benar.
Konflik ini dikaraterisasikannya sebagai vertikal dan horizontal dibuat untuk perombakan konstruksi yang sangat esensial. Dia membedakan hal ini dengan mudah dari hukum kontrak. Prinsip dan counterprinsip dapat dipahami sebagai ekspresi dari latar belakang keinginan dan skema perkumpulan manusia. Dalam usaha ini, counterprinsip mengontrol prinsip dari sisi perluasan yang iperialistik. Dia mengatakan bahwa hubungan komunal bervariasi sepanjang dunia perdagangan dan komersial berdasarkan hukum kontrak. Perkawanan dan keluarga tidak disyaratkan atau tidak diperhatikan oleh kontrak dengan kata lain wilayah kontrak tidak disentuh oleh perkawanan dan pengaruh yang saling menguntungkan. Hasil ini berpengaruh terhadap model demokrasi dan masyarakan privat. Idenya adalah superliberalism.[45]
Dia mengusulkan untuk suatu “reinventing democracy” yang bisa dipaksakan dalam merubah hierarkhi sosial dan meredistribusi sumber-sumber. Hal ini mencakup sebuah konsep hukum baru yang membutuhkan hak destabilisasi. J.W. Harris mengkritik penghakiman Unger yang disebut Pahlawan yang memainkan peran seorang aliran kritis dan menggenggam politik dan tidak menggenggam dirinya sendiri dan pandangannya dari praktek hukum.[46]
Secara umum gerakan GSHK menyalahkan pencarian sebuah sistem hak sebagai sebuah sistem yang tidak dapat dibuat secara koheren. Lebih dari itu, Individual meningkat melebihi komunitas dan kebutuhan komunitas terhadap individual dilupakan. Gabel dan Kennedy telah menuntut bahwa rakyat tidak membutuhkan hak mereka. Apa yang mereka butuhkan adalah bentuk nyata dari sistem kehidupan sosial yang bebas dari ilusi saat ini. Beberapa orang juga mengatakan bahwa eksistensi hak bermanfaat sebagai polisi dan orang lain dipaksakan. Hak-hak adalah poin yang berkumpul kepada sesorang. Kritik juga menolak keinginan dan kemungkinan rule of law. Duncan Kennedy memegang pendapat bahwa hukum secara keseluruhan itu tidak pasti dan tidak pernah ada suatu solusi hukum yang benar selain kebenaran etik dan solusi politik untuk sebuah permasalahan hukum. Anggota GSHK berbeda dalam hal peran instrumental dari hukum dalam masyarakat; beberapa mengambil pendekatan Marxian ortodhok, yang lainnya memegang pendapat bahwa hukum melayani kelas yang dominan dengan cara yang lebih bervariasi.


B. Pemikiran-Pemikiran Lain Dari Gerakan Studi Hukum Kritis

Gerakan Studi Hukum Kritis dan Kontadiksi Liberalisme
Mark Kelman mendaku ada tiga kontradiksi utama dalam liberalisme, yaitu (1) kontradiksi antara komitmen terhadap aturan mekanis yang dapat diterapkan sebagai bentuk yang tepat penyelesaian perselisihan dan komitmen terhadap kepedulian situasional sebagai standar sementara, (2) kontradiksi antara komitmen terhadap nilai atau kemauan liberal tradisional yang arbitrer, subjektif, dan individual serta kenyataan yang obyektif dan universal berhadapan dengan komitmen terhadap cita-cita bahwa kita bisa mengetahui kebenaran etika sosial secara obyektif atau harapan bahwa seseorang bisa menyatukan pembedaan antara subjektif dan obyektif dalam mencari kebenaran moral, (3) kontradiksi antara komitmen terhadap diskursus kehendak, dimana semua tindakan manusia dilihat sebagai hasil penentuan keinginan individu sendiri, dan diskursus determinis, di mana aktivitas subyek tidak sesuai karena secara sederhana merupakan hasil dari struktur sosial yang ada.

Kontradiksi pertama merupakan dua posisi yang mengundang untuk memilih antara seperangkat nilai dan pandangan umum. Argumen formal tentang penggunaan aturan atau standar adalah terkait dengan cita-cita keteraturan masyarakat yang tepat. Hakim berada dalam posisi yang hati-hati dalam memilih aturan yang terkait dengan pandangan etis subtantif. Kontradiksi kedua secara singkat menunjukan masalah kegagalan metode liberalisme positivis dalam menyesuaikan dengan kebutuhan normatif. Kesulitan ini dihadapi ketika penerapan metode empiris terhadap kemauan manusia. Sedangkan kontradiksi ketiga menunjukan pada konflik panjang antara kehendak bebas dan determinisme.

Teori Hukum dan Teori Sosial
Salah satu yang diajukan secara prinsipil oleh GSHK adalah kebutuhan untuk mengintegrasikan teori hukum dengan teori sosial. Dalam pandangan GSHK, realitas bukan merupakan produk dari alam yang tidak bisa ditawar, namun merupakan "pertarungan antara individu yang dibatasi oleh suatu garis tertentu". Diskursus hukum adalah suatu diskursus yang perhatian utamanya pada kehidupan sosial. Dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk kesadaran sosial, pendukung GSHK berharap bisa memajukan individu. Dengan menunjukan bahwa kehidupan sosial semakin tidak terstruktur dan semakin komplek, semakin tidak berpihak dan semakin irasional, dari pada proses hukum yang dikira, kepentingan yang dilayani oleh doktrin dan teori hukum akan muncul.

Dalam pandangan Robert Gordon, kepentingan yang dilayani tersebut adalah suatu ideologi (cara pandang) dari kelompok masyarakat tertentu yang dominan. Dia mengajukan beberapa metode untuk menunjukan dan meruntuhkan ideologi dalam pemikiran hukum utama, yaitu melalui; perongsokan, dekonstruksi, dan geneologi. Pembentukan dominasi dijelaskan dengan menggunakan pemikiran Levi Strauss dan konsep hegemoni yang diungkapkan oleh Antonio Gramci[47].Salah satu cara untuk membongkar struktur sosial adalah dengan menggunakan metode geneologi dan archeology. Metode ini menelusuri dasar-dasar dan pemikiran dasar pembentukan struktur sosial yang hierarkhis.

Dari Kritik ke Konstruksi

Doktrin Deviasi
Dipertahankannya bentuk-bentuk doktrin yang mapan selalu terletak pada sebuah tantangan implisit untuk menerima genre yang berkuasa. Tantangan itu berupa pilihan umum untuk menyerahkan diri pada versi tatanan sosial yang sudah stabil atau menghadapi perang antara semua melawan semua. Pertentangan ini diselesaikan dengan doktrin deviasi yang ciri pokoknya adalah usaha untuk menyeberang tapal batas empiris maupun normatif yang memisahkan antara teori sosial empiris dan dari argumen mengenai organisasi masyarakat yang benar. [48]

Penetapan Kembali Demokrasi dan Pasar
Hasil konstruktif kritik terhadap obyektivisme adalah usaha untuk mencari alternatif cita-cita kelembagaan demokrasi dan pasar dengan menggunakan doktrin deviasi. Pencarian ini membutuhkan tiga gagasan, yaitu teori transformasi sosial untuk bisa membedakan cita-cita yang programatis yang realistis, pikiran programatis yang dilakukan dengan pembalikan dan pemujian berupa pendefinisian kembali tanpa usaha kapitulasi buta, dan konsepsi hubungan yang tepat antara negara dan masyarakat. Hasilnya berupa tiga bentuk versi yang sepadan, yaitu; pertama, pelonggaran kumulatif tatanan masyarakat tertentu terutama mengenai pelapisan dan pembagian sosial, pola yang diberlakukan mengenai cara-cara hubungan manusia yang mungkin dan dikehendaki. Kedua, peluang hidup dan pengalaman hidup pribadi harus semakin terbebas dari tirani kategori-kategori sosial yang abstrak. Ketiga, perbedaan antara apa yang dimaksudkan oleh dunia sosial dan apa yang dikeluarkannya, antara kegiatan rutin dan revolusi, harus diperinci sebanyak mungkin.
Demokrasi bisa ditemukan kembali melalui beberapa persyaratan yaitu:[49]
1. bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan politik mapan yang memungkinkan kelompok rakyat yang relatif kecil menguasai syarat-syarat pokok kemakmuran kolektif dengan mengambil keputusan-keputusan investasi yang amat penting.
2. Menekankan arti penting bidang-bidang utama kehidupan organisasi pabrik, birokrasi, kantor, rumah sakit, dan sekolah.
3. Sarana komunikasi dan pemberian dana politik.

Revolusi Politik dan Kebudayaan
Tujuan yang menjadi pedoman dan pemersatu kebiasaan budaya revolusioner adalah untuk membentuk kembali hubungan pribadi langsung dengan membebaskan mereka dari latar belakang rancangan pembagian hierarkhi sosial. Rencana ini memberikan suatu kesempatan bagi pertukaran praktis atau ikatan yang penuh gairah untuk menghormati batas-batas yang ditetapkan tatanan kekuasaan yang mapan. Rencana itu juga memberikan peran tertentu pada setiap orang sesuai dengan kedudukan yang mereka pegang dalam seperangkat perbedaan sosial atau gender yang ditetapkan sebelumnya.

C. Kelebihan Dan Kekurangan Gerakan Studi Hukum Kritis

Kelebihan
GSHK terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.

Kekritisan GSHK dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama GSHK. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari GSHK adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif karen tersedot arus budaya massa yang abstrak.

Kekurangan
Sebagaimana pemikiran kritis yang lain, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praksis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selualu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Maka konsekuensi dari pendukung GSHK akan selalu berada di pinggir sistem sosial kalau tidak tidak anggap sebagai makhluk aneh yang harus disingkirkan. Akibatnya GSHK sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama GSHK adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.

Analisis Kritis terhadap Hukum di Indonesia
Penggunaan GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat[50].

Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas dominan dalam menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di DPR. Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti untuk melanggengkan kekuasaannya[51]. Sehingga sejak saat ini pun banyak langkah dan kebijakan yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa transisi politik adalah masa paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya kekuatan yang dominan. Pemberantasan KKN harus dilakukan dalam rentang waktu transisi politik.[52] Apabila sampai saat rekonsolidasi politik perubahan belum berhasil, maka proses perubahan akan kembali memasuki masa-masa yang sulit karena semakin mapannya kekuasaan. Makna pemilu 2004 menjadi semakin penting karena pada waktu inilah dimulai sistem perwakilan baru yaitu bikameral[53] di Indonesia yang ditandai dengan adanya DPD dan bergesernya kedudukan MPR[54], serta merupakan awal pelaksanaan pemilihan Presiden secara langsung. Untuk bisa menciptakan wakil rakyat yang amanah dan bertanggungjawab serta sebagai salah satu agenda pemberantasan KKN, harus dipilih dan diciptakan sistem pemilu yang dapat memenuhi kepentingan tersebut[55].
Pemilu 1999 yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup[56] telah menimbulkan jarak antara wakil rakyat dan konstituennya[57]. Dengan memilih tandar gambar partai, kampanye partai politik lebih menekankan pada sentimen primordial dan nama besar tokoh partai, sehingga pilihan konstituenpun tidak berdasarkan pertimbangan rasional program dan citra calonnya. Sebagai bukti dapat diungkapkan bahwa perbedaan pilihan untuk DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten hanya 0,04%.[58] Akibatnya, saat ini sulit untuk menggunggat pertanggungjawaban wakil rakyat[59]. Penilaian negatif seseorang terhadap wakil rakyat akan dengan mudah terhapus oleh nama besar dari partai. Sistem pemilu tahun 1999, juga melahirkan hegemoni kekuasaan partai politik[60]. Kekuasaan partai politik sangat besar dalam menentukan calon dan apa yang harus diperbuat wakil rakyat. Sistem pemilu tahun 1999 ternyata telah mengukuhkan budaya politik yang abstrak, paternalis, dan tidak bertanggungjawab.

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang saat ini sedang dibahas di DPR, dalam beberapa hal mencoba untuk menutup berbagai kekurangan dalam sistem pemilu yang digunakan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka diharapkan dapat dicapai aspek representasi dari sistem proporsional dan aspek akuntabilitas dari sistem distrik. Sistem ini tentu saja memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif bagi perkembangan partai politik adalah; pertama, mengalihkan konflik penyusunan daftar nama calon dalam partai politik[61]. Sebelumnya, konflik tidak sehat, karena keputusannya tergantung pada pimpinan partai. Dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka calon tidak disusun berdasarkan peringkat. Calon jadi adalah calon yang mendapatkan jumlah suara tertentu menurut peringkat sesuai jatah kursi daerah setempat. Kedua, karena seorang calon nasibnya ditentukan oleh suara yang didapat, maka calon tersebut terutama harus berkampanye di daerahnya[62].
Kampanye dengan menghadirkan tokoh tertentu diluar daerah pemilihannya menjadi kurang berarti bagi terpilihnya seorang calon. Kampanye yang dilakukan harus menyentuh kebutuhan riil masyarakat, dan masyarakat bisa menggugat serta mengkoreksinya pada pemilu kemudian. Ketiga, dengan sistem tersebut, akan mengeliminasi hegemoni partai politik terhadap wakil rakyat dan memperdekat jarak wakil rakyat dengan konstituennya.
Sisi positif bagi masyarakat, adalah pembangunan budaya politik yang rasional. Pertama, masyarakat tidak hanya memilih tanda gambar partai, tetapi juga memilih calon yang akan mengisi kursi partai tersebut. Sehingga sangat mungkin partai pilihan pemilih berbeda antara DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPR. Masyarakat juga belajar kalkulasi rasional terhadap citra dan program wakil rakyat. Kedua, kepentingan-kepentingan daerah atau isu-isu lokal menjadi mendapatkan tempat dalam perpolitikan Indonesia[63].
Sedangkan sisi negatifnya adalah pelaksanaannya yang cukup rumit dan membutuhkan pengetahuan pemilih yang detil dan lengkap. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang tingkat pendidikannya rendah, pelaksanaan sistem ini memang cukup sulit. Belum lagi masalah teknis lain, seperti bentuk surat suara, waktu yang digunakan untuk memilih dan waktu penghitungan suara.
Namun kendala tersebut bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Kendala kesadaran dan pengetahuan pemilih bisa diatasi apabila ada proses voter education yang memadai dalam tahapan pemilu. Proses ini tentu saja tidak hanya dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana pemilu, tetapi juga oleh elemen masyarakat yang lain.[64] Kendala kerumitan proses kampanye, pemilihan, dan penghitungan, juga bisa diatasi dengan pemisahan pelaksanaan pemilu. Disamping karena pokok persoalan pemilihannya berbeda, hal ini juga akan memperkukuh kalkulasi rasional masyarakat pada masing-masing pemilihan.
Namun lagi-lagi upaya perubahan ini menghadapi tembok kekuasaan yang saat ini berada dalam bangunan partai politik. Enam partai besar sudah menunjukan indikasi penolakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari yang ideologis sampai pada yang teknis.
Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena; pertama, sistem ini akan memperlemah kontrol partai politik terhadap wakil rakyat. Kedua, sistem ini akan menimbulkan kesadaran kritis pemilih. Pemilih yang sadar tidak akan lagi terikat secara emosional tetapi lebih pada citra dan program calon wakil rakyat. Akibatnya, partai yang tidak memiliki program yang sungguh-sungguh akan ditinggalkan. Ketiga, sistem ini membutuhkan proses kampanye yang panjang, dialogis dan menitikberatkan pada pendidikan politik, padahal partai politik saat ini lebih menyukai proses mobilisasi massa. Tembok penghalang tersebut sangat kukuh, karena bermukim dalam lembaga DPR dan pemerintahan. Kedua institusi inilah yang secara yuridis normatif memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Tampaknya harapan memperoleh wakil rakyat yang lebih bertanggungjawab sulit terwujud.

D. Penutup
Pemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran besar, yaitu positivis dan sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru.

Sedangkan aliran sociological jurispurudence banyak tergambar dari perilaku dan aktivitas politisi terutama lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Aliran ini awal mulanya diterapkan pada masa orde baru untuk mendukung program-program pembangunan orde baru dan melanggengkan kekuasaan dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang tersisa adalah menjadikan hukum sebagai ajang legiitimasi dalam memperoleh dan melanggengkan kekuasaan.
GSHK sendiri masih sangat baru bagi kalangan hukum di Indonesia. Perkembangan awal GSHK digunakan oleh kalangan aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran GSHK juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia.

Daftar Pustaka

ACE Project. Sistem Pemilu. Diterbitkan atas kerjasama IDEA. United Nations dan IFES. Jakarta. 2001.
Baqir Ash-Shadr, Sayyid Al-Islam Ayatullah Al-‘Uzhma As-Sayyid Muhammad. Falsafatuna. terjemahan M. Nur Mufid bin Ali. Cetakan VI. Bandung. Mizan. 1998.
Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers). penerjemah: Sigit Jatmiko. Jogjakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Boyle, James. The Politics Of Reason; Critical Legal Theory And Local Social Thought. University of Pennsylvania Review. April 1985.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. International Law Book Service. Kuala Lumpur. 1994.
Durkheim, Emil. The Sociology of Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/ soc/ durkheim/ durkw4.htm, diakses 6 Nopember 2002.
Friedmann,W. Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I. (Legal Theory). terjemahan: Mohamad Arifin. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Perkasa. 1993.
Gidden, Antony. The Third Way. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka. 1999
Gramsci, Antonio. The Prison Notebooks. http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/ gramsum/. diakses tanggal 6 Nopember 2002.
Gordon, Robert dan Thomas Kearn (editor). Law in the Domains of Culture. (University of Michigan Press. 1998.
Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest. Chapter Three. Polity Press. 1968.
Horwitz, Morton J. The Transformation Of American Law. 1870-1960 by. New York: Oxford University Press. 1992
Jaine Mileaf on Levi-Strauss, "Science of the Concrete", http://dept.english.upenn.edu/~jenglish/Courses/mileaf.html, diakses 23 Oktober 2002.
Kennedy, D. The Structure of Blackstone’s Commentaries’ . Buffalo Law Review. 1979. hal. 47.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia. judul asli: Ideology and Utopia. penerjemah: F. Budi Hardiman.. Cetakan Kedua. Yogyakarta. Kanisius. 1991.
Marcuse, Herbert. The Paralysis of Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon. iguw.tuwien.ac.at/Christian/marcuse.htm, diakses tanggal 6 Nopember 2002.
Parson, Talcot. Essei-Essei Sosiologi Talcot Parson. (Talcot Parson Essays Sociology). Jakarta. Aksara Persada Press. 1986.
Poloma, Margareth M. Sosiologi Kontemporer. (Contemporary Sociological Theory). terjemahan Tim YASOGAMA. Cetakan kedua. Jakarta. CV. Rajawali. 1987.
Rizal, Jufrina dan Agus Brotosusilo (peny). Filsafat Hukum. Buku Ke-II. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. September 2001.
Scheppele, Kim Lane. Legal Theory and Social Theory. Annual Review of Sociologi. Annual 1994 v20.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Jakarta. Pustaka Pelajar dan Insist Press. 2000.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Cetakan kelima. Jakarta. PT. Gramedia. 1999.
………………………. Pemikiran Karl Marx; Sosialis Utopis Ke Perselisihan Revisionis. Jakarta. PT. Gramedia, 2001
The Fallacies of Egoism and Altruism, and the Fundamental Principle of Morality, http://www.friesian.com/moral-1.htm, diakses tanggal 17 Desember 2002.
Unger, Roberto M. Gerakan Studi Hukum Kritis. judul Asli: The Critical Legal Studies Movement. penerjemah: Ifdhal Kasim. Cetakan Pertama. Jakarta. ELSAM. 1999.
………………….. The Critical Legal Studies Movement. First Edition. Cambridge. Harvard University Press. 1983.

Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan National Democratic Institut, di Medan, 12 Juni 2001.
Budiarjo,Miriam. Pemilu 1999 dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004. Makalah untuk Centre for Electoral Reform (CETRO). Jakarta. 9 September 1999.


