Menjelang Kematian Sastra Indonesia
Sastra Indonesia. Sastra yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang katanya cinta damai, arif, tenggang rasa, dan penyabar. Sastra diproyeksikan kepada sebuah tujuan yang tidak lain merupakan wujud pengkatarsisan diri manusianya.
Menyikapi polemik yang terjadi beberapa bulan terakhir. Konfrontasi yang dilakukan oleh kedua belah kubu, (Taufik Ismail yang dekat kepada semangat anti liberalisme dan Hudan Hidayat yang dekat kepada sisi liberalisme itu sendiri) sudah tidak dapat dikatakan polemik yang etis karena sudah sampai kepada sikap justifikasi, saling hina dan melakukan pembenaran terhadap kelompoknya sehingga tidak mau mendengarkan lagi apa yang dijadikan pendapat orang.
Polemik yang didasari oleh sikap seorang Taufik Ismail yang kecewa terhadap fakta sosial rakyat Indonesia yang dikungkung “syahwat”. Maka, muncullah metafora kritis dari Taufik yang menyatakan bahwa di Indonesia ada semacam “Gerakan Syahwat Merdeka”. Gerakan tanpa komando yang jelas alias gerakan hantu, namun gerakan ini saling bahu-membahu mendekonstruksi moral rakyat sehingga kehidupan rakyat Indonesia tidak lagi bermoral.
Sastra menjadi salah satu lahan yang tidak luput dari tembakan Taufik. Pada poin kelima dalam pidatonya di depan Akademi Jakarta tahun 2006, Taufik mengatakan begini:
“Penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat - sastra dan - sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa.”
Sastra Mazhab Selangkang
Propaganda Taufik berhasil membuat para pelaku sastra (penulis sastra, media massa, penikmat sastra) terbengong-bengong. Tentu saja, peluru yang diarahkan lebih tertuju pada para pegiat sastra yang menggarap kelamin atau hubungan perkelaminan dan ditarik garis hubungan itu ke dalam sastra. Peluru yang terpantul-pantul itu, banyak melukai para pegiat sastra tersebut dan meninggalkan segaris dendam.
Tidak bisa dinafikan bahwa serangan balasan yang dilancarkan oleh Hudan Hidayat adalah juga bekas dari luka (dendam) yang dulu ditembakkan atau dalam khasanah Hudan ditikamkan oleh Taufik Ismail. Pada akhir esainya yang berjudul “Sastra yang Hendak Menjauh Dari Tuhannya” yang dimuat di Jawa Pos (6/5/07) Hudan menulis begini:
“…Karena itu, tidakkah yang “tertusuk padaku, berdarah juga padamu”, Tuan Ismail.”
SMS sendiri merupakan hasil kekecewaan yang sangat mendalam (TI) dalam menyikapi banyaknya penulis yang dengan vulgar menuliskan vagina atau penis (kelamin), menggambarkan lekuk-lekuk bentuknya, atau sekedar menuliskan hubungan yang terjadi antara keduanya. Sesuatu hal yang (dulu) dianggap tabu. Tabu, tidak saja untuk diperlihatkan ke sembarang orang, menyebutkan atau menuliskannya saja (dulu) orang Indonesia bukan main begitu malunya. Ibaratnya, ketika mengucapkan atau menuliskan seperti menelanjangi diri sendiri di depan khalayak umum.
Bukan saja TI, tetapi banyak juga pegiat sastra yang merasa risih dengan prilaku yang dianggap destruktif tersebut. Bukan memperkaya, tetapi malah makin memperpuruk Indonesia sebagai negara dengan muslim terbesar, dan wilayah yang paling memegang teguh adat ketimuran. Namun, dimana adat itu dipenjara sekarang?
Bersiaplah Untuk Menghadiri Pemakaman Sastra Indonesia
Polemik yang terjadi antara kubu TI dan HH, merupakan kaitan dari polemik yang juga terjadi di seputaran RUU APP. Mengapa saya bilang polemik tersebut tidak etis? Dalam beberapa tulisan mengenai polemik ini, banyak terdapat kata, kalimat yang cenderung mencetuskan atau menjustifikasi, mengadili lawan. Seperti tulisan TI di Jawa Pos (17/06/07). Dengan sangat kecewa, saya pikir yang ditulis oleh TI bukanlah sebuah esai sastra yang etis. Alih-alih menyimpan sebuah makna semiotik yang dalam bagi pembaca, namun hanya membuat luka (lawan) kembali menganga.
Begitu pula dengan polemik serupa yang terjadi di media Republika. Dari dua tulisan (1/07/07) dan (15/07/07), tidak ada yang mengandung makna dalam yang bisa digali oleh pembaca. Pembaca hanya disuguhkan bacaan (esai) kering dan tidak tertutup kemungkinan perasaan kecewa (seperti yang saya alami) terhadap sastra Indonesia dewasa ini.
Oleh karena itu, sastra Indonesia tinggal menunggu hari kematiannya. Sebab, para pegiatnya hanya mementingkan kepentingan kelompok (ideologi)nya sendiri. Sastra, hanya dicomot sebagai pemanis kata, sebagai pengharum baju namun dicampakkan begitu kadar manis dan harumnya habis. Oh, nasibmu sastra Indonesia. Sastra yang telah dilingkupi penyakit ideologi yang akut. Omong kosong jika Hudan menyatakan novelnya yang berjudul “Tuan dan Nona Kosong” sebagai novel posnovel. Posnovel, berarti bersemangatkan Posmodernisme, dan Posmodernisme tidak mengenal yang namanya ideologi. Ideologi, telah terkubur bersama zaman modern.
Oleh karena itu, berangkat dari perkataan Nietzche, bukan Tuhan saja yang telah “mati”, tapi Sastra Indonesia pun tinggal menunggu hari. Kita tunggu saja. Siap-siap pake baju hitam ya.
Popularity: 28%
Eksplorasi Estetika Sastra (Puisi) Internet
Munculnya beberapa situs sastra di internet belakangan ini ternyata memancing kritik yang cukup serius baik dari para pengamat maupun pegiat sastra itu sendiri. Dinamika di mailing list penyair sendiri ternyata sempat bikin gerah Faruk HT, kritikus sastra dari UGM. Agus Noor yang cerpenis pernah mengungkapkan kekecewaannya terhadap karya-karya cerpen internet yang terpajang di situs www.cybersastra.net. Ahmadun Yosi Herfanda di Republika (Minggu 29 April 2001) juga setidaknya mengungkapkan kegelisahan yang sama menanggapi akan diluncurkannya kompilasi karya puisi internet (cyber) oleh Yayasan Multimedia Sastra dalam waktu dekat ini.
Kegelisahan utama yang muncul ialah seputar estetika sastra di internet yang belum beranjak dari tradisi sastra di medium konvensional (cetak). Kritik yang paling sering muncul berkaitan dengan sastra (di) internet ini ialah bahwa para pencipta sastra masih memanfaatkan internet sebatas medium saja. Artinya internet hanya dipakai untuk memindahkan karya-karya sastra dari medium kertas ke bentuk digital. Fungsi dokumentasi inilah semata-mata yang paling populer dimanfaatkan. Sementara itu kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh teknologi internet belum digali apalagi dimanfaatkan oleh para sastrawan cyber dalam pencarian estetika baru. Ahmadun bahkan sempat menggagaskan secara lebih teknis mengenai estetika puisi di internet dari segi presentasi karya, antara lain pemanfaatan latar layar, suara dan efek-efek audio-visual lainnya. Agus Noor hanya menyatakan kekecewaannya tanpa menawarkan gagasan baru. Kelihatannya, sejauh penglihatan saya, baik kreator maupun kritikus sastra masih gagap menyikapi kehadiran teknologi internet ini baik semata sebagai medium maupun sebagai lahan eksplorasi estetik baru. Seringkali saya pikir harapan-harapan yang disampirkan di pundak binatang baru bernama internet ini masih terlalu muluk dan terus terang masih agak jauh dari realistis.
Dalam obrolan singkat saya lewat email dengan Eka Kurniawan, penggagas dan pengelola situs www.bumimanusia.or.id, pernah kami singgung mengenai sastra internet ini. Dari obrolan amat singkat itu saya menangkap bahwa sastrawan internet mesti mencari terobosan estetik yang baru dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang dibawa oleh teknologi ini. Pencarian estetik bukan sekedar memanfaatkan kecepatan transfer informasi. Dalam konteks internet, estetik di sini akan berarti ungkapan estetik audio-visual pada layar monitor dan pengeras suara di mesin komputer kita.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa gagasan-gagasan estetik yang dipancing oleh Ahmadun maupun Faruk itu memang sangat menarik pada aras konsep, tetapi masih teramat repot diaplikasikan dalam praktek. Sejauh saya amati, para pegiat sastra, baik yang sudah dikenal luas maupun pendatang baru yang mengirimkan karya-karya mereka ke mailing list penyair atau ke redaksi cybersastra.net, mengirimkan karya-karya mereka karena alasan kecepatan (baca: sifat instan) internet. Kertas digital. Hal ini disebabkan karena pengetahuan internet mereka memang masih sebatas memanfaatkan fasilitas-fasilitas internet yang paling populer: email dan website.
Eksplorasi estetik sebagaimana dimaksud oleh Ahmadun itu jelas membutuhkan keahlian seorang perancang website atau bahkan seorang programmer. Akibatnya proses kreatif akan menjadi sebuah proses kolaborasi yang membutuhkan banyak waktu, tenaga dan yang jelas biaya, kecuali sastrawan bersangkutan juga mengantongi ilmu perancangan website dan pemrograman untuk internet yang saya yakin hanya ada sedikit. Pada tahap ini jelas ke-instan-an internet menjadi jauh berkurang. Penggunaan gambar-gambar ilustrasi, latar suara, gambar bergerak, efek tipografi berkedip-kedip, dan lain-lain membutuhkan pengetahuan teknis yang tidak semuanya disediakan oleh perangkat-perangkat lunak instan yang tersedia di pasaran. Beberapa efek bahkan membutuhkan kemampuan menuliskan bahasa pemrograman seperti JavaScript, Java Applet, Visual Basic, atau kemampuan rancang grafis elektronik semacam Flash dan beberapa aplikasi multimedia lainnya. Karya seperti ini jelas merupakan suatu proyek besar dan relatif mahal, padahal daya tarik utama internet ini bagi para sastrawan cyber justru adalah sifatnya yang instan dan murah.
Kemungkinan yang paling realistis pada hemat saya adalah penggalian estetik dalam bahasa ungkap. Eksplorasi estetik berbahasa inilah yang menurut saya sebenarnya perlu lebih dihayati oleh para pegiat sastra siapa saja dan ini jelas bukan monopoli sastrawan internet. Kebutuhan atas penggalian estetika baru pada dasarnya adalah kebutuhan pengarang maupun pegiat seni pada umumnya yang universal sifatnya. Pencarian estetik semata untuk membedakan diri (baca: sastra internet) dari sastra konvensional (cetak) bagi saya terdengar naif. Internet bagi saya tetap hanyalah sebuah medium dengan kelebihan maupun kekurangannya sendiri. Ia tak lebih hebat atau buruk debanding media konvensional lainnya. Ia menawarkan kekhasannya sendiri sebagaimana media konvensional dengan kekhasannya sendiri. Internet tak akan menggantikan media cetak karena memang ada beberapa hal di mana keduanya tak bisa saling menggantikan.
Seorang teman penyair menyatakan dirinya tak akan mengirimkan karya-karya puisinya ke media cetak. Dari segi estetik karya-karyanya tak beda dengan karya-karya penyair “koran”. Kegigihannya untuk bertahan di medium internet semata karena alasan yang lebih bersifat politis. Kebebasan tanpa birokrasi yang ditawarkan internet tidak dijumpai di media konvensional yang sering menjadi baju ukur pengakuan (baca: penobatan) seseorang sebagai penyair atau sastrawan betulan. Rasa kebebasan berekspresi ini ternyata amat berpengaruh bagi kawan penyair tersebut dalam berkarya. Ia dengan enak menulis puisi dalam gaya ungkap dan bahasa apa pun yang dia inginkan. Puisi-puisinya banyak yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, bahkan Banjar. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris bahkan telah dimuat di beberapa situs dan forum diskusi puisi internasional. Buat dia internet adalah sebuah taman bermain (baca: taman sastra) yang tanpa batas, tanpa sekat. Kawan ini bahkan menyebut situs pribadinya “kamar sastra”. Tentu yang dia maksud bukanlah kamar berbatas empat bidang dinding atau sekian kolom di halaman surat kabar.
Kebebasan berekspresi ini juga merupakan keunggulan penting internet, meskipun bagi sekalangan pengamat justru membuat internet tampak seperti “truk besar” atau bahkan “tong sampah” bagi karya-karya yang ditolak oleh redaktur koran. Komentar yang terdengar agak sinis begini muncul karena mereka masih berpegang pada nilai-nilai estetik konvensional yang nota bene dibentuk oleh media cetak selama ini. Saya sendiri berkeyakinan bahwa justru dengan menjadi “truk sampah yang besar, amat besar” ini karya-karya dan pencipta-penciptanya bisa saling berkomunikasi dan sangat mungkin dari sana akan muncul kejutan-kejutan estetik baru.
Sastra internet adalah sebuah proses. Ia tumbuh, ia jatuh bangun, ia bermutasi, berselingkuh dengan leluasa!
*) Tulisan ini juga dimuat di Harian Republika (Minggu 20 Mei 2001) dengan judul Soal Estetika Sastra Internet
Oleh: Herman RN
Sebelum saya bicara di ruang ini, terlebih dahulu saya hendak menyampaikan kepada sidang pembaca bahwa suara ini bukan suara pembelaan, apalagi kemarahan terhadap saudara Mustafa Ismail yang telah melebarkan polemik pembicaraan sastra kita (hal yang bagus). Tulisan ini sekedar hendak membuka wacana diskusi kita terhadap geliat sastra kita (Aceh) dewasa ini. Semoga di ruang ini kita bisa berdiskusi demi perkembangan sastra kita akan datang.
Sejak awal 2007, setiap Minggu, Serambi Indonesia memuat artikel-artikel tentang sastra di kolom opini. Kita tentu masih ingat hari Minggu pertama di bulan Januari tahun ini, wacana sastra kita dibuka oleh Mustafa Ismail. Saya tidak mengulang kembali apa yang sudah dibicarakan Mustafa waktu itu, karena memang sudah saya cerdasi di Minggu ke dua bulan Januari. Kemudian Minggu ke tiganya, Cut Januarita, seorang pegiat sastra yang mengajar di MAN model Banda Aceh, juga memberikan opini dia menyangkut hal yang sama.
Tak cukup sampai di situ, ternyata Mustafa kembali menggugah wacana kita agar mau berdiskusi di ruang ini. Tulisan dia yang dimuat Serambi, 27 Januari 2007 telah melahirkan desas-desus di beberapa teman-teman. Ada yang beranggapan bahwa kami (saya dan Mus) sedang tak cocok. Jadi, tulisan ini juga berupaya meluruskan image miring tersebut. Saya dan Mustafa bukan sedang bertengkar, tapi berdiskusi. Perbedaan pendapat tentu hal yang wajar dalam diskusi.
Pertama, saya hendak meluruskan kegelian Mustafa yang sudah “tergelitik kecerdasan saya”. Dalam artikelnya itu Mus membantah kalau dia sedang gamang, sebab tulisan saya sebagian besar mendukung opini dia.
Kata “Mencerdasi kegamangan Mustafa” bukanlah denotasi bantahan terhadap apa yang sudah dipaparkan Mus, tetapi bisa saja sejalan pola pikiran dia, meski masih ada sedikit perbedaan, itu adalah hal wajar, namanya saja diskusi. Diskusi dilakukan untuk menyamakan persepsi, bukan ingin selalu tampil beda.
Saya tidak menyalahkan Mus jika dia berpendapat bahwa tulisan saya 14 Januari 2007 itu mendukung pernyatan dia. Saya hanya hendak mengatakan, bahwa bukan Mus saja yang mengirimkan surat pembaca ke Harian Serambi. Banyak orang yang mengirimkan surat ke Droe keuDroe meminta agar dibuka kembali ruang budaya di Serambi, hanya saja kebetulan surat Mus yang dimuat. Itu bukan berarti saya sudah mencaplok pemikiran Mus untuk tulisan saya. Kesamaan pola pemikiran hanya suatu kebetulan, karena barangkali kita memang sedang sama-sama gelisah melihat polemik sastra di Nanggroe ini. Dan ternyata kegelisahan itu tidak hanya dialami oleh dua orang. Sangat banyak orang yang mengalami gelisah yang sama; merasa ada sesuatu yang dulu jadi santapan mingguan, kini telah hilang di mata mereka, yaitu ruang budaya di Serambi Indonesia.
Dalam artikel terdahulu sudah saya jelaskan, bahwa Zufikar Sawang pun yang sebagai anggota DPRD sekaligus sebagai orang Dewan Kesenian Banda Aceh turut menyurati Serambi Indonesia. Beberapa kali saya sempat membaca surat pembaca di Serambi yang isinya meminta kembali membuka ruang budaya. Surat itu pernah saya baca dari orang-orang yang tinggal di luar Banda Aceh. Maaf, saya lupa tanggal berapa surat itu dimuat. Yang jelas banyak orang yang mengalami kegamangan melihat perkembangan sastra di Aceh. Kebetulan saya mengambil contoh surat Zulfikar Sawang, karena surat itu merupakan salah satu hasil kongres kesenian se-Nanggroe Aceh Darussalam.
Hilangnya Ruang Ekspresi
Dalam suatu bincang-bincang di warung kopi, gelisah sastra yang dirasakan masyarakat Aceh bukan hanya karena hilangnya ruang budaya di SI, tetapi juga kerinduan terhadap kolom Apet Awee di Harian yang sama. Semangkatnya Hasim KS, tak ada lagi cerita yang mengangkat hal biasa dalam kehidupan menjadi bergaya kocak penuh sindiran dengan hadih maja yang sarat nasehat. Siapa yang bisa menggantikan Phang dan Polem yang berkharakteristik asli orang Aceh dalam Apet Awee tersebut?
Hilangnya Maskirbi dalam bencana mahadahsyat akhir 2004 lalu juga membuat orang-orang gelisah akan kelanjutan sastra kita. Sampai saat ini, masih ada keraguan kalau-kalau tak ada lagi yang bisa ‘Menari dalam Sunyi’ (Puisi Maskirbi; Tarian Sunyi). Tak lama kemudian, tahun kemarin, seorang lagi seniman besar Aceh meninggal dunia, Tgk. Adnan Pmtoh. Meski beliau masih meninggalkan murid dan teman-temannya yang juga bisa bergaya Pmtoh, namun kegelisahan itu tetap dirasakan sebagian seniman Aceh. Oleh karena, sampai saat ini belum kelihatan di permukaan pengganti-pengganti seniman-seniman itu. Yang saya sebutkan ini hanya segelintir, masih ada lain yang juga hilang dari mata kita, misalkan saja yang tinggal di daerah pelosok. Pernah salah seorang pesandiwara radio Aceh era 80-an, Ismail Kakek berujra, “Sayangi kami, kami tak ada tempat untuk berkreativitas.”
Jika kita berbicara masalah ruang ekspresi, siapa yang harusnya dipersalahkan? Ruang budaya di koran-koran lokal merupakan salah satu ruang ekspresi. Ke mana generasi penerus harus mencarinya saat ini? Sebab koran bukanlah milik mereka, parapegiat seni/ sastra, akhirnya wajar jika tak kelihatan geliat calon sastrawan itu.
Mustafa baru mengakui seseorang itu layak disebut sastrawan jika sudah beberapa kali menembus koran nasional. Bahkan Mus tidak berani menyebut dirinya sebagai sastrawan, barangkali dia malu dan merasa belum pantas. Baik juga etikat dia yang merendah itu. Tetapi pertanyaannya sekarang, apa yang menjadi standar seseorang bisa disebut sebagai sastrawan? Apakah karya seseorang itu harus dimuat dulu oleh koran nasional setiap Minggu? Lantas, yang selalu mengirimkan karnyanya, tapi tak pernah dimuat? Atau yang hanya mampu bergiat di daerah karena keterbatasan satu dan lain hal, tak patut kita beri gelar sastrawan?
Mus menyebut hal itu sebagai potensi sastra, artinya mereka adalah calon sastrawan. Andai karya mereka tak pernah dimuat sekali jua di koran nasional, artinya orang tersebut calon yang gagal jadi sastrawan (seperti Pilkada saja). Jadi, yang selalu menulis dan bergiat di daerahnya tak dapat dikatakan sebagai pegiat sastra (sebutan saya terhadap sastrawan), demikian maksud Mustafa.
Perlu diketahui, di negara ini belum ada sekolah atau Perguruan Tinggi yang jika mahasiswanya lulus diberi gelar sastrawan. Gelar sastrawan merupakan predikatif yang diberikan orang lain melihat hasil yang sudah dikerjakan seseorang. Lulusan Magister Sastra sekalipun belum tentu bisa dikatakan sebagai sastrawan jika dalam tindakan dia hanya bisa berdiri dalam kelas. Artinya, gelar “Sastrawan” merupakan pengakuan orang lain. Jadi, konyol memang kedengarannya apabila ada seseorang mengakui dirinya sebagai sastrawan sementara orang lain tidak pernah mengaku.
Mengenai pertanyaan Mustafa tentang “Siapa saja nama baru dari Aceh yang muncul di koran nasional”, saya memang tak dapat menunjukkan banyak. Tetapi jika dikatakan bahwa anak Aceh takut berlaga di luar, saya kurang sepakat. Sekali lagi saya katakan, anak-anak Aceh sekarang sedang mencoba menembus koran nasional, kebetulan Ali Muddin yang baru mampu menunjukkannya. Bukan berarti yang lain takut bersaing, barangkali mereka belum seberuntung Ali. Jika kurang percaya, silakan tanyakan sendiri pada anak muda Aceh yang sudah ikut pelatihan menulis. Barangkali mereka malu mengaku, karena karyanya belum dimuat. Kasus ini pernah saya temukan dilapangan.
Dalam suatu perlombaan, beberapa orang teman mengaku tidak mengirimkan naskahnya ke sana. Kebetulan saya kenal dekat dengan dewan juri dan panitia lomba tersebut. Di sana tsaya temukan karnya teman-teman tadi. Mereka malu mengaku mengirim karya karena tidak terpilih sebagai pemenang. Kasus ini tentu bisa juga kita bawa ke koran nasional. Tidak tertutup kemungkinan anak muda Aceh malu mengakui mengirimkan naskahnya sebelum koran memuatnya. Jika koran sudah memuatnya, nanti mereka akan mengaku sendiri.
