Senin, 21 Januari 2008

सास pinggir

hai orang-orang baikSastrawan dan Sastra yang Terpinggir
Sudah menjadi kenyataan selama kekuasaan Suharto - Orba, lebih 30 tahun, ada suatu bagian dalam kehidupan bangsa ini yang terasa hilang. Yang hilang atau dengan istilah lebih moderatnya, terpinggir, yalah tidak munculnya atau dilarang munculnya sastrawan dan sastra yang dianggap berasal dari Lekra. Semua buku atau tulisan yang berbentuk buku dan siaran, dilarang oleh penguasa Suharto - Orba. Siapa saja dan apa saja hasil sastra yang dilahirkan pada zaman yang dianggap Orla dan yang dianggap Lekra, dilarang beredar, dilarang terbit. Kalaupun terbit dengan "gelap-gelapan", maka sudah dipersiapkan seperangkat undang-undang dan peraturannya buat melarangnya. Kejaksaan Agung akan memanggil sumbernya. Hal ini berkali-kali pernah dialami penerbitan Hasta Mitra karena berani-beraninya menerbitkan karya Pramoedyua Ananta Toer. Tapi sebagaimana Pram, sebagai pengarang dan salah seorang pengurus penerbitan itu tidak pernah menggubris larangan. "Tutup buku" dengan semua aparat penguasa demikian Pram.
Sebenarnya Pram juga banyak menemui pemboikotan, dari sana sini, dari berbagai pihak. Dia pernah tidak diakui sebagai pengarang Indonesia, paling-paling hanya sebagai pengarang Lekra saja. Tetapi Pram terlalu besar, terlalu hebat, terlalu luarbiasa untuk tidak diakui dan untuk dipinggirkan. Tidak diakui dan dilarang terbit di negaranya sendiri,tetapi di negara lain, luarnegeri sudah siap menampung, menerbitkan dan menterjemahkannya. Oleh kalangan kritikus yang berbobot paus dan yang sedang-sedang saja, pernah Pram mendapati pengalaman seakan-akan tidak diperdulikan, tidak dibicarakan, tidak masuk catatan, tidak masuk daftar sebagai pengarang Indonesia,- dia hanyalah pengarang Lekra yang terlarang itu.
Oleh terlalu besarnya, dan terlalu hebatnya Pram, yang karyanya melebihi sastrawan manapun, yang sudah diterjemahkan dalam 28 bahasa asing, dan juga sudah berkali-kali termasuk calon, nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra Dunia, maka "mau tak mau, dan terpaksa" kalangan dalam negeripun juga lalu turut membicarakan Pram sebagai sastrawan Indonesia! Dan Pram dengan segala perjuangan yang pahit, tapi ulet, selalu menang! Lalu sampai A. TEEUW-pun turut mau juga membicarakannya. Dulu sebelum adanya kemelut peristiwa-gelap bangsa ini, Pram termasuk sastrawan Indonesia. Tetapi begitu terjadi peristiwa 1965, lalu keberadaan Pram mau dihapuskan sejarah, sejarah mereka! Nyatanya tidak bisa. Pram dengan kehebatan, keluarbiasaan karyanya, adalah orang nomor satu sastrawan Indonesia yang sudah terdaftar di kalangan pemberi Hadiah Nobel Sastra Dunia. Pram terlalu besar buat diremehkan, buat tidak dibicarakan, buat dipinggirkan!
Tetapi sebenarnya masih ada "pram-pram kecil yang berkeliaran dan kelayaban" di tanah rantau atau di dalam negerinya sendiri. Hanya akibat kerusakan dan perusakan dan daya rusak serta daya keterbelakangan rezim Suhartro - Orba, sangat sulit buat mereka bisa memasuki gelanggang dan arena. Masih banyak karya yang terpendam di laci, di lemari dan masih banyak naskah tulisan, yang orang tidak mau, tidak berani menerbitkannya. Banyak "matapencaharian" penulis, sasterawan di dalam negeri yang mengerjakan terjemahan atau tulisan aslinya. Kalaupun ada yang mau dan berani menerbitkannya, ada syarat yang harus dipenuhi penulis atau penterjemahnya, nama harus diubah, harus nama samaran! Kenapa? Penerbit dan toko-buku tidak mau menanggung risiko kerugian material apalagi kerugian moral. Karena takut ketahuan dan lalu dilarang bahkan bisa ditangkap penguasa. Kalau sudah begini artinya tertutuplah semua lubang dan celah-celah kehidupan.
Ada lagi istilah ngenyek buat hasil sastra yang berbau progresif dan maju, yang disebut juga kiri. Termasuk seorang penyair kenamaan-pun pernah terkena ejekan ini, yaitu WS. Rendra. Ada yang mengatakan, kalau hanya begitu saja sih, maka hasil sastra begituan bisa disebut "sastra poster" "sastra pamphlet", "sastra pesanan" dan bermacam sebutan tidak enak demi menolak sastra yang menyatakan, kebenaran tetapi dengan cara-cara baru.
Kalangan tertentu tetap menyebutkan pengarang Lekra atau sastrawan Lekra buat sebutan kepada Agam Wispi, HR Bandaharo, Joebar Ajoeb, dan yang lainnya. Tidak disebutkan bahwa mereka juga adalah pengarang dan sastrawan Indonesia! Kenapa tidak menyebutkan Sitor Situmorang sebagai pengarang dan sastrawan LKN? Kenapa tidak menyebutkan Taufik Ismail sebagai pengarang Manikebu, atau Asrul Sani sebagai pengarang Lesbumi? Mereka disebutkan sebagai pengarang dan sastrawan Indonesia, bukan dari "kandang mereka yang dikotakkan". Sedangkan orang-orang Lekra dikandangkan, disempitkan, dipinggirkan.
Semua mereka yang dituliskan di atas adalah sastrawan Indonesia, bukan sastrawan Lekra, LKN maupun Manikebu ataupun Lesbumi. Mereka mengangkat harkat bangsa dan negara, tidak terdapat pandangan yang begitu sempit dalam karangan mereka. Apa yang selalu diangkat dalam karya Pram? Tidak secuilpun yang "menjelekkan dan menyudutkan kekuasaan yang sekarang ini". Yang ditulisnya adalah sejarah perjalanan bangsa ini, bahkan sejarah budaya dan adat istiadat jauh di belakang kita. Bahwa akhirnya penguasa merasakan itu adalah sindiran, permisalan, adalah soal lain. Kata peribahasa kampung kami " siapa yang terkena dialah yang merasa pedas dan sakit". Dan tulisan Pram adalah secara umum, bukannya dicari-cari, dan memang ada sejarahnya. Lihat misalnya tetralogi tulisan selama di Pulau Buru itu yang memang ada bahan sejarahnya, apalagi Arus Balik dan Arok Dedes.
Akibat semua kekangan, semua dan selama kekuasaan Suharto - Orba, daya rusak dan keterbelakangan perjalanan bangsa ini benar-benar mengalami setback yang luarbiasa. Yang paling dirasakan oleh sastrawan yang dipinggirkan ini, yang masih kelayaban di tanah pengasingan, maupun yang ada dalam negeri, betapa susahnya, betapa sulitnya memasuki "dunia-resmi" dan yang bisa dan biasa tercatat dihadapan masyarakat umum, di depan audience. Karya dan tulisan mereka sangat sulit diorbitkan, sangat sakit buat orang mengumumkannya. Karena berbagai halangan dan pikiran yang masih membelenggu akibat perjalanan sejarah-gelap baru-baru ini. Dan "nasib" sastrawan dan sastra yang terpinggirkan itu, buat memunculkan diri saja bukan main harus menerobos begitu banyak penghalang. Semoga saja dengan keuletan yang juga harus luarbiasa, akan datang kembali "anak yang pernah hilang" selama lebih 30 tahun dulu itu.