Media Massa
Duit Mengalir Sampai Jauh; Proses Demokrasi yang Mahal. MEDIA TRANSPARANSI. Edisi 09 Juni 1999.
Haryadi, Agus. Bikameral Setengah Hati. Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.
Potret Suram Dari Senayan. FORUM Keadilan No. 34 Edisi 22 Desember 2002.


Footnote
[1] Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Tulisan ini dibuat menjelang Pemilu 2004.
[2] Karena Studi Hukum Kritis merupakan kelanjutan sekaligus kritik terhadap aliran hukum realisme Amerika, maka untuk memahami pemikiran studi hukum kritis diperlukan dasar pemahaman atas pemikiran realisme hukum Amerika, mengingat dasar pijakan kritisisme Studi Hukum Kritis adalah realisme Amerika.
[3] Roberto M. Unger, Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal Kasim, (Jakarta, ELSAM, 1999).
[4] Yang menjadi perhatian utama adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan hukum. Hal ini sesuai dengan sistem hukum Common Law Amerika Serikat. Jadi pada hakekatnya perhatian utama tidak hanya pada penerapan hukum, tetapi juga pada pembuatan hukum.
[5] Menurut pemikiran Karl Marx, struktur sosial terdiri dari supra struktur dan infra struktur. Supra struktur ditentukan oleh infra struktur. Infra struktur adalah kehidupan ekonomi (penguasaan modal) dan supra struktur adalah bidang sosial lainnya (hukum, politik, budaya, dan lain-lain). Lihat, Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx; Sosialis Utopis Ke Perselisihan Revisionis, Jakarta, PT. Gramedia, 2001.
[6] Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Chapter Three, (Polity Press, 1968).
[7] Emil Durkheim, The Sociology of Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/soc/ durkheim/ durkw4.htm, diakses 6 Nopember 2002.
[8] Herbert Marcuse, The Paralysis of Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon.iguw. tuwien.ac.at/ Christian/marcuse.htm, diakses tanggal 6 Nopember 2002.
[9] Antonio Gramsci, The Prison Notebooks, http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/gramsum/, diakses tanggal 6 Nopember 2002.
[10] Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, (Social Theory: A Guide to Central Thinkers), penerjemah: Sigit Jatmiko, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002).
[11] GSHK menolak pemisahan antara ilmu hukum dengan ilmu sosial lainnya.
[12] Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur, International Law Book Services, 1994), hal. 239-253
[13] Pada bagian ini akan dianalisis proses pembahasan RUU Pemilu yang saat ini sedang dilakukan di DPR untuk menunjukan beberapa kontruksi pemikiran yang mewarnainnya dan kepentingan-kepentingan kelas yang ikut ambil bagian.
[14] Terminologi “kiri” memiliki beberapa makna. Makna klasik pembedaan antara “kiri” dam “kanan” adalah “kiri” mewakili pemikiran sosialis dan “kanan” mewakili pemikiran “kapitalis”. Terminologi yang lebih luas adalah “kiri” mewakili pemikiran kritis yang anti kemapanan, sedangkan “kanan” adalah pemikiran konservatif (pemikiran yang mapan). Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pemikiran “kiri” adalah pemikiran kritis yang anti kemapanan.
[15] Pada akhirnya, pembedaan antara pemikiran “kiri” dan “kanan” tidak lagi mewakili pemikiran sosialis-marxis versus kapitalis-konservatis, tetapi lebih menunjukan fenomena sebagai diskursus tesis-antitesis-sintesis.
[16] Ekletik adalah salah satu metode ilmiah dengan cara menggabungkan bagian-bagian dari suatu pemikiran atau konsepsi yang baik, kemudian dirangkai menjadi struktur konsepsi yang baru.
[17] W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjemahan: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Perkasa, 1993), hal. 169 – 200.

[18] Dalam sistem Common Law, yang dimaksud peraturan sebagai dasar hakim membuat keputusan terutama adalah keputusan hakim lain yang telah ada sebelumnya (yurisprudensi), sedangkan dalam negara dengan sistem Civil Law, peraturan adalah undang-undang.
[19] Roberto M. Unger, Op. Cit. hal. XV.
[20] Dalam masyarakat liberal, ternyata kesejahteraan yang menjadi tujuan utama doktrin laize faire tidak bisa terpenuhi karena adanya ketidaksamaan kekuatan dan nafsu keserakahan manusia sehingga menciptakan penderitaan pada sebagian besar anggota masyarakat. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan lebih sehingga dapat bersaing. Lihat, James Boyle, The Politic of Reason: Critical Legal Theory And Local Social Thought, (University of Pennsylvania Law Review, April, 1985), hal. 4.
[21] Pemikiran ini telah banyak diungkapkan dalam berbagai teori seperti masyarakat kelasnya Karl Mark (negara sebagai alat penindas), dan teori Hegemoni dari Antonio Gramsci. Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Cetakan kelima, (Jakarta, PT. Gramedia, 1999), hal. 259 – 277. Sedangkan Pemikiran Gramsci dapat dibaca dalam Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, diterjemahkan oleh:Kamdani dan Imam Baihaqi, diterbitkan atas kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000.
[22] Talcot Parson, Essei-Essei Sosiologi Talcot Parson, (Talcot Parson Essays Sociology), (Jakarta, Aksara Persada Press, 1986), hal. 293-310.
[23] Untuk mengungkapkan struktur hierarkhi dan pola dominasi yang ada dalam masyarakat GSHK banyak menggunakan pola piker filsafat kritis seperti konsepsi Hegemoni dari Gramsci, Diskursus Prakis Rasional dari Herbert Marsuce, serta Masyarakat Komunikatif dari Jurgen Habermas.
[24] Aturan sosial dapat digunakan untuk melihat kekuatan sosial mana yang dominan dalam hierarki sosial. Aturan sosial merupakan hasil dari proses pertarungan kepentingan-kepentingan dalam struktur sosial.
[25] Lewis Cases, Strukturalisme Konflik I: Mempertahankan Struktur Melalui Konflik, dalam Margareth M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Contemporary Sociological Theory), terjemahan Tim YASOGAMA, Cetakan kedua, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hal. 106-165.
[26] Karena keinginan untuk mempertahankan struktur lama itulah, maka kaum konservatif menolak pemikiran-pemikiran baru walaupun merupakan kebenaran. Penolakan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang merupakan penindasan dari yang bersifat psikis hegemonic sampai dengan menggunakan cara-cara kekerasan fisik. Lihat, Margareth M. Poloma, ibid.
[27] Pemikiran hukum terbentuk dari pemikiran sosial lainnya. Pemikiran sosial terbentuk dalam dan dari struktur sosial yang merupakan produk dan konstruksi sejarah. Jadi, pemikiran hukum tanpa terasa seringkali melegitimasi struktur sosial yang telah ada.
[28] Kontradiksi kapitalisme dan liberalisme telah banyak diungkap oleh Karl Marx dan pemikiran Marxian yang lain. Kontradiksi dalam masyarakat liberal modern juga ditunjukan oleh Antony Gidden dalam bukunya The Third Way. Antony Gidden, The Third Way, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 1999).
[29] Hal ini paralel dengan pemikiran Karl Mark bahwa hukum adalah supra struktur yang ditentukan oleh infra struktur (penguasaan model). Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Op Cit. hal. 265.
[30] James Boyle, Op Cit., hal. 4.
[31] Ilusi mistik dalam hal ini bukan berarti ilusi mistik yang ada pada masyarakat primitif, yaitu kepercayaan terhadap roh-roh halus, tetapi keyakinan-keyakinan tanpa adanya bukti dan dasar pemikiran yang kuat seperti doktrin hukum murni, doktrin moralitas, doktrin keharusan sejarah yang banyak diterima begitu saja. Janine Mileaf, Levi Straus “Science of Concrete”, http//dept.English.open.edu/ diakses tanggal 23 Oktober 2002.
[32] Konsepsi tentang perputaran modal untuk mengatasi kelemahan kapitalisme juga bisa dipelajari dalam buku The Third Way dari Anthoni Gidden terutama konsep investasi sosial. Pemikiran Gidden banyak mempengaruhi kebijakan Partai Buruh Inggris terutama Perdana Menteri Tony Blair serta Kanselir Jerman Gerald Shcroeder. Pemikiran ini banyak diterima di Eropa terbukti dengan kemenangan partai buruh di negara-negara Eropa. Lihat http://www.third-way.com/.
[33] Dalam Buku Modern Jurisprudence terlihat bahwa Hari Chand lebih condong pada pemikiran sociological jurisprudence.
[34] Untuk bisa melakukan penafsiran dengan baik dan mengetahui kepentingan yang tersimpan dalam suatu teks, dapat digunakan metode geneologi dan arkheologi. Geneologi adalah metode penelusuran makna teks melalui pencarian makna leksikal. Sedangkan arkheologi adalah pencarian makna secara histori penggunaan teks tersebut. Lihat, Kim Lane Scheppele, Legal Theory and Social Theory, Annual Review of Sociology, 1994, V. 20, hal. 383.
[35] Sayyid Al-Islam Ayatullah Al-‘Uzhma As-Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terjemahan M. Nur Mufid bin Ali, Cetakan VI, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 51-54.
[36] Kennedy, The Structure of Blackstone’s Commentaries’ 1979, (Buffalo Law Review), hal. 47.
[37] Morton J. Horwitz, The Transformation Of American Law, 1870-1960 by. (New York: Oxford University Press, 1992).
[38] Salah satu buku yang membahas pemikiran Gramsci yang telah diterjemahkan adalah Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Op Cit.
[39] Kennedy, Op Cit. hal. 49.
[40] Individualisme adalah paham mementingkan kepentingan individu, sedangkan altruisme adalah paham yang mementingkan kepentingan orang lain. Lihat, The Fallacies of Egoism and Altruism,and the Fundamental Principle of Morality, http://www.friesian.com/moral-1.htm, diakses tanggal 17 Desember 2002.
[41] Pertentangan antara individualisme dan altruisme merupakan salah satu bentuk antinomy yang bersumber pada paham penghargaan individu namun dengan pendekatan yang berbeda. Antinomy ini juga melahirkan pertentangan yang tak berujung antara individualisme versus kollektivisme, dan antara liberalisme versus sosialisme.
[42] Kolektifisme adalah paham yang menempatkan kepentingan kelompok (kepentingan umum) sebagai hal yang utama di atas kepentingan individual.
[43] Hari Chand, Op Cit. hal. 248
[44] Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 1-14
[45] Secara lengkap dikatakan oleh Unger bahwa: “Hal ini menekan premise liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kebebasan dari ketergantungan dan hubungan pemerintahan masyarakat oleh keinginan, menunjuk pada kecenderungan mereka pada suatu ambisi yang luas; bangunan dunia sosial sedikit terasing kepada diri sendiri yang selalu bisa dilanggar oleh aturan yang umum dari mental dan konstruksi sosialnya dan mengambil aturan dan konstruksi lain di tempatnya”. Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 15-52.
[46] Hari Chand, Op Cit. hal. 253.
[47] Robert Gordon and Thomas Kearn (editor), Law in the Domains of Culture, (University of Michigan Press, 1998).
[48] Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 15.