Persoalan kedekatan dengan redaktur yang ditanyakan Mus, akan saya coba luruskan. Kedekatan dengan redaktur bukan berarti harus kenal dekat, satu kampung atau harus teman akrab, tetapi perkenalan dengan redaktur bisa juga lewat karya. Misalkan kita mengirim karya ke koran, lalu meminta tanggapan dari redaktur, berharap agar redaktur mau membalas surat kita dan mengatakan kekurangan dalam karya tersebut. Ini merupakan salah satu menjalin kedekatan dengan redaktur.
Semoga tulisan ini tidak menjawab sepenuhnya kegelian Mustafa dan teman-teman, agar diskusi ini tidak putus hingga mimpi kita dapatkan.
Penulis, Mahasiswa FKIP PBSID Unsyiah.
Peminat masalah pendidikan dan sastra,
Pegiat kebudayaan di Gemasastrin dan Teater Nol
ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA
Oleh: Nanang Suryadi
Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya?
Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang.
Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku yang wajib dibacanya di sekolah menengah atau pada penataran-penataran. Kata orang, pada masa lalu telah terjadi peristiwa yang teramat carut marut, penuh kekerasan yang mengalirkan darah dan airmata. Dia adalah anak yang dibesarkan masa pembangunan orde baru, yang tak pernah menyaksikan atau merasakan pahit getirnya perjuangan revolusi 1945, serta kejadian-kejadian yang menyusul setelah itu, semacam Agresi Militer I dan II, Persidangan Konstituante, Peristiwa DI TII, Peristiwa PRRI-Permesta, Peristiwa pengkhianatan G30S PKI yang gagal serta disusul dengan runtuhnya rezim orde lama yang tidak menjalankan lagi Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta masih banyak lagi peristiwa yang hanya dapat didengar dari para orang tua dan dibacanya dari buku-buku sejarah.
Dia, seorang mahasiswa pada tahun 90-an pada sebuah universitas terkemuka di negeri ini, dengan pikiran-pikiran linear pada awal memasuki perkuliahan, berbekal pesan dari orang tua agar cepat lulus dengan nilai terbaik.Tapi apa mau dikata, sepertinya bukan salah bunda mengandung, Dia, yang memang sejak kecil menyukai dongeng-dongeng sejarah serta rajin membaca, ditambah lagi sedikit kemampuan menulis dan berrorganisasi (yang didapatnya pada sekolah menengah) tergoda untuk mencemplungkan diri pada sebuah arena permainan yang selama ini hanya dikenalnya dari buku-buku sejarah. Pada awalnya dia, yang menonjol bakat kepemimpinannya diajak mengikuti sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan mulailah perjalanan hidupnya diwarnai dengan berbagai hal, dan munculah kembali pertanyaan-pertanyaannya tentang sejarah. Kembali ia tergoda untuk meragukan berbagai hal yang diyakininya selama ini sebagai sebuah keyakinan sejarah yang tak dapat diganggu gugat. Dia membaca berbagai buku serta media massa dengan begitu lahapnya, tanpa memperdulikan dari mana sumber tulisan itu. Dia teramat lapar, ingin dilahapnya semua informasi yang didapatnya, karena dengan begitu, menurutnya akan didapatkan sebuah keseimbangan, sebuah keadilan dalam menilai segala sesuatu.
************
Berbicara dengannya seperti berbicara dengan sejarah yang berlalu lalang di depan mata. Referensi tentang berbagai hal, sepertinya telah dikuasainya dengan sangat mengagumkan. Janganlah lagi jika ditanya tentang gerakan mahasiswa, yang dapat diceritakan dan dianalisisnya secara luar biasa, tentang berbagai hal diluar itu pun seperti filsafat, seni, agama dan masih banyak lagi akan dibahasnya, dari berbagai sudut latar belakang sejarah.
Ada satu hal yang mungkin merupakan kekurangan (atau kelebihannya barangkali), selama ini aku tak melihat ada seorang wanitapun yang menjadi orang istimewa disampingnya atau sebutlah pacar atau kekasih yang menjadi tumpahan perasaan dan perhatiannya. Sepertinya ia memperlakakukan semua orang baik lelaki maupun perempuan dengan perlakuan serta perhatian yang sama. Ah, itu kan urusan dia ya? Mau punya pacar atau tidak, itu kan tidak ideologis, katanya suatu ketika. (Ha...ha.. aku sering ingin tertawa sendiri jika mendengar argumentasinya, sambil menjabarkan tentang segala hal tentang cinta, menurut Erich Fromm, Sigmund Freud, Gibran serta penyair-penyair romantis yang dikenalnya lewat buku-buku, dan menyimpulkannya sendiri dengan muara kepada dirinya sendiri. Dasar! ).
Boleh dibilang, Dia adalah sosok manusia yang humanis yang menempatkan cinta sebagai sebuah wacana universalitas, dan kehidupan manusia demikian penting sehingga harus diberi makna, sesuai kodratnya. Dia akan teramat marah, ketika ketidakadilan nampak di depan matanya. Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang mengetahui seluk beluk intrik politik dan permasalahan dalam masyarakat, lengkap dengan teori-teori yang didapat dari buku bacaannya ia seringkali menulis tentang berbagai hal tersebut.
Aku sering membaca tulisan-tulisannya itu baik essay, kolom, artikel, cerpen dan puisi. Ya, rupanya dia memiliki kemampuan lebih dalam dunia tulis menulis. Mungkin kegelisahan yang ia rasakan selama ini membuahkan inspirasi bagi tulisan-tulisannya.
***********
Suatu ketika, aku disodori beberapa tulisannya tentang fenomena kerusuhan yang melanda di segala penjuru tanah air. Sambil mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar, aku membaca tulisan-tulisan yang hendak dikirimkannya ke media massa di ibukota. Wah, seprtinya dia teramat marah dan sangat emosional dalam menyikapi permasalahan ini. Seakan dia lupa, bahwa dalam menyikapi sesuatu harus seimbang dan adil penuh objektivitas, seperti yang dikatakannya padaku dulu. Kini, ia teramat subyekif dan sentimentil, dan melantangkan kemarahannya pada satu titik tertentu.
Mungkin, pertemuanku denganya saat itu adalah pertemuan yang terakhir, karena sudah beberapa hari ini aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Mungkin dia mati atau ditangkap saat melakukan aksi, aku tak tahu. Tak ada sumber berita yang dapat aku korek dengan jelas. Yang pasti, sosoknya itu dan pemikiran-pemikirannya telah membuahkan inspirasi bagiku.
Aku belajar menulis kepadanya, menulis essay, cerpen, artikel, kolom, serta puisi. Dia sangat suka kalau aku sodori puisi-puisi yang bertemekan sosial. Katanya, nah ini baru puisi namanya. Aku teringat Dia, seseorang yang berarti bagi sekelilingnya, walau mungkin sejarah tak mencatatnya. Karena katanya, Sejarah hanya milik orang-orang besar dan serdadu!
Untuknya aku pernah menulis begini:
Bicaralah, aku kan mendengarkan kata-katamu sebagai bisikan pilu dari seorang manusia yang menghuni dunia sakit jiwa. Tatapan kosong. Senyum yang ditebarkan pada ruang. Kau lihatkah Freud menyorotkan senternya ke dalam matamu. Menemukan deretan panjang keluhan, ditekan dalam ke alam bawah sadarmu yang gelap. Berapa lagi pil penenang yang harus ditelan untuk melupakan mimpi buruk kenyataan yang berulang datang, dan lari ke dunia mimpi.
Langkah itu begitu ganjil bikin tatapan heran sekelilingmu yang penuh tatakrama. Penuh aturan manusia. Adat istiadat yang mengharuskan kau berbuat normal.Lampu senter yang disorotkan ke dalam mata. melihat keterasingan di dalamnya. Penuh makian!
Dia pun tertawa membacanya, dan berkomentar: ah, kau anggap aku gila ya...mungkin benar juga, tapi seprtinya kita dihimpit oleh persoalan-persoalan yang membelenggu pemakanaan terhadap kehidupan manusia.
****
Namun, ada beberapa tulisan lagi yang belum dibacanya, yang aku tulis setelah pembicaraan tempo hari, mungkin aku terpengaruh argumentasinya.
Meledak juga akhirnya, kemarahan itu, membakar gedung-gedung serta harta benda yang begitu kau cintai. Massa yang mungkin sukar kau mengerti maunya. Orang-orang yang menyimpan api dalam kepalanya dari waktu ke waktu, rasakan berjuta perasaan dalam dada bergalau tak karuan. Orang-orang yang memandang pameran kemewahan, namun mereka tiada mampu memilikinya, walau keringat telah diperas begitu deras, walau tulang belulang telah dibanting dengan begitu keras. Namun tetap saja yang terlihat ketidakadilan yang disodorkan di mana-mana. Mengapa kau tanyakan lagi; apa sebab kerusuhan itu terjadi. Darah membanjir. Air mata mengalir. Sedangkan jeritan itu tiap detik diperdengarkan meminta perhatianmu. Dan tak juga telingamu mendengarnya?
Jemariku melukis dengan gemetar sebuah kota yang gemuruh, yang mencampakkan orang--orang yang kesepian ke dalam plaza, diskotik, cafe yang riuh serta ruang hotel hendak lunaskan mimpi senggama. Karena industrialisasi (juga modernisasi + westernisasi) telah mencemplungkan mereka ke dalam limbah-limbah pabrik dan melemparkannya ke udara yang pengap. Namun tak jera juga manusia mengadu nasibnya dengan map penuh kertas di tangan mengetuk pintu-pintu kantor, dimana mimpi-mimpi akan di simpan di dalamnya .
Dan pada kerusuhan yang meledak di segala penjuru. Kita tatap wajah siapa. Selain orang-orang yang lelah dan benak penuh api, yang akan membakar, apa saja. Di tanganku yang gemetar, kota yang meledak menggigilkan harapan ke sudut-sudut peradaban.
Malang, 22 Juli 1997
Dalam Komunitas: Ideologi Membentuk Estetika - 18 Juli 2007 - 12:43 (Diposting oleh: Firman Venayaksa)
Oleh: Kurnia Effendi
SENIMAN, termasuk sastrawan, sebenarnya pekerja kreatif individual. Kerja sama antarseniman muncul ketika sebuah karya harus tampil dalam medium berikutnya. Misalnya sebuah novel yang ditulis oleh seorang pengarang, akan melibatkan kreator seni lain saat diterbitkan menjadi buku. Mereka antara lain penyunting yang umumnya juga seorang penulis atau ahli bahasa, dan perupa (pelukis atau pegrafis) yang membuat ilustrasi untuk sampul bukunya.
Perjalanan jadi lebih panjang bila novel yang telah menjadi buku itu ternyata menarik minat seorang sutradara untuk difilmkan. Proses sampai menjadi karya sinema lebih banyak melibatkan para seniman dan teknisi lain. Sebut saja penulis skenario, pembuat storyboard, juru kamera, aktor dan aktris, juru rias, penata artistik, penyunting film, pembuat efek suara dan efek gambar, pengisi ilustrasi musik, dan seterusnya. Umumnya, ketika karya sastra yang semula dibuat secara individual itu terjun ke dunia industri (buku, film, pertunjukan teater) akan membutuhkan banyak campur tangan para seniman bidang lain.
Sebuah kerja sama yang nyaris sempurna lazimnya didukung oleh ikatan kimiawi antarpersonal. Mereka memiliki rasa saling membutuhkan, rasa saling memiliki tujuan, dan boleh jadi tumbuh persahabatan di antara hubungan bisnis itu. Persahabatan yang didukung profesionalisme tentu melahirkan sinergi yang baik. Misalnya seorang pengarang yang dekat dengan redaktur, sepanjang kualitas karyanya tetap dijaga, tak ada salahnya untuk saling memberikan fasilitas. Contoh lain, sebuah tim pembuat film yang secara garis besar terdiri dari produser, sutradara, pemeran, dan penulis cerita bisa memahami keinginan satu sama lain tanpa menjatuhkan mutu kinerja, walhasil bakal mencapai sebuah film yang baik. Dengan kata lain, mereka yang ahli dalam bidangnya masing-masing itu mengusung satu visi dan misi dalam memproses sebuah karya bersama.
Kegiatan yang tidak individual itu bisa berawal dari komunitas, atau sebaliknya bisa pula mendorong lahirnya komunitas. Tanpa perlu mendefinisikan komunitas, kita tahu bahwa sekumpulan orang dalam bidang yang sama atau berbeda dengan tujuan awal yang kira-kira sama, membentuk sebuah ikatan keorganisasian (belum tentu organisasi yang sungguh-sungguh tertib dan resmi), berusaha secara berkala menyelenggarakan kegiatan. Bentuk kegiatan itu bisa macam-macam. Sebuah komunitas seni, atau khususnya sastra, pun tidak luput dari kegiatan sosial. Contoh yang paling hangat adalah upaya penggalangan dana untuk membantu saudara sebangsa yang tertimpa musibah gempa di Jogja beberapa waktu lalu, pernah dilakukan oleh Komunits Sastra Indonesia (KSI) yang kegiatan utamanya bersastra.
Ada apa di balik komunitas sastra yang tumbuh subur di Indonesia ini? Apakah dengan komunitas seorang pegiat sastra menjadi lebih dipandang? Atau sebaliknya, komunitas akan lebih bersinar bila didukung oleh para pegiat sastra yang sudah mapan? Mengenai pengaruh komunitas sastra bagi seorang pengarang atau pertumbuhan sastra di Indonesia, pernah saya tulis untuk Kompas di tahun 1998. Ketika itu, KSI telah melakukan tahap pertama pemetaan komunitas sastra seluruh Indonesia.
Bicara mengenai ideologi dalam komunitas, sadar atau tidak, memang ada. Meskipun tidak selalu ditulis secara jelas, namun tersirat dalam AD/ART organisasi. Apakah semua komunitas memiliki AD/ART seperti KSI? Belum tentu. Namun demikian bukan berarti tak ada visi dan misi. Saya kira ideologi melekat pada visi dan misi itu. Katakanlah sebuah komunitas yang salah satu kegiatannya adalah memberi pelatihan penulisan kreatif, selain memang memandang perlu pertumbuhan jumlah penulis, boleh jadi sembari memasukkan serpihan ideologi dalam pengajarannya. Mungkin sudah diketahui sejak awal bahwa KSI yang digagas salah satunya oleh Wowok Hesti Prabowo, memiliki pondasi sastra buruh (para pegiat sastra dari kalangan pegawai pabrik di Tangerang) yang menitikberatkan kaderisasi sastrawan dari para buruh yang memiliki talenta literer. Pada perkembangannya memang sempat menimbulkan friksi terhadap tarik-menarik kepentingan di dalam tubuh organisasi. Namun lantaran unsur kekeluargaan yang tinggi di antara para anggota KSI, masih tampak jejak dan kontribusinya terhadap perjalanan sastra Indonesia.
Komunitas besar semacam Bengkel Teater dan Komunitas Utan Kayu, lebih dipengaruhi oleh tokoh sentralnya, yakni Rendra dan Goenawan Mohamad. Masing-masing tentu membawa ideologi yang berbeda satu sama lain. Ideologi itu tertanam dan membersit dalam bentuk ejawantahnya: karya, kegiatan, pendapat; menjadi semacam “mazhab” yang membedakan dirinya dari yang umum. “Mazhab” itu kemudian mewarnai panggung sastra Indonesia. Dan jangan lupa, “mazhab” yang membentuk masing-masing anggotanya itu akan, seperti layaknya partai, menjadi kubu-kubu yang acap menimbulkan pro dan kontra.
Saya kira tak ada salahnya membikin citra diri dengan kemampuannya yang utuh. Dengan keberbedaan masing-masing ideologi dalam setiap komunitas, baik besar maupun kecil, justru membuat dinamika yang melahirkan opini-opini cerdas. Sudah pasti bahwa setiap gesekan menimbulkan panas, tetapi juga menghasilkan kecemerlangan. Satu pendapat yang sama alias seragam (sebagaimana lazim disuarakan oleh anggota MPR/DPR di masa pemerintahan Soeharto) justru lambat-laun menunjukkan penurunan kualitas dan ketumpulan karya. Pertentangan pendapat akan memaksa setiap orang (di luar atau di dalam komunitas) akan terus mencari jawaban yang paling benar menurut cara pandangnya. Karena kita tahu bahwa tak pernah ada jawaban paling benar, sepanjang dunia berputar dan kepentingan selalu berubah-ubah, rancak-banalah khazanah kesusastraan kita.
Dengan demikian menurut saya, ideologilah yang membuat sebuah komunitas bisa survive. Ideologi pula yang terus mempertahankan dan melahirkan komunitas-komunitas sastra di pelbagai tempat. Sebut saja untuk wilayah Jabotabek: Kelompok Poci Bulungan, Masyarakat Sastra Jakarta, Forum Lingkar Pena, Komunitas Meja Budaya, Komunitas Yin Hua, Creative Writing Institute, sampai yang berkesan main-main seperti Komunitas Lidah Buaya, dan seterusnya. Di luar Jakarta, bahkan sampai ke Aceh, tentu banyak lagi, dengan tujuan awal mewadahi potensi seniman (sastrawan) daerah. Dan pada akhirnya, ideologi juga membentuk estetika, baik dalam karya maupun dalam sikap anggotanya.
Saat teknologi informasi menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari, muncul pula gagasan bersastra di media maya. Awalnya merupakan solusi atau katarsis ketika ruang media massa untuk sastra sangat terbatas. Bahkan ada semacam pendapat, betapa sulitnya menembus dinding “arogansi” redaktur budaya. Yayasan Multimedia mungkin salah satu perintisnya yang resmi membuat organisasi cyber-sastra dan memilih Medy Loekito sebagai presidennya. Sebagai alternatif untuk mengobarkan karya sastra, media maya tidak serta-merta diterima khalayak. Ada sinisme di antara para sastrawan yang beruntung mendapat tempat di “mimbar” media cetak, namun lambat-laun situasi berubah. Kini sama-sama kita sadari bahwa internet bukan piranti yang harus dijauhi, namun justru harus kita kuasai. Ternyata teknologi informasi jauh mempermudah seluruh proses kerja, termasuk dalam bersastra. Tentu ini menjadi semacam genre sastra dilihat dari sistemnya.
Memang urusan kualitas karya patut dipertanyakan. Tetapi lihatlah sekarang, banyak karya-karya cemerlang lahir di media maya, banyak pula naskah tak bermutu terbit dalam halaman kertas. Mau apa lagi? Dunia seni, termasuk sastra, selalu mengandung dua hal: baik dan buruk. Tergantung dari tujuan menulis dan bagaimana kita memilih bahan bacaan.
Faktanya, beratus komunitas telah lahir melalui media maya dalam bentuk mailing list (milis). Karena media maya tidak terbatas ruang, jangkauannya menjadi lebih luas. Sebuah komunitas media maya bisa beranggotakan orang Kediri sekaligus warga yang tinggal di Amerika. Apa boleh buat? Ketakterbatasannya itu (kecuali oleh padamnya listrik) membuat kemungkinannya menjadi lebih terbuka lebar. Anggota bisa keluar-masuk sekehendak hati. Pertanyaan berikutnya, adakah ideologi dan estetika dalam komunitas sastra cyber?
Sekali lagi, ideologi itu ada, tersirat atau tersurat dalam profilnya. Itu sebabnya anggota yang cocok dengan ideologi milis bersangkutan akan betah sementara yang tak cocok akan hengkang dengan mudah. Ideologi ini yang membedakan karakter milis, misalnya, antara Pasar Buku, Musyawarah Burung, Apresiasi Sastra, Klub Sastra Bentang, Fordisastra, Penyair, Komunitas BungaMatahari, dan banyak lagi. Karena keuntungan secara sosialisasi dan penyebarannya sangat tinggi, media maya juga digunakan oleh komunitas sastra seperti Forum Lingkar Pena yang didirikan oleh kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Bahkan baru-baru ini Jurnal Kalam (Komunitas Utan Kayu) pun membuka jalur on line dalam internet, digawangi Hasif Amini. Menyusul majalah berkala Cipta yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan ditangani oleh Nirwan Ahmad Arsuka.
Saya kira tulisan ini cukup menjadi pengantar diskusi lebih lanjut. Diharapkan terjadi gesekan pendapat yang akan melahirkan kecemerlangan gagasan baru. Terutama mengenai ideologi dan estetika yang mencerminkan citra diri komunitas sastra.
Jakarta, 30 Juni 2007
(Ditulis untuk diskusi Ode Kampung 2, Temu Komunitas Sastra, Rumah Dunia, 2007)
Temu Sastra MPU Bali
Membincang Sastra Dalam Deru Ombak
Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara Temu Sastra MPU 2008.
Seperti terinspirasi Temu Sastra I Mitra Praja Utama (MPU) yang digelar di Pantai Anyer Banten, pekan lalu Temu Sastra II MPU digelar di tepi Pantai Sanur, Bali. Di aula terbuka Hotel Inna Sindhu Beach, sekitar 20 meter dari garis pantai, diskusi dan pentas sastra dilaksanakan, dalam iringan deru angin dan ombak. Di malam hari, deru ombak makin terdengar nyata, mengiringi suara pembicara dan pembaca sajak.
Tempat makan dan rehat pun ditata nyaris di bibir pantai, di bawah rindang pohon-pohon kelapa. Sehingga, sambil menyantap hidangan bermenu khas Bali, para peserta bisa memandang riak ombak dan hamparan laut lepas yang kebiruan. Suasana tamasya sangat terasa pada even sastra yang diikuti 10 provinsi anggota MPU itu.
Digelar selama empat hari (12-15 Desember 2006), even dua tahunan itu didesain untuk meningkatkan kemitraan yang lebih sinergis antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat kesenian. Berbagai persoalan pemasyarakatan serta peran sastra dalam membangkitkan harkat dan martabat bangsa dibicarakan bersama untuk dicarikan soluisi terbaiknya.
Diikuti sekitar 100 peserta, sebagian besar angota delegasi dari 10 provinsi anggota MPU -- DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur -- Temu Sastra II MPU dibuka oleh Gubernur Bali Dewa Made Baratha dengan pemukulan gong. Pementasan tari Bali dan pembacaan sajak memeriahkan acara pembukaan.