Paris 18 Mei 2000untuk:
keluargaku,
sahabat,
teman dan kenalan
serta kampung halaman.
Jumpa Lawan I
Abubakar orangnya gemuk. Banyak omong, suka berkelakar. Ramah dan karenanya banyak kawan. Orang kampung kami menggelarinya, Akai. Penduduk kampung kami lazim memberi ragam gelar kepada orang; nama Ismail misalnya pasti dipanggil: Meng. Yang namanya Harpan atau Arpan, akan selalu digelari Lepuk, ikan buntal yang sisiknya tajam, beracun. Begitulah pula kaum wanita, yang nama ujungnya ah akan berubah meniadi ot, misalnya saja Halimah jadi Halimot; Nerisah menjadi Nerisot, dan Isah jadi Isot.
Nah, kembali pada si Akai alias Abubakar tadi. Dia ini sering singgah ke rumah kami di Gondangdia, bersama istrinya. Teman hidupnya itu cantik rupawan, keturunan Cina; kata orang banyak, si Elly itu asal Singapura. Kabarnya dulu Akai pernah merantau ke Singapura, lalu didapatnya Elly, Cina cantik itu. Kalau sudah berkisah tentang masa-masa tersebut, bukan keoalang bersemangatnya Akai.
Dengan lancar Akai bertutur tentang kejadian antara tahun 1946 hingga awal 1948, masa ia menjadi anggota gerilya dan turut mencari senjata ke Singapura dan Hongkong. Tak lupa diselipkannya juga, bahwa yang memimpin penyelundupan ke Singapura dan Hongkong tersebut adalah Dr. A.K. Gani. Siapa pula yang tak kenal Adnan Kapau Gani, orang Palembang-Bengkulu itu, pernah menteri lagi, bahkan pernah main dalam filem. Jadi Akai adalah anggota penyelundupan tadi, kabarnya ia membawa gula, rempah-rempah dan lainnya, untuk kemudian ditukar dengan senjata. Bila Akai tengah bercerita begini, lantas ada di antara kami yang bertanya ini-itu; bukan main senangnya hati Akai. Pasti pertanyaan itu berjawab.
"Katanya ada penyelundup lain lagi yang bahkan punya kapal sendiri, juga untuk mencari senjata buat republik...", tukas seorang dari kami.
"O ya, itu kan untuk bagian timur. Alaahh... si Anu, siapa tu, aaa... si John Lie, dari Sulawesi. Mayor pangkatnya. Eeh, tahu juga kau rupanya", ujar Akai sambil memuji sedikit pada yang bertanya itu.
"John Lie juga hebat rupanya, ia temanku. Terkadang kami sama-sama juga, tapi group kami tetap bersama pak Gani. Tahu kan Pak Gani, yang digelari "the greatest smuggler in Southeast Asia", penyelundup terbesar di Asia Tenggara", tambah Akai, sekaligus memperagakan bahasa Inggrisnya.
Kami remaja tanggung usia limabelasan tersebut, senang juga mendengar cerita Akai, walau pun sedikit-sedikit kami paham juga bahwa Akai gemar membual, acap membohong. Bahkan ada yang menamakan nya "si mulut besar", suka omong gedé. Apalagi kalau bercerita tentang revolusi, tentang pertempuran, wah.... bukan main semangat, menggebu. Seolah-olah dialah yang paling berani.
Anehnya, tak sekalipun kami tampak ia berseragam militer, atau bekerja di suatu kantor. Tak jelas apa pekerjaan sebenarnya. Yang pasti, Akai sering menginap di hotel, khususnya di Hotel Centraal di Jalan Citadel. Pernah juga di Hotel Des Indes, lalu Hotel Transaera, pokoknya masuk hotel, keluar hotel. Ada lagi kabar mengatakan,ia acap diusir kalau sudah terlalu lama tidak membayar ongkos menginap di hotelnya. Malah pernah diadukan ke pengadilan. Namun karena orangnya pandai bicara dan menggertak, cekatan jual obat, kata orang; misalnya menyebut menteri anu, komisaris polan adalah paman atau sahabatnya, maka Akai selalu los dari penangkapan. Janganlah coba mengusik, mencari tahu, apalagi menyelidiki kebenaran cerita dari Akai, sebab kalau sudah tahu latar belakang ceritanya tersebut, tak ada lagi yang menarik dari omongannya itu. Justru karena ketidaktahuan kamilah, maka kami senang mendengar cerita-cerita Akai.
Suatu kali Akai berkisah, ia naik kapai milik maskapai Belanda KPM, Jansens, namanya. Entah bagaimana awalnya, mendadak lampu kamar mandi Akai padam. Ia lantas mengamuk, lampu-lamu dan peralatan lain di kapal di pecahkannya. Kapten kapal tentu saja marah, dan menahan Akai dalam perjalanan dari Jakarta ke Tanjungpandan. Tapi di ruangan kapal khusus untuk anak-buah kapal tersebut, Akai malah menggugat sang Kapten. Akai mendakwa, katanya:
"Tuan tahu, dalam tahun ini juga semua kapal KPM akan saya beli, akan kami ambil-alih. Ini saya rundingkan Pada Jenderal Karmono di Istana saat kami menghadap Bung Karno. Kalau Tuan mengakui kesalahan Tuan, dan berjanji memperbaiki pekerjaan Tuan demi kelancaran kerja kami di republik ini, niscaya Tuan akan saya pakai. Tuan boleh kerja seterusnya di kapal saya ini, nantinya. Ingat itu. Catat nama saya, dan Tuan boleh pikir baik-baik. Pulang ke Holland atau kerja dengan kami."
Mendengar ucapan Akai, sang kapten gementar dan segera melepaskan Akai sembari mohon maaf.
Akai sungguh punya bakat menggertak, ada tampang pula, gemuk gagah, dan fasih berdebat. Pandai menggunakan saat semisal pengambil-alihan kapal KPM menjadi milik maskapai republik, PELNI. Sehingga tanpa ragu orang lekas percaya, konon dikaitkan pula dengan nama jenderal, dan kunjungannya ke Istana segala.
Apabila Akai ke rumah dan kebetulan naik becak saja, ia sering memojokkan ayahku dengan berkata: "Bang, tolong bayarkan becakku, tak ada uang kecil." Dan ayah segera menyuruhku membayarkan becak itu.
Akai segera mengobrol dengan ayah, sambil mmbunuh waktu menunggu makan siang. Terkadang istrinya Elly ikut serta mengobrol ke rumah kami. Obrolannya kebanyakan itu ke itu juga, perihal revolusi, pertempuran di Jawa-Tengah Jawa-Barat,lalu penyelundupan bersama A.K. Gani tadi. Ayah mendengarkan saja, sesekali bertanya ini-itu.
Padahal kami tak tahu apa kerja Akai, tinggalnya di hotel namun sering tak punya uang. Ada yang menyebutkan, pendapatannya kini adalah tabungan hasil menyelundup ke Singapura. Bahkan terbetik berita, istrinya ditawar-tawarkannya, karena dulu pun memang kerja begituan, dan sesungguhnya Elly asli Cina Hongkong. Macam-macam saja.
Tapi satu hal yang jelas, Elly cantik dan di samping itu baik budi, jauh berbeda dengan watak suaminya. Sang istri pun acap tak percaya akan obrolan suaminya, Akai. Ayah juga tidak percaya pada cerita Akai, namun tak pernah mengatakan bahwa Akai bohong atau omong-besar. Ayah tak pernah pula mencela apalagi memaki Akai. Beliau tetap menerima baik kedatangan Akai dan istrinya. Ibuku pun ramah pada mereka. Hanya aku dan para kawanku meragukan cerita Akai.