[49] Hari Chand, Op Cit. hal. 253.
[50] Kekuasaan Presiden Soeharto merupakan contoh paling jelas dari dianutnya paradigma pembangunan ekonomi sebagai panglima.
[51] Untuk setiap pemilu biasanya dibuat peraturan-peraturan tersendiri. Biasanya meliputi UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
[52] Dalam kondisi transisi, semua hal mungkin dilakukan dengan prosedur dan ukuran-ukuran yang juga temporer, seperti munculnya istilah keadilan transisi.
[53] Jimly Asshiddiqie, Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan National Democratic Institut, di Medan, 12 Juni 2001.
[54] Namun hingga saat ini masih terjadi tarik menarik di DPR apakah akan menempatkan DPD sebagai lembaga perwakilan yang kuat seperti lembaga Senat di Amerika Serikat. Bahkan ada suara yang ingin mengurangi peran DPD. Lihat Agus Haryadi, Bikameral Setengah Hati, Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.
[55] Jadi masalah pemberantasan KKN tidak hanya masalah korupsi dan penciptaan clean and good governance tetapi merupakan masalah sistemik, termasuk masalah pilihan sistem pemilu.
[56] ACE Project, Sistem Pemilu, Diterbitkan atas kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES, (Jakarta, 2001), hal. 99 – 108.
[57] Namun harus diakui bahwa dalam banya hal, terutama dalam pelaksanaannya, pemilu 1999 telah jauh lebih baik dibanding pemilu sebelumnya di masa orde baru. Lihat Miriam Budiarjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004, Makalah untuk Centre for Electoral Reform (CETRO), Jakarta, 9 September 1999.
[58] Data ini pernah diungkapkan oleh Anas Urbaningrum, anggota Komisi Pemilihan Umum, pada forum diskusi di Center for Good Governance Studies, Jakarta, Oktober 2002.
[59] Seperti kasus banyaknya anggota DPR yang tidak menghadiri sidang, sampai saat ini belum ada mekanisme masyarakat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Lihat Potret Suram Dari Senayan, FORUM Keadilan No. 34, Edisi 22 Desember 2002, hal. 82-83.
[60] Karena partailah yang menentukan apakah seseorang dapat menjadi calon legislative atau tidak, dan partai juga yang menentukan apakah seseorang calon menempati urutan calon jadi atau tidak.
[61] Dengan demikian money politik dalam tubuh partai bisa diminimalisir dan menyerahkan pilihan calon kepada pemilih.
[62] Hal ini bisa digunakan untuk mengimbangi kampanye model mobilisasi massa seperti yang selalu dilakukan pada masa lalu yang lebih merupakan pembodohan terhadap pemilih.
[63] Pilihan menjadi tergantung pada program dan calon dari partai untuk tiap tingkat perwakilan, bukan pada partai politik.
[64] Patut diingat bahwa pada Pemilu 1999 proses pendidikan pemilih (voter education) lebih banyak dilakukan oleh ormas dan L
Agama, Perubahan Sosial dan Sublimasi Identitas



Sutrisno Abdullah



Abstract

Position of religion in social change is a discourse that has ‘ceased’ and finished in theoretical polarity, between materialism and idealism. The latent pull of both materialism and idealism has emerged obviously since early capitalism era. Nowadays is an era that almost viewed as to cease idealism position after Max Weber. Prescription that religion should be innovative to respond reality of social structure is to say that religion should be adaptive. This long process is a reading about identity sublimation as well as weakening of truth interpreter authority. The new phase of history is ready to begin.



Keywords: religion, social change, identity sublimation, truth interpreter, authorithy, idealism, materialism







Eksplorasi pendekatan tentang

hubungan agama dengan perubahan sosial

Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia mulai ‘jungkir balik’ secara dramatik sepanjang sejarah peradaban umat manusia ketika kapitalisme yang sesungguhnya lahir secara utuh.[1] Hugh Dalziel Duncan[2] melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, dimana uang pertama kali dipercakapkan dalam ranah peristilahan transendental. Perjuangan demi keadilan ekonomi merupakan reduksi legal dari setiap terma perjuangan demi keadilan. Pada babak yang lebih matang, perubahan uang dari lambang kejahatan menjadi lambang kebaikan.[3] Hugh mengutip Bernard de Mandeville bahwa dalam babak peradaban baru ini agama adalah satu hal dan dagang adalah hal lain. Bagaimana formasi agama dalam babak sejarah yang dianggap baru sepanjang peradaban ?

Wacana agama dan ‘perubahannya’ hari ini menjadi penggalan pendek dari garis sejarah peradaban. Hubungan agama dengan negara; hubungan islam dengan demokrasi; islamisasi ilmu atau hindunisasi ilmu; ekonomi islam; kebangunan islam; fundamentalisme agama dan pembaharuan pemikiran bisa jadi merupakan daftar asesoris dari grand wacana hubungan panjang dan (mungikn) tidak pernah selesai antara agama dengan perubahan sosial. Hubungan tersebut dibangun dari rumusan pertanyaan dan ragam tesis mengenai letak agama dalam perubahan sosial hari ini.

Merujuk Max Weber (1864 – 1920), agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Setelah pengikut Weber dari Amerika, Talcot Parson, menterjemahkan karya Weber kedalam bahasa inggris dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism tahun 1958, buku Weber ini menjadi bacaan wajib bagi para penggemar sosiologi.

Namun Weber, bukanlah manusia ‘hari ini’, tesisnya mengenai agama sebagai motor perubahan sosial itu dilahirkan sekitar seratus empatpuluh tahun yang lalu . Hari ini kelihatannya yang terjadi sebaliknya, agama (utamanya) melalui instrumen teologinya harus mengejar ‘kebaruan’ pola interaksi sosial. Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Tesis ini berangkat dari sebuah teori kritis yang menyeruak sekitar tahun 60-an utamanya melalui Mazdhab Frankfurt. Atau, pada tataran epistemologi menjadi sebuah alternatif atas metodologi positivistik.

Sehingga paling tidak hingga hari ini, hemat saya, terdapat tarik – menarik yang begitu besar pada wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, lebih dipicu oleh ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, berpendapat kondisi hari inilah yang harus (dirubah) menyesuaikan (teks-teks) agama.

Pendapat yang pertama tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial. Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya.[4] Bahkan entitas ‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama.[5] Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya. Karen Amstrong bahkan menggunakan term Tuhan (God), A History of God dalam menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya. Tuhan berevolusi.

Sebuah buku terbitan Cross Cultural Publication tahun 1994 yang diedit George B. Grose dan Benjamin J. Hubbart, The Abraham Connection: A Jew, Cristian and Muslim in Dialogue, diterjemahkan ke Indonesia Tiga Agama Satu Tuhan oleh Penerbit Mizan, tahun 1998 persis memperkuat tesis Karen Amstrong dalam cara penuturan yang jauh berbeda. Buku ini disambut ‘biasa’ saja oleh pengamat (perilaku) ke-agama-an atau para agamawan. Hemat saya buku hasil dialog pemuka tiga agama, yaitu antara David Gordis (Yahudi), George Grose (Kristen) dan Muzammil Siddiq (Islam) ini ‘luar biasa’. Karena titik temu agama - agama yang selama ini didengungkan melalui wacana teologi, atau lebih dari itu melalui semacan etika, moralitas agama yang dikandung, maka buku ini merupakan eksplorasi serius ‘kesatuan’ agama - agama melalui sejarah yang otentik dan mudah dilacak. Mengutip Kitab Suci masing-masing malah semakin menunjukan otentisitas ‘kesatuan’ agama itu. Kesan yang dapat ditangkap, polarisasi menjadi tiga agama adalah persoalan interpretasi dibalik struktur sosial yang mendasarinya.

Ketika Karen Amstrong mengeksplorasi bagian “Kematian Tuhan” menuliskan,



“Kaum muslim tidak mempunyai banyak waktu atau energi untuk mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang Tuhan. Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat…. Di Barat, “Tuhan” dipandang sebagai suara keterasingan; di dunia islam suara tersebut berasal dari proses kolonial Karena tercerabut dari akar budaya sendiri, orang – orang merasa kehilangan arah dan putus asa. Sebagian pembaharu Muslim berupaya mempercepat langkah kemajuan dengan cara paksa meletakkan islam pada posisi minor”.[6]



Tesis yang dikembangkan Keren Amstrong tersebut mensejajarkan agama dengan ide, filsafat, seni, hukum dan ideologi berada pada posisi super struktur dari infrastruktur material. Secara substantif tesis ini bukan baru, bahkan jauh melampaui masa kelahiran Karl Marx (1818), tesis itu diintrodusir ilmuwan muslim kelahiran Tunisia, Ibn Khaldun (1332–1406). Khaldun meneliti pengaruh lingkungan fisik terhadap bentuk-bentuk organisasi sosial primitif dan modern, hubungan antar kelompok dan berbagai fenomena kultural (kesenian, kerajinan, ilmu pengetahuan, solidaritas atau kohesi sosial).[7] Sungguhpun demikian dalam sejarah khasanah intelektual islam tesis semacam ini dipersoalkan sebagai sebuah masalah teologik, bukan sebuah persoalan keilmuan yang positiv dalam matra epistemologik atau metodologik. Sehingga aktifitas keilmuan yang bertumpu pada metode induktif di kalangan muslim terhenti karena studi empirik (induktif) yang lahir dari pendekatan Ibn Khaldun dihampiri secara deduktif-teologik.[8] Kritik terhadap perspektif Khaldunian[9] secara keilmuan (bukan bentuk kritik teologiknya) sulit ditemui dikalangan ilmuwan muslim. Kritik yang relefan hanya dapat ditemukan ditemukan pada perspektif idealistik yang bermuara dari pandangan Alfred North Whitehead yang menyatakan “ide umum selalu mengancam tatanan yang ada”. Kemudian Auguste Comte, Frederich Hegel dan kajian induktif secara monumental bermuara pada Max Weber dalam studinya mengenai hubungan agama dengan perkembangan ekonomi.