Dibingkai dalam tema Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa, berbagai topik menarik dibahas pada sesi-sesi diskusi yang berlangsung sejak pagi hingga larut malam. Sesi pertama mengevaluasi strategi pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Dendy Sugono dan Joko Pinurbo. Sesi kedua tentang membangun religiusitas melalui sastra, dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan ZS dan D Zawawi Imron.
Sesi berikutnya membahas peran komunitas sastra dalam pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Raudal Tanjung Banua dan Ahmadun Yosi Herfanda. Sesi keempat membahas tentang multikultur dan sastra lintas budaya dengan pembicara Yasraf Amir Piliang dan Triyanto Triwikromo. Sesi kelima membahas tentang Bali dalam konteks sastra nasional dan global dengan pembicara Jean Couteau dan Darma Putra. Sesi terakhir tentang posisi sastrawan dalam pembangunan kebudayaan dengan pembicara Slamet Sukirnanto dan Soemardi.
Pelaksanaan Temu Sastra II MPU di Bali dipercayakan kepada Forum Pecinta Sastra se-Bali (FPSB) yang diketuai oleh Drs IB Darmasuta, yang sekaligus dipercaya sebagaui ketua panitia, atas dukungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Menurut Ketua Sekber MPU Moerdiman, Temu Sastra MPU merupakan salah satu wujud kegiatan kerja sama 10 provinsi yang tergabung dalam wadah MPU. Wadah kerja sama MPU menggarap hampir semua sektor pemberdayaan masyarakat, sejak ekonomi, kesehatan, sampai seni-budaya. Program MPU untuk bidang seni-budaya, selain temu sastra, adalah Duta Seni Pelajar yang dilaksanakan tiap tahun -- tahun 2005 di Yogyakarta, tahun 2006 di Banten, dan tahun 2007 di Jakarta.
Temu Sastra MPU 2006 menghasilkan beberapa kesepakatan dan rekomendasi penting. Temu sastra MPU disepakati menjadi agenda dua tahunan yang pendanaannya disiapkan oleh masing-masing provinsi anggota MPU. Temu sastra MPU dilaksanakan secara bergilir berdasarkan kesepakatan bersama, serta harus melibatkan sastrawan, akademisi sastra, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat.
Sidang pleno juga menyepakati bahwa sastra dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Delegasi yang akan mengikuti Temu Sastra MPU setidaknya dapat merepresentasikan kualitas daerahnya masing-masing. Dan, secara khusus Propinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara MPU III 2008.
Temu Sastra MPU II juga merekomendasikan agar Menteri Pendidikan Nasional RI menugaskan kepada Pusat Bahasa untuk mendukung penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan menerbitkan karya sastra yang direkomendasikan dalam sidang Temu Sastra MPU. Rekomendasi serupa juga ditujukan kepada Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya RI, agar menugaskan kepada Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film untuk mendukung Temu Sastra MPU.
Dua rekomendasi lain ditujukan kepada para gubernur provinsi anggota MPU, yakni agar gubernur menganggarkan dana untuk penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan melaksanakan kegiatan sastra lainnya yang nantinya akan dapat mendukung dan bermuara pada Temu Sastra MPU. Selain itu, gubernur juga direkomendasikan agar menyosialisasikan seluas-luasnya kesepakatan pengembangan dan pemasyarakatan sastra di wilayah kerja masing-masing.
Sisi menarik lainnya dari Temu Sastra MPU II Bali adalah pertunjukan sastra. Pada malam pertama, tampil D Zawawi Imron (Madura), Wan Anwar (Banten), Acep Zamzam Noor (Bandung), Diah Hadaning (Jakarta), Inggit Patria Marga (Lampung), serta beberapa penyair Bali, seperti Pranita Dewi, Abu Bakar, Sindu Putra dan Wayan Sunarta.
Pada malam berikutnya, antara lain tampil Ahmad Tohari (Jawa Tengah), Slamet Sukirnanto, Miranda Putri, Rara Gendis, dan Hamsad Rangkuti (Jakarta), serta Dinullah Rayes (NTB). Tampil juga Joko Pinurbo (Yogyakarta), Isbedi Stiawan ZS (Lampung), Slamet Rahardjo Rais dan Endang Supriadi (Jakarta), serta Oka Rusmini, Ngurah Parsua, Samar Gantang, dan Putu Satria Kusuma (Bali).
Pada hari ketiga, peserta mengikuti 'wisata budaya' mengunjungi objek-objek wisata terpenting di Bali. Hari keempat diisi sidang perumusan, dan upacara penutupan. Meski kental nuansa wisata, Temu Sastra MPU menjadi bagian dari upaya untuk membantu mewujudkan cita-cita mulia membangun bangsa melalui sastra. Pesan mendasarnya adalah agar pemerintah tidak hanya mengutamakan pembangunan fisk dan materi, tapi juga pembangunan nilai-nilai budaya melalui sastra guna memperkuat jati diri bangsa.
DKI Dukung Temu Sastra MPU
Temu Sastra MPU merupakan even yang sangat penting untuk dijadikan forum bertukar pikiran antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, dan birokrat kesenian, guna mencari pemecahan atas persoalan-persoalan sastra terkini. Dengan solusi itu, diharapkan pemasyarakatan dan pengembangan sastra dapat dilakukan bersama secara lebih intensif lagi.
Karena itu, menurut Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Agung Widodo, Pemda Provinsi DKI Jakarta serius mendukung pelaksanaan temu sastra tersebut. ''Salah satu buktinya, DKI mengirimkan delegasi terbanyak ke Temu Sastra MPU II Bali,'' kata Agung Widodo, ketua delegasi DKI Jakarta.
Dikoordinir oleh Kasubdis Pembinaan Seni Budaya Yusuf Sugito, delegasi DKI terdiri dari Hamsad Rangkuti, Slamet Rahardjo Rais, Sunu Wasono, Endo Senggono, Ahmadun YH, Endang Supriadi, Miranda Putri, Pudji Isdriani, Rara Gendis, Ima Rahmawati, serta beberapa staf Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Selain mereka, beberapa sastrawan dan akademisi sastra Jakarta, seperti Dendy Sugono, Slamet Soekirnanto, dan Soemardi, berangkat melalui Pusat Bahasa Depdiknas. Sementara, Provinsi Banten, tempat MPU pertama digelar, antara lain mengirimkan Wowok Hesti Prabowo, Wan Anwar dan Rubby Ach Baedawy.
( ahmadun yh )
SANG PENYAIR:
PROSES KREATIF ADALAH PROSES REALITI
KEHIDUPAN KOGNISI YANG MELETIHKAN
Oleh: Arisel Ba
TANGGAPAN PERTAMA:
... pada Arisel Ba jawapannya agak kelam. Membaca puisi-puisinya, kita
seolah-olah bertembung dengan 'Gua Bama II' -sebentar kita merasa berada
dalam dunia yang terang benderang, sebentar kita terhantar dalam dunia yang
penuh asap dupa, tak tertemukan jalan pulang. Perhatikan dalam
puisi 'Gua Bama II', kata Arisel Ba:
jika ada kijang emas
terpanah dan patah kaki
lalu menginap di gua gelap
milikmu abadi
Kita tidak begitu jelas, sama ada gua itu yang menjadi milik kita, ataupun
kijang emas yang terpanah itu. Tapi, kita pun tidak harus merasa kecewa jika
tertinggal begitu saja, kerana penyair sendiri mengatakan:
segala rahsia
tak pernah dicari
kerana pencari
sesat di hujung kaki
Bukan sahaja jawaban-jawaban Arisel Ba agak kelam, malah puisi-puisinya juga
sebenarnya tidak semudah puisi Sahmad Malaya dan E.Tan Alauddin.
Puisi-puisinya 'Bunga Lalang', 'Mentari Tumbuh', dan 'Ilu' kesemuanya terisi
oleh tamsil-tamsilan. Misalnya kita ternampak 'bunga-bunga
bimbang/bunga-bunga kejam', kita temui 'harimau' patah taring kembali 'ke
gua' dan 'gelombang turut diam'; malah kita juga 'tampak mata keris
berdarah/tertiarap di bumi gelisah'.
Semua ini nampaknya adalah cara-cara tertentu Arisel Ba menghayati realiti
kehidupan di sekelilingnya. Dan realiti ini seolah-olah tidak dapat
disampaikan secara biasa. Kerana itulah juga, rasanya, Arisel Ba adalah
penyair yang wajar diperhatikan lebih saksama lagi. Dalam kesamaran atau
kelompok imageri ganjilnya, dia menghidupkan suatu suasana puisi yang
menarik.
Nampaknya, Arisel Ba memang lebih memikat apakala dia cuba 'menghidupkan'
kesamaran itu, sebab sebaik-baik dia berjelas seperti dalam 'Jerit Kota
Jerih Desa' dan 'Nelayan Menjaja Nyawa', puisi-puisinya itu menjadi tawar
dan biasa. Barangkali akar khazanah lama yang ada padanya perlu diberikan
baju dan hati yang baru untuk puisinya lebih berwarna dan bercerita. (
Sasterawan Negara A.Samad Said, Kata Pengantar Antologi Puisi 'Di Luar
Kerelaan' terbitan
Dewan Persuratan Melayu Pahang (DPMP) 1987 )
TANGGAPAN KEDUA:
... Arisel Ba juga pernah mengungkap kemasyhuran Pahang melalui Tasik Cini
yang amat terkenal itu melalui sajak berjudul 'Lagenda Cini'. Sajak yang
panjang terdiri daripada lima pemenggalan ini menggambarkan kisah lagenda
pertarungan dua ekor naga, Seri Pahang dan Seri Kemboja yang membawa kepada
kekalahan Seri Pahang yang kemudian dikatakan menjadi manusia dan
dipusarakan di Pasir Panjang. Sedang Seri Kemboja parah lukanya dan diapung
gelombang ditimang taufan.
Apa signifikannya lagenda Tasik Cini ini? Adakah ia sebuah misteri atau satu
perlambangan kekuasaan di zaman lampau. Penyair menyuarakan rasa sangsinya:
'Apakah Cini sekadar lagenda/atau sebuah peradaban silam/atau sekadar
sumpahan sang sihir?'. Walau apapun hakikat sebenar Lagenda Cini di dalam
sebuah puisi sungguh besar maknanya kerana ia boleh menunjukkan kebesaran
tamadun dan tradisi Pahang, bahawa Tasik Cini benar-benar wujud dan kini
menjadi pusat pelancongan yang terkenal dan penting bagi Pahang. Oleh kerana
puisi ini disampaikan dalam bentuk naratif, iaitu menceritakan keperihalan
lagenda atau dongeng tentang Cini, lautnya, pulaunya, dan bukitnya dan
danaunya, maka terasa benar penyair lebih mementingkan aspek isi puisi ini
... ( Prof Madya Haji Abdullah Tahir, Peranan Penyair-Penyair Pahang:
Pencapaian dan Arah Masa Depan, Simposium Darul Makmur Dua, 1992 - Bandar
Pusat Jengka, Pahang pada 1 - 2 Februari 1992. )
PENGANTAR
Dalam proses kreatif setiap puisi, saya seawalnya berusaha memahami mengenai
hidup dan kehidupan sosial yang bagi saya digelar realiti kehidupan kognisi.
Tanggapan saya, sebuah puisi yang baik, mantap, lugu, mulus, adalah
paradigma Sang Penyair. Puisi adalah proses hidup dan perikehidupan sosial
yang mampu menyampaikan segala aspirasi yang wujud. Baik ianya wujudiah
dalam diri Sang Penyair maupun gejolak yang ada di tengah-tengah masyarakat
yang mana antara Sang Penyair - Masyarakat adalah wujudiah dalam suatu
lingkungan sosial.
Pada waktu saya bertemu dengan segala kepahitan, kegelisahan dan kehancuran
dalam perjalanan hidup saya dari sejak lahir (sebagaimana diceritakan oleh
nenek, ibu dan rakan-rakan akan peristiwa-peristiwa saya semasa kanak-kanak
dan remaja) hingga tumbuh sebagai pengalaman batiniah dan lahiriah saya
sejak mula menulis puisi sekitar tahun 1969 hingga kini, saat itulah saya
kadangkala dalam suasana sedar, adakalanya lupa diri, terhadap peranan dalam
hidup ini yang tumbuh pelbagai kerangka berfikir untuk masa depan, dan
ketika-ketikanya kerana terlalu taasub kepada puisi, boleh lupa kepada
Tuhan. Syukur, kerana ada kekuatan batiniah dan keteguhan iman, Allah itu
adalah Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mengasihani dan Yang Maha Adil, doa
dan taqwa adalah ramuan paling bermakna dalam pencernaan setiap puisi yang
diciptakan.
Manusia tidak boleh mengelak dari pelbagai peristiwa kehidupan peribadi
selama ianya hidup bernafas, berfikir, bertindak dan dibesarkan oleh
pelbagai permasalahan duniawi terutama membabitkan kemanusiaan itu sendiri.
Begitu juga saya, pelbagai peristiwa kehidupan dan kemanusiaan itu adalah
bahan perenungan, penelaahan, dan penciptaan setiap puisi-puisi saya.
Sebelum saya menulis sesebuah puisi, setiap apresiasi dalam
menghubung-jalinkan peristiwa kehidupan dan kemanusiaan baik secara
tamsil-tamsilan atau terang-terangan berjelas, saya membuat penilaian atau
memberikan suatu tanggapan yang tepat, pasti akan makna dan dampaknya
sesuatu peristiwa kehidupan dan kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa dalam
mengemukakan catatan mengenai Proses Kreatif dalam menghasilkan puisi-puisi
saya dalam antologi SANG PENYAIR: saya menuliskan bahawa ' PROSES KREATIF
ADALAH PROSES REALITI KEHIDUPAN KOGNISI YANG MELETIHKAN.
PENGALAMAN
Pengalaman adalah suatu perkara yang sangat penting bagi saya untuk
mengetahui secara aktual setiap peristiwa kehidupan dan kemanusiaan, melalui
kuasa deria iaitu penglihatan, pendengaran, pembauan, perasaan, penghayatan
disamping membaca buku-buku ilmu bantu dalam bidang-bidang tertentu terutama
sains gunaan, sains sosial, sastera, bahasa, psikologi, politik, ekonomi,
agama, kesihatan, teknik berfikir dan motivasi serta pendidikan, yang mana
semuanya akan diadun dan dituangkan ke dalam proses penciptaan puisi.
Sehingga kini sahaja saya telah memiliki lebih 3,000 judul buku dalam
pelbagai bidang di Mini-Pustaka di rumah saya yang mana telah dibeli dan
dibaca sejak tahun 1969 hingga terkini. Perujukan di pelbagai perpustakaan,
pembacaan pelbagai akhbar dan majalah juga adalah pengalaman penting dapat
membantu saya dalam penafsiran setiap peristiwa, sehingga akan saya alami
suatu tenaga dalaman yang unggul sehingga akan wujud refleksi inspirasi. Dan
pengalaman sebegini bagi saya amat dominan untuk membentuk sesebuah puisi.
Habitat saya sejak tahun 1969 hingga 1984, menjadikan kegemaran mencatat,
baik catatan realiti mahupun sebagai kesan dalam sanubari, dan habitat ini
telah menimbulkan integriti antara diri saya dan peristiwa realiti kehidupan
dan kemanusiaan. Oleh kerana itu dalam proses kreatif penciptaan puisi,
unsur pengalaman sangat penting, baik unsur pengalaman itu dirasai sendiri
oleh saya ataupun melalui pengalaman dari penglihatan, pendengaran,
pembauan, perasaan, penghayatan disamping membaca buku-buku ilmu bantu dalam
bidang-bidang tertentu.
Saya pernah diberitahu bahawa: Puisi adalah bentuk karya sastera yang
mengungkapkan fikiran dan perasaan penyair secara imaginatif dan disusun
dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian
struktur fizikal dan struktur batinnya.
Dan sekitar 1969 saya mula belajar menulis puisi, itupun kerana minat yang
mendalam terhadap puisi-puisi karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Usman Awang,
A.Samad Said, Masuri SN, Noor SI, M.Ghazali dan A.S.Amin. Buku rujukan saya
waktu itu ialah 'Puisi Moden' tulisan Masuri SN yang dibeli awal tahun 1969
dan dibaca ketika saya bersekolah dalam tingkatan empat di Sekolah Menengah
Clifford, Kuala Lipis. Hasil dari pembacaan terhadap buku itu saya berjaya
menghasilkan dua buah puisi yang awal iaitu 'Atas Alamat dan 'Sinar Kemana
Dibawa' yang tersiar dalam majalah sekolah, Cliffordian
Vol.XXIV Bil.1 1970:
ATAS ALAMAT
Jika jadi benda aneh di mana dia
orang kata pembukaan kubur
dan pergi mati, atau akhirat
terjadi kandungan dan kelahiran
ini alamat bukan mukjizat
suasana pelancungan buatan masa
kekuatan menawan helaian fikiran
seperti itu lagi, adanya anasir segan
13 Mei 1969
Kuala Lipis
SINAR KEMANA DI BAWA
Dunia runcing
dan hati dilebur bimbang
atas kuasa pura-pura
KEMARAHAN
bersemai hati nadi
Senja tua diragut
KESILAUAN
bertanya pada Tuhan
berapa lama dunia hangus
dalam biduk hati dan
PEPERANGAN
Paginya merah di tanah
KEBANGKITAN
hadiah hari lahir
untuk detik terakhir
Kemari bertemasya sambutan hati
dibelai cinta murni bersemadi
TEKAD
BEBAS
MERDEKA
adalah cita-cita
dan tegaklah cinta
CINTA
CINTA
SINAR KEMANA DIBAWA
18 Mei 1970
Kg Gali Hilir, Raub
Bagi saya peristiwa 13 Mei, 1969 amat bermakna dan amat menyentuh rasa
ketika itu, lalu saya mencipta puisi 'Atas Alamat'. Dan antara budaya perang
dan budaya aman damai membuatkan gejolak jiwa remaja saya dapat mencetuskan
antara cita-cita dan cinta dalam dua dunia yang saling bertembung melalui
puisi 'Sinar Kemana Dibawa'. Saya adalah seorang anak yang malang, ayah dan
ibu telah bercerai sejak saya berusia 14 hari selepas 11 Ogos 1953 (saya
dilahirkan di Estet Selborne, Padang Tungku, Lipis), dan sejak itu tangan
nenek saya, Hendon dan datuk saya, Busu memelihara saya di sebuah kampung di
pinggir Sungai Jelai, iaitu Kampung Bukit Pindong, Mukim Telang dalam daerah
Lipis dalam serba kesusahan dan penderitaan. Dua puisi di atas saya taip
dengan menggunakan mesin taip yang dipinjam daripada Ustaz Idris Uda, iaitu
guru agama saya yang tetap dikenang hingga sekarang. Bermula dari mesin taip
Ustaz Idris itu memberi motivasi yang amat kuat menjadikan saya seorang
penyair.
Selepas dua buah puisi itu, saya lebih banyak membaca buku-buku sastera
terutama puisi disamping terbabit secara aktif dalam Perkumpulan Penyair
PENA yang diterajui oleh A.Ghani Abdullah di Kuala Lumpur sekitar tahun 1971
dan 1972. Saya bertugas dengan Lembaga Letrik Negara (LLN) sejak 1972, dan
saya giat semula menulis puisi dan disiarkan dalam majalah kakitangan
terbitan LLN - Majalah Tenaga. Waktu ini saya menulis apa sahaja tema bagi
puisi saya, dan selepas menulis, menghantar karya, hadir dalam pelbagai
bengkel penulis, pertemuan penulis baik anjuran PENA, DPMP dan GAPENA, baru
pada tahun 1977 puisi saya mendapat perhatian oleh Editor majalah Dewan
Sastera dengan menyiarkan puisi-puisi 'Gua Bama' dan 'Gua Bama II'.
Kemudian barulah akhbar Berita Minggu, Mingguan Malaysia, Utusan Zaman,
Watan; majalah-majalah Widya, Wanita, Mastika, Dewan Masyarakat, Dewan
Budaya, Sarina, Alam Wanita, dan lain-lain menyiarkan puisi saya. Tempoh
pengeraman dari 1969 dan mencanai karya sejak tahun 1972 itu hanya
membuahkan hasil enam tahun kemudian, iaitu tahun 1977. Dan tempoh inilah
bertubi-tubi percubaan saya cuba mendapat perhatian Editor pelbagai akhbar
dan majalah disamping melalui pelbagai pengalaman yang dirasai sendiri oleh
saya ataupun melalui pengalaman dari penglihatan, pendengaran, pembauan,
perasaan, penghayatan disamping membaca buku-buku ilmu bantu dalam
bidang-bidang tertentu. Bukan mudah bagi penyair seperti saya yang tumbuh
dari masyarakat agraria, dan bukan penyair yang diasuh di menara gading
untuk mendapat tempat di hati Editor akhbar dan majalah di negara ini.
Seingat saya, mula rancaknya penciptaan puisi saya adalah selepas menyertai
Perkumpulan Penyair Pena di Kuala Lumpur, dan tahun 1971 itu saya menabung
dan dapat membeli sebuah mesin taip 'second hand' jenis Royal. Hanya pada
tahun 1977 saya membeli mesin taip yang baru dan digunakan sehingga ke tahun
1984, dan kemudian, saya mula menggunakan Komputer Peribadi bermula dari
Sistem XT, diubahsuai kepada AT, dan ditukar kepada Sistem 286 dan kini
menggunakan Sistem 386 dari jenis 'Note Book' mudah alih.