Cobalah pikir. Bila Akai berdatang ke rumah kami, selalu saja waktunya serba tanggung, misalnya pukul 11.00 dekat jam makan siang, atau pukul 18.00 menjelang makan malam. Akibatnya kami makan bersama kedua suami-istri itu. Walau ayah belum pulang dari sidang - sidang parlemen DPRS, Akai akan menunggunya dengan sabar Dan aku akan mendengarkan kembali obrolan Akai, yang kuladeni juga sembari asyik melirik Elly yang rasanya makin hari semakin cantik dalam pandanganku. Maklum usiaku baru berangkat tujuh-belas, mudah bergetar bila berdekatan dengan wanita cantik harum.
Demikianlah, suatu kali Akai berkisah yang agak seram. Jaman revolusi. Pertempuran di sekitar Krawang. Seorang prajurit gerilya, kena tembakan Belanda. Namanya Sadri, kawan Akai sendiri. Lehernya luka parah, menganga karena peluru telah menembus bagian depan. Darah mengalir terus, dan Sadri jadi persoalan. Akan dibawa, digotong, atau ditinggal saja? Pasukan republik yang menurut Akai dipimpinnya, harus segera lari. Aku harus cepat dan tegas mengambil keputusan, tambah Akai. Bagaimana cara "menyelamatkan" Sadri? Dengan mata penuh belas-kasihan dan mohon maaf, Akai sebagai komandan, mendekati Sadri yang bersimbah darah.
Akai melanjutkan, saat itulah Sadri dengan suara terputus-putus dan perlahan berkata:
"Pak Abubakar, lakukanlah apa yang baik. Segeralah akhiri penderitaan saya ini..." Dengan penuh sesal Akai meletakkan ujung revolver-nya di tentang jantung Sadri. Bunyi "dor" menyelesaikan penderitaan Sadri. Akai beserta pasukannya segera lari dari kejaran pasukan Belanda.
Mendengarkan kisah tersebut, ibuku terlihat ngeri, tetapi Elly, istri Akai, nampak biasa mja. Ayah juga terlihat santai, sedikit senyum menganggukkan kepalanya. Aku yang sejak sekolah rakyat gemar membaca novel, segera ingat kisah begini Pernah kubaca. Seakan memecah keheningan, Elly berkata pada ayahku:
"Alaah ... bang, tak usahlah percaya sama Bang Akai ini."
"Ah, kau mana tahu. Ketika aku berjuang,bertempur dulu, kau kan masih kecil..," bela Akai pada kata-kata istrinya.
"Dia bohong, bang," ujar Elly pada ayah.
"Bang Akai suka berdusta, jangan percaya dia."
Mendadak ayah menjawab :
"Bukan hanya Akai yang suka bohong, sayapun mungkin lebih suka bohong dibanding Akai."
"Mengapa begitu,bang? Rasaku tidak mungkin", saut Elly.
"Ya...", kata ayah. "Selama ini saya sering membohongi Akai, sehingga Akai yakin betul bahwa saya percaya semua cerita Akai, padahal itu tidak benar. Kan saya lebih suka bohong daripada Akai," tambah ayah mengakhiri keheranan si cantik Elly.
SOBRON AIDIT
sastrawan engagé
Siapakah Sobron Aidit?
Namanya berkaitan erat dengan nama lainnya yang terkenal sebagai politisi. Seorang politisi yang menjadi buruan kekuatan reaksioner di waktu terjadi Razzia Agustus (1951) dan pada akhir hidupnya menjadi korban pembunuhan yang teramat keji setelah terjadinya Peristiwa 30 September '65. Politisi itu tak lain kecuali abangnya sendiri : D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Salah seorang korban dari beratus-ratus ribu korban pembunuhan demi tegaknya rezim Orde Baru.
Jika abangnya terkenal sebagai seorang politisi pembela wong cilik, maka Sobron yang dilahirkan 2 Juni 1934 di Belitung (Sumatera Selatan) itu sebagai seorang sastrawan. Pendidikannya dimulai dari H.I.S. sampai Universitas Indonesia Jakarta.
Aktivitas secara umum?
Sebagai guru di SMA Utama Salemba dan THHK (1954-1963), Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Sebagai wartawan Harian Rakyat (1955) dan Bintang Timur (1962). Sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama prof. Dr. Prijono, lalu dengan Djawoto dan Henk Ngantung (1955 - 1958); pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K.Werdoyo dan Nyak Diwan (1960 - 1962); pengurus BAPERKI bersama Siauw Giok-tjan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai pendiri "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim-Umboh dll; pendiri Akademi Sastra " Multatuli" bersama Prof. Bakri Siregar (1961-1963) dan akhirnya, salah seorang pendiri..."Restoran Indonesia" di Paris (1982).
Kreativitas seni?
Sobron mulai mengarang sejak umur 13 tahun. Karangannya yang mula-mula disiarkan yaitu cerpen berjudul "Kedaung" dalam majalah WAKTU Medan 1948. Di Jakarta secara kebetulan tinggal bersama-sama Chairil Anwar, yang berkat bimbingannya minat terhadap kesusastraan kian meluap. Sajak-sajak dan cerpen Sobron dimuat dalam MIMBAR INDONESIA, ZENITH, KISAH, SASTRA (semua di bawah asuhan H.B. Jassin). Di majalah dan Harian SUNDAY COURIER, REPUBLIK, BINTANG TIMUR (BINTANG MINGGU),HARIAN RAKYAT,ZAMAN BARU, KENCANA, SIASAT, MUTIARA, dll. Dan dalam tahun-tahun belakangan ini, Sobron sebagai salah seorang pendukung dan penulis yang aktip bagi usaha terbitan pers alternatip, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni KREASI, majalah MIMBAR, majalah opini dan budaya pluralis ARENA.
Penyair sekaligus prosais, Sobron lebih dikenal sebagai cerpenis. Dua kali sebagai pemenang hadiah sastra: yang pertama dari majalah KISSAH/SASTRA 1955-1956 untuk cerpennya yang berjudul "Buaya dan dukunnya", dan yang kedua dari HR Kebudayaan 1961 untuk cerpennya "Basimah". Buku-bukunya -- kumpulan tulisan bersama maupun individual -- semuanya dilarang beredar oleh Orde Baru: "Ketemu Di Jalan " (kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan) Balai Pustaka 1955-1956, "Pulang Bertempur" Pembaruan 1959, "Derap Revolusi" (kumpulan cerpen dan novelet) Pembaruan/Lekra 1961.
Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Russia, Tionghoa, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, Prancis.
RAZZIA AGUSTUS DAN CERITA-CERITA LAINNYA.
Sepatutnyalah seorang sastrawan yang lahir dalam tahun 30-an itu telah mengalami kehidupan yang lika-liku, warna-warni, pahit-getir maupun manis-ranum. Pengalaman, langsung maupun tak langsung, adalah amat berharga bagi kreativitas seninya. Pramoedya telah menggarisbawahi hal ini. Begitulah pula Sobron Aidit yang dibuktikan oleh kreativitas seninya sejak muda remaja hingga kini. Seperti tersimak pula dalam bukunya yang terbaru "Razzia Agustus dan cerita-cerita lainnya".
Selain sebagai penyair, penulis essei dan komentar, Sobron memang "tukang cerita". Cerita-ceritanya erat sekali dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan orang-orang dekatnya dengan wong cilik. Dengan yang memihak, membela dan memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi wong cilik. Seringkali diungkapkannya dengan humoristis, juga dengan rasa simpati, kemesraan terhadap yang akrab dan kutukan terhadap pendurhaka atau kebiadaban. Jelujur itu memang wajar dari seorang sastrawan yang sejak semula tergolong "seniman engagé".