“Perang dingin” teologi di kalangan muslim terjadi dalam merespon implikasi perspektif. Perspektif materialism menempatkan agama hanya sebagai bagian dari ragam institusi yang ada di dalam masyarakat dan ‘berlokasi’ diujung mata rantai ketika terjadi perubahan sosial. Ilyas Ba.Yunus[10], sosiolog dari The State University, New York mengkritik tajam pendekatan yang disebutnya sebagai bias Barat ini dari ranah epistemologis. Bahwa kesalahan besar pandangan ini adalah menempatkan agama sebagai segmen atau bagian kecil saja dari masyarakat. Tangkisan untuk menolak tesis mengenai agama sebagai supra-struktur dari infrastruktur material adalah bahwa tesis tersebut hanya belaku pada pengalaman sejarah Barat – Kristen. Unsur pengalaman Barat seperti sekularisme[11], pemisahan agama dari kehidupan publik tidak terjadi dalam masyarakat muslim.

Kemudian sekularisme seperti sontak tiba – tiba menjadi tema utama yang menantang sejak proses perubahan struktural di masyarakat dunia ketiga pada tahun 60-an. Pergeseran struktural sebagai sebuah data empirik ke arah defferensiasi struktural yang gelagatnya menyamai sistim sosial Barat sulit diingkari sebagai sebuah kenyataan. Meminjam istilah Anthony Giddens gerak itu ibarat Jugernout, truk besar yang melaju tak terkendali.

Tesis yang menempatkan agama sebagai suprastruktur sama dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya. Term antroposentris difahami bahwa agama kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan. Human (sisi kemanusiaan) sebagai dasar segala aktifitas, maka spiritual maupun ritus akan selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Sisi humanitarian ini ‘kehadirannya’ hanya dapat wujud pada aktualisasi interaksi sosial. Sementara sisi teosentris memandang Tuhan diatas segalanya; ‘ketundukan’ manusia adalah dalam rangka ketundukan itu sendiri tanpa harus dimengerti sebagai prosesi imanensi.

Agama bagaimanapun (selalu) menampilkan dua sisi tersebut (antroposentris dan teosentris). Pada masyarakat islam, kita dapati bagaimana ummat memperlakukan (tafsir) Al Qur’an; posisi antroposentris (humanetarian?) ketika memandang Al Qur’an yang kehadirnya semata mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja ‘tersembunyi’ tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan keberlakuan tesis ini pada komunitas Islam Suni dan Islam Syiah. Dikalangan Suni pembaharuan pemikiran islam terasa lebih progresiv, barangkali watak teologinya yang ‘meminimalkan’ perlunya kema’suman keturunan. Ini maknanya kalangan Suni akan lebih adaptif terhadap gagasan demokrasi. Dengan demikian dalam Suni doktrin otoritas atas tafsir rawan sekali goyah, dalam pengertian ini doktrin Suni lebih bernuansa antroposentris dibandingkan dengan sahabatnya kalangan Syiah.

Fenomena Ulil Abshar Abdalla, misalnya, bukanlah pemandangan baru (dalam Suni), dimana involvement “orang kebanyakan” dalam pemikiran agama kemudian berimplikasi pada semacam gugatan terhadap sistem otoritas ulama. Din Syamsuddin, ketua Muhammadiyah mengomentari kiprah Ulil sebagai dekonstruksi agama (islam) tanpa rekonstruksi. Hemat saya, pada tataran sosiologis, dekonstruksi pemikiran islam yang dilakukan Ulil sekaligus menampilkan tawaran[12] (re)-konstruksi pada tataran sistem otoritas agama. Nuansa pesan sosiologis ini pernah diperkenalkan oleh Abdul Munir Mulkhan, sosiolog agama dari Yogyakarta pada dua tahun sebelum kasus Ulil populer dalam kolomnya di Dwi Mingguan Gatra, 23 September 2000. Ia menulis dengan tajuk “Islam Bagi Semua”;



Seorang muslim, pemeluk agama lain atau ateispun terbuka untuk mengapresiasi, memahami dan mengamalkan ajaran islam, terutama ajaran hubungan sosial. Hal ini juga tidak mesti dilakukan dengan membaca atau menafsisr ayat – ayat Al Qur’an dan sunah, melainkan bisa juga dari wahyu model kedua atau sumber kedua.



Jauh lebih mendasar gugatan terhadap sistem otoritas agama itu ditujukan terhadap syarat – syarat menafsir ‘kebenaran’ agama yang disusun ulama dalam ilmu syariah, tafsir dan tauhid, 10 abad yang lalu. Seperti ungkapan Mulkhan berikut:



…pernyataan bahwa hanya orang islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.





Sublimasi identitas

Kolom Munir Mulkhan Gatra tersebut merangsang pertanyaan, bagaimana gambaran sebuah keberagamaan tanpa otoritas ? Inikah yang akan menjadi tren keberagamaan masa depan ? Gejalanya menunjukan kearah realitas tersebut, sebut saja Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lahir dari rahim lanskap kebebasan penafsiran kebenaran agama tanpa wujud otoritas. Dimotori oleh mereka yang meneguk ilmu islam dari sumber (keislaman) tradisional, tapi mereka diasuh dalam buaian ruh masyarakat kota yang serba cair. Model keberagamaan yang dikembangkan JIL ini bagaikan gayung bersambut untuk menjadi pengisi perangkat lunaknya generasi baru umat yang oleh Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2001; 130) disebutkan pengetahuan agama mereka tidak didapatkan dari lembaga islam konvensional.

Meskipun ‘gerakan’ semacam JIL menarik diri dari upaya yang bersifat advokatif secara langsung namun memberikan ruh emansipatoris yang kuat bagi generasi baru yang oleh Kuntowijoyo di atas dikenalkan sebagai muslim yang tanpa masjid. Generasi baru yang sekarang ini (atau sejak 1998) bermain pada gerakan politik jalanan dari rentang ideologi gerakan yang paling kiri hingga ke ujung kanan . Kuntowijoyo (2001;130) menggambarkan berikut “Kita tidak boleh sakit hati dengan penolakan mereka terhadap otoritas KUI, MUI, ormas – ormas dan tokoh-tokoh islam lalu mengnggapnya bukan muslim”.

Realitas mengilustrasikan betapa batas antara Umat Muhammad dengan yang bukan dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi dan defferensiasi menjadi sangat sublim. Gugatan Forum Umat Islam (FUI) yang dikomandoi KH. Atian mengenai tulisan Ulil di Harian Kompas (18/11/2002), menyatakan Ulil sebagai berbahaya bagi islam merupakan penggalan kecil dari sublimasi identitas itu[13]. Begitu pula dalam issue mengenai konflik Irak – Amerika, tidak begitu mudah meyakinkan massa islam bahwa konflik tersebut bukanlah soal agama.

Sangat pentingnya sebuah identitas (keagamaan), baik Ulil Abshar maupun Atian pada substansi perdebatannya lebih cenderung bergeser pada persoalan ‘perebutan’ identitas islam. Persoalan perlunya indentitas ini semata persoalan sosiologis, adanya pergesekan-pergesekan otoritas keagamaan. Bukan teologis yang berfungsi menimbang apakah seseorang beriman atau tidak. Dan, dalam kasus Irak – Amerika, identitas keagamaan ini menjadi sebuah komoditas politik. Struktur kognisi masyarakat sangat sulit menerima ucapan Pramudya Ananta Toer, misalnya, bahwa dirinya ateis. Pernyataan itu dianggap sebuah pernyataan yang mengejutkan, tapi juga cukup maklum karena yang mengatakannya sudah tanpa identitas (jelasnya dia tidak bisa mengatas namakan ‘bahasa’ agama karena tanpa otoritas).

Sebuah realitas akan sulit difahami hanya semata dari pendekatan normatif agama. Ilustrasi terbaru pada kasus Inul. Dalam masyarakat muslim Indonesia, bagaimana ‘wejangan’ susila yang secara substantif diakui publik sebagai norma yang dirumuskan agamanya kemudian patah melalui gesekan opini publik ? Yang justru menyudutkan Rhoma Irama pada ‘ketidak-populeran’ dalam serangakain pergesekan opini publik tersebut. Dalam khasanah komunikasi opini publik terdapat tawaran ‘teori’ bahwa penampilan opini dipengaruhi oleh siapa yang ada dibalik atau dibelakang layar opini. Kawan – kawan fundamentalis (islam) seringkali menggemari teori ini. Pada kasus Inul, popularitas Inul, menurut teori ini, digarap seorang arsitek public opinion (disebutlah nama Arswendo Atmowiloto). Media apa saja yang dipegang oleh Arswendo, tambah teori ini akan mampu menguasai aras publik.