Perlu diingat, atas pengalaman juga, walaupun satu sistem sokongan proses
kreatif penciptaan puisi itu mencukupi LAGI anggun dan canggih, gerak hati
dan inspirasi tidak selalu menjelma jika tidak banyak membaca dan menyertai
pelbagai aktiviti masyarakat dan persatuan penulis. Oleh itu sekitar tahun
1972 saya bergiat juga dalam Dewan Persuratan Melayu Pahang (DPMP) hingga
kini. Selepas saya bertugas dengan Jabatan Kemajuan Masyarakat (KEMAS)
sejak 1983, input kehidupan masyarakat terutama di luar bandar benar-benar
satu aset inspirasi kepada saya sehingga berjaya menghasilkan puluhan puisi
tentang realiti kehidupan dan kemanusiaan sebagaimana terungkap dalam
antologi SANG PENYAIR. Kalau diteliti dan diamati keadaan diri saya, maka
saya boleh rumuskan bahawa saya sebagai manusia-penyair selain mempunyai
akal sebagai alat berfikir, juga mempunyai perasaan yang penuh dengan segala
aspeknya. Akal dan perasaan ini, dalam beraksi dan mereaksi mempergunakan
bahasa denotatif, dan dalam mengungkapkan gejolak perasaan yang dalam
menggunakan bahasa konotatif. Saya dalam proses penciptaan puisi, terutama
amalan mutakhir, segera mengetahui segala sesuatu, menganalisa, mengolah,
mengklasifikasi dan menyimpulkan. Saya juga bersyukur kepada Allah kerana
diberi rasa cinta kasih, rasa benci, rasa keindahan, rasa senang, terharu,
puas, terpesona, sedih, dongkol dan lain-lain - dan bagi saya - dua fakta -
fikiran dan perasaan itu hidup dan menyatu dalam diri dan sekaligus adalah
alat terpenting bagi saya mengembangkan cita-cita dan bakat, falsafah dan
gagasan idea ke arah membudayakan diri saya dengan lingkungan saya, bangsa
saya dan negara saya. Saya akui hanya memiliki kata-kata, dan tidak
harta-benda. Sebagaimana puisi 'Sang Penyair':
SANG PENYAIR
Bahasa puisi sang penyair
memukau pembuluh akal memutar
bagai madu manis pekat
merubah racun pedih perit
jalinan pengalaman sang penyair
serumit tenunan benang hari
jejak karya sang penyair
sejauh renungan makrifat diri
sang penyair penangkap ilusi
basah alam di kolam emosi
biarpun hewan bermimpi
sang penyair itu penjaring sepi
selaut airmata rindu batini
siapakah mengerti?
5 - 8 September 1987
DPMP Kuantan
Puisi di atas telah tersiar dalam akhbar Bacaria, Bil. 318 pada 10 Oktober
1987. Sebuah lagi puisi yang ada hubung-kait dengan proses penciptaan puisi
saya ialah 'Sang Tukang':
SANG TUKANG
kitakah sang tukang?
seizinNya kita memaku dinding
tanpa disedari pemukul di tangan ini
mengetuk sang paku, menyipi
lalu paku itu terpelanting
jatuh tersorok diam
direrumputan alam
kitakah sang tukang?
seizinNya ralit mencari-cari
tiba-tiba di antara kita
berhenti mencari dan berkata:
mungkin paku itu tertusuk di kalbu kita
dan dinding itukah sang ilusi?
30 Jan - 6 Feb 1988
Pkg Cenderawasih, Kuantan
Puisi ini telah tersiar di akhbar Mingguan Ekspres, Bil.15 pada 11 Disember
1988.
Boleh saya rumuskan untuk mendapatkan sebuah puisi yang baik, mantap, lugu,
mulus, adalah paradigma Sang Penyair saya bermula secara manual menggunakan
mesin taip, kemudiannya komputer peribadi tidaklah mudah. Prosesnya bukan
setakat menganalisa, mengolah, mengklasifikasi dan menyimpulkan malah dapat
memberi tafsiran dan penilaian yang tepat, penghayatan yang bertahap tinggi,
berprinsip yang tegas, keyakinan menangani ilmu pengetahuan dan falsafah,
dan saya tidak lupa kepada tulisan Rainer Maria Rilke 'Kepada Penyair Muda':
Kalau ingin jadi penyair masuklah ke dalam dirimu. Temukan sebab yang
mendorong kau menulis. Galilah dalam-dalam hatimu untuk menemukan jawaban
yang jujur. Kemudian mendekatlah kepada alam, katakan apa yang kau lihat,
kau alami, kau cintai, dan kau ratapi...
Kesimpulan, dari suatu proses yang amat panjang, SANG PENYAIR: PROSES
KREATIF ADALAH PROSES REALITI KEHIDUPAN KOGNISI YANG MELETIHKAN adalah
bahawa puisi lahir kerana saya, Sang Penyair jatuh cinta kepada bahasa.
Kuantan,
Negeri Pahang Darul Makmur
8 Februari 1993 - 15 Ogos 1995 1
Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain berbeda. Setiap sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan, pendidikan, dan lingkungan turut "membentuk" pengarang itu. Seorang Pram atau Hemingway, atau Gunter Grass, pemenang Nobel Sastra 1999, yang hidup di zaman peperangan memiliki pengalaman kreatif yang berbeda dengan yang hidup di zaman damai.
Ada yang mengatakan bahwa faktor bakat adalah dominan dalam proses kreatif seorang pengarang. Benarkah demikian? Bukankah tanpa semangat, kerja keras, dan latihan, bakat tinggallah sebagai bakat. Bakat dan kerja keras serta semangat itulah bagian dari proses kreatif saya.
Kakekku Seorang Dalang
Aku lahir pada 4 Februari 1967 (di dokumen resmi: ijazah, KTP, dll. ditulis 9 Februari, karena kesalahan penulisan di ijazah sekolah dasar) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yakni Kota Batu. Kakekku dari pihak ibu memberikan nama Ngarto kepadaku, dan kakakku yang tertua menambahkan Februana). Aku tak tahu (masih bayi, sih), kenapa kakek tidak memberikan nama dengan nama-nama wayang. Kakek (sudah almarhum) adalah seorang dalang. Beliau cukup terkenal di Kabupaten Malang waktu itu. Setelah kakek meninggal—kira-kira tahun 1973, aku lupa—dua anaknya (paman) mengikuti jejaknya menjadi dalang, selain bekerja sebagai pengukir dan pemahat.
Ketika masih kecil, aku sering ke rumah kakek. Aku melihat wayang-wayang dijejer di ruang tamu. Aku takut pada wayang yang serem-serem. Aku masih ingat, suatu ketika aku lari demi melihat wayang yang serem dijejer. Dan, ketika aku masih kecil, aku kerap melihat paman berlatih memainkan wayang. Sayang, kakek meninggal terlalu cepat. Kebiasaan buruk yaitu madat (nggelek istilah saat ini) candu menggerogoti tubuhnya. Lalu dua orang paman, dan dibantu paman yang lain, meneruskan profesi kakek, termasuk sebagai pemahat, pengukir.
Ketika masih di sekolah dasar, ibuku pernah menginginkan aku jadi dalang. Sayang, kalau cucu-cucu Wibisono, demikian nama kakek, tidak ada yang meneruskan jadi dalang. Tapi, terus terang, aku tak begitu suka menonton wayang, walau bukan berarti aku tak pernah nonton wayang. Sesekali aku nonton paman mendalang. Dan, sesekali aku bertanya kepada paman tentang Werkudara, Gatutkaca, dan lain-lain.
Mungkin aku mewarisi bakat "bercerita" dari kakek. Aku tidak bisa mendalang karena tidak pernah belajar tentang itu. Tapi, aku merasa punya kemampuan bercerita. Karena itu, aku berketetapan bahwa aku meneruskan 'profesi bercerita' kakek dengan cara lain: melalui cerpen atau novel.
Cerita Silat
Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita, dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa. Aku masih ingat ketika aku masih duduk di kelas IV sekolah dasar, guruku memberikan tugas mengarang. Nilai karanganku cukup bagus. Dari situ aku merasa bahwa aku memang punya bakat. Tapi, apa bakat saja cukup? Saat duduk di bangku kelas satu SMP, aku suka mendengarkan sandiwara radio Nogososro Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singosari. Juga aku suka baca komik silat dan cerita silat Ko Ping Ho. Dari situ aku terangsang untuk menulis cerita. Saat kelas III SMP, aku mulai belajar menulis cerita, dari cerita silat sampai percintaan remaja. Tapi, itu cuma corat-coret tulisan tangan, dan tak ada keinginan untuk dikirimkan ke media massa.
Aku berlangganan menyewa novel dan komik di sebuah taman bacaan. Novel karya Dedy S. Iskandar paling aku sukai, seperti Gita Cinta dari SMA, Taman Indah Puspa Hati, yang sudah difilmkan. Majalah remaja juga aku baca. Maka, dorongan untuk mengarang kian kuat. Tapi, aku tak punya mesin ketik. Suatu ketika aku minta untuk dibelikan mesin ketik. Ayahku marah, sampai-sampai hendak mengasariku–barangkali caraku meminta terlalu ngotot. Tapi, karena kasus pertengkaran dengan ayah itu, aku lantas dibelikan mesin ketik, mereknya Olimpia. Dan, sejak itu aku giat mengarang cerita pendek tentang dunia remaja, khususnya cinta remaja. Sayang, tak ada karyaku yang dimuat. Setiap ditolak, ibuku seakan meruntuhkan semangatku. Tapi aku terus menulis dan mengirimkan karyaku ke media massa. Dalam hati aku bertekad, setelah lulus SMA, aku ingin melanjutkan kuliah yang jauh dari rumah, agar tidak diejek ibuku jika karyaku dikembalikan.
Tekad untuk menjadi pengarang begitu menggebu-gebu. Aku berkeinginan untuk melanjutkan ke fakultas sastra, setelah tamat SMA, walau aku dari jurusan IPA. Begitu aku berhasil menembus Sipenmaru, tahun 1986 aku melanjutkan studiku ke Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengambil jurusan Sastra Indonesia.
Kreativitas Terbuka
Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara Indonesia, Eksponen, Masa Kini. Waktu di Yogya itulah ruang kreativitasku terbuka lebar. Lingkungan yang kondusif sangat membantuku. Pembicaraan-pembicaraan informal dengan teman-teman yang punya minat menulis ataupun ketika mengikuti diskusi turut mendorong keinginanku menulis. Aku menggeluti cerpen-cerpen yang biasa dimuat di koran dengan tema-tema sosial. Lantas mulailah aku menulis dan mengirimkan cerpen-cerpenku ke media lokal dan ibu kota. Cerpen pertama yang bisa dimuat judulnya Rumah Kontrakan dimuat harian Berita Nasional (sekarang Bernas). Aku termotivasi untuk terus menulis, dan sudah banyak cerpen-cerpenku dimuat di Bernas. Selain itu, cerpenku juga dimuat di Suara Pembaruan, Suara Indonesia, Eksponen, Masa Kini.
Aku tergelitik juga menulis cerpen-cerpen remaja. Cerpenku yang bertema remaja pertama kali dimuat di majalah Ibu Kota, Idola (almarhum), juga puisi-puisi di majalah itu. Honornya Rp 10.000,- waktu itu. Cerpen-cerpenku juga dimuat di Ceria, buku kumpulan cerpen yang terbit bulanan. Honornya antara Rp 40.000,- sampai Rp 70.000. Hampir tiap edisi ada cerpenku di sana. Majalah Aneka juga pernah memuat cerpenku.
Pernah suatu ketika ada lomba menulis cerpen di fakultasku. Cerpenku menjadi pemenang pertama, dan sebagai cerpen untuk dibacakan pada lomba baca cerpen. Untuk mengasah keterampilan menulis, aku juga membaca karya-karya sastrawan terkenal baik dalam negeri maupun sastrawan dunia. Pernah pula aku jatuh cinta pada cerpen Katherine Anna Porter yang berjudul "The Grave". Cerpen itu sederhana alurnya, tetapi yang aku kagumi, begitu tajam dan teliti penghayatan seorang Porter pada dunia anak. Lalu aku juga suka membaca cerpen-cerpen Edgar Alan Poe. Edgar, menurutku, seorang pengarang yang punya teknik bagus dalam membuat suspence.
Kesibukanku di organisasi kemahasiswaan seperti keterlibatanku di Himpunan Mahasiswa Jurusan dan pers mahasiswa tidak menyurutkan produktivitasku saat itu. Juga ketika aku terjun di gerakan mahasiswa tahun 1990. Aku memetik sesuatu pengalaman berharga dari aktivitas yang penuh idealisme itu. Melalui gerakan itu, aku lebih peka terhadap problem masyarakat. Aku belajar banyak dari masyarakat bawah yang hidupnya selalu tergusur.
Selama masa kuliah kerja nyata, aku juga belajar dari "mahaguru-mahaguru" orang-orang di pedalaman Kalimantan Selatan. Belajar tentang kearifan tradisional, tentang keharmonisan manusia dan alam. Setelah selesai menjalani kuliah kerja nyata itu, aku menulis novel berjudul "Tanah Terasing". Novel itu pernah aku kirimkan ke Pustaka Pelajar. Pihak penerbit menyetujui untuk menerbitkan, tetapi setelah setahun ngendon di sana, novel itu dikembalikan. Tentu aku kecewa dan sempat mengirimkan surat pembaca tentang hal itu. Alasan penerbit kala itu adalah masalah pasar; buka kualitas.
Setelah menyelesaikan studi, yakni setelah diwisuda, Mei 1995, aku tinggal di sebuah desa di Pakem, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta. Bersama teman-teman, kami membuat lembaga yang bernama Yayasan Pertanian Mandiri (Yatanim). Di desa itu kami membaur dengan masyarakat desa, turut belajar bersama-sama dengan mereka, dan mempraktikkan pertanian organik. Dan, di desa itulah kesempatan untuk berkontemplasi dan menulis cukup terbuka. Saya sering tinggal sedirian di rumah yang terletak di tengah sawah itu, jika teman-teman pulang ke Yogya. Banyak cerpen yang bisa aku hasilkan di sana. (Dan di desa itu pula aku mengenal gadis yang kini jadi istriku).
Proses Kreatif Penulisan Lorong tanpa Cahaya
Novel Lorong tanpa Cahaya (selanjutnya saya sebut LTC) saya tulis di desa itu. Idenya sebenarnya sudah lama. Ketika masih aktif di organisasi gerakan mahasiswa, kami sering menerima tamu dari luar. Ketika kami menerima tamu dari Filipina, Malaysia, dan Banglades, tamu-tamu itu kami antarkan eksposure ke kampung Sosrowijayan yang lebih dikenal sebagai Sarkem atau Pasar Kembang. Eksposure bagi kami adalah salah satu metode untuk mengenali kehidupan masyarakat, termasuk problem yang dihadapi. Mereka, tamu yang aktivis di negaranya masing-masing, terkesan dengan kehidupan para pelacur itu. Ketika berkomentar tentang pelacur yang praktik di belakang stasiun Tugu, mereka bilang bahwa di negaranya, walau sama-sama banyak orang melacur, tidak ada yang praktik pelacuran di semak-semak di dekat rel kereta.
Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang teman bercerita tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas ketertiban umum ketika ada razia. Aku trenyuh dengan cerita itu dan itu membekas di hatiku.
Sewaktu berada di Pakem itu, aku sering turun ke Yogya, untuk tujuan observasi di Sosrowijayan, baik sendirian maupun mengajak teman. Setelah observasi aku anggap cukup, aku mulai menulis. Udara dingin dan lingkungan yang nyaman dan sepi sangat membantu kelancaran menulis meskipun aku sering menjumpai masalah keuangan. Maklum setelah lulus keuanganku mepet karena tidak disuplai lagi oleh orang tua. Tapi itu justru memacu semangatku untuk terus menulis.
Satu bulan LTC aku selesaikan. Targetku, setiap hari harus bisa menulis minimal sepuluh halaman (itu kalau komputer tidak ngadat, maklum aku masih menggunakan komputer "jangkrik" dengan program WS). Jadi, selama satu bulan, novel itu rampung.
Aku harus sering wira-wiri Yogya–Jakarta karena urusan organisasi. Karena kantor pusat organisasiku ada di Jakarta. Ketika di Jakarta, aku kirimkan naskah novel LTC ke Republika. Setelah dibaca oleh Ahmadun Yose Herfanda, redaktur budaya Republika, aku datang ke kantor Republika. Ahmadun bilang bahwa LTC tidak sesuai dengan segmen pembaca Republika. Karena, menurut Ahmadun, LTC banyak menampilkan adegan porno. Lalu ketika aku menetap di Jakarta, untuk urusan organisasi pula, aku mencoba kirimkan ke harian Berita Yudha, dengan harapan dimuat secara bersambung di koran itu. Tapi, akhirnya dikembalikan. Lantas aku berpikir, kenapa tidak berkompromi sedikit soal yang porno itu. Lalu ketika aku sudah bekerja di D&R, novel itu aku revisi. Yang porno-porno aku haluskan, bahkan ada yang sengaja aku potong. Yakni, adegan persetubuhan Wibi dengan Yu Karti di sebuah hotel ketika Wibi sudah dewasa.
Naskah yang sudah direvisi itulah yang kemudian diterbitkan oleh Media Pressindo.
Jakarta, 12 November 1999
Ngarto Februana
PROSES KREATIF LORONG TANPA CAHAYA
(Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Soetrisno, mahasiswa Universitas Airlangga, dalam rangka menulis skripsi)
Ide cerita dalam Lorang Tanpa Cahaya pertama kali mucul ketika aku menyaksikan dari dekat kampung yang dikenal dengan nama Sarkem. Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu ada di sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak seberapa luas, yang rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia dari beragam latar belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan penuh dengan konflik. Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang "mengelola" konflik, bagaimana di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi kesepakatan agar tak saling mengganggu, dan bagaimana dalam situasi konflik muncul solidaritas.Di sana ada rumah untuk keluarga baik-baik yang tertulis di depannya "Rumah Tangga". Ada musala di antara rumah-rumah untuk pelacuran. Aku berpikir waktu itu: bagaimana anak-anak yang tumbuh di kampung itu. Tentu tidak baik bagi perkembangan jiwa anak yang tumbuh di kompleks pelacuran. ide pertama kali itu sangat mentah.
Ide berikutnya, pernah suatu ketika seorang teman bercerita tentang seorang yang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas ketertiban umum ketika ada razia. Peristiwa ini tak jelas di daerah mana, yang jelas di Yogya, dan waktunya kapan. Kejadian ini tak ada hubungannya dengan Sarkem dan praktik pelacuran. Yu Karti bukan pula seorang pelacur. Peristiwa tersebut menggambarkan kekerasan aparat terhadap pedagang informal, dan kesewenang-wenangan aparat demi kebersihan kota.
Kedua ide itulah aku gabungkan dan aku olah sedemikian rupa menjadi satu jalinan cerita dengan berlatar tempat kampung Sarkem. Alurnya mengalami banyak revisi dalam proses penulisannya.
Selanjutnya, aku melakukan observasi, termasuk ketika ada tamu mahasiswa dari beberapa negara yang kami ajak eksposur di kawasan itu. Juga aku membaca buku-buku tentang prostitusi. Aku lupa judul buku itu, dan sekarang ada di mana buku-buku itu.
SASARAN DAN TUJUAN
Apa yang ingin saya capai dengan Lorong Tanpa Cahaya? Sederhana saja keinginan saya: novel saya akan dibaca, lalu pembaca—yang aku bayangkan berusia di atas 17 tahun—berkontemplasi, merenung bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya keinginan untuk berubah, bisa bertobat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, dan itu bisa saja berhasil.
KARYA YANG LAIN
Selain Lorong Tanpa Cahaya, kini novelnya kedua telah terbit, Menolak Panggilan Pulang. Karya lain lebih banyak cerpen, baik cerpen remaja maupun cerpen sastra. Cerpen remaja antara lain dimuat di kumpulan cerpen Ceria Remaja (sekitar 20 cerpen). Cerpen sastra antara lain dimuat di harian Bernas (Yogyakarta), Suara Indonesia, tabloid Eksponen (sudah tidak terbit), harian Masa Kini (sekarang tidak terbit), Yogya Post, Suara Pembaruan, dan Bisnis Indonesia.
KAITAN DENGAN PENGALAMAN HIDUP
Karya novel Lorong Tanpa Cahaya sedikit ada kaitan dengan pengalaman saya sebagai aktivis mahasiswa. Dalam LTC digambarkan demonstrasi warga Sarkem di DPRD. Tapi tidak ada kaitannya antara kehidupan pelacur dan pengalaman hidupku, sebab aku tak pernah melacur (ini jujur kukatakan). Banyak orang yang curiga ketika membaca LTC. Mereka curiga bahwa aku suka ke pelacuran, terutama ke Sarkem. Itu hak mereka untuk curiga. Yang jelas aku tak pernah melakukannya.
Adapun novel Menolak Panggilan Pulang aku tulis berdasarkan observasi langsung ketika aku berada beberapa bulan di pedalaman Kalimantan Selatan. Tema Menolak Panggilan Pulang ada kaitannya dengan komitmenku terhadap kehidupan suku terasing yang senantiasa tergusur, yang dirampas hak-hak ulayatnya oleh pemilik modal.
Cerpen-cerpenku banyak yang mencerminkan pengalaman hidup, pengalaman orang-orang di kampung kelahiranku. Juga mitos yang dipercaya oleh orang-orang di kampungku.
LATAR BELAKANG MENULIS LORONG TANPA CAHAYA:
Manusia dengan segala problemnya, itulah obyek karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa mengundang masalah lain seperti kriminalitas.
Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap problem masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial masyarakat. Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong kumuh dan penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.
Saya sendiri punya pendirian seperti itu. Komitmen itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih sangat sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester tiga berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan lain-lain.
Nah, ketika saya berbicara tentang pelacuran dalam Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial. Terlebih lagi, aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering terjun ke rakyat bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.
Tak ada niat sedikit pun bagi saya untuk dendam melalui novel. Kalau saya memprotes keadaan, kesewenang-wenangan aparat terhadap rakyat misalnya, itu saya lakukan bukan karena dendam. Tetapi semata-mata karena pandangan bahwa sastra harus berbicara tentang masyarakat, tentang realitas. Dan dalam kenyataan itu, dalam realitas itu ada penggusuran, ada intimidasi aparat terhadap rakyat yang tak berdosa yang hanya ingin mempertahankan haknya. Sastra harus bicara.
Pelampiasan hati? Mungkin dalam cerpen-cerpen remaja yang bercerita tentang cinta ada unsur pelampiasan hati. Saya jatuh cinta dengan seorang gadis, lalu saya curahkan isi hati saya melalui cerpen. Saya putus cinta, kemudian saya menulis cerpen tentang hal itu. Tetapi dalam Lorong tanpa Cahaya, sepertinya tidak ada unsur pelampiasan hati. Ataukah secara tidak sadar aku melampiaskan kegetiran di masa laluku ke dalam novel itu, aku tidak tahu persis. Barangkali saja secara tidak sadar terungkap di sana. Dalam LTC, Wibi kecil sering dimarahi orang tuanya, mungkin ini sama dengan masa kecilku, tapi toh banyak anak yang mengalami hal serupa.