Menelaah aktivitas-kreativitasnya, jelaslah bahwa Sobron telah turut aktip memberi sumbangan bagi khazanah sastra dan bagi perkembangan bahasa Indonesia.
Kucerpen "Razzia Agustus" ini adalah sebagai sumbangannya yang terbaru, dan saya yakin bukan yang terakhir.
Sambil menanti kreasi Sobron selanjutnya kepada pembaca saya persilakan.
D.Tanaera
Bab 112 :
Daya Tarik Negeri Kapitalis
Hampir tiga minggu saya di Holland selama bulan Juni ini. Banyak kejadian dan berita yang mendunia. Pertandingan perebutan kejuaraan-dunia sepakbola se Eropa, dibicarakan dan ditonton orang ratusan juta melalui televisi. Masing-masing orang punya keberpihakannya, punya favoritnya sendiri. Punya idolanya sendiri. Tentang sepakbola ini saja, banyak resto, pertokoan, bar, cafe yang pada sepi, kurang pelanggan datang karena orang-orang pada asyik nonton bola. Terkadang jalanan yang biasanya ramai, ketika adanya atau dimulainya atau sedang ramai-ramainya pertandingan, orang-orang mengumpul di ruangan tertentu yang ada televisinya, dan bersama-sama, ramai-ramai nonton pertandingan. Ini makan-waktu mingguan lamanya. Apa ini? Ini juga salahsatu jalan buat cari uang, mengumpulkan uang, mengeduk keuntungan tertentu. Pihak televisi, hotel, pengangkutan, iklan, rumah atau kamar-sewaan, panen uang. Pemasukan keuangan bagi badan-badan yang memang "tukang cari uang", adalah masa panen yang berlipat ganda. Belum lagi bandar-judi, taruhan, perjudian gelap.
Lalu berita besar lainnya yang juga mendunia, sebuah truk-trailer besar ketika akan melewati antara Belanda dan Belgia, Perancis, buat nyeberang ke Dover, daerah Inggeris, dirazzia, digeledah karena dicurigai. Katanya, ketika akan membayar bea-masuk, petugasnya membayar dengan uang likid, uang kontan. Padahal biasanya orang-orang akan selalu membayar dengan kartu-kredit atau cheque atau sejenis kartu-lainnya. Petugas pelabuhan mulai mencurigai trailer itu. Maka segeralah petugas pelabuhan berhubungan dengan polisi setempat, buat memeriksa trailer itu, apa isinya, mengapa begitu aneh cara masuk dan cara bayar ongkosnya.
Maka trailer, truk-gandengan itu dibongkar dari belakang, dengan kekerasan dan paksa. Tampak jelaslah, seonggokan manusia bertimbun mati lemas. Setelah dilihat dan dihitung, penumpang truk-gandengan itu ada 60 orang. 58 orang sudah mati kaku, sedangkan dua orang lagi masih bisa diselamatkan. Dan pada akhirnya dua orang ini diselamatkan dan dengan ketat "dipelihara" buat jadi bukti dan jadi kunci buat membuka rahasia yang menggemparkan itu. 60 orang itu kesemuanya orang Tiongkok, telah begitu jauh membawakan diri dalam perjalanan yang berliku-liku. Melewati Rusia, Cheko, dan Belanda, buat nyeberang ke Inggeris. Mereka rata-rata telah membayar sampai puluhan ribu dolar AS seorang buat menyeberang dan mencari kerja serta hidup di Inggeris. Mungkin saja sudah banyak yang masuk Belanda, atau Belgia atau Perancis.
Ini sebuah sindikat besar, mafia yang sangat kuat. Berhubungan dengan penjualan dan jual-beli paspor palsu, sogok-menyogok. Kalau memperhitungan uang sogokannya saja, maka dapat diperkirakan, pendatang atau "para pencari kerja" ini bukanlah orang biasa. Atau yang "memperjual-belikan orang/manusia" ini bukanlah sebagai sindikat atau mafia kelas teri, tapi kelas kakap, bahkan bisa kelas cucut.
Mau ke mana mereka? Mau cari kerja dan cari hidup di negeri kapitalis. Mengapa? Banyak bukti, sesusah-susahnya dan seberat-beratnya hidup dan bekerja banting-tulang di negeri kapitalis, tetap saja masih bisa hidup, tetap saja masih bisa kirim uang ke negeri leluhurnya, negeri asalnya. Sama saja dengan TKI atau TKW yang bekerja di negeri-negeri Arab, Singapura, Hongkong dll. Ditipu, dihisap, ditindas, diperkosa, tetap saja berjubel buat jadi tenaga kerja-kasar di negeri itu. Tokh tetap masih bisa kirim uang ke desa dan kampungnya, dan bahkan ada yang bisa dan mampu membangun rumah, rumah gedongan lagi.
Apakah mereka tidak tahu, bahwa di negeri kapitalis itu juga bukan main hebatnya penindasan, dan penghisapan, kerja mati-matian, banting-tulang, terkadang tanpa perlindungan-kerja? Mereka tahu, mereka mendengar bahkan cukup banyak pengalaman dari teman-temannya. Tetapi mereka tidak perduli. Untung-untungan, namanya juga orang cari makan, orang cari hidup. Ini artinya di tanahairnya sendiri sudah sangat sulit buat mencari kehidupan, sangat sulit buat hidup minimum dengan rasa aman dan terlindungi. Sebab kalau wajar-wajar saja, takkan mau mereka menukarkan jiwanya, taruhan nyawanya, dengan sekedar bisa belanja menanggung kehidupan secara minimal saja. Daya tarik kehidupan di negeri kapitalis tampaknya sangat luarbiasa, biarpun penghisapan dan penindasannya juga luarbiasa. Tetapi tentulah mereka membandingkan, memperhitungkan akan untung-ruginya hidup di antara kedua tanah itu. Tanah-air mereka sendiri dan tanah-air asing, negeri kapitalis itu sendiri.
Ketika puluhan tahun atau belasan tahun yang lalu, di mana blok negeri sosialis masih cukup berjaya, maka perbandingan mana yang beratsebelah, yang banyak didatangi orang. Apakah atau banyak mana yang melarikan diri atau masuk menyelundupkan diri, apakah orang-orang dari negeri kapitalis masuk atau melarikan diri ke negeri sosialis, ataukah orang-orang negeri sosialis yang melarikan diri dan masuk ke negeri kapitalis? Tampaknya jauh lebih banyak orang-orang dari negeri sosialis yang melarikan diri dan masuk ke negeri kapitalis. Bahkan berani menantang dengan mempertaruhkan nyawa dan jiwaraga, menyeberangi lautan yang paling ganas sekalipun, berani menaiki dan memanjat tembok-Berlin, berani menjadi boat-people segala, berani dan siap mati ditembak. Mengapa semua ini?
Hanya buat mencari kerja dan kehidupan yang sudah diperhitungkannya akan cukup lebih menguntungkan daripada di negerinya sendiri. Persoalan ini sebenarnya, seharusnya menjadi persoalan negara tertentu yang warganegaranya begitu berani dan nekad hijrah ke negeri orang lain. Karena negerinya sendiri sudah tak bisa, tak mampu memberi kehidupan bagi warganegaranya sendiri. Terkadang bukan hanya dari soal keuangan dan perekonomian saja, tetapi cukup banyak karena masalah politik. Tidak ada jaminan keamanan, tidak ada hukum, tidak ada keadilan. Tempat yang paling tidak adil yalah pengadilan dan mahkamah-agung, tempat yang paling banyak korupsi malah di kementerian keuangan, dan bank, pusat-pusat terbasah seperti pabean, imigrasi, bea-cukai, di mana banyak uang ke luar-masuk, lalulintas keuangan.