Teori ini sangat strukturalis. Problemnya, bagaimana menjelaskan proses pengaruh aktor dibelakang layar – Arswendo -- dalam pergulatan normatif struktur kognisi masyarakat? Atau, kembali pada rumusan di atas bagaima kubu Rhoma Irama yang nota bene ‘lebih mewakili’ nilai agama secara subtantif menjadi tidak populer dalam pergesekan opini publik? Teori ini buntu memahami proses (pergeseran) struktur kognisi itu. Oleh karena itu harus ada asumsi sebelumnya tentang telah adanya sebuah perubahan yang sangat fundamental dalam struktur kognisi melalui proses sejarah panjang pergulatan agama dengan perubahan sosial. Asrwendo dalam konteks ini tidak dalam kerangka merubah struktur kognisi masyarakat, tetapi cukup menumpangi perubahan dalam masyarakat yang sedang mengalir. Arswendo “menegaskan” adanya sebuah realitas yang sedang berubah itu.

Ilustrasi menarik sekitar perpolitikan post-Suharto. Tanggal 21 Mei 1998 mahasiswa radikal di politik jalanan menduduki gedung MPR/DPR itu sujud syukur menyaksikan Suharto lengser. Kuntowijoyo terperangah, dalam komentarnya; “ternyata mereka muslim juga!”. Tapi umat dibuat kecewa lantaran kemudian ternyata Habibie-pun ditolak, padahal waktu itu Habibie relatif representasi dari islam. Keraguan terhadap mereka melahirkan counter dari masyarakat dan mahasiswa ‘yang lebih muslim’. Dan mereka berbondong - bondong berangkat dari Mesjid Al Azhar dan Istiqlal pada hari Jum’at dengan menggotong spanduk berisi dukungan terhadap Habibie. Bentrok fisik dua kelompok penolak dan pendukung Habibie itu tak terhindarkan.

Mahasiswa itu, pada sisi lain, ‘menyatu’ dalam menolak Sidang Istimewa (10-14 November 1998) sehingga sama-sama berhadapan dengan Pam Swakarsa yang mendukung SI. Pada kesempatan bentrok anggota Pam Swakarsa yang memang kebanyakan ‘soleh’ itu berteriak “Pak, mereka itu bukan orang islam!.”

Generasi baru Muslim ini, mengikuti Kuntowijoyo, lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Hasilnya, mereka hampir menafikan adanya otoritas sosial dalam menafsir kebenaran agama. Sekali lagi, ‘ruh’ keberagamaan yang ditiupkan JIL mendapatkan signifikansinya. Lagi, ilustrasi menarik pada peringatan Peristiwa Semanggi di hari ke-40, dimana Cak Nur menghimbau agar mahasiswa membatalkan acara itu. Cak Nur meragukan kemurnian niat ibadah mahasiswa. Tapi acara itu berjalan terus, dan mulus. Malah sementara mahasiswa kembali mencurigai Cak Nur sebagai telah tergadaikan idealismenya.

Persoalan sublimasi identaitas muslim (islam) ini sesungguhnya bukan pemandangan baru dalam sejarah islam. Tidak hanya terjadi pada hari ini ketika masyarakat terdeferensiasi sedemikian rupa, meskipun pada masyarakat kontemporer kompleksitasnya sangat jauh berbeda dengan masyarakat klasik. Bagi Peter L. Berger, [14] sublimasi identitas ini nyaris tidak dapat dihindari dalam masyarakat plural. Meskipun dalam teori budaya (Budaya Massa) yang terjadi adalah homogenisasi budaya. Sublimasi identitas juga harus bermain dengan intensitas plural yang semakin tinggi. Sehingga persoalannya dapat dirumuskan, bagaimana seorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah – tengah agama lain. Eksplorasi atas pertanyaan seperti ini paling rajin dimuatkan di Harian Kompas, dibandingkan dengan harian lain. Mudah difahami kalau kalangan islam ortodox tidak ragu untuk menyatakan mempunyai jarak ‘ideologis’ dengan harian ini.

Ragam bentuk pembaruah (pemikiran) agama atau teologi hadir dalam kerangka merespon persoalan yang dirumuskan tersebut di atas sebagai akibat dari gerak sturktur sosial yang tak terkendali. Kebanyakan bangunan teologi mengasumsikan gerak struktur sosial tersebut sebagai sebuah keniscayaan. Sebutlah wacana teologi diujung paling kanan, Pembaruan Pemikiran Islam yang dilakukan Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang diintrodusir tahun 70-an, menempatkan perspektif ‘modernitas’ sebagai kenyataan sejarah. Ummat Islam, menurutnya harus meletakkan agama sebagai sebuah realitas ‘tersendiri’ dari wilayah negara ( publik atau politik), yang kemudian terkenal dengan jargon “Islam yes, politik no”. Tesis ini, hemat saya, mempunyai paralelitas dengan konstruksi teoritik Emile Durkheim tentang pemisahan agama secara analitik dalam dua wilayah kerja, wilayah sakral dan wilayah profan. Term sekularisasi mendapatkan legitimasi etik melalui rekonstruksi dialektika pemahaman antara filsafat moral yang bersumber dari sejarah dan konteks sosial hari ini ( dinamika struktural yang tak terkendalikan), walaupun bagi Cak Nur term itu dibedakan secara tegas dengan ‘sekularisme’.

Tentu saja gagasan pembaruan dari Cak Nur selain mendapatkan hasil akomodasi struktural pada tingkat sosial – politik juga mengundang bangkitnya model teologi yang berseberangan. Yang dapat dibaca sebagai melahirkan kontradiksi internal ummat Islam Indonesia. Tren teologi yang lahir pada post pembaruan Cak Nur, misalnya (model ini longgar saja, perlu eksplorasi lebih jauh); revivalis atau salaf ( kebanyakan kaum skriptualis – fundamentalis); revolusi (mengingatkan Ali Syariati); emansipasi–liberasi (bermuara pada Hassan Hanafi) ; transformatif atau empowerment (Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Muslim Abdurrahman); pencerahan dan revitalitas (masih variasinya Cak Nur walau agak sedikit lain, seperti Kang Jalal, JIL ). Munculnya teologi transformatif merupakan reaksi dari adanya keprihatinan terhadap kontradiksi internal di Indonesia pada post pembaruan Cak Nur ini. Menurut teologi transformatif ini model teologi yang dikembangkan Cak Nur dan beberapa reaksi atasnya kurang terlibat dalam menjawab persoalan aktual umat islam.

DR. Abuddin Nata[15] menggali sebanyak 12 bentuk gerakan teologi di Indonesia. Keduabelas gerakan teologi tersebut pada dasarnya mempunyai rujukan dalam sejarah islam, walaupun banyak diantaranya sangat sumir, yaitu Islam Fundamentalis, Islam Teologis—normatif, Islam Eksklusif, Islam Rasional, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Kultural, Islam Inklusif-Pluralis.



Otoritas penafsir kebenaran itu

Kemajuan sebuah masyarakat, seperti telah disinggung di atas pada dasarnya ditandai semakin melebarnya deferensiasi struktural dibarengi ketajaman spesialisasi, sekaligus homogenisasi budaya. Pada derajat tertentu realitas ‘kemajuan’ yang digambarkan ini bersifat antagonis, dengan berkembangnya perbedaan yang membengkak sekaligus diikuti homogenisasi. ‘Kesadaran’ tentang antagonisme semacam ini diintrodusir dalam pandangan – pandangan yang dikembangkan Antony Giddens. Pandangan Giddens ini melengkapi Auguste Comte ( lahir 1798 ). Tutur Comte perjalanan sejarah masyarakat manusia berujung pada sebuah ‘agama generik’, Comte menyebut agama humanisme. Giddens menambahkan ujung sejarah sesungguhnya berada pada kompleksitas ( dualitas yang antagonis ), tidak sesederhana yang digambarkan dalam hukum tiga tahap. Masyarakat era positivistik sebagai tahapan akhir dari perkembangan masyarakat itu ternyata mengandung kontradiksi - kontradiksi didalamnya.

Era positivistik menempatkan ilmu menjadi ‘panglima’, sebuah perkembangan dari dua tahap sebelumnya yaitu tahap teologik dan tahap metaphisik. Positifistik merupakan konsepsi serta merta menempatkan otoritas kebanaran ada pada ilmu, bukan pada filsuf atau gereja seperti tahap sebelumnya. Gerak sosial hanya dapat difahami melalui pencerapan hukum ( sosial ) positiv, sosiologi-lah yang yang dimaksud agama baru itu. Sesungguhnya sebuah rumusan yang (sebelumnya) susah dibayangkan. Karena ilmu jauh lebih bersifat abstrak dibandingkan filsuf atau gereja maka ilmu dengan demikian seperti halnya agama dan filsafat membutuhkan institusi (wadah) untuk melekatkan diri, dimana kemudian institusi tempat melekatnya ilmu itulah sebuah otoritas ilmu. Disinilah persoalannya, dalam kerangka Giddens, dalam realitas ini terdapat kontradiksi. Institusi cenderung birokratik, sebuah kondisi dimana memungkinkan slip of its substanstial goul, seperti halnya institusi agama menggerogoti substansi nilai agama.

Tetapi sangat sulit dibayangkan pada tataran praksis dimana sebuah abstraksi nilai beroparasi tanpa institusi (baca : organisasi ). Maka yang dimaksud otoritas ilmu pada masyarakat positivistik kemudian beralamatkan ( address ) pada insitusi kampus. Pada sisi evolusi sosial kecenderungan institutionalized ini dapat juga dibaca sebagai defferensiasi struktural atau gejala impersonalisasi. Struktur sosial impersonal mensyaratkan infrastruktur budaya homogen (homogenisasi budaya), yang kontennya adalah pengakuan terhadap pluralitas.

Penerimaan sisi realitas plural atau pengakuan ‘adanya realitas yang lain’ yang disyaratkan untuk sebutan ‘masyarakat maju’, hemat saya sangat penting memahami apa yang terjadi di kalangan akademisi kampus untuk mengukur jarak kemajuan yang telah ditempuh sejarah. Karena kampus cukup kuat memasok definisi atas realitas; memungkinkan pasokan realitas yang lain (the other reality) dari realitas yang (pernah) ada. Gambaran yang terjadi di dalam kampus, teori-teori ilmu pengetahuan sosial (paradigma sosial?) yang lahir tahun 60-an menjadi energi pengaruh bagi realitas plural yang perlu diperhitungkan. Awalnya, berangkat dari anti positivisme logik kemudian setelah melampaui rasionalisme kritis dan empirisme analitis, berhenti pada hermenetika dan konstruktivisme kritis[16]. Tiga kerangka teori ilmu pengetahuan yang pertama (positivisme logik, rasionalisme kritis dan empirisme analitis) merupakan teori ilmu pengetahuan analitis. Yaitu mempelajari gejala (ilmu pengetahuan) sebagai gejala yang berdiri sendiri. Meyakini ‘kebenaran’ ada didalam dirinya, kemudian inilah yang dimaksudkan universalitas. Sehingga metodologi yang dikembangkan pada ketiga teori pengetahuan ini menampik “anather world is posible”.