HUBUNGAN DENGAN KENYATAAN
Ada pendapat bahwa karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Kalau kita mengikuti pemikiran Abrams (1981: 178), karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. LTC pun berhubungan dengan realitas kehidupan masyarakat di kampung pelacuran yang bernama Sarkem. Tapi harus diingat, dalam menangkap realitas tersebut tentu saja saya tidak mengambilnya secara acak. Saya memilih dan menyusun bahan-bahan itu lalu mengolahnya dalam jalinan cerita. Dan seperti pedapat Michel Zerraffa bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis, saya pun melakukan hal serupa dalam menulis LTC.
Tentu sebagai sebuah fiksi, kisahnya dalam LTC sendiri adalah fiktif. Bahwa ada orang bernama Yu Karti yang bayinya digaruk petugas, apakah itu fakta atau fiktif, terus terang tidak aku cek. Tokoh-tokohnya pun fiktif. Tetapi bahwa ada kampung pelacuran bernama Sarkem, itu betul. Dalam novel itu aku gambarkan bahwa Sarkem akan digusur, bahkan telah digusur, itu fiktif. Sampai sekarang Sarkem itu masih ada.
Ada seorang teman yang bertanya kepada saya, Yu Karti yang pada akhirnya jadi orang gila di sekitar Sarkem itu apakah betul-betul ada. Aku jawab, itu fiktif. Keponakan saya yang di Surabaya, ketika ke Yogya dan sempat melewati Sarkem, ia bertanya kepada ayahnya, "Pak mana sih yang namanya Yu Karti. Kita bawa ke Surabaya saja. Kasihan dia." Keponakan saya, setelah membaca novel LTC, merasa yakin bahwa Yu Karti itu ada dalam kenyataan.
LORONG TANPA CAHAYA secara harafiah berarti jalan kecil terutama yang ada rumah di kiri-kanannya, yang keadaannya gelap. Di kampung Sarkem banyak lorong-lorong semacam itu. Maksud simbolisnya (dalam konteks novel ini) ialah sebuah jalan kehidupan para penjaja seks yang penuh dengan ketidakpastian masa depan, hari esok. Ketidakpastian adanya perubahan nasib yang lebih baik.
JAWABAN ATAS PERTANYAAN YANG DIAJUKAN FARIDA, MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNS, SURAKARTA, DALAM RANGKA PENULISAN SKRIPSI
Ada pertanyaan yang saya jawab, ada pula yang sengaja tidak saya jawab. Saya teringat diskusi dan pembacaan cerpen "Cermin yang Menguap" karya Danarto di Majlis Reboan, akhir tahun 1998. Ketika seorang peserta mengadakan "gugatan" di luar wilayah sastra, "Danarto sebagai pengarang cerpen tidak perlu menelanjangi diri untuk menafsirkan cerpennya sendiri." Saya setuju dengan pendapat itu, karena bagaimanapun, ketika sebuah karya sastra sudah dilahirkan, ia menjadi "milik" masyarakat. Penafsiran karya sastra ada pada pembaca.
Pertanyaan (1) termasuk yang tidak saya jawab, karena Lorong Tanpa Cahaya sendiri sudah memberi jawabannya. Bukankah tema, plot, setting, penokohan ada dalam karya itu sendiri tanpa harus bertanya kepada pengarangnya. Itu kalau tema novel yang Anda tanyakan. Atau mungkin bukan itu yang Anda maksudkan?
Daerah Sarkem ialah wilayah yang unik. Tempat itu ada di sebuah kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur budaya. Dan di kampung yang tak seberapa luas, yang rumah-rumah penduduk berjejelan, hidup secara bersama-sama manusia dari beragam latar belakang; hidup di antara para pelacur. Di tempat seperti itu akan penuh dengan konflik. Inilah yang menarik, antara lain, bagaimana orang "mengelola" konflik, bagaimana di antara mereka secara diam-diam telah memaklumi kesepakatan agar tak saling mengganggu, dan bagaimana dalam situasi konflik muncul solidaritas.
Manusia dengan segala problemnya, itulah obyek karya sastra. Problem manusia begitu kompleks, dan manusia Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar, yakni krisis multidimensional, yang akar persoalannya sudah ada pada zaman Soeharto berkuasa. Penggusuran, misalnya, sangat sering terjadi, sebagai akibat dari proyek-proyek pembangunan. Lalu masalah pelacuran adalah masalah yang kompleks, sudah ada sejak zaman dulu ketika manusia mulai mengenal lembaga perkawinan; setua usia peradaban manusia. Problem ini demikian kompleksnya, yang tidak hanya berkaitan dengan nafsu, tapi juga kemiskinan, masalah sosial yang lain. Di tempat pelacuran senantiasa mengundang masalah lain seperti kriminalitas.
Sastrawan tidak bisa menutup mata terhadap problem masyarakatnya. Karena itu sastra harus mencerminkan problem-problem sosial masyarakat. Sastra tidak lagi berbicara tentang keindahan semata, tapi juga lorong-lorong kumuh dan penderitaan umat manusia. Dengan begitu sastra akan bermakna.
Saya sendiri punya pendirian seperti itu. Komitmen itu tercermin dalam karya-karya awal saya yang berupa cerpen, walau mungkin masih sangat sederhana penggambarannya. Cerpen-cerpen awal ketika saya masih duduk di semester tiga berbicara tentang problem sosial, dari masalah judi, perampasan hak, penggusuran, dan lain-lain.
Nah, ketika saya berbicara tentang pelacuran dalam Lorong Tanpa Cahaya, saya tidak merasa asing menggeluti hal-hal yang berkaitan dengan itu. Paling tidak saya sudah biasa bicara tentang problem sosial. Terlebih lagi, aktivitas saya waktu itu sebagai seorang aktivis mahasiswa yang sering terjun ke rakyat bawah, mendukung "kematangan" berbicara tentang problem sosial.
Apa yang ingin saya capai dengan Lorong Tanpa Cahaya? Sederhana saja keinginan saya, novel saya akan dibaca, lalu pembaca berkontemplasi, merenung bahwa pelacur itu manusia yang tetap harus dihormati. Mereka adalah manusia yang harus dimanusiakan. Mereka juga harus bisa berubah kalau mereka punya keinginan untuk berubah, dan itu bisa saja berhasil.
TUAN MUSTAFA (selanjutnya saya panggil aja Tuan Mus). Saya mulai warkah ini berbentuk sebuah surat panjang, agar kau dapat paham arti sebuah isi, atau saya tulis saja dalam bentuk sajak, tapi saya takut Tuan Mus kembali terjebak dengan multitafsir. Karena itu, saya berpikir tidak perlu lakukan itu kendati saya sangat mahfum Tuan Mus adalah seorang penyair. Diruang ini juga saya tidak hendak memberikan sesaji atau khotbah jumat yang berulangkali di sampaikan di Mesjid, karena itu sudah tugas para khatib. Namun demikian, warkah ini harus saya utarakan, agar kita, saya, Tuan Mus, dan teman-teman lain dapat saling cerna makna sebuah polemik dan sebuah gelar.
Baiklah, Tuan Mus, saya mulai saja cerita tentang kita dengan bahasa saya yang ringan. Harapan saya, Tuan Mus dapat memaknainya dengan tidak lagi ‘mati terpingkal-pingkal’ karena tidak semua yang lucu itu ditertawakan, apalagi yang tidak lucu pun Tuan Mus tertawa.
Adalah Tuan Mustafa terpingkal-pingkal (saya tidak gunakan bahasa mati tertawa, karena takut nanti setelah mati, Mus tidak dapat lagi tertawa) membaca artikel saya di Aceh Institute. Saya dapat membayangkan raut wajah Tuan Mus memerah meski dia merasa lucu sehingga terpingkal.
Mengenai tuduhan Tuan Mus terhadap saya yang tidak nyambung dengan masalah yang sedang dibicarakan di Aceh Isntitute, saya coba jelaskan di warkah ini sebelum polemik sastra ini benar-benar kita jadikan sebuah perdebatan sehat, panjang, dan menguntungkan.
Pertama, saya melihat perdebatan warna dan identitas lokal sudah mencapai kerucut dengan penjelasan Tuan Mus tentang apa itu identitas lokal, apa itu warna lokal, dan sebagainya. Oleh karena itu, setelah tulisan Tuan Mus hingga beberapa hari sudah dipajang, tidak ada lagi yang balas. Bukan mustahil kalaupun ada yang membalas, masalah yang dibicarakan berputar di tempat, paling kalaupun bertambah, bukan subtansinya, melainkan contoh-contoh yang semakin diperbanyak. Misalkan saja, hari ini Tuan Mus memberikan contoh “Sintren”, bisa jadi besok contoh karya lain yang tidak jauh bergeser dari warna Sintren. Jadi, saya pikir, masalah “warna dan identitas lokal” dalam sebuah karya sastra sudah mencapai kerucut. Maka Tuan Mus terlalu ambisius dan berapi-api dengan menantang Sulaiman tripa dan Kemal Fasya untuk kembali kepada masalah semula. Secara tidak langsung, Tuan Mus menantang Sulaiman Tripa dan Kemal untuk memeras pikiran dan melawan opini Tuan Mus. Waw, perlu diacungkan jempol untuk Tuan Mus dalam keberanian satu ini.
Kedua, saya tidak tahu apakah memang ada pelarangan di ruang ini (www.acehintitute.org) untuk mengembangkan polemik atau menghadirkan polemik baru sebagai sebuah wacana? Jika ada, saya minta maaf, karena sudah lancang mengirimkan isi hati saya di ruang ini. Semoga pemangku web ini dapat menjawabnya sehingga bagi penulis lain yang hendak masuk, tidak dicap lagi sebagai orang yang “tidak nyambung”.
Semula saya berpikir, kita bebas menawarkan polemik apa saja dalam ruang diskusi ini. Apalagi, setelah membaca artikel Tuan Mus yang mencoba mengerucuti masalah warna dan identitas lokal. Oleh karena itu, saya mencoba menawarkan polemik baru yang menurut hemat saya memang perlu didiskusikan, yaitu mengenai sastrawan dan calon sastrawan yang pernah ditawarkan Tuan Mus di Serambi Indonesia.
Sesungguhnya, saya tidak ingin mengulang ucapan yang sudah saya lontarkan sebelumnya, karena nanti dinilai saya terlalu mendominasi khatib. Namun, kiranya masalah sebuah gelar “sastrawan” perlu saya detailkan mengingat penilaian Tuan Mus bahwa penulis di koran lokal tidak layak disebut sebagai sastrawan, kendati yang ditulisnya adalah prosa (baca: sastra).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terbaru (2005:1002), sastrawan adalah ahli sastra, pujangga, pengarang prosa dan puisi. Sastrawan juga dikatakan sebagai orang cerdik pandai, cendikiawan.
Dari defenisi di atas, jelas bahwa setiap orang yang menulis prosa (sastra) dikatakan dengan sastrawan. Di sana tidak dijelaskan penulis sastra itu harus menembus media nasional dan tidak pula dikatakan bagi penulis lokal sebagai calon sastrawan. KBBI juga tidak membedakan antara penulis sastra profesional dengan sastrawan, karena jika mengacu kepada definisi sastrawan, penulis sastra profesional juga termasuk kategori sastrawan. Tentunya, sebagai penulis profesional, bukan imbalan yang diharapkan seperti harapan Tuan Mus (lihat artikel Mus, paragraf enam).
Kendati sastrawan merupakan sebuah gelar kepada setiap penulis prosa, bukan berarti setiap orang berhak menyandang gelar sastrawan. Sebab, sastrawan bukanlah sebuah gelar yang diperoleh melalui pendidikan formal seperti mendapatkan gelar sarjana, master, doktor, profesor, dan sejenisnya. Sastrawan merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang atas apa yang dilakukannya terhadap dunia sastra. Pengakuan yang diberikan tidak harus menempuh acara seremonial segala seperti orang memberikan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa. Jadi, siapa pun berhak mendapatkan gelar sastrawan selama dia masih melakukan kegiatan menulis prosa dan selama orang mengakui dia sebagai sastrawan.
Saya kira, sampai di sini dulu warkah ini. Semoga dengan kehadiran warkah ini Tuan Mus tidak jadi mati karena menertawakan sastrawan lokal. Orang Aceh yang enggan mengirimkan tulisannya ke koran nasional, tidak selalu harus kita maknakan takut dengan kebesaran nama koran nasional. Namun, boleh jadi, masih ingin memperkuat atau membagi ilmunya di Aceh terlebih dahulu. Kelak, ketika tiba masanya, mereka akan tampil. Semoga! (HRN)
Manado
Baca Puisi 59 Jam Marathon Masuk MURI
Kamis, 19 Agustus 2004 | 15:43 WIB
TEMPO Interaktif, Manado: Pembacaan puisi selama 59 jam secara marathon masuk dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Pembacaan puisi yang dilakukan mulai Selasa (17/8) pukul 00.00 hingga Kamis (19/8) pukul 11.00 Wita itu diprakarsai Reiner Emyot Ointoe. "Sebanyak 59 orang telah membacakan karya puisi ini selama 59 jam nonstop," kata ketua panitia pelaksana Cecep Kamuji, usai MURI menyerahkan penghargaan, Kamis (19/8) siang.
Baca puisi 59 jam yang dikaitkan dengan 59 tahun kemerdekaan Indonesia ini diselenggarakan pegiat Amatir Sastra (PAS). MURI memberikan penghargaan kegiatan ini dengan nomor rekor:1234/R.MURI/VIII/2004, yang
ditandatangani Jaya Suprana. Paulus Pangka dari MURI langsung memberikan penghargaan setelah rekor 59 jam
baca puisi ini.
Menurut Cecep, sedikitnya 2000 karya puisi yang telah dibacakan selama 59 jam itu. Semua puisi yang dibacakan adalah karya bangsa Indonesia sendiri. Baik itu karya penyair nasional dan Manado, Sulawesi Utara. Penyair di Manado juga membacakan puisi 59 huruf dan 59 kata, seperti karya Ahmad Alheid.
Puisi-puisi yang dibacakan antara lain karya Cecep Syamsul Hari, Chairil Anwar, Dorothea Rosa Herliany,
Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, Hamid Jabbar, Husni Djamaluddin, J.E. Tatengkeng, Joko Pinurbo,
Kuntowijoyo, Ratna Sarumpaet, Remy Sylado, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisyabana dan
Taufiq Ismail. Sedangkan karya penyair di Manado antara lain, Vicks Chenora, Fredy, Hadi, Iverdixson Tinungki, Air Darea dan Anto.
Cecep mengatakan, gagasan pembacaan puisi dari Reiner Ointoe ini sudah dirancang lama. Saat peluncuran buku
kumpulan puisi Opus karya Reiner, seminggu sebelum kemerdekaan rencana ini dimatangkan lagi. "Kami bukan
ingin mengejar rekor ini," katanya.
Tetapi, kata Cecep, momen ini untuk mengumpulkan kembali para pegiat sastra di Manado. Soalnya, sudah bertahun-tahun jarang sekali ada kegiatan pembacaan puisi yang melibatkan banyak penyair di Manado. Banyak pegiat sastra yang jalan sendiri-sendiri dan tak lagi menampilkan karya-karyanya yang bermutu.
Tak hanya pegiat sastra yang tertarik membacakan puisi. Terdapat juga beberapa pembaca tambahan yang
mengisi interval waktu lima menit. Mereka ini datang dari kalangan eksekutif dan legislatif. Di antaranya
Walikota Manado Wempie Frederik, Wakil Walikota Teddy Kumaat dan Ketua DPRD Sulawesi Utara Syachrial
Damopolii.
Wakil Walikota Manado Teddy Kumaat menyambut baik ide kreatif pembacaan puisi 59 jam ini. Dengan kegiatan
ini Manado akan lebih dikenal. Selama ini Manado yang tidak berpenduduk banyak ini dikenal baik dari sisi positif dan negatif. "Ide rekan-rekan seniman ini akan mengenalkan Manado dari sisi yang lain," ujar Teddy.
Kegiatan pembacaan puisi ini berlangsung di Taman Kesatuan Bangsa (TKB) patung Dotu Lolong Lasut, pusat
kota Manado. Sejumlah penikmat sastra di Manado juga mengharapkan kegiatan seperti ini dapat dilakukan
secara rutin. Minimal sebulan atau tiga bulan sekali. Tak hanya menunggu momen perayaan kemerdekaan.
p:ppiindia@yahoogroups.com 19 December 2007 • 10:27AM +0800
[ppiindia] Wawancara Binhad Nurrohmat di Jurnal Nasional (Sastra Indonesia Sakit)
by Boni Triyana
Reply to author Reply to group
Dari rubrik Gelanggang, Jurnal Nasional, 16 Desember 2007
Wawancara dengan Binhad Nurrohmat
SASTRA INDONESIA TIDAK SEHAT
Binhad Nurrohmat, si penyair kuda ranjang ini selalu punya argumen yang memikat ketika dia menjelaskan mengapa puisinya selalu berkeliling seputar tema tubuh. Baginya, tubuh adalah kultur, adalah konteks yang perlu diterjemahkan ke dalam teks. Ia juga memaknai tubuh lebih dari sekadar onggokan daging yang hanya mengikuti perintah pikiran dan perasaan. Melalui tubuh ia menemukan kejujuran, kebohongan, kemanusiaan, dunia, perempuan, bahkan...Tuhan. Kepada Jurnal Nasional ia menuturkan gagasannya tentang mengapa ia menekuni tubuh, pula bagaimana tanggapannya terhadap sastra Indonesia yang dikatakannya sedang tidak sehat.
Adakah perdebatan sastra Indonesia sekarang ini?
Ada. Tapi saya kira perdebatan akhir-akhir ini walaupun terselengara, gagal menukik pada gagasan. Tetapi lebih kepada kepentingan kelompok. Lebih kepada interest...
Menyangkut komunitas sastra?
Saya kira tidak juga. Secara pribadi saya cukup intens bergaul dengan komunitas di daerah. Tetapi yang jadi masalah saya kira bukan sastranya, tapi sastrawannya. Mental sastrawan itu kadang-kadang terlalu berlebihan memandang Jakarta. Padahal, kalau mereka diuntungkan dengan pihak-pihak yang ada di Jakarta, baik dengan lembaga maupun media, ya mereka senang aja. Tapi kalau sebaliknya akan muncul semacam ketidaksukaan, antipati dan lain sebagainya. Jadi problemnya itu sebetulnya mental sastrawan kok, jadi bukan gagasannya.
Mereka itu tidak pernah membicarakan karya dengan benar. Mereka hanya mengklaim bahwa karya ini tidak bagus, karya itu jelek dan sebagainya, tapi tidak memberikan sebuah kajian. contoh karya saya (Bau Betina, Red), saya ragu, mereka memberikan penilaian aneka macam itu sudah membaca karya saya. Saya yakin mereka nggak baca. Saya tidak masalah dikaji dengan hasil apa pun, asalkan itu kajian. Tapi kalau klaim, apa pun hasilnya, baik disebut baik atau buruk, mencaci atau memuji, saya gak mau terima kalau itu klaim. Omong kosong semua itu. Kalau kajian, baik hasilnya bagus maupun buruk, saya terima.
Saya memosisikan diri sebagai penyair yang mencoba menghargai tradisi. Maksud saya, puisi Indonesia itu sudah punya jejak yang sangat panjang. Cara saya menghargai tradisi adalah dengan cara mencoba meneruskan tradisi ini dengan cara mencari kemungkinan-kemungikan.
Dalam puisi-puisi Anda, tubuh menjadi pokok pembahasan. Kenapa Anda sebegitu terobsesinya dengan tubuh?
Kenapa saya memilih subyek tubuh dalam karya-karya saya? Karena saya kira hal itu dalam puisi Indonesia belum jadi perhatian yang serius. Kenapa saya pilih itu, karena secara personal saya punya problem dengan persoalan tubuh. Secara sosial itu juga jadi masalah. Dan ternyata dalam puisi Indonesia itu juga belum menjadi perhatian. Selama ini tubuh tak menjadi satu fokus yang digeluti secara lebih luas dan mendalam. Sementara tema lain seperti lingkungan, sosial, politik itu sudah ada. Tapi tubuh, katakanlah kalau orang bilang seksualitas, itu belum. Lagi pula puisi-puisi saya itu tidak hanya mengangkat persoalan tubuh dalam pengertian seks semata, bukan hanya biologis, tapi juga sosiologis bahkan juga teologis. Saya menggarap tiga hal ini: tubuh sosial, biologis dan teologis. Jadi dalam puisi saya, Kuda Ranjang, selalu ada tiga unsur itu, kalau saja orang mau jeli membaca. Bahkan ada yang bilang puisi saya itu religius, karena ada unsur pertentangan di sana. Khususnya
ketika menyikapi tubuh itu dengan rasa dosa, semisal ada kata maksiat di sana. Nah kata maksiat itu kan merujuk kepada konsep agama, religi.
Sepertinya Anda pembaca Michel Foucault atau jangan-jangan Anda pengikut Foucault?
Saya tidak suka mencari-cari konteks pemahaman saya terhadap kenyataan dengan basis filosofis, saya lebih cenderung pada empiris, setelah itu baru saya cari literatur, saya baca Foucault dan sebagainya. Saya kemudian mencari jawaban yang sifatnya personal dan subyektif, setelah itu saya mencari referensi-referensi, tapi saya yakin Foucault memang sudah menyelidiki soal tubuh, tetapi tubuh yang konteks ruang waktunya berbeda dengan sekarang. Jadi saya yakin bahwa seandainya kita serius mendalami persoalan tubuh, kita juga akan bisa menemukan soal baru tentang itu. Dan saya berani menempuh itu dengan segala konsekuensinya. Bagi saya tubuh adalah semesta. Di dalamnya kita bisa menemukan banyak hal. Kalau kita mau membaca jejak-jejak peradaban manusia bisa juga dilihat dari bagaimana tubuh itu hadir. Dengan tubuh itu bisa kelihatan semua.
Jadi bagaimana riwayatnya sehingga Anda bisa menekuni persoalan tubuh ini?