Yang paling banyak menderita, kemiskinan, ketidakberdayaan, kemelaratan, adalah orang-orang, penduduk dan rakyat yang samasekali tak punya jalur-hukum, tak punya andalan apapun, baik kenalan maupun keluarganya. Maka terkadang bisalah dimengerti, daripada mereka hidup tak menentu tanpa tahu kapan akan mati dan kapan akan jadi korban penangkapan, korban penculikan, korban penipuan, apakah mereka akan diam saja, tidak mencari jalan lain?























Paris 29 Juni 2000,-PUISI TENTANG KAYA
Orang miskin kaya akan harapan
Orang kaya sungguh menggunung
harta benda rumah dan tanah
Timor Timur kaya akan pembunuhan.
Suharto - Habibi kaya akan korupsi
tapi sangat miskin akan demokrasi
RI - Orba - TNI kaya akan pembunuhan
tapi sangat miskin akan keadilan.
Rakyat Indonesia kaya akan penderitaan
kaum atasan, elite, kaya akan penipuan
pemimpin kaya akan tipu-daya
Aceh - Timor Timur kaya akan korban pembunuhan.
Yau, saudaraku, kita sungguh kaya
yang satu dengan harapan-harapan
doa-doa dan minta-minta
yang lain dengan tipu-daya dengan korupsi
pembunuhan, penyiksaan, setiap hari, setiap hari.
Inilah kekayaan kita
yang satu dengan harapan-harapan, angan-angan, cita-citaBerhati-hatilah
Jangan dilihat ketika dia jatuh
tapi rasakan dan saksikan cakar-cakar
merayapi urat-urat kehidupan
yang tetap saja masih bersikukuh.
Memang dia pandai dan lihay
jatuhnya karena ferormasi
tapi diam-diam dia turut - ikut
menyelinap di barisan reformasi
namun demikian yang namanya burung gagak
di mana-mana tetap hitam
di mana-mana tetap makan bangkai.
Kini jadi begitu banyak yang namanya reformasi
ada yang mengandung tebu
ada yang mengandung tuba
ada yang bermadu
ada yang bersida
lalu apa itu namanya reformasi
kalau tetap saja anti-Cina
kalau tetap saja anti-Kristen
kalau tetap saja anti-marxis
yang padahal semua itu kesatuan tubuh bangsa
yang padahal cabang dan ranting serta daun-daun ilmu.
Lepaskan tahanan demi kebaikan reformasi
tapi yang PRD dan yang "gula 30 sekilo" tunggu dulu
tunggu burung gagak selesai merengguti daging
dari tulang-tulang mayat
ya, reformasi, kini kau jadi begitu banyak
aliran dan tapsiran
begitu banyak gagak-gagak berlindung jadi burung gereja
beterbangan manis,lucu dan menyenangkan
padahal kau tidak lucu,sangat menyebalkan,membencikanBALI - satu
Tetap saja yang terlihat
yang selalu dulu-dulu
bagaikan plat gramofone
berputar-putar jalan di tempat.
Krismon dan krisnom
resto penuh, pasar padat, hotel perang harga
orang-orang menjilati es rim
pesta babi-guling dan bule-bule
bergelamparan berjemur badan
dengan susu menggunung menantang.
Bule-bule simpang-siur saling senyum
jual-beli barang haram
ke luar masuk warung tattuage
jeprat-jepret ketika ritual agama
tiada perduli adat setempat
mahapenting : kepuasan mata, hati, dan perut
melayu pribumi tak lagi saling hormat
berburu duit memang tak perlu ada-beradat.
Tertegun diri : inikah Bali
yang katanya surgawi di bumi?
Seakan Bali bukan lagi milik pribumi
bule-bule betapa sudah
mengangkangi dan melecehkan budaya luhur
di sarang-sarang foya elite
rupiah benar-benar anjlok dan luntur
sedangkan dollar menjadi raja alat-ukur
tampaknya adat dan budaya serta seni
seakan terpatung tegak demi dollar.
Tampaknya Bali benar-benar campur berbaur
entah kepunyaan siapa
antara bule dan pribumiBALI - dua
Ombak mengalun
dan angin silir-silir menjamah
pucuk puncak kelapa
lalu berderai daun-daun
bagaikan gerak memetik senar kecapi,-
Dari jauh terdengar merdunyi suling
masih berdaya getar : gendang dan gending
tiba-tiba saja cacat di mata tua ini
terdengar ribut-ribut antara bule
karena berebut cewek
tak cocok harga lalu menyalahkan pribumi.
Semuanya yang dulu-dulu
memang masih adaBALI - duapuluh satu
Orang-orang, pejabat-pejabat
koran-koran menulis setiap hari
tentang Bank Bali, lagi-lagi Bank BaliBALI - sebelas
Tekukur - perkutut bernyanyi manggut-manggut
beterbangan antara pucuk bougenvil
membuka hari menulisi pagi
orang-orang siap ke kantor
pejabat - pegawai - eksekutif siap
dengan bagan-bagan, rencana-rencana korupsi.
Pedagang-besar, pedagang-kecil, kakilima, asongan
siap dengan rencana paksaan dan bujukan
penjaja seks dengan rencana memulas senyuman
agar harta kecil sedikit membesar
siapa tahu mampu membuka kredit rumah
siapa tahu diboyong cowok Eropa.
Mentari mulai meninggi
berapa dapat hari ini?
Resto dan hotel penuh pelanggan
sayang sang boss bukan bangsa sendiri
orang Bali selalu makan gaji
pada bangsa pendatang
orang Timor Timur selalu makan gaji dan kena aniaya
preman baju-hijau
pendatang dari Jawa
yang satu wangsa Eropa
yang satu orang dewek.
Sanur 4 Agustus 1999,-

sedang orang-orang Bali di Bali sendiri
tak tahu dan tak mengerti
mengapa mereka bicara tentang Bank Bali
yang orang Bali sendiri tidak ambil perduli.
Perkara korupsi?
Mungkin obat mujarab
hanyalah revolusi
juga pesemaian subur demokrasi
takkan bersemi tanpa revolusi!
Ngurah Rai 13 Agustus 199
tapi hanya semata tinggal
remah-remah sisa belaka!
Kuta 31 Juli 1999,-
kebutuhan perdagangan
tak perlu apa dan bagaimana
terpenting dan pokok : fulus tetap raja utama.-
Nusa Dua 30 Juli 99,-
masih juga tetap ingin,masih ingin,masih mau
mau terus menunggangi kami
bagaikan bandot kebelet-kesemsem,terus masih mau
menghisap,menipu,menghina,dan melecehkan kami
padahal katanya kau sudah jatuh
ternyata cakar-cakarmu tetap saja masih kukuh,-
11 Juni 1998
yang lain setiap hari bersiasat buat menipu kita,-
Paris 13 September 1999,-

Erobar, Oktober 1992
Paris, Juni 1991



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Sastrawan dan Sastra yang Terpinggir
Sudah menjadi kenyataan selama kekuasaan Suharto - Orba, lebih 30 tahun, ada suatu bagian dalam kehidupan bangsa ini yang terasa hilang. Yang hilang atau dengan istilah lebih moderatnya, terpinggir, yalah tidak munculnya atau dilarang munculnya sastrawan dan sastra yang dianggap berasal dari Lekra. Semua buku atau tulisan yang berbentuk buku dan siaran, dilarang oleh penguasa Suharto - Orba. Siapa saja dan apa saja hasil sastra yang dilahirkan pada zaman yang dianggap Orla dan yang dianggap Lekra, dilarang beredar, dilarang terbit. Kalaupun terbit dengan "gelap-gelapan", maka sudah dipersiapkan seperangkat undang-undang dan peraturannya buat melarangnya. Kejaksaan Agung akan memanggil sumbernya. Hal ini berkali-kali pernah dialami penerbitan Hasta Mitra karena berani-beraninya menerbitkan karya Pramoedyua Ananta Toer. Tapi sebagaimana Pram, sebagai pengarang dan salah seorang pengurus penerbitan itu tidak pernah menggubris larangan. "Tutup buku" dengan semua aparat penguasa demikian Pram.