Kedua teori ilmu pengetahuan yang terakhir (hermenetik dan konstruksionisme) disebut non-analitik. Mulanya di Indonesia ada perasaan canggung menempatkan teori ilmu yang bersifat non-analitik ini pada bagian ilmu sosial; lebih kuat dugaan ditempatkan pada humaniora. Teori ilmu pengetahuan non analitik ini memungkinkan membuat celah – bolongan kecil – untuk mengintip adanya “yang lain”. Kredo yang ditawarkan, “kebenaran” tidak selalu ada dalam dirinya tetapi bersifat sosial. Celah itulah yang kemudian dengan gagah berani diproklamairkan oleh (teori) post-modern, bahwa ada “kebenaran”yang lain dari “kebenaran” yang ada ini.

Sekitar tahun 1994, ketika saya mahasiswa baru untuk Program Studi Sosiologi sempat bertanya kepada seorang profesor dengan nada serius mengapa tidak dimasukkan Mata Kuliah mengenai (teori) Post-modernisme pada program ini. Jawabnya, karena post-mo tidak menampilkan kejelasan (kerigidan, atu heuristik [17] ? ) teori. Terus terang saya masih tidak mengerti jawaban itu, yang saya ketahui adalah kekuatan wacana post-mo ini dalam membangun opini dunia sekaligus menjadi kontributor praktek sosial; pengakuan adanya ‘yang lain’. Misalkan, di era kontemporer ini banyak bentuk penegasan identitas (de-sublimasi identitas), baik identitas etnik maupun agama mendapatkan energinya dari belakang teori dengan semakin menguatnya dua teori ilmu pengetahuan terakhir tersebut.

Selain persoalan pada kisaran epistemologis tersebut terdapat pula persoalan struktural pada ‘pelembagaan ilmu’ era positivistik hingga hari ini. Temuan – temuan besar dalam ilmu, apalagi dalam ilmu sosial, pada dasarnya selalu lahir dari kerja individual. Bukan dari pencarian ‘gotong--royong’, ada kecenderungan jawaban psikologis bahwa temuan ilmu sacara monumental lahir dari pribadi “nyeleneh”. Pribadi yang tidak dapat di-struktur dalam proses kerja bersama (institutionalized). Institusionalisasi ini cenderung mereduksi proses kreatif manusia. Mudah difahami hadirnya sekolah yang sadar akan pentingnya kreatifitas itu kemudian cenderung meminimalisir aturan atau arahan dalam kurikulumnya.

Kembali kepada persoalan otoritas di atas, kebangkrutan institusi ilmu ini (baca; universitas dan sekolah) menjadi awal babak baru lahirnya ilmu sebagai otoritas yang sesungguhnya. Term impersonal dalam masyarakat kedepan bukan harus difahami sebagai “non-personal dalam arti kelembagaan (baca organisasi)”, tetapi berada dalam sebuah abstraksi nilai, yaitu Ilmu. Pelembagaan atau institutionalized cenderung mengundang personalisasi, dalam bahasa sarkastik adalah feodalisasi. Nasib agama, yang juga abstraksi sebuah nilai, dalam masyarakat impersonal akan sangat bergantung pada eksistensi otoritas ilmu. Organized relegion tidak dapat hadir sepenuhnya dalam struktur masyarakat impersonal, dimana ilmu dapat menjadi otoritas sepenuhnya. Sebaliknya, un-organized relegion hadir dalam struktur masyarakat yang meletakkan ilmu sepenuhny sebagai otoritas, dan kondisi ini dipersyaratkan dalam struktur masyarakat impersonal.



Catatan Akhir

Bagian di atas mencoba menggabarkan kekaburan identitas keberagamaan, pada satu sisi, di sisi lain resistensi terhadap penegasan identitas itu mesti berhadapan dengan kondisi pluralitas (pada wilayah ini kemudian adanya (gerakan) teologi dianggap signifikan). Sesungguhnya banyak faktor yang dapat menjelaskan sebab – sebab sublimasi identitas keberagamaan, selain yang diurai di atas. Merujuk teori klasik, Emile Durkheim (1858-1915) melalui konseptualisasi masyarakat mekanik – masyarakat organik, misalnya. Identitas primordial menjadi tidak penting atau cenderung ditinggalkan dalam pergeseran masyarakat mekanik ke masyarakat organik, maka identitas primordial menjadi sublim. Hemat saya konseptualisasi Durkheim ini paling umum dipakai dalam memahami masyarakat kontemporer. Max Weber, melalui perkembangan rasionalitas. Pada rasionalitas yang paling akhir –rasionalitas legal formal – yang terjadi sebuah imperatif hukum – hukum kontrak formal dan bersifat birokratik. Disini tidak ada ruang bagi sebuah identitas primordial.

Auguste Comte (1798-1844) secara monumental meletakkan konseptualisasi sejarah perjalanan masyarakat, dan prediksi runtuhnya peran agama di tahap akhir perkembangan sosial itu. Banyak kalangan menilai pewacanaan Comte ini sebagai ‘bukan teori’. Comte membagi tiga tahapan perkembangan peradaban masyarakat, dari teologik ke metafisik, dan berakhir pada positivistik. Meskipun konseptualisasinya mengilhami teoritikus klasik, namun yang dianggap sebagai kelemahan adalah meng-otomatiskan atau meniscayakan perkembangan masyarakat dalam tiga tahap secara diskrit. Sehingga menemukan kesulitan jika konseptualisasinya digunakan untuk memotret kondisi masyarakat hari ini. Misalkan, relejiusitas atau bahkan aspek mistis ternyata juga hadir bersama – sama praktek teknologi modern.

Namun, hampir semua teoritikus besar di atas yang membangun tesis bahwa agama dalam sejarah masyarakat manusia akan cenderung ditinggalkan. Bagaimana kita mamahami realitas keberagamaan hari ini dalam kaitan tesis tersebut ? [18] Jawabannya seringkali bertumpu pada apa yang dinamakan “sekularisasi” . Sekularisasi umumnya difahami sebagai berkurangnya peran agama dalam perilaku manusia melalui berkurangnya kekuatan organisasi – organisasi relegius secara progresiv sebagai akibat dari pembangunan politik dan ilmu. Maka sekularisasi, sebuah term yang (selalu) berkonotasi negatif. Hemat saya, setelah Nurcholis Madjid melansir konsep ini (awal dekade tahun 70-an) stigma buruk sekularisasi mulai ‘dikunyah ulang’ utamanya pada kalangan islam kota minus islam ortodok. Biasanya, sekularisasi ini diidentifikasi sebagai ujung zaman, hari ini adalah ujung zaman itu. Wacana yang minoritas memahami sekularisasi sebagai (hanya) bergeseran perilaku keagamaan, tanpa tendensi berkurangnya peran agama [19].

Bagian ini bukan untuk menghakimi nasib agama di ujung sejarah, persoalannya jika kita mengimani apa yang diprediksi nabi tentang asingnya islam di akhir zaman, kita masih belum tahu apakah peradaban manusia hari ini betul-betul telah berada di ujung sejarah itu. Sementara kalau kita meletakkan ujaran nabi tersebut sebagai satire terhadap sistem sosial di ujung zaman maka tugas keberagamaan kita adalah menempatkan kembali posisi hakekat agama dalam setiap signifikansi kehidupan. Maka dalam kontek inilah agama harus difahami sebagai sebuah ajaran yang bersifat universal. Menjadi penting untuk menjelajah ‘universalitas’ agama (islam) karena justru wataknya yang universal, logikanya, ia harus dapat hadir dan hidup mengatasi tempat dan waktu. Persoalan sublimasi yang disinggung di atas adalah persoalan agama menghadapi pluralitas, perdebatan keagamaan tiada standar untuk menghentikan melalui sebuah judgment. Maka pertanyaan mendasar, sejauh mana islam membuka peluang mengabsorbsi pluralitas ? Pertanyaan ini sama rumitnya dengan menanyakan bagaimana sebuah gambaran islam yang asli (otentik).

Islam asli (otentik ), menurut Bassam Tibi ternyata hanya bermaknakan Arab, jadi Arabosentris [20]. Masyarakat Arab bahkan memandang (Islam) Syi’ah sebagai agamanya orang Iran [21]. Mukti Ali ketika memberikan orasi pada konferensi filsafat tahun 1979 mengenai konsepsi orang Indonesia tentang Islam ternyata menimbulkan polemik bagi kalangan profesor Al Azhar, karena menurut mereka hanya ada satu Islam yang monolitik. Yaitu Islam Arab. Zuhairi Misrawi, cendikiawan muda kelahiran Sumenep pernah mepolemikkan Islam dan budaya lokal. Zuhairi mengangkat pertanyaan apakah ludruk yang memerankan laki – laki menyerupai perempuan atau sebaliknya itu dapat direstui Islam Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan penulis Senegal tahun 1982 (dan diplomat Arab), apakah tambur yang mengandung sihir dapat diakui sebagai ritual Islam. Bagi penulis Senegal ini tambur dan kandungan sihirnya membentuk bagian dari kebudayaan mereka, masyarakat Islam Senegal. Jawaban yang sama juga nampaknya diikuti Zuhairi Misrawi.

Maka penelusuran sejarah menjadi sangat lebih penting untuk mendapatkan gambaran otentisitas (agama) Islam dibandingkan merujuk langsung pada teks-teks normatif [22]. Untuk kemudian membedakannya dengan budaya (‘urubah) atau kebiasaan sebuah komunitas. Cara kritis ini dianjurkan Peter L. Berger, dalam terminologi debungking,[23] semacam motif mengikis kepalsuan yang inhern dalam realitas sosial. Out put-nya adalah identifikasi antara sisi historisitas agama dengan sisi normatifitas agama, istilah yang dipakai Amin Abdullah[24]. Dalam wacana keagamaan sesungguhnya manusia hanya sampai pada dimensi historisitas agama, tidak pernah sampai pada normatifitas agama .