Tentu itu ada riwayatnya, kenapa sampai menganggap tubuh itu sebagai basis kultural saya. Saya punya sejarah yang sangat individual. Berawal ketika saya merasa tak punya kebudayaan kolektif. Tidak sebagaimana Rendra yang punya latar belakang kultural Jawa. Saya orang Jawa, tapi besar di Lampung, dan saya berasal dari keluarga santri yang tidak kenal kebudayaan dalam arti kesenian dan segala macam itu. Saya cemburu karena melihat penyair itu punya latar kultural, Sutardji punya Melayu, Rendra punya Jawa, terus saya bertanya sebenarnya inti budaya saya itu apa? Ternyata keintiman pada tubuh. Bayangkan, Rendra bicara tentang sesuatu hal dengan merujuk kepada mitologi Jawa, dari mitologi wayang misalnya. Sementara saya tidak, lantas saya sadar kalau saya intim dengan tubuh saya: mandi, makan, tidur juga dibawa.
Sesederhana itukah?
Ya, setelah sadar itu, saya menjadi peka dengan tubuh saya. Saya seperti orang primitif ketika baru sadar meraba, pada masa mengenal fase biologis. Saya juga kemudian sadar kalau tubuh juga secara sosial punya masalah, ditindas norma, kaidah dan segalanya. Misalnya kita keluar harus pakai baju tapi kalau di kamar mandi tidak merasa malu, tapi kenapa di luar rumah kita merasa rikuh. Ooo.. ini berarti ada masalah. Ternyata tubuh juga punya dimensi sosiologis, karena dengan tubuh ini kita bisa memaknai manusia dan juga Tuhan. Makanya dalam puisi saya judulnya Permohonan berbunyi Tuhan beri saya perempuan, perempuan beri saya Tuhan. Juga tubuh yang profan ini punya peran yang sakral. Jadi makna duniawi maupun makna di luar itu melalui tubuh. Karena tubuh itu lebih dulu menyerap kenyataan ketimbang pikiran. Kita tidur pun tubuh tidak tidur, tapi pikiran saja yang tidur. Tubuh tetap merekam kenyataan. Jadi tubuh itu lebih dulu memahami kenyataan tentang dunia daripada pikiran
manusia itu sendiri.
Pencarian Anda terhadap dunia ini jadi dimulai dari tubuh juga?
Betul, ini jalan spiritual saya untuk memahami dunia, bukan saja untuk memahami diri saya. Saya memahami dunia itu melalui tubuh, sebagaimana saya menyadari realitas ketuhanan dengan iman. Tubuh itu menjadi medium saya untuk mencapai keimanan. Tanpa tubuh saya takkan pernah jadi manusia, jadi arwah saja. Artinya tubuh itu punya peranan luar biasa dalam kehidupan manusia. Tapi malangya tubuh itu seringkali digunakan oleh manusia untuk tujuan-tujuannya sendiri dengan cara menindas: tidak boleh begini, begitu...tujuannya untuk memuliakan, tapi dengan cara yang menindas. Saya pernah menulis sebuah esei soal itu di Jawa Pos, judulnya Merengkuh Makna Tubuh. Dalam tulisan itu saya memberikan fakta sejarah tentang bagaimana tubuh diperlakukan dan tujuannya apa. Bahkan Nietzche juga bilang soal tubuh dalam Kepada Kaum Pembenci Tubuh.
Apa yang hendak Anda buktikan dengan proyek tubuh itu?
Tentu saja saya sadar, ketika saya memutuskan untuk mengungkap tentang tubuh, ada persoalan yang melingkupinya. Sehingga dengan demikian saya mencoba memberikan satu upaya, paling tidak kepada diri saya sendiri, tentang bagaimana sih tubuh itu sejauh yang saya bisa pahami? Tentu saja hal ini bisa menimbulkan masalah karena disalahpahami. Lantas karena saya menulis, jadi karya saya itu dipublikasikan. Saya berharap bisa melakukan semacam korespondensi. Sebenarnya tubuh itu bagaimana? Saya mencoba menawarkan bahwa menurut saya itu tubuh begini. Ternyata korespondesi itu berjalan walaupun sangat keras karena karya saya disalahpahami ketika tubuh diartikan hanya dari sudut pandang seks belaka, sudut pandang yang sangat biologis. Dari situ saya punya indikator kenapa puisi saya selalu dilekatkan dengan urusan biologis, ternyata itulah cermin masyarakat kita dalam memahami tubuh.
Dari sana pula saya mendapat feedback, oohh ternyata benar dugaan saya. Tubuh adalah kultur saya. Tubuh medium saya untuk berbicara. Saya merasa yang intim dalam hidup saya itu bukan wayang, bukan serat atau babad tapi tubuh. Apa boleh buat, saya menjalani itu. Saya menyadari sesuatu yang sebetulnya sudah lambat saya sadari. Seharusnya saya sudah sadari sejak awal. Tubuh itu dahsyat. Makanya di dalam filsafat banyak yang menyoal tubuh mulai dari Nietzche sampai dengan Foucault. Bahkan Nietzche bilang dalam tubuhmu ada yang sesuatu yang lebih arif daripada akal pikiranmu. Tubuh itu tak bisa berbohong, tapi pikiran bisa. Apa yang dilakukan tubuh seandainya hanya mengikuti suara hati itu, luar biasa dunia ini. Tapi kalau tubuh diperalat oleh pikiran, itu jadi lain lagi.
Tapi kan itu kenyataan, bahwa masyarakat kita belum bisa menerima soal-soal demikian? Jadi apa yang Anda inginkan?
Saya berharap masyarakat punya pemahaman yang lebih kaya. Barangkali puisi saya itu hanya kata kunci saja untuk memahami tubuh terserah mereka mau bagaimana. Paling tidak secara pribadi saya berusaha memperkaya wacana dalam dunia sastra Indonesia. Dalam kesusasteraan, karena produk kreatif, harus ada unsur kebaruan. Dalam masyarakat itu yang berlaku adalah kesepakatan. Di dalam masyarakat yang tidak ilmiah itu jadi makin sulit karena yang berlaku dogma, kaidah dan sebagainya.
Sastra kan identik dengan bahasa yang berbunga-bunga, kaya dengan metafor dan simbol, tidak eksplisit seperti pada puisi-puisi Anda?
Saya bisa menjelaskan soal metafor itu. Kalau dibaca dan ditafsir dengan benar apa yang saya tulis itu juga mengandung simbolisasi dan metafor. Namun demikian, walaupun saya dituduh menulis puisi yang tidak simbolik dan tidak metaforik itu bukan masalah besar bagi saya.
Sebagian pengamat, semisal Maman S Mahayana mengatakan, sebaiknya karya sastra itu tidak eksplisit, dengan kata lain tidak vulgar. Bagaimana menurut Anda?
Sekarang pertanyaannya apakah betul kalau sastra itu tidak boleh bicara secara langsung, secara eksplisit? Begini, dalam puisi Taufik Ismail itu apa ada yang menggunakan metafor? Jadi saya kira pandangan sastra harus metafor, harus simbolik, itu bukan satu-satunya kebenaran. Kita baca juga puisi Chairil Anwar, puisinya kan bisa kita pahami secara letterlijk maupun secara metafor, aku kalau sampai waktuku misalnya. Itu bisa dipahami secara letterlijk tapi juga bisa dipahami secara metaforik. Jadi kalau ada orang yang mengatakan puisi saya tidak metaforik, ah itu bukan masalah. So what gitu loh? Kenapa dengan itu semua? Tidak masalah. Apalagi kalau kita baca karya-karya asing, banyak yang eksplisit.
Kumpulan puisi Anda Bau Betina dianugerahi karya sastra terburuk Kakus-Litiwa oleh Wowok Hesti Prabowo cs. Apakah Anda merasa dihakimi dalam urusan ini?
Tidak. Saya kira persoalannya bukan terletak pada sastrawan menghakimi, tetapi lebih karena kondisi kesusasteraan Indonesia yang sedang tidak sehat. Karena tidak ada lembaga kritik yang berwibawa. Padahal salah satu cara untuk mengukur sebuah karya itu bagus atau tidak harus dengan kritik sastra. Tidak dengan klaim. Jadi dari sana kita bisa menilai kalau kesusasteraan kita sedang tidak sehat. Jadi ada penghakiman, penghujatan, hanyalah sebuah efek dari sebuah kondisi yang tidak sehat. Seandainya ada lembaga kritik yang dipercaya, berwibawa, maka tidak ada penghakiman. Sekarang tidak ada kritikus demikian. Mereka itu (penyelenggara Kakus-Litiwa Award, Red) juga menghubung-hubungkan sesuatu yang tak ada kaitannya. Tiba-tiba ngomongin sastra dengan dana asing, tidak ada itu! Lantas juga ngomong soal komunitas, apa itu, tak ada hubungannya? Lalu mereka juga ngomong soal standar estetika, lha yang bikin standar itu siapa? Saya kira itu karena efek karena tidak ada lembaga
kritik yang berwibawa. Bahkan tidak ada lembaga kritik, jangankan lembaga kritik yang berwibawa, lembaga kritiknya saja tidak ada. Itulah yang membuat tidak sehat. Munculah kemudian klaim, mengatakan sebuah karya bagus atau jelek berdasarkan komentar. Masalah ini sangat rawan, rawan terhadap apresiasi dan perkembangan sastra itu sendiri. Ini baru pertama kali terjadi dalam dunia kesusasteraan kita ada penghargaan sastra terburuk yang diberikan oleh sesama sastrawan. Dulu di Jerman pada zaman NAZI ada pemberian hadiah sastra bobrok, tapi itu kan kekuasaan yang memberikan, politik, bukan sesama sastrawan.
Tapi itu sah-sah saja dalam alam demokrasi, bukan?
Saya memahami demokrasi tidak seperti itu. Ini adalah produk dari dunia kesusasteraan yang tidak sehat. Terlalu bagus kalau dikaitkan dengan demokrasi. Bahkan untuk disejajarkan dengan dagelan pun terlalu bagus. Ini lebih kepada cermin dari sebuah keadaan yang tidak sehat.
Lantas Anda memandang ini sebagai gejala apa?
Saya kira ini semacam warning tentang sastra kita yang sakit. Saya lebih memahami ke sana. Kalau sudah terjadi seperti ini yang harus dilakukan adalah menghidupkan lembaga kritik supaya terhindar dari kondisi semacam sekarang. Sekarang ini sastra kita rapuh, ada goncangan sedikit saja sudah geger. Contoh, ada jurnal Boemipoetra (dikelola oleh penyair Tangerang Wowok Hesti Prabowo, Red) saja sudah bikin orang geger, itu bukti kalau kondisi sastra kita rapuh.
Anda kini dicerca, karya Anda oleh Wowok dibilang terburuk dan mengalahkan 10 karya terburuk lainnya? Apakah Anda masih melanjutkan proyek tubuh dalam puisi-puisi Anda?
Karya sastra tugasnya dituliskan. Mau ada yang menerbitkan atau tidak itu gak jadi soal. Pasti nanti akan ada yang baca. Coba saja itu babad tanah jawi, tidak diterbitkan, tapi sekarang kan dibaca. Dulu saya punya cita-cita seandainya puisi saya tidak dimuat, tidak diterbitkan, saya bisa saja menempel puisi-puisi saya di bis kota, di tembok-tembok kota. Karena saya kira yang terpenting adalah bagaimana menuliskannya. Beberapa puisi dulu dianggap jelek, kurang baik. Semisal milik Chairil Anwar yang dulu tak dipandang sama sekali. Tapi ada HB Jassin yang punya penilaian lain terhadap karya Chairil, tokh sekarang dibaca juga. Mungkin nanti, beberapa generasi yang akan datang, puisi saya juga akan dibaca. Saya menulis bukan untuk hari ini saja, tapi pada sebuah masa kemudian, untuk generasi mendatang.
Tapi kan sebagai sastrawan yang juga produk dari sebuah kebudayaan massal, Anda juga harus memahami pada masyarakat mana Anda berada?
Oh ini imajinasi. Kalau karya seni ditaruh ukurannya pada masyarakat semua itu tidak akan bunyi. Coba saja ambil lukisan Picasso ke tengah masyarakat, pasti muncul komentar lukisan apa ini? Lukisan sampah.
Jadi Anda memisahkan kesusastraan atau kesenian itu dari masyarakat?
Saya tidak terbelenggu pada pengertian seni untuk rakyat atau seni untuk seni. Ada seni yang bisa untuk seni sekaligus juga untuk masyarakat. Saya cair aja soal begitu. Ketika seseorang mengatakan seni untuk seni, itu berarti memagari dirinya sendiri. Atau seni untuk rakyat, itu juga memagari. Lantas apa ukurannya? Dulu ada pendapat seni tinggi, misalnya lagu Bethoven, tapi sekarang semua orang bisa menikmati Bethoven. Misalnya lagi dalam pengertian Pramoedya Ananta Toer seni untuk rakyat adalah seni yang menyuarakan penderitaan masyarakat. Lho, memangnya hanya rakyat kecil saja yang bisa menderita? Raja-raja juga bisa kan menderita? Bagi saya itu relatif. Bagi saya seni bisa menjadi untuk seni sendiri atau untuk rakyat. Yang menentukan itu mutu. Lantas siapa yang mengukur mutu, ya itu kritikus.
Sebagai penutup, kembali kepada soal eksplisitas dalam karya Anda. Bagaimana dengan puisi berjudul Berak pada kumpulan puisi Kuda Ranjang? Apakah itu tidak metaforis?
Ooo itu, Anusmu yang bagus// saban pagi mengangkangi kakus// yang tak bosan menunggu tahimu//. Itu orang kalo berpikir tekstual pasti bertanya apa artinya ini? Padahal itu metafor juga, tentang kesetiaan bagaimana kakus setia kepada anus. Jadi saya memetaforkan hal-hal yang dianggap sepele bahkan dianggap najis. Orang tidak menafsir, jadi yang timbul salah paham. Kalau menafsir pasti tidak akan berpikir macam-macam. Makanya saya cuma tertawa ketika orang ribut membaca puisi saya, karena saya sudah tahu mereka tidak melakukan penafsiran. Puisi saya itu soal kesetiaan, bayangkan kakus bekerja itu tanpa pamrih, selalu menunggu setiap pagi..ha...ha...ha...ha..
Bonnie Triyana
Mempersoalkan Sistem Pembinaan
Kesenian di Jakarta
Oleh Slamet Rahardjo Rais
Sabtu, 22 September 2007
Berangkat dari akar paling bawah masyarakat kita, sekelompok orang bergerak bersama menghimpun potensi diri. Kemudian menyatu bersama untuk melakukan serangkaian aktivitas sastra. Menyebutnya sekumpulan pegiat sastra. Itulah gambaran kecil sekelompok orang sastra membangun geliat sastra. Kemudian menyebut dirinya komunitas sastra. Dan lazim disebut sanggar, dapur atau bengkel, kelompok atau organisasi sastra, dan lain-lain penyebutan yang cukup banyak jumlah sebutan.
Komunitas sastra tak lain sosok bentuk kebersamaan dengan mengusung sejumlah agenda kerja bakti kegiatan sastra.Dengan merangkak sekalipun menghimpun orang, mengumpulkan dana dari masyarakat, dan menyatukan ide agar dapat terwujud kegiatan sastra.Dilakukan bersama aktivitas melalui kelompok agar dapat lebih menyempurnakan kemampuan menerima dan menyampaikan hal-hal yang bersifat apresiatif, mampu mencapai luas jangkauan wawasan, serta mempertajam keterampilan teknik dalam menyelesaikan proses kreatif dan menawarkan capaian nilai-nilai estetik kepada masyarakat.
Di situ individu-individu menangkap fenomena ide tentang sastra yang banyak bertebaran di atas permukaan masyarakat sastra. Komunitas sastra meletakkan dirinya menjadi bentuk kolektivitas, kemudian merupakan rumah tempat tinggal kreatif. Kesepakatan untuk selalu menjaga, dipelihara, dan dikembangkan sampai batas kemampuan untuk berkembang. Tentu dalam batas kemampuan mengumpulkan dan memiliki dana sebagai bagian sumber kekuatan energi. Seluruhnya dilakukannya dengan secara berdarah-darah. Sampai batas mana komunitas dapat diharapkan menjadi sebuah lahan persemaian menumbuhkan, dan mengembangkan kemampuan kreatif adalah sebuah renungan bagi siapa pun yang merasa sebagai peminat dan pegiat sastra. Sebuah perjuangan ! Sentuhan-sentuhan dialog kreatif itulah yang menggerakkan untuk sampai kepada capaian estetik dan sekaligus mengangkat karya-karya, internal dan external, kepada publiknya yang lebih luas.
Agaknya telah menjadi suatu pemahaman meluas bahwa karya-karya sastra, termasuk kegiatan sastra itu sendiri, menghadirkan kembali paparan tentang manusia beserta lingkungan hidup persekitaran yang mengelilinginya. Sajian tentang masalah-masalah moral, etika, pendidikan, tradisi kultural, dan lain-lain yang merupakan rangkaian arus proses pembelajaran bagi kemanusiaan kita. Sastra dan nilai-nilai kemanusiaan selalu menghendaki perubahan dinamik sebagaimana capaian perubahan yang dikehendaki oleh proses perjalanan budaya masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai peradaban. Kalangan sastrawan maupun peminat sastra menyadari betapa pentingnya makna sastra bagi msyarakat luas terutama kalangan pelajar, mahasiswa, dan kalangan generasi muda bangsa serta kalangan pendidik.
Sastrawan dari kalangan komunitas sastra yang tergabung dalam wadah kerjasama dan kemitraan antar komunitas/kelompok sastra telah berangkat ke berbagai sekolah/madrasah bergerilya untuk mengangkat posisi sastra yang nampak terabaikan. Menawarkan bentuk-bentuk apresisi, seperti: pelatihan pembacaan dan penulisan karya sastra, dialog kreatif sastra bersama guru kelas, dalam membantu meningkatkan penyelenggaraan extrakurrikuler di bidang sastra. Membangun suasana cinta dan minat baca, menuturkan kembali, kemudian menuliskannya berbagai fenomena yang telah tertangkap atas bacaan
Bukankah gambaran seperti di atas adalah latihan atau proses pembelajaran bagi siapa pun (tentu saja yang utama pelajar) untuk mencapai pencerdasan emosional dan intelektualitas ketika menangkap berbagai fenomena yang mengalir di persekitaran diri. Sekaligus mengexpresikan diri secara cerdas sebagai obyektivasi aktual (terutama ketika manusia bersentuhan antar manusia dan kelompok, dst).
Bagaimana mungkin mengingkari pentingnya makna sastra dalam membangun kebudayaan dan peradaban masyarakat bangsa. Keberadaan komunitas sastra adalah sebuah keniscayaan di tengah hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta dalam memberi pencerahan. Jakarta adalah kota urban yang sarat dengan berbagai ketegangan konflik pergeseran nilai-nilai atas berbagai perbedaan kepentingan dari kelompok maupun individual, bentuk-bentuk benturan dari premanisme yang banyak berkeliaran di masyarakat luas.
Komunitas sastra beserta kelompok kesenian yang lain seharusnya memperoleh pembinaan yang benar wajar dan sangat layak. Mengapa tidak!Bukan sekedar retorika mainan kata-kata.
Aktualisasi keberadaannya menyatakan, bahwa peran komunitas sastra dan kelompok kesenian yang lain itu pun telah memberikan kontribusinya dalam masyarakat. Dan sulit mengingkari atas kontribusinya dalam membangun dan mewujudkan Jakarta sebagai pusat kebudayaan. Wadah sastra( dan pewadahan kesenian lain) telah ditetapkan menjadi wadah kerjasama dan kemitraan antar sanggar /kelompok atau organisasi berkesenian. Memiliki SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai isyarat pengakuan dan sekaligus pembinaan atas beban tugas diletakkan ke pundaknya sebagai mitra kerja Pemda Provinsi DKI Jakarta dalam rangka lebih "memanusiakan " warga Jakarta di tengah rimba ketegangan konflik yang ada di masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan arah dan sistem pembinaan yang telah dilakukan oleh Pemda Prov. DKI Jakarta. Simaklah sejenak dalam realisasi pengucuran dana pembinaan kesenian. Tahun anggaran 2005, dana pembinaan kesenian untuk Dewan Kesenian Jakarta sebesar Rp 5.000.000.000,- Akademi Jakarta menerima Rp. 800. 000.000,- Lembaga Kebudayaan Betawi sebesar Rp.400.000.000,- Yay. WO. Bharata memperoleh kucuran Rp. 300.000.000,- sedangkan Miss Cicih sebesar Rp. 300.000. 000,-Sejumlah wadah kesenian sejenis 32 wadah memperoleh dana pembinaan sebesar Rp. 240.000.000,- Bila dibagi rata, setiap wadah memperoleh tak lebih dari Rp. 7.000.000.- Tetapi yang jelas wadah sastra memperoleh jatah tak lebih dari Rp. 2.000. 000,- untuk satu tahun. Tahun anggaran 2006 dan tahun 2007 Dewan Kesenian Jakarta sebesar
Rp. 6000.000.000,- untuk masing-masing tahun anggaran sedangkan Akademi Jakarta untuk masing-masing tahun anggaran memperoleh sebesar Rp. 800.000. 000,- Diterima oleh wadah sastra untuk tahun anggaran 2006 tak lebih dari Rp. 3000. 000,- Untuk tahun anggaran 2007, komunitas sastra serta komunitas kesenian yang lain, entahlah.
Bukan soal kecemburuan atau bukan, masalahnya adalah asas keadilan. Adalah bijak bila pusat-pusat kekuasaan dalam jajaran Pemda Provinsi DKI Jakarta yang memiliki otoritas pembinaan atas potensi sentra-sentra kesenian dan di dalamnya ada sastra, mampu melakukan komunikasi dalam bentuk pendekatan mitra kerja bukan pendekatan kekuasaan. Tentu dalam menangkap fenomena yang muncul atas aktualisasi realitas kebenaran. Dengan rasa ihlas yang tulus bisa menerima pemikiran-pemikiran baru. Kesadaran memiliki pemikiran-pemikiran baru. Kemudian mengapresiasi diri dalam menggunakan dan mendistribusikan kekuasaan dalam menghormati asas keadilan. Sejauh mana arah dan sistem pembinaan kesenian yang berkaitan dengan capaian asas keadilan berkaitan dengan kucuran dana pembinaan kesenian telah dilakukan!
Mengabaikan makna komunitas sastra adalah kebijakan yang sangat keliru, kalau tidak boleh disebut keteledoran yang sangat celaka. Komunitas sastra adalah tempat melahirkan, membina dan mengembangkan embrio-embrio yang sekaligus membesarkannya. Melalui komunitas sastra, lahir sastrawan-sastrawan.