Sebenarnya Pram juga banyak menemui pemboikotan, dari sana sini, dari berbagai pihak. Dia pernah tidak diakui sebagai pengarang Indonesia, paling-paling hanya sebagai pengarang Lekra saja. Tetapi Pram terlalu besar, terlalu hebat, terlalu luarbiasa untuk tidak diakui dan untuk dipinggirkan. Tidak diakui dan dilarang terbit di negaranya sendiri,tetapi di negara lain, luarnegeri sudah siap menampung, menerbitkan dan menterjemahkannya. Oleh kalangan kritikus yang berbobot paus dan yang sedang-sedang saja, pernah Pram mendapati pengalaman seakan-akan tidak diperdulikan, tidak dibicarakan, tidak masuk catatan, tidak masuk daftar sebagai pengarang Indonesia,- dia hanyalah pengarang Lekra yang terlarang itu.
Oleh terlalu besarnya, dan terlalu hebatnya Pram, yang karyanya melebihi sastrawan manapun, yang sudah diterjemahkan dalam 28 bahasa asing, dan juga sudah berkali-kali termasuk calon, nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra Dunia, maka "mau tak mau, dan terpaksa" kalangan dalam negeripun juga lalu turut membicarakan Pram sebagai sastrawan Indonesia! Dan Pram dengan segala perjuangan yang pahit, tapi ulet, selalu menang! Lalu sampai A. TEEUW-pun turut mau juga membicarakannya. Dulu sebelum adanya kemelut peristiwa-gelap bangsa ini, Pram termasuk sastrawan Indonesia. Tetapi begitu terjadi peristiwa 1965, lalu keberadaan Pram mau dihapuskan sejarah, sejarah mereka! Nyatanya tidak bisa. Pram dengan kehebatan, keluarbiasaan karyanya, adalah orang nomor satu sastrawan Indonesia yang sudah terdaftar di kalangan pemberi Hadiah Nobel Sastra Dunia. Pram terlalu besar buat diremehkan, buat tidak dibicarakan, buat dipinggirkan!
Tetapi sebenarnya masih ada "pram-pram kecil yang berkeliaran dan kelayaban" di tanah rantau atau di dalam negerinya sendiri. Hanya akibat kerusakan dan perusakan dan daya rusak serta daya keterbelakangan rezim Suhartro - Orba, sangat sulit buat mereka bisa memasuki gelanggang dan arena. Masih banyak karya yang terpendam di laci, di lemari dan masih banyak naskah tulisan, yang orang tidak mau, tidak berani menerbitkannya. Banyak "matapencaharian" penulis, sasterawan di dalam negeri yang mengerjakan terjemahan atau tulisan aslinya. Kalaupun ada yang mau dan berani menerbitkannya, ada syarat yang harus dipenuhi penulis atau penterjemahnya, nama harus diubah, harus nama samaran! Kenapa? Penerbit dan toko-buku tidak mau menanggung risiko kerugian material apalagi kerugian moral. Karena takut ketahuan dan lalu dilarang bahkan bisa ditangkap penguasa. Kalau sudah begini artinya tertutuplah semua lubang dan celah-celah kehidupan.
Ada lagi istilah ngenyek buat hasil sastra yang berbau progresif dan maju, yang disebut juga kiri. Termasuk seorang penyair kenamaan-pun pernah terkena ejekan ini, yaitu WS. Rendra. Ada yang mengatakan, kalau hanya begitu saja sih, maka hasil sastra begituan bisa disebut "sastra poster" "sastra pamphlet", "sastra pesanan" dan bermacam sebutan tidak enak demi menolak sastra yang menyatakan, kebenaran tetapi dengan cara-cara baru.
Kalangan tertentu tetap menyebutkan pengarang Lekra atau sastrawan Lekra buat sebutan kepada Agam Wispi, HR Bandaharo, Joebar Ajoeb, dan yang lainnya. Tidak disebutkan bahwa mereka juga adalah pengarang dan sastrawan Indonesia! Kenapa tidak menyebutkan Sitor Situmorang sebagai pengarang dan sastrawan LKN? Kenapa tidak menyebutkan Taufik Ismail sebagai pengarang Manikebu, atau Asrul Sani sebagai pengarang Lesbumi? Mereka disebutkan sebagai pengarang dan sastrawan Indonesia, bukan dari "kandang mereka yang dikotakkan". Sedangkan orang-orang Lekra dikandangkan, disempitkan, dipinggirkan.
Semua mereka yang dituliskan di atas adalah sastrawan Indonesia, bukan sastrawan Lekra, LKN maupun Manikebu ataupun Lesbumi. Mereka mengangkat harkat bangsa dan negara, tidak terdapat pandangan yang begitu sempit dalam karangan mereka. Apa yang selalu diangkat dalam karya Pram? Tidak secuilpun yang "menjelekkan dan menyudutkan kekuasaan yang sekarang ini". Yang ditulisnya adalah sejarah perjalanan bangsa ini, bahkan sejarah budaya dan adat istiadat jauh di belakang kita. Bahwa akhirnya penguasa merasakan itu adalah sindiran, permisalan, adalah soal lain. Kata peribahasa kampung kami " siapa yang terkena dialah yang merasa pedas dan sakit". Dan tulisan Pram adalah secara umum, bukannya dicari-cari, dan memang ada sejarahnya. Lihat misalnya tetralogi tulisan selama di Pulau Buru itu yang memang ada bahan sejarahnya, apalagi Arus Balik dan Arok Dedes.
Akibat semua kekangan, semua dan selama kekuasaan Suharto - Orba, daya rusak dan keterbelakangan perjalanan bangsa ini benar-benar mengalami setback yang luarbiasa. Yang paling dirasakan oleh sastrawan yang dipinggirkan ini, yang masih kelayaban di tanah pengasingan, maupun yang ada dalam negeri, betapa susahnya, betapa sulitnya memasuki "dunia-resmi" dan yang bisa dan biasa tercatat dihadapan masyarakat umum, di depan audience. Karya dan tulisan mereka sangat sulit diorbitkan, sangat sakit buat orang mengumumkannya. Karena berbagai halangan dan pikiran yang masih membelenggu akibat perjalanan sejarah-gelap baru-baru ini. Dan "nasib" sastrawan dan sastra yang terpinggirkan itu, buat memunculkan diri saja bukan main harus menerobos begitu banyak penghalang. Semoga saja dengan keuletan yang juga harus luarbiasa, akan datang kembali "anak yang pernah hilang" selama lebih 30 tahun dulu itu.
Paris 18 Mei 2000untuk:
keluargaku,
sahabat,
teman dan kenalan
serta kampung halaman.
Jumpa Lawan I
Abubakar orangnya gemuk. Banyak omong, suka berkelakar. Ramah dan karenanya banyak kawan. Orang kampung kami menggelarinya, Akai. Penduduk kampung kami lazim memberi ragam gelar kepada orang; nama Ismail misalnya pasti dipanggil: Meng. Yang namanya Harpan atau Arpan, akan selalu digelari Lepuk, ikan buntal yang sisiknya tajam, beracun. Begitulah pula kaum wanita, yang nama ujungnya ah akan berubah meniadi ot, misalnya saja Halimah jadi Halimot; Nerisah menjadi Nerisot, dan Isah jadi Isot.