Catatan:


[1] Bahwa kapitalisme adalah sebuah perubahan sosial spektakuler dalam sejarah peradaban manusia lihat misalanya Peter L. Berger. 1990. Revolusi Kapitalis, terj.Mohamad Oemar, LP3ES, Jakarta.Perhatikan juga, Bernard Murchland.1992. Humanisme dan Kapitalisme. Terj.Hartono Hadikusumo, Tiara Wacana, Yogyakarta.

[2] Hugh Dalziel Duncan. 1997. Sosiologi Uang, terj. Kiki Alfian Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

[3] Hugh mengutip Bernard de Mandeville ditahun 1705 menyatakan bahwa berbelanja dan bukan menabunglah yang menciptakan kejayaan uang, karena berbelanja menciptakan kemakmuran komunitas (Hugh: 1997; 6) . Katanya, “bangsawan yang mengejar kesenangan ragawi dan tidak membatasi kemewahannya; si jalang yang menemukan gaya busana terbaru setiap minggu duches yang congkok yang selalu berusaha meniru penampilan, perlengkapan hidup, dan hiburan seorang putri. Itulah yang membuat kita jadi makmur”.

[4] Pada semua tradisi keilmuan yang dipelajari dari buku-buku teks bangku sekolah hari ini, agama bertempat pada sub-sistem dari sistem makro yang meliputinya, dimikian gaya sosiologi Amerika mem-bahasakannya. Sementara sosiologi dari belahan timur lebih akrab dengan sebutan ‘super-struktur’.

[5] Proposisi ini adalah khas perspektif materialis. Ekspresi ini sangat menarik dalam, Bryan S. Turner.1983. Relegion and Social Theory: A Materialist Perspective, Heinemann, London

[6] Karen Amstrong. 2001. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Mizan, hal. 464.

[7] Lihat, Ibnu Khaldun. 1967. The Mukadimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal, edt. N.J. Dawood, Princeton, Princeton University Press.

[8] Hemat saya eksplorasi pada fenomena sejarah ini amat menarik, dalam rumusan pertanyaan: mengapa kajian ilmu sosial yang dilakukan secara induktif-empirik dikalangan muslim berhenti pada Ibn Khaldun ? Struktur sosial macam apa sehingga setelah Khaldun ini ilmuwan muslim lebih mencurahkan energinya pada studi – studi yang bersifat spekulatif (teologik-deduktif)?

[9] Marxian hemat saya ‘anak tiri’ Khaldunian; meski beda kerangka ontologi antara Khaldun dengan Marx tetapi keduanya bertemu dalam metodologi. Perspektif materialistiknya Keren Amstrong disini tentu juga beranjak dari marxian.

[10] Ilyas Ba. Yunus dan Farid Ahmad.1985. Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, Penerbit Mizan, Bandung.

[11] Term ‘sekularisme’ bukan seperti yang dimaksudkan Nurcholish Madjid, secara analitik dibedakan dengan ‘sekularisasi’. Dalam konteks tulisan ini pengertiannya ‘longgar’ saja, kedua term (sekularisasi dan sekularisme) sama saja, yaitu pemisahan agama dari wilayah publik.

[12] Antara ‘tawaran’ terhadap sistem dengan ‘gugatan’ terhadap sistem akhirnya susah dibedakan. Secara analitik kedua kata itu bisa dipakai secara bergantian tanpa kehilangan makna gramatikalnya.

[13] Hemat saya perlu kehati-hatian dalam menarik kesimpulan bahwa pemikiran Ulil Abshar Abdalla baik yang ia tulis di Kompas (18/11/2002), Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam maupun kiprahnya di JIL diterima secara wellcome oleh kalangan muda kota. Beberapa hari saya di Kota Padang ketika sedang ramainya media memberitakan Ulil, hampir anak muda kota ini dalam kesempatan setengah resmi, resmi maupun tidak resmi menampakkan keresahan terhadap Ulil, seperti yang dirasakan oleh Forum Umat Islam (FUI).

[14] Lihat misalnya Peter L. Berger, Brigate Berger & Hansfried Kellner. 1992. Pikiran Kembara; Modernisasi dan Kesadaran Manusia, terj.A.Widyamartaya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

[15] Abuddin Nata. 2001. Peta Keragaman Pemikjiran Islam Di Indonesia, Rajawali Pers.

[16] Referensi menarik dalam bahasa indonesia mengenai perbandingan teori – teori ilmu pengetahuan ini misalnya, J.J.J.M. Wuisman.1996. Penelitian Ilmu – Ilmu Sosial, LPFEUI, Jakarta.

[17] Sesungguhnya standar ini (kerigidan atau heuristic ) adalah ukuran yang dipungut dari paradigma positivistik, yang justru dianggap sebagai ajang bualan bagi kalangan post-mo.

[18] Kalau dirujuk dari risalah kenabian, Muhamad SAW juga sesungguhnya memprediksi tentang masa depan agama hasilnya sama dengan teoritikus – teoritikus besar tersebut. Misalkan ujaran bahwa ‘islam suatu kelak akan barang asing bagi umatnya sendiri’ atau ‘umatku suatu kelak akan besar tetapi kebesarannya seperti buih, diombang-ambing air kesana kemari’.

[19] Stephen R. Warner dalam American Journal of Sociology (1993). Stephen Warner dianggap banyak kalangan menyadarkan untuk membangun proposisi paradigma baru dalam sosiologi agama tentang bias-bias konsep sekularisasi.

[20] Basam Tibi. 1999. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Elisabeth dan Zaenul Abbas, Tiara Wacana, hlm 27,28.

[21] Ibid. Hlm. 36.

[22] Cara ini pula yang dilakukan Ahmad Wahib dalam memahami islam.

[23] Peter L. Berger. 1985. Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, Inti Sarana Aksara, Jakarta, hlm. 57.

[24] Lihat Pengantar yang ditulis Amin Abdullah dalam Gregory Baum.1999. Agama dalam Bayang – Bayang Relativisme, terj. Achmad Murtajib Chaeri dan Masyuri Arow, Tiara Wacana, Yogyakarta.




Daftar Pustaka



Amstrong, Karen 2001. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Mizan.

Baum, Gregory.1999. Agama dalam Bayang – Bayang Relativisme, terj. Achmad Murtajib Chaeri dan Masyuri Arow, Tiara Wacana, Yogyakarta

Bellah, Robert N.2000. Beyond Belief; Esai – Esei tentang Agama di Dunia Modern, terj.

Rudy Harinsyah Alam, Paramadina, Jakarta.

Berger, Peter L. 1990. Revolusi Kapitalis, terj.Mohamad Oemar, LP3ES, Jakarta.

Berger, Peter L. 1985. Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, Inti Sarana Aksara, Jakarta.

Berger, Peter L, Brigate Berger & Hansfried Kellner. 1992. Pikiran Kembara; Modernisasi dan Kesadaran Manusia, terj.A.Widyamartaya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Collins, Randall &Michael Makowsky. 1984. The Discovery Of Society, Third edition, Random House, New York. Duncan, Hugh Dalziel .1997. Sosiologi Uang, terj. Kiki Alfian Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Engineer, Asghar Ali.1999. Asal Usul dan Perkembangan Islam, terj. Imam Baehaki, Penerbit INSIST bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Giddens, Antony.1999. The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Giddens, Antony. 2001. Tumbal Modernitas; Ambruknya pilar-pilar keimanan, terj. Mohammad Yamin, IRCiSoD, Yogyakarta.

Grose, George B & Benjamin J. Hubbard (edt.).1998. Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah dialog, terj.Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung.

Murchland, Bernard 1992. Humanisme dan Kapitalisme. Terj.Hartono Hadikusumo, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Khaldun, Ibnu 1967. The Mukadimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal, edt. N.J. Dawood, Princeton, Princeton University Press.

Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid, Mizan, Bandung.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terj. Alimandan, Rineka Cipta, Jakarta.

Lerner, Daniel.1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional, terj. Muljarto Tjokrowinoto, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Nata, Abuddin.2001. Peta Keragaman Pemikiran Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Rusli M.1992. Agama dan Masyarakat Industri Modern, Media Widya Mandala, Yogyakarta.

Tibi, Basam 1999. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa Elisabeth dan Zaenul Abbas, Tiara Wacana.

Turner, Bryan S. 1983. Relegion and Social Theory: A Materialist Perspective, Heinemann, London

Turner, Bryan S.2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Yunus, Ilyas Ba. dan Farid Ahmad.1985. Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Hamid Basyaib, Penerbit Mizan, Bandung.

Wuisman, J.J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu – Ilmu Sosial, LPFEUI, Jakarta.

Warner, Stephen R dalam American Journal of Sociology (1993).



Sutrisno Abdullah adalah kelahiran Banten, menyelesaikan studi formal strata satu dan masternya pada sosiologi murni Universitas Indonesia. Sempat malang melintang dan tidak diselesaikan studinya di FE-Universitas Indonesia dan FISIP Universitas Gadjah Mada. Sekarang sebagai peneliti pada The International Institute of Islamic Thought Indonesia dan pengajar sosiologi di beberapa perguruan Tinggi di Jakarta dan Bekasi.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Good day, sun shines!
There have were times of troubles when I didn't know about opportunities of getting high yields on investments. I was a dump and downright pessimistic person.
I have never imagined that there weren't any need in large starting capital.
Nowadays, I'm happy and lucky , I begin take up real money.
It gets down to select a correct partner who uses your funds in a right way - that is incorporate it in real business, and shares the profit with me.

You may get interested, if there are such firms? I'm obliged to answer the truth, YES, there are. Please be informed of one of them:
http://theinvestblog.com [url=http://theinvestblog.com]Online Investment Blog[/url]

Anonim mengatakan...

Hey Kara, LOL!!

-Thank You,
Madeline