Dewan Kesenian Jakarta saat ini bukan lagi sebuah pusat kesenian satu-satunya. Komunitas sastra dapat juga meletakkan dirinya sebagai pusat kesenian yang lain (baca sastra). Dalam kebangkitan komunitas sastra, beberapa komunitas sastra di daerah mampu menjadikan dirinya sebagai pusat sastra yang lain melalui berbagai kegiatan tingkat Nasional. dan bahkan tingkat regional dengan mendapatkan dukungan dan pembinaan dari Pemda masing-masing. Seperti: Medan, Riau, Lampung, Serang (Banten), DIJ, Bali, Mataram (NTB), Banjarbaru (Kalsel), Samarinda/Balikpapan (Kaltim), maupun Makassar (Sulsel), dan lain-lain.
Nampaknya dengan dana yang begitu besar Komite Sastra DKJ nyaris tak mampu menyelenggarakan kegiatan sastra yang memiliki daya tukik sebagai puncak-puncak apresiasi dan luas wawasan. Bahkan hanya merupakan kegiatan sastra yang tak memiliki daya tawar. Dalam gambaran kucuran dana seperti di atas, sungguh sangat disayangkan ! Lagi pula menuai kritik tajam banyak kalangan atas beberapa penyelenggaraan kegiatan sastra dengan tema-tema seks atau tema perkelaminan (dalasastra) Sebenarnya sejauh mana "estetika perkelaminan" dalam karya sastra mampu memberi pencerahan terhadap masalah-masalah moral bagi upaya pencerdasan kehidupan kemanusiaan yang beradab.
Berangkat dari sini, agaknya pusat-pusat kekuasaan dalam jajaran Pemda Provinsi DKI Jakarta yang memiliki otoritas menyusun arah pembinaan dan pengembangan di Jakarta agar bersedia membuat renungan: Siapa sebenarnya Dewan Kesenian Jakarta saat ini! Siapa sebenarnya Komite Sastra DKJ saat ini! Sebuah pertanyaan, "Adakah aroma suatu ideologi dalam sastra telah "bersetubuh" menggerayangi tubuh Dewan Kesenian Jaakarta saat ini?"
Maka, posisi Dewan Kesenian Jakarta agaknya perlu dikaji ulang kembali dengan memperhatikan fenomena kebangkitan komunitas di berbagai daerah dan di Jakarta sendiri. DKJ juga perlu selalu membaca dirinya sendiri, membaca fenomena yang muncul di sekitar dirinya. Sebagai perimbangan atas keberadaan DKJ (meliputi program dan realisasi atas program yang disusun DKJ) agaknya perlu membangun institusi pembanding yang juga melalui dana pembinaan dari Pemda DKI Jakarta. Agar muncul persaingan kreatif yang menyegarkan. Semuanya ke arah upaya mengembangkan kehidupan berkesenian yang lebih semarak bagi masyarakat Jakarta. Munculkan saja asas keadilan atas arah dan sistem pembinaan kesenian di DKI Jakarta.
Strategi arah dan sistem pembinaan kesenian di DKI Jakarta yang lain adalah meletakkan posisi DKJ sebagai konsultan dalam hal berkesenian di Jakarta. Bertugaslah sebagai fasilitator, transformasi dalam mengakomodir berbagai aspirasi yang muncul di kalangan masyarakat seni di Jakarta. Teknis operasional penyelenggaraan kesenian serahkan saja kepada suatu kepanitiaan yang berasal dari wadah-wadah kesenian yang sudah memiliki SK Gubernur DKI Jakarta. Tak usah sibuk dengan urusan yang bersifat teknis. Sebab kalian adalah para pemikir yang disimbolkan sebagai sosok para dewa yang hanya senang di awang-awang bukan di bumi
* Slamet Rahardjo Rais, penyair
tinggal di Cijantung-Jakarta Timur
Minggu, 09 September 2001
Mencari Mutiara dalam Tumpukan Sampah Saiber
Oleh Binhad Nurrohmat
Medium komunikasi teks sastra yang eksistensinya sudah jamak diakui atau dianggap mapan selama ini adalah medium lisan (oral) dan tulisan (cetak). Kedua medium ini telah cukup lama menciptakan wilayah tradisinya masing-masing dengan sangat elegan, berkepribadian, dan sama-sama memiliki topangan eksistensi yang relevan (sesuai sifat dan keunggulan mediumnya). Dalam konteks kekinian, medium sastra lisan eksis melalui deklamasi atau resitasi (pembacaan) di hadapan audiens. Sedangkan sastra tulisan hadir dengan usaha penerbitan berbentuk cetakan buku, jurnal, majaah, maupun koran.
Kini, banyak teks sastra dikomunikasikan melalui jaringan internet, sebuah kawasan maya, cyberspace. Perkara ini tentu masih relatif sebagai fakta baru dan bersifat alternatif belaka dalam konteks komunikasi teks sastra mutakhir di Indonesia dan mungkin juga diakui sebagai lompatan medium yang aktual dan fantastik. Meskipun demikian tindakan pemanfaatan teknologi komputer itu masih tergolong mengekor sektor lain. Dunia ekonomi, militer, kedokteran jauh lebih dulu memanfaatkan keunggulan teknologi komputer ketimbang sastra. Sebagai sebuah tradisi, sastra saiber (saya selalu riskan menyebut istilah ini) tnetunya masih terlalu muda, gamang, rapuh dan sibuk mencari-cari format yang tepat dan reisten -- begtiu banyak potensi kerentanan yang justru dimungkinkan oleh faktor keunggulan teknisnya sendiri. Dan saya kira tanpa adanya keunggulan teknisnya, sastra saiber belum memberikan apa-apa bagi khazanah sastra modern Indonesia.
Sejumlah situs sastra dibangun dan dikelola beberapa pihak dan menampung (mengakomodasikan) teks sastra dari para penulis maupun calon penulis, misal www.bumimanusia.or.id dan www.cybersastra.net. Oke, sebut saja fakta kecil ini sebagai ''sastra saiber'' -- sebagai nama sementara sekadar sebagai penanda yang mempermudah. Medium komunikasi teks sastra ini di luar dugaan ternyata ''merangsang'' banyak orang untuk menulis atau mengirimkan teks sastra. Sejumlah nama penulis baru (yang masih a-historis) bermunculan, termasuk beberapa dedengkot penulis senior yang populer.
Barangkali, situs sastra saiber ibarat alun-alun raksasa yang nyaris tak mustahil menghimpun siapapun dan sebanyak apa pun nafsu untuk menulis. Lalu lahir komunitas sastra saiber. Sastra saiber sepintas mencerminkan getaran ''sihir'' yang merangsang eforia menulis, menciptakan ruang demokratisasi menulis yang tak terkirakan kadar kebebasannya. Sastra saiber kemudian menjadi ekoogi teks yang rimbun dan ramai di balik kemayaan yang dingin dan misterius itu.
***
Watak akomodatif berlebihan dari pengelola sastra saiber justru merangsang risiko kontraproduktif -- selama ini terus-terusan coba disangkal dan dicarikan apologi atau argumentasi pembelaan oleh para penggagas/pengelola situs sastra saiber -- sehingga cuma melahirkan bias-bias terlampau kenes, misal adanya sejenis fenomena ''unjuk rasa'' teks sastra dari sejmlah penulis a-historis; penulis kagetan yang terlampau genit menyikapi kebebasan menulis di medium itu. Akibat lain, hancurnya ''moralitas'' menulis yang ditandai munculnya teks-teks liar tak bertanggung jawab dan seakan buta dan tak pernah belajar menghargai peta pencapaian estetika sastra yang pernah ditempuh sebelumnya. Semangat besar tanpa diimbangi kemampuan menilai dan agenda kualitas cenderung cuma melahirkan pekerjaan naif dan arogan.
Saya kira dari penulis a-historis musykil diharapkan kualitas. Dalam konteks sosial masyarakat kita menulis bukan tradisi individu yang kuat dan mapan. Tradisi lisan yang memasyarakat dan kuat membuat individu kita harus kerja keras dan intensif membangun tradisi menulis. Biasanya, para calon penulis menguji diri lewat sayembara penulisan atau seleksi ketat aparat redaksional penerbitan atau media massa. Sampai saat ini membludaknya teks sastra saiber sepreti gadis iseng sendiri, tak menarik atensi kaum pembahas sastra atau kritikus. Saya kira ini pertanyaan besar menyangkut eksistensi sastra saiber. Saya tidak menyatakan kritik penentu segalanya atas nasib teks sastra. Namun, pembahasan kritikus, sekecil dan seringkas apa pun, adalah simbol representasi yang signifikan dari publik sastra, sebuah atensi berharga. Ketiadaan kritik itu adalah bukti bahwa sastra saiber masih jauh dari legitimasi publik sastra.
Kegenitan penulis a-historis menyikapi medium sastra saiber menciptakan benih-benih virus yang kelak merusak jejak atau peta pencapaian estetika sastra kita yang sudah dibangun dengan susah payah. Kegenitan ini sebenarnya bisa diatasi dengan membangun mental atau disiplin pengelolaan yang menerapkan kontrol mutual terhadap teks secara proporsional, bahkan ketat: mencari mana yang mutiara dalam tumpukan sampah. Saya kira di sini posisi dipertaruhkannya sikap tanggung jawab penulis dan pengelola situs sastra saiber terhadap peta pencapaian estetika sastra kita yang pernah ditempuh. Apalagi bila mempertimbangkan daya edar sastra saiber yang tak terbatas dan tak mustahil dianggap sebagai representasi sastra Indonesia mutakhir di mata publik sastra nasional bahkan internasional. Kecuali bila mereka tak peduli dengan peta estetika sastra dan keras kepala mengulang-ulang estetika usang.
Semestinya, penulis dan pengelola yang terlibat sastra saiber berani mulai belajar memahami peta sastra supaya bisa menilai pencapaian estetika dan sekaligus menyadari dan mempertimbangkan mediumnya yang kemungkinan bisa dianggap sebagai wakil dari wajah sastra kita juga, syukur-syukur lebih maju. Sungguh malang bila publik sastra terlanjur menilai sastra kita hanya dari salah sebuah medium sastra yang salah urus.
Masa depan sastra saiber ditentukan oleh moralitas menulis para penulis saiber (amatir atau profesional) dan kualitas visi pengelolaan yang mempertimbangkan peta sastra yang pernah ditempuh sastra yang telah dikembangkan di medium lain. Medium bukan penentu kualitas teks sastra. Teks-lah yang akan diacu sebagai referensi primer kualifikasi.
***
Pencapaian estetika bagi para pegiat sastra saiber semoga dijadikan sebuah agenda besar dan penting yang terus-menerus diproses dan dievaluasi secara intensif. Pergulatan kreatif sering butuh waktu panjang dan ekstra kesabaran, bukan kepintaran beretorika di hadapan publik sekadar membela-bela dan menutupi kekurangan. Sikap seperti ini potensial menciptakan sebuah biang kerok yang tak perlu.
Pegiat sastra saiber sebenarnya memiliki potensi lain yang lebih bisa produktif dan berharga bagi sejarah sastra karena kemampuan mediumnya yaitu kekuatan dokumentatif yang efektif dan efisien dan memiliki daya edar yang sangat luas. Keunggulan seperti ini tak dimiliki medium yang lain.
Peran dokumentasi sangat penting untuk menjaga keberadaan teks sastra dari kemungkinan ketaktercatatan. Setiap teks adalah data yang memiliki potensi sejarah tak terduga di saat lain. Kemampuan teknologi internet bisa diperankan secara optimal di sini; tanpa harus menumpuk-numpuk kertas yang riskan rusak oleh serbuan rayap serta ruang besar untuk menampungnya dan sejumlah pegawai, semacam Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dengan komputerisasi atau internet publik sastra bisa mengakses data teks sastra di mana pun dan kapan pun berada cukup dengan memencet tombol-tombol yang diperlukan sesuai kebutuhan.
Usaha dokumentasi yang berhasil punya signifikansi tersendiri dan fundamental bagi ekologi sastra yang sehat dan konstruktif. Limpahan teks sastra saiber bisa menjadi kekayaan data yang sangat bermanfaat bagi banyak pihak, terutama peneliti sastra akademis. Kontribusi seperti ini saya kira tak kalah harganya ketimbang capaian estetika sastra. Jika estetika adalah sesuatu yang istimewa, maka dokumentasi juga keistimewaan yang lain. Setiap peran yang berkualitas tak akan pernah menjadi sia-sia.
***
Isu kecil tentang sastra saiber sampai saat ini (di media cetak maupun internet) masih sekadar sensasi kecil yang melingkar-lingkar tanpa titik temu, visi yang kabur dan tak begitu peduli bila harus bersentuhan dengan pergulatan estetika sastra selama ini dan tampak kelewat reaksioner terhadap tawaran dialog yang produktif dan visionis dari pihak-pihak lain -- mungkin terlanjur dinilai kurang sepaham secara berlebihan atau a-priori.
Mungkin penulis, penggagas dan pengelola sastra saiber terhantui obsesi untuk cepat memiliki sebuah lebel eksistensi medium yang otonom atau semacam predikat sastra tertentu. Ambisi ini justru akan menggilas keasyikan dan keikhlasan menulis. Saya kira hal terakhir ini yang dimafhumkan, sehingga tak perlu lagi terjadi perdebatan berlarut-larut yang mubazir.
n penulis adalah penyair dan pengamat sastra, tinggal di Jakarta.
NESTAPA, seperti juga takdir, tak semata dirajahkan pada telapak tangan, sehingga kita mungkin mampu membacanya sejak awal. Ketika maut datang dalam bentuk yang tak terpikir oleh kita, bahkan Tuhan seolah menghendaki kita tak siap. Membayangkan kelemahan manusia, kadang-kadang muncul perasaan ganjil, namun itulah yang terjadi. Sebagaimana puisi-puisi dalam buku ini.
Kesedihan pada akhirnya sulit diwakili kata-kata. Tapi bukan berarti pelukisan itu kita hindari. Sebagai keprihatinan paling sederhana, kita mencoba melakukan seperti yang tersurat pada judul salah satu puisi dalam buku ini: Kalau Bukan Penyair, Lalu Siapa? Bahkan, sekalipun (seperti yang juga diangkat sebagai judul puisi): Kita Selalu Terlambat, akan tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Dengan cara dan sudut pandang masing-masing, para penulis puisi (atau kita sebut penyair?) diberi kesempatan untuk menyampaikan empati, reaksi, simpati, sikap, dan pandangannya terhadap sebuah musibah besar dengan kata-kata. Dengan bahasa. Dengan sederet aksara.
Hampir kita tak percaya. Jogjakarta, sebuah kota yang tenang dan santun, tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 5,9 dalam skala Richter. Saat itu subuh baru saja berlalu. Fajar semburat muda. Namun Sabtu, 27 Mei 2006 itu, bencana telah mengubah paras anggun Jogjakarta dalam 57 detik saja. Segala yang tertib mendadak poranda. Suasana tenang tercabik jerit ketakutan, rasa ngeri yang tak terperi. Kecemasan berminggu-minggu terhadap ancaman lava Gunung Merapi membuat banyak orang salah sangka. Justru lempeng sepasang benua nun di dasar lautan yang menggeliat, bergerak saling menyesuaikan diri, menjadi episentrum yang menyebabkan sekian ribu rumah runtuh serentak. Di bawah bangunan yang kemudian berserak itu, penghuninya nyaris tak sempat menyelamatkan diri. Beberapa hari kemudian tercatat lebih enam ribu orang tewas sebagai korban.
Kini, peristiwa itu telah berlalu seratus hari. Atau baru seratus hari? Waktu sangat lambat beranjak ketika seluruh gerak kehidupan diliputi perasaan duka. Ketika sejumlah hari merupakan rangkaian kesulitan, setelah pengalaman kehilangan yang luar biasa menyedihkan. Sementara uluran tangan para relawan, bantuan dari banyak penjuru, tak sekaligus mampu membuat mereka bangkit berdiri. Selain fisik yang memang kehilangan daya, sesungguhnya perasaan mereka lebih terpuruk. Trauma menyebabkan situasi dan kondisi batin mereka kehilangan harapan. Jalan seolah buntu, masa depan berwarna gelap. Apakah kehidupan harus berhenti?
Dukalara itu tak hanya dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tak lagi memiliki apa-apa, selain atap langit. Kata seorang penyair: “Jogja datang kepadaku dengan tubuh penuh luka…” Melihat itu, kita semua gemetar. Kita disadarkan pada sebuah kekuatan yang tak terjangkau khayalan. Ada Maha Empu yang berkuasa atas peristiwa ini. Seperti kesaksian penulis puisi paling belia: …tembok-tembok digelombangkan… Ya. Atas nama alam kita hanya boleh pasrah, karena memang bukan harus dilawan. Meskipun manusiawi jika kita merasa murka, kecewa, dan sempat menilai peristiwa ini sebagai ketidakadilan. Tetapi siapa sanggup mengurai misteri bumi dengan keterbatasan daya pikir kita?
Seratus hari tak serta-merta menghapus luka itu. Sedu sedan masih terdengar di bilik hati masing-masing. Getaran gempa masih terjadi sesekali. Negeri ini, setelah Aceh dan Nias, masih menyimpan nyeri. Setelah Jogjakarta, bahkan kemudian Pangandaran dan Cilacap juga dicium tsunami. Satu demi satu reruntuhan perlu ditata kembali. Dengan jiwa yang perlahan bangkit lagi. Kita, yang dekat maupun jauh dari ukuran jarak, terus berusaha mengobati. Di antaranya dengan cara menulis puisi.
Ekspresi yang diungkapkan dengan pelbagai perasaan itu perlu wadah. Di antaranya, tentu media massa yang kemudian menyiarkannya. Tanda, atau lebih ‘dramatik’ disebut jejak, perlu diawetkan dalam sebuah buku. Setidaknya untuk mengenang, bahwa pernah ada dukalara yang menimpa saudara-saudara kita. Dalam upaya ini, Komunitas Sastra Indonesia, bukanlah satu-satunya kelompok pegiat sastra yang melakukan. Hanya salah satunya.
***
KOMUNITAS Sastra Indonesia (KSI), yang dibentuk sepuluh tahun yang lalu, merupakan himpunan sejumlah komunitas pegiat sastra yang tersebar di Jabotabek. Pendirinya antara lain, untuk menyebut beberapa nama, adalah Wowok Hesti Prabowo, Diah Hadaning, Iwan Gunadi, Medy Loekito, Wig SM, dan lain-lain. Dengan memanggul nama ‘sastra’, kegiatan yang dilakukan KSI meliputi bidang sastra dalam pelbagai genre: puisi, cerpen, novel, dan esai; yang diekspresikan dalam bentuk diskusi, apresiasi, pelatihan, penerbitan buku, dan pertunjukan seni sastra.
Ketika seratus hari yang lalu gempa bumi tektonik mengguncang Jogja dan sekitarnya, kami terhenyak dan menyadari, bahwa bencana tsunami Aceh bukanlah yang penghabisan. Terlepas dari cara Tuhan menguji atau (semoga tidak) menghukum manusia, ada kewajiban secara moral untuk mengulurkan tangan membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Banyak di antara mereka adalah seniman, para sahabat yang kerap saling bersilaturahmi dalam pelbagai acara sastra. Sisi paling dalam dari nurani kami pun tersentuh. Siapa yang akan membantu mereka jika bukan kita?
KSI, bekerjasama dengan banyak pihak (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Komunitas Sastrawan Tionghoa Yin Hua, Bengkel Teater, dll), berusaha menggalang dana untuk meringankan beban mereka. Dengan menggelar pertunjukan seni di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 9 Juni 2006 yang lalu, kiprah itu dimulai. Sumbangan yang terhimpun, termasuk melalui lelang buku “Seribu Merpati” dari komunitas Yin Hua, diantarkan langsung oleh para relawan yang terdiri dari KSI, Yin Hua, dan Serikat Buruh Indonesia. Disusul dengan kunjungan kedua ke lokasi gempa Jogja, setelah menyelenggarakan pameran dan lelang lukisan Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, persis satu bulan setelah peristiwa dahsyat itu.
Menjelang seratus hari gempa Jogja, yang jatuh tanggal 6 September 2006. kami ingin kembali ‘mengingatnya’. Kehidupan memang terus berjalan bagi setiap orang, namun sangat berbeda antara yang tinggal di tempat normal dengan yang masih berserak di tenda-tenda penampungan. Ngilu itu masih kerap menghampiri perasaan kita. Namun untuk melerai kedukaan itu, tak cukup hanya doa. Harus disertai kerja, ikhtiar yang melibatkan setiap gerakan fisik kita.
Maka sekali lagi (tapi bukan yang terakhir kali), KSI mengajak semua penyair Indonesia untuk menyumbangkan karya. Tentu setiap orang punya cara mengulurkan bantuan, namun karya puisi, sekalipun tak langsung sanggup mengganti harta dan nyawa yang hilang, secara spiritual dapat menambah ‘tenaga batin’ bagi yang terpuruk. Kepedulian sederhana yang tampil melalui untaian kata ini mudah-mudahan tak kalah berharganya dibanding curahan bantuan materi. Mudah-mudahan tak berhenti sebagai seratus hari peristiwa gempa Jogja di mata para penyair. Bahkan setelah genap menjadi buku, sumbangan seluruh penulis puisi yang karyanya tercantum dalam buku bertajuk JOGJA 5,9 SKALA RICHTER ini akan bergulir seiring gerakan penjualannya.
***
AKHIRNYA kami, Komunitas Sastra Indonesia dan juga Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sangat berterima kasih atas perhatian dan keikhlasan para sahabat, para penyair, yang tersebar di seluruh Indonesia, juga di mancanegara, baik yang puisinya terhimpun maupun yang masih tersimpan dalam bank naskah kami.
Secara mendalam kami bersyukur kepada Allah SWT yang meletakkan tiap peristiwa dengan sebab-akibat yang demikian rahasia. Secara mendalam pula kami menaruh hormat atas tanggapan positif semua pihak, antara lain: Saut Situmorang, penyair Jogjakarta yang sejak awal begitu ringan tangan melarutkan diri dalam kegiatan KSI termasuk menjadi editor buku ini; Gangsar Sukrisno dari penerbit Bentang Pustaka yang terbuka menyambut kerjasama penerbitan; Excelcomindo Pratama dengan program XL Care yang telah merealisasikan kehadiran buku ini di tangan anda; MP Book Point yang menyediakan tempat untuk peluncuran antologi puisi ini pertama kali; Iksaka Banu sebagai perancang sampul buku yang tekun; dan semua pihak yang tak dapat kami sebut satu per satu. Tentu, di balik semua kebaikan itu, akan tertabung hikmah yang luar biasa.