Nah, kembali pada si Akai alias Abubakar tadi. Dia ini sering singgah ke rumah kami di Gondangdia, bersama istrinya. Teman hidupnya itu cantik rupawan, keturunan Cina; kata orang banyak, si Elly itu asal Singapura. Kabarnya dulu Akai pernah merantau ke Singapura, lalu didapatnya Elly, Cina cantik itu. Kalau sudah berkisah tentang masa-masa tersebut, bukan keoalang bersemangatnya Akai.
Dengan lancar Akai bertutur tentang kejadian antara tahun 1946 hingga awal 1948, masa ia menjadi anggota gerilya dan turut mencari senjata ke Singapura dan Hongkong. Tak lupa diselipkannya juga, bahwa yang memimpin penyelundupan ke Singapura dan Hongkong tersebut adalah Dr. A.K. Gani. Siapa pula yang tak kenal Adnan Kapau Gani, orang Palembang-Bengkulu itu, pernah menteri lagi, bahkan pernah main dalam filem. Jadi Akai adalah anggota penyelundupan tadi, kabarnya ia membawa gula, rempah-rempah dan lainnya, untuk kemudian ditukar dengan senjata. Bila Akai tengah bercerita begini, lantas ada di antara kami yang bertanya ini-itu; bukan main senangnya hati Akai. Pasti pertanyaan itu berjawab.
"Katanya ada penyelundup lain lagi yang bahkan punya kapal sendiri, juga untuk mencari senjata buat republik...", tukas seorang dari kami.
"O ya, itu kan untuk bagian timur. Alaahh... si Anu, siapa tu, aaa... si John Lie, dari Sulawesi. Mayor pangkatnya. Eeh, tahu juga kau rupanya", ujar Akai sambil memuji sedikit pada yang bertanya itu.
"John Lie juga hebat rupanya, ia temanku. Terkadang kami sama-sama juga, tapi group kami tetap bersama pak Gani. Tahu kan Pak Gani, yang digelari "the greatest smuggler in Southeast Asia", penyelundup terbesar di Asia Tenggara", tambah Akai, sekaligus memperagakan bahasa Inggrisnya.
Kami remaja tanggung usia limabelasan tersebut, senang juga mendengar cerita Akai, walau pun sedikit-sedikit kami paham juga bahwa Akai gemar membual, acap membohong. Bahkan ada yang menamakan nya "si mulut besar", suka omong gedé. Apalagi kalau bercerita tentang revolusi, tentang pertempuran, wah.... bukan main semangat, menggebu. Seolah-olah dialah yang paling berani.
Anehnya, tak sekalipun kami tampak ia berseragam militer, atau bekerja di suatu kantor. Tak jelas apa pekerjaan sebenarnya. Yang pasti, Akai sering menginap di hotel, khususnya di Hotel Centraal di Jalan Citadel. Pernah juga di Hotel Des Indes, lalu Hotel Transaera, pokoknya masuk hotel, keluar hotel. Ada lagi kabar mengatakan,ia acap diusir kalau sudah terlalu lama tidak membayar ongkos menginap di hotelnya. Malah pernah diadukan ke pengadilan. Namun karena orangnya pandai bicara dan menggertak, cekatan jual obat, kata orang; misalnya menyebut menteri anu, komisaris polan adalah paman atau sahabatnya, maka Akai selalu los dari penangkapan. Janganlah coba mengusik, mencari tahu, apalagi menyelidiki kebenaran cerita dari Akai, sebab kalau sudah tahu latar belakang ceritanya tersebut, tak ada lagi yang menarik dari omongannya itu. Justru karena ketidaktahuan kamilah, maka kami senang mendengar cerita-cerita Akai.
Suatu kali Akai berkisah, ia naik kapai milik maskapai Belanda KPM, Jansens, namanya. Entah bagaimana awalnya, mendadak lampu kamar mandi Akai padam. Ia lantas mengamuk, lampu-lamu dan peralatan lain di kapal di pecahkannya. Kapten kapal tentu saja marah, dan menahan Akai dalam perjalanan dari Jakarta ke Tanjungpandan. Tapi di ruangan kapal khusus untuk anak-buah kapal tersebut, Akai malah menggugat sang Kapten. Akai mendakwa, katanya:
"Tuan tahu, dalam tahun ini juga semua kapal KPM akan saya beli, akan kami ambil-alih. Ini saya rundingkan Pada Jenderal Karmono di Istana saat kami menghadap Bung Karno. Kalau Tuan mengakui kesalahan Tuan, dan berjanji memperbaiki pekerjaan Tuan demi kelancaran kerja kami di republik ini, niscaya Tuan akan saya pakai. Tuan boleh kerja seterusnya di kapal saya ini, nantinya. Ingat itu. Catat nama saya, dan Tuan boleh pikir baik-baik. Pulang ke Holland atau kerja dengan kami."
Mendengar ucapan Akai, sang kapten gementar dan segera melepaskan Akai sembari mohon maaf.
Akai sungguh punya bakat menggertak, ada tampang pula, gemuk gagah, dan fasih berdebat. Pandai menggunakan saat semisal pengambil-alihan kapal KPM menjadi milik maskapai republik, PELNI. Sehingga tanpa ragu orang lekas percaya, konon dikaitkan pula dengan nama jenderal, dan kunjungannya ke Istana segala.
Apabila Akai ke rumah dan kebetulan naik becak saja, ia sering memojokkan ayahku dengan berkata: "Bang, tolong bayarkan becakku, tak ada uang kecil." Dan ayah segera menyuruhku membayarkan becak itu.
Akai segera mengobrol dengan ayah, sambil mmbunuh waktu menunggu makan siang. Terkadang istrinya Elly ikut serta mengobrol ke rumah kami. Obrolannya kebanyakan itu ke itu juga, perihal revolusi, pertempuran di Jawa-Tengah Jawa-Barat,lalu penyelundupan bersama A.K. Gani tadi. Ayah mendengarkan saja, sesekali bertanya ini-itu.
Padahal kami tak tahu apa kerja Akai, tinggalnya di hotel namun sering tak punya uang. Ada yang menyebutkan, pendapatannya kini adalah tabungan hasil menyelundup ke Singapura. Bahkan terbetik berita, istrinya ditawar-tawarkannya, karena dulu pun memang kerja begituan, dan sesungguhnya Elly asli Cina Hongkong. Macam-macam saja.
Tapi satu hal yang jelas, Elly cantik dan di samping itu baik budi, jauh berbeda dengan watak suaminya. Sang istri pun acap tak percaya akan obrolan suaminya, Akai. Ayah juga tidak percaya pada cerita Akai, namun tak pernah mengatakan bahwa Akai bohong atau omong-besar. Ayah tak pernah pula mencela apalagi memaki Akai. Beliau tetap menerima baik kedatangan Akai dan istrinya. Ibuku pun ramah pada mereka. Hanya aku dan para kawanku meragukan cerita Akai.
Cobalah pikir. Bila Akai berdatang ke rumah kami, selalu saja waktunya serba tanggung, misalnya pukul 11.00 dekat jam makan siang, atau pukul 18.00 menjelang makan malam. Akibatnya kami makan bersama kedua suami-istri itu. Walau ayah belum pulang dari sidang - sidang parlemen DPRS, Akai akan menunggunya dengan sabar Dan aku akan mendengarkan kembali obrolan Akai, yang kuladeni juga sembari asyik melirik Elly yang rasanya makin hari semakin cantik dalam pandanganku. Maklum usiaku baru berangkat tujuh-belas, mudah bergetar bila berdekatan dengan wanita cantik harum.
Demikianlah, suatu kali Akai berkisah yang agak seram. Jaman revolusi. Pertempuran di sekitar Krawang. Seorang prajurit gerilya, kena tembakan Belanda. Namanya Sadri, kawan Akai sendiri. Lehernya luka parah, menganga karena peluru telah menembus bagian depan. Darah mengalir terus, dan Sadri jadi persoalan. Akan dibawa, digotong, atau ditinggal saja? Pasukan republik yang menurut Akai dipimpinnya, harus segera lari. Aku harus cepat dan tegas mengambil keputusan, tambah Akai. Bagaimana cara "menyelamatkan" Sadri? Dengan mata penuh belas-kasihan dan mohon maaf, Akai sebagai komandan, mendekati Sadri yang bersimbah darah.
Akai melanjutkan, saat itulah Sadri dengan suara terputus-putus dan perlahan berkata:
"Pak Abubakar, lakukanlah apa yang baik. Segeralah akhiri penderitaan saya ini..." Dengan penuh sesal Akai meletakkan ujung revolver-nya di tentang jantung Sadri. Bunyi "dor" menyelesaikan penderitaan Sadri. Akai beserta pasukannya segera lari dari kejaran pasukan Belanda.
Mendengarkan kisah tersebut, ibuku terlihat ngeri, tetapi Elly, istri Akai, nampak biasa mja. Ayah juga terlihat santai, sedikit senyum menganggukkan kepalanya. Aku yang sejak sekolah rakyat gemar membaca novel, segera ingat kisah begini Pernah kubaca. Seakan memecah keheningan, Elly berkata pada ayahku:
"Alaah ... bang, tak usahlah percaya sama Bang Akai ini."
"Ah, kau mana tahu. Ketika aku berjuang,bertempur dulu, kau kan masih kecil..," bela Akai pada kata-kata istrinya.
"Dia bohong, bang," ujar Elly pada ayah.
"Bang Akai suka berdusta, jangan percaya dia."
Mendadak ayah menjawab :
"Bukan hanya Akai yang suka bohong, sayapun mungkin lebih suka bohong dibanding Akai."
"Mengapa begitu,bang? Rasaku tidak mungkin", saut Elly.
"Ya...", kata ayah. "Selama ini saya sering membohongi Akai, sehingga Akai yakin betul bahwa saya percaya semua cerita Akai, padahal itu tidak benar. Kan saya lebih suka bohong daripada Akai," tambah ayah mengakhiri keheranan si cantik Elly.
SOBRON AIDIT
sastrawan engagé
Siapakah Sobron Aidit?
Namanya berkaitan erat dengan nama lainnya yang terkenal sebagai politisi. Seorang politisi yang menjadi buruan kekuatan reaksioner di waktu terjadi Razzia Agustus (1951) dan pada akhir hidupnya menjadi korban pembunuhan yang teramat keji setelah terjadinya Peristiwa 30 September '65. Politisi itu tak lain kecuali abangnya sendiri : D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Salah seorang korban dari beratus-ratus ribu korban pembunuhan demi tegaknya rezim Orde Baru.
Jika abangnya terkenal sebagai seorang politisi pembela wong cilik, maka Sobron yang dilahirkan 2 Juni 1934 di Belitung (Sumatera Selatan) itu sebagai seorang sastrawan. Pendidikannya dimulai dari H.I.S. sampai Universitas Indonesia Jakarta.
Aktivitas secara umum?
Sebagai guru di SMA Utama Salemba dan THHK (1954-1963), Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Sebagai wartawan Harian Rakyat (1955) dan Bintang Timur (1962). Sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama prof. Dr. Prijono, lalu dengan Djawoto dan Henk Ngantung (1955 - 1958); pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K.Werdoyo dan Nyak Diwan (1960 - 1962); pengurus BAPERKI bersama Siauw Giok-tjan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai pendiri "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim-Umboh dll; pendiri Akademi Sastra " Multatuli" bersama Prof. Bakri Siregar (1961-1963) dan akhirnya, salah seorang pendiri..."Restoran Indonesia" di Paris (1982).
Kreativitas seni?
Sobron mulai mengarang sejak umur 13 tahun. Karangannya yang mula-mula disiarkan yaitu cerpen berjudul "Kedaung" dalam majalah WAKTU Medan 1948. Di Jakarta secara kebetulan tinggal bersama-sama Chairil Anwar, yang berkat bimbingannya minat terhadap kesusastraan kian meluap. Sajak-sajak dan cerpen Sobron dimuat dalam MIMBAR INDONESIA, ZENITH, KISAH, SASTRA (semua di bawah asuhan H.B. Jassin). Di majalah dan Harian SUNDAY COURIER, REPUBLIK, BINTANG TIMUR (BINTANG MINGGU),HARIAN RAKYAT,ZAMAN BARU, KENCANA, SIASAT, MUTIARA, dll. Dan dalam tahun-tahun belakangan ini, Sobron sebagai salah seorang pendukung dan penulis yang aktip bagi usaha terbitan pers alternatip, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni KREASI, majalah MIMBAR, majalah opini dan budaya pluralis ARENA.
Penyair sekaligus prosais, Sobron lebih dikenal sebagai cerpenis. Dua kali sebagai pemenang hadiah sastra: yang pertama dari majalah KISSAH/SASTRA 1955-1956 untuk cerpennya yang berjudul "Buaya dan dukunnya", dan yang kedua dari HR Kebudayaan 1961 untuk cerpennya "Basimah". Buku-bukunya -- kumpulan tulisan bersama maupun individual -- semuanya dilarang beredar oleh Orde Baru: "Ketemu Di Jalan " (kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan) Balai Pustaka 1955-1956, "Pulang Bertempur" Pembaruan 1959, "Derap Revolusi" (kumpulan cerpen dan novelet) Pembaruan/Lekra 1961.
Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Russia, Tionghoa, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, Prancis.
RAZZIA AGUSTUS DAN CERITA-CERITA LAINNYA.
Sepatutnyalah seorang sastrawan yang lahir dalam tahun 30-an itu telah mengalami kehidupan yang lika-liku, warna-warni, pahit-getir maupun manis-ranum. Pengalaman, langsung maupun tak langsung, adalah amat berharga bagi kreativitas seninya. Pramoedya telah menggarisbawahi hal ini. Begitulah pula Sobron Aidit yang dibuktikan oleh kreativitas seninya sejak muda remaja hingga kini. Seperti tersimak pula dalam bukunya yang terbaru "Razzia Agustus dan cerita-cerita lainnya".
Selain sebagai penyair, penulis essei dan komentar, Sobron memang "tukang cerita". Cerita-ceritanya erat sekali dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan orang-orang dekatnya dengan wong cilik. Dengan yang memihak, membela dan memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi wong cilik. Seringkali diungkapkannya dengan humoristis, juga dengan rasa simpati, kemesraan terhadap yang akrab dan kutukan terhadap pendurhaka atau kebiadaban. Jelujur itu memang wajar dari seorang sastrawan yang sejak semula tergolong "seniman engagé".
Menelaah aktivitas-kreativitasnya, jelaslah bahwa Sobron telah turut aktip memberi sumbangan bagi khazanah sastra dan bagi perkembangan bahasa Indonesia.
Kucerpen "Razzia Agustus" ini adalah sebagai sumbangannya yang terbaru, dan saya yakin bukan yang terakhir.
Sambil menanti kreasi Sobron selanjutnya kepada pembaca saya persilakan.
D.Tanaera
Bab 112 :
Daya Tarik Negeri Kapitalis
Hampir tiga minggu saya di Holland selama bulan Juni ini. Banyak kejadian dan berita yang mendunia. Pertandingan perebutan kejuaraan