Mari buka jiwa kita untuk membela yang menderita. Mari pulihkan Jogja. Bahu-membahu seluruh Nusantara.
Jakarta, 6 September 2006
Kurnia Effendi
Ketua Program Buku JOGJA 5,9 SR
Komunitas Sastra Indonesia
Adaptasi: Genre Teks Anak Bawang(?) Jan 12, '07 11:22 PM
for everyone
Category: Other
Miranda
(ditulis untuk majalah Matajendela)
Bandung, Desember 2004 (nukilan sebuah perjalanan)
Siang itu gerimis. Saya, ditemani FX Rudy Gunawan dan Kepala Cabang Agromedia Pustaka Bandung, tergesa-gesa menembus hujan; berpindah dari dingin cuaca Dago ke dingin udara kaleng Radio Paramuda FM. Perjalanan saya ke Bandung ketika itu adalah untuk memenuhi undangan grand opening QB World Book di Setia Budi, sekaligus mempromosikan novel perdana saya, Dara Manisku, sebuah novel adaptasi dari sinetron berjudul sama (produksi SinemArt, RCTI, 2004). Paramuda FM adalah stasiun radio kedua dalam jadwal perjalanan kami. Di sana, setelah membiarkan kami meneguk teh botol dingin sembari menunggu waktu wawancara on air, seorang awak radio yang kebetulan menemani kami mengobrol melancarkan pertanyaan pertamanya kepada saya.
“Kenapa memilih novel adaptasi sebagai debutmu, Mir?”
Saya lama terdiam. Bukan karena tidak bisa menjawab. Tetapi karena penilaiannya yang terlanjur terhadap novel adaptasi seolah-olah menampar saya keras-keras.
Ada apa memangnya dengan novel adaptasi?
Adaptasi: Di Sana dan Di Sini
Bagi segolongan orang yang merasa perlu mengotak-ngotakkan teks ke dalam kasta, novel-novel berlabel populer, semacam chicklit, teenlit, momlit, ladlit, hingga novel adaptasi, adalah teks kelas dua. Pernyataan Arswendo Atmowiloto mengenai fenomena chicklit dalam sastra Indonesia yang tajam dan menyakitkan pun sempat mengundang polemik di sekalangan penulis. Tetapi teman saya selalu bilang, kita hidup dalam dunia persepsi. Sah saja bila segolongan orang mempersepsi novel populer sebagai ‘sastra kaum borjuis’, ‘sastra industrial’, teks yang merusak sastra Indonesia, sampai ‘sampah’. Toh bukan pengakuan sebagai sastrawan atau sastrawangi pulalah yang dikejar oleh penulis-penulis mula sampai profesional yang memilih jalur populer untuk dielaborasi. Sah pula ketika teman saya, awak radio Paramuda FM itu, bertanya kenapa saya memilih menulis novel adaptasi sebagai debut di dunia penulisan; meski pertanyaannya secara terang-terangan menempatkan novel adaptasi pada kasta lebih rendah dari genre novel lain yang, kalaupun taruhlah masih berlabel populer, adalah karya ‘mandiri’. Ini hanya soal perbedaan persepsi.
Sebelum terburu-buru memberi cap ‘kelas dua’ terhadap karya adaptasi, tengok dulu latar belakang kemunculannya di dunia sastra atau media pada umumnya. Pada negara-negara maju, karya adaptasi muncul sebagai refleksi kesuksesan karya asli. Novel The Hours (Michael Cunningham), misalnya, diadaptasi ke layar lebar setelah meraih Pulitzer Prize tahun 1999. Tak kalah dengan novelnya, film The Hours menangguk penghargaan Golden Globe dan Academy Award, berturut-turut untuk film terbaik dan aktris terbaik (Nicole Kidman). Harry Potter (J.K Rowling) dilayarlebarkan setelah novel kronikal ini mencapai penjualan terbaik di berbagai belahan dunia. Film Cinderella Man, yang dinominasikan untuk penghargaan Golden Globe dan Academy Award dan diangkat dari kisah hidup petinju kelas berat dunia Jim Braddock (buku biografinya telah beredar dengan judul Relief to Royalty: The Story of James J. Braddock, World’s Heavyweight Champion), kemudian ditulis ulang dalam bentuk novel berdasarkan skenario Cliff Hollingsworth dan Akiva Goldsman, oleh Marc Cerasini (diterbitkan oleh Harper Entertainment New York, di Indonesia diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dastan Book, 2006). Tentu saja, proses pengadaptasian karya-karya tersebut tak lepas dari kepentingan industri.
Kini mari tengok yang terjadi di negeri sendiri. Dibandingkan dengan munculnya karya adaptasi di negara maju, fenomena adaptasi kita barangkali sedikit berbeda. FX Rudy Gunawan, yang mula-mula memopulerkan novel adaptasi melalui GagasMedia, mengatakan tidak semata-mata mempertimbangkan segi industri ketika menerbitkan novel-novel adaptasi, melainkan juga menawarkan gagasan untuk melebarkan khalayak penikmat sastra, mendekatkan buku dengan khalayak penikmat film dan televisi; sebuah gagasan yang mulia ketika kita mengingat betapa sebelumnya dunia sastra hanya menjangkau kalangan sempit saja. Upaya ini tecermin ketika Rudy Gunawan menggandeng penulis-penulis yang sebelumnya identik dengan sastra semacam Agus Noor, A.S Laksana, Nova Riyanti Yusuf, Puthut EA, dan Veven SP Wardhana, untuk menulis novel adaptasi (berturut-turut untuk Ekskul—tidak terbit, Cinta Silver, 30 Hari Mencari Cinta, Bunda, dan 12 a.m). Barangkali pula, Rudy Gunawan tengah mengharap-harapkan kualitas novel adaptasi yang tak kalah dengan karya yang ditahbiskan sebagai “sastra” dengan memilih penulis-penulis di atas sebagai pengadaptasi. Bukan berarti tak ada konflik, tarik-ulur antara idealisme dan integritas penulis dengan film sebagai industri, dan terjadinya upaya-upaya kompromi di dalamnya. Novel Cinta Silver yang ditulis oleh A.S Laksana, semisal, menjadi karya adaptasi yang ‘tidak terlalu disetujui’ oleh sang produser film, lantaran beberapa aspek dalam novel dianggap mencemooh karya asli. Kasus hampir serupa terjadi pula pada novel Ekskul (ditulis oleh Agus Noor), yang oleh produsernya (Shanker, Indika) dianggap kebablasan mengembangkan karakter tokoh-tokohnya, menyebabkan novel ini tak jadi terbit. Tetapi bayangkanlah; di balik problematika dan tarik-ulur dalam proses kreatif penulisan novel adaptasi, GagasMedia telah berhasil memperkenalkan sekalangan pegiat sastra tersebut kepada khalayak muda, yang tadinya jangan-jangan bahkan belum pernah mendengar nama mereka, terlebih membaca karya sastra yang mereka tulis.
Tidak hanya mengawinsilangkan film yang mengedepankan segi industri dan komersialitasnya dengan pegiat sastra, FX Rudy Gunawan juga melakukan hal sebaliknya: menerbitkan novel-novel adaptasi dari film bermutu garis miring idealis yang belum tentu banyak penontonnya, semacam Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (Garin Nugroho dan SET, ditulis oleh FX Rudy Gunawan), Cinta dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho, ditulis oleh Fira Basuki), dan Betina (Lola Amaria, ditulis oleh Nova Riyanti Yusuf). Dus, upaya melebarkan khalayak telah ditempuh tidak hanya untuk kasus perbukuan, tetapi juga perfilman, yang keduanya pernah dianggap mengalami periode ‘mati suri’ atau stagnasi di tahun 90-an. Merunut fakta-fakta tersebut, akan tampak bahwa penerbitan novel adaptasi di Indonesia pertama-tama adalah gagasan untuk memberi bacaan berkualitas yang berkedok kepentingan industri. Bukan sebaliknya.
Novel Cepat; Bergulat dengan Kualitas
Beberapa judul novel adaptasi barangkali memegang rekor tercepat dalam proses pembuatannya. Dara Manisku saya tulis dalam sepuluh hari. 30 Hari Mencari Cinta ditulis kurang dari dua minggu. Ruwi Meita, penulis yang identik dengan novel-novel adaptasi bergenre horor, menulis novel-novelnya dalam kisaran waktu satu hingga dua minggu. Demikian pula Puthut EA, yang menulis Bunda tepat dalam tujuh hari. Pada penerbit GagasMedia, novel-novel adaptasi tergolong dalam crash program: program yang menyela program rutin penerbitan. Segalanya, mulai dari proses penulisan, penyuntingan, penataan letak, sampai penerbitan dan distribusi, dilakukan secara cepat. Barangkali faktor ini pulalah yang memperkuat stigma novel adaptasi sebagai teks kelas dua. Sebab, sebagaimana anggapan ‘ada rupa ada harga’, kualitas, sebagai variabel yang mengampu unsur estetis, diperbandingkan dengan lama proses pembuatan sebagai variabel kuantitatifnya.
Tetapi kecepatan berproses kreatif tidak selalu berbanding terbalik dengan keseriusan pengerjaan dan kualitasnya. Puthut EA, misalnya, tetap menunjukkan kualitas yang menonjol dalam novel adaptasi yang ditulisnya, Bunda. Meski mesti melakukan kompromi-kompromi, AS Laksana dan Veven SP Wardhana juga melakukan upaya serius untuk menyelaraskan logika cerita sekaligus tetap mempertahankan roh film. Tentu itu pula yang terjadi dengan Agus Noor dengan kasus pengembangan karakternya dalam Ekskul, terlepas dari diterima atau tidaknya usulan tersebut oleh produser film. Artinya, dalam berbagai keterbatasan yang mempersempit ruang gerak pengadaptasi semacam deadline yang pendek, ide cerita yang telah dipatok, dan campur tangan kepentingan produser film, penulis tetap merasa berkepentingan untuk menulis dengan kualitas yang terjaga. Kerap kali, berbagai keterbatasan tersebutlah yang telah memeras kreativitas penulis. Secara ajaib, ia menjadi ruang bermain-main yang menantang. Sebab kualitas seorang penulis dipertaruhkan tak hanya pada keberhasilannya mengurai benang kusut logika audio-visual film ke dalam gulungan logika cerita yang utuh, tetapi juga pada teknik penulisan karya adaptasi yang segar dan inovatif, yang tak sekadar memindah skenario menjadi novel dan bekerja seperti mesin tanpa jiwa.
Di sinilah kemudian tarik ulur itu terjadi. Betapa sulit memberi batasan sampai mana penulis berhak ‘memiliki’ cerita yang diadaptasinya. Sejauh mana ia boleh mengembangkan cerita, memperdalam karakter tokoh-tokohnya, membumbuinya dengan latar belakang, dan bermain-main sepuasnya dengan teknik bercerita. Veven, terkait dengan proses penulisan 12 a.m., menyitir pepatah lama: ada banyak jalan ke Roma. Ada banyak jalan untuk menceritakan kisah yang sama. Benarkah secair itu?
Saya sendiri kerap ragu terhadap definisi adaptasi. Apa yang saya ketahui tentang adaptasi sebelumnya adalah penyesuaian cerita yang telah digariskan oleh penciptanya dalam situasi dan kondisi tertentu kepada situasi dan kondisi baru yang dikehendaki sang pelaku adaptasi. Definisi ini mengesahkan penyesuaian segala aspek cerita semacam waktu dan tempat, nama tokoh, dialek, kelas sosial, hingga latar belakang kebudayaan. Misalnya, adaptasi Romeo & Juliet (Shakespeare) ke dalam pementasan Roman Yulia (Teater Koma, 2003). Definisi ini akan mengesahkan pengembangan dan pengayaan cerita yang sebebasnya, asalkan tidak mengkhianati benang merah dan moral cerita. Di kemudian hari, setelah menulis beberapa novel adaptasi dan berdiskusi dengan beberapa orang mengenai kebebasan penulis bereksplorasi dengan karya adaptasinya, saya belajar memahami definisi adaptasi yang lain, yang lebih rigid sebab terkait dengan aspek industri. Dalam adaptasi yang ‘ini’, yang disesuaikan adalah media pembawa cerita (film ke buku atau sebaliknya), bukan aspek-aspek di dalamnya (nama, latar tempat dan waktu, dsb). Tak ada larangan tertulis untuk mengubah nama tokoh atau latar belakang sosialnya, misalnya, tetapi ada semacam komitmen tak terucap yang menabukan perubahan-perubahan tersebut; sebab senyatanya novel adaptasi lahir sebagai bagian dari industri film, sehingga barangkali muncul ketakutan, jika aspek-aspek dalam cerita diubah, maka tujuan ‘industri’-nya jadi tak sampai dan pembaca tak mengenali cerita ‘M’ sebagai adaptasi dari film ‘M’. Maka, batas-batas dalam mengadaptasi sebuah karya sesungguhnya begitu kaku; betapa sempit wilayah bermain-main sang penulis. Tetapi bagi saya, justru di situlah letak kepuasan terbesar seorang penulis adaptasi: bagaimana ia bebas bermain dalam ruang sempit yang kaku itu. Bagaimana karyanya menjadi ‘berbeda’ dan sama. Berbeda dengan karya adaptasi lain, berinovasi dalam bentuk, tanpa mengkhianati ‘nada’ yang sama dengan karya aslinya.
Teks Kelas Dua: Anak Bawang yang Tak Pernah Tumbuh
Lantas, ketika sesungguhnya upaya sedemikian serius telah dilakukan, masih layakkah novel adaptasi menyandang label ‘sastra kelas dua’?
Di negara maju maupun negeri sendiri, pengadaptasian karya dilakukan atas nama industri. Yang sedikit berbeda barangkali adalah penghargaan dan rasa bangga terhadap karya adaptasi, yang justru mendingin ketika bergeser ke timur, ke negeri kita yang hangat. Barangkali pula, kebanggaan dan penghargaan terhadap karya adaptasi telah mendingin karena di sini pengadaptasian tidak melulu terkait dengan kesuksesan karya asalnya, meski juga tidak melulu mengedepankan industri.
Bagi saya, novel adaptasi tetaplah sebuah karya mandiri. Di dalamnya termuat pula pengalaman, gagasan, pemikiran, dan cita-cita; unsur-unsur yang seluruhnya mencerminkan integritas sang penulis, dalam proporsi yang bisa jadi sama besar dengan karya yang ditulis berdasarkan ide sendiri. Kalaupun ada bedanya, ia hanyalah perkara kepemilikan gagasan. Dengan jenis kepuasan yang berbeda, saya punya kebanggaan terhadap karya-karya adaptasi yang telah saya tulis, kebanggaan yang sama seperti terhadap karya saya yang bukan adaptasi. Saya tidak akan bosan menjelaskan duduk perkara sebenarnya ketika banyak orang salah mengartikan novel adaptasi dan menganggap saya sebagai penulis cerita filmnya: “Oh, Mbak Miranda yang nulis Ungu Violet itu, ya? Yang dijadiin film itu? Yang bintangnya Dian Sastro sama Rizky Hanggono itu, kan?” tanpa mesti mengerut dan malu karena pujian mereka salah sasaran. Saya juga tidak akan merasa kehilangan kepercayaan diri, ketika teman-teman terus bertanya mana novel saya yang ‘bukan dari film’, yang ASELI karya saya. Bagaimanapun, seluruh tulisan yang telah lahir dari rahim benak saya, adaptasi atau bukan adaptasi, adalah anak kesayangan saya, tak ada yang jadi anak tiri, atau sebaliknya, anak emas.
Gerimis masih renyai ketika saya dan Rudy Gunawan dipersilakan masuk ke dalam callbox Paramuda untuk sesi wawancara live. Hari beranjak sore. Dalam dingin cuaca, saya lagi-lagi teringat pada pertanyaan teman di luar tadi, tentang pilihan menulis novel adaptasi sebagai debut. Waktu itu saya jawab: saya tidak akan menunda kesempatan untuk belajar mempertanggungjawabkan kecintaan saya. Saya tidak akan mengeram, menunggu ide besar hinggap di kepala, dan menuliskannya sambil berharap ia menjadi magnum opus yang monumental. Saya tidak tahu berapa lama waktu saya, seperti saya tidak pernah tahu sudah berapa banyak gagasan kecil yang terabaikan dan gugur tak jadi lahir dalam kepala saya. Saya adalah orang yang percaya bahwa setiap kesempatan adalah pembelajaran yang berharga. Seperti kita selalu bisa memetik sesuatu dari buku, bahkan dari yang buruk sekalipun. Kalau masih ada yang menempatkan novel adaptasi pada kasta kedua atau kesekian, saya adalah salah satu yang akan melawan stigma itu dengan daya saya. Sebab jika penulis, yang juga terpilih untuk mengadaptasi layar lebar dan gelas ke layar kata, masih memandang sebelah mata pada novel adaptasi dan melakukannya tanpa kebanggaan melainkan semata-mata atas alasan industri, maka gagasan mulia FX Rudy Gunawan untuk menerbitkan novel adaptasi yang ‘tak hanya sekadar’ adalah sebelah tangan yang menepuk angin. Maka jangan-jangan, selamanya novel adaptasi akan menjadi produk sastra kelas dua, teks kelas pinggiran; anak bawang yang tak pernah tumbuh.
Tags: adaptasi
Prev: Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal
Next: Seks dan Cinta; Mitos Kaum Muda
GSS 2006 Hima Satrasia FPBS UPI
Sastra, Punya Siapa?
DALAM ranah ilmiah, kategorisasi dalam sastra perlu dilakukan. Namun, tidak dengan demikian sastra menjadi milik pemerhati atau pegiat sastra saja. Menurut Hima Bahasa dan Sastra Indonesia (Satrasia) UPI, sastra itu milik semua orang, siapa pun mereka.
Klaim itu mereka ungkap dengan menyelenggarakan Gelar Sastra Satrasia (GSS) bertajuk "Sastra milik semua" pada 3-8 April di Gedung PKM UPI. "Ini GSS yang kedua," kata ketua pelaksana GSS 2006 Ramdan Saleh.
Sejumlah acara digelar. Doddy A. Fawdzy, seniman mantan wartawan, meluncurkan antologi puisinya. Penerbit Latifah dan sejumlah toko buku alternatif turut meramaikan bazar dan bursa buku. "Puncaknya festival dramatisasi puisi dan cerpen".
Pementasan drama yang biasanya dilakoni oleh pegiat teater, kini diusung mahasiswa yang kebanyakan awam dengan drama. Mengadaptasi sendiri puisi atau cerpen Rendra ke dalam bentuk drama, mahasiswa FPBS dari angkatan 2003-2005 mau tidak mau beradu kreativitas. Bagaimana tidak? Penafsiran teks yang kemudian diolah dalam visualisasi pertunjukan bukan kerja sembarangan. "Drama ini diikuti perwakilan kelas. Seluruhnya ada dua belas kelas. Tapi yang bisa ikut delapan," kata mahasiswa FPBS jalur nonpendidikan angkatan 2003 ini.
Lomba baca puisi piala bergilir Rendra yang biasanya diadakan pada bulan bahasa (Oktober) dimasukkan dalam event GSS ini. Lomba baca puisi ini merupakan penyelenggaraan kedua puluh. Lomba pertama diadakan pada 1987 dengan menggamit W.S. Rendra. Rendra dikenal sebagai ikon penyair 1980-an. Pesertanya membeludak. Kebanyakan dari kalangan pelajar dan umum. Bahkan hingga lomba diadakan, masih ada yang berminat mendaftar. "Mau nggak mau dibatasi. Yang ikut akhirnya 122 orang". Lomba penulisan puisi dan cerpen juga diadakan. Naskah yang masuk sekira seratusan. Pada lomba penulisan puisi, diperebutkan Piala Rektor UPI.
Pemilihan bentuk sastra yang melulu puisi dan cerpen bukannya tanpa alasan. Hima Satrasia FPBS UPI melihat keduanya sebagai genre sastra yang lebih direspons masyarakat kini. Ini juga sekaligus menjadi celah agar masyarakat lebih mengenal, memahami, dan memaknai sendiri apa itu sastra bagi mereka. Misalnya, sastra sebagai bentuk kontrol sosial. "Harapannya, orang bisa tahu sastra tanpa perlu kami dikte. Nah, yang sulit itu membangun rasa kebersastraan, rasa memiliki sastra".***
Pernyataan Sikap AJI Bandung soal Sajak Malaikat
13 Aug 2007
Pernyataan Sikap AJI Bandung soal Sajak Malaikat
Pada saat masyarakat dunia memperjuangkan demokrasi dan hak individu, di Bandung justru terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap kemerdekaan berpikir dan berekspresi.
Sebuah sajak karya Saeful Badar berjudul "Malaikat" yang diterbitkan di harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 Agustus 2007, diprotes oleh kelompok yang menganggap sajak tersebut bertentangan dengan ajaran agama tertentu. Mereka melakukan protes melalui telepon, dan faksimili, meminta agar redaksi Pikiran Rakyat segera mencabut sajak dan meminta permohonan maaf secara terbuka.
Reaksi kelompok itu tak ubahnya seperti teror dan intimidasi. Kelompok itu juga telah menafsirkan karya sastra secara sepihak dan memenjara kebebasan berpikir dan berekspresi yang sudah mempunyai jaminan hukum.
Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 menjamin hak warga negara untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pasal ini juga menjamin hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari seni dan budaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Tindakan-tindakan yang berupaya memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi, merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945. Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Dengan ini, Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, menyatakan:
1. Mengecam segala tindakan yang memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi.
2. Mendesak kepolisian untuk bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar konstitusi negara (dalam hal ini pihak yang melakukan intimidasi terhadap karya sastra).
3. Mendesak media massa agar bertanggungjawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang menyangkut penerbitannya. Segala beban tanggungjawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu.
Bandung, 13 Agustus 2007
Aliansi Jurnalis Indpenden Kota Bandung
Sekretaris
Mulyani Hasan
Koordinator Divisi Advokasi
Ahmad Yunus
(www.ajiindonesia.org)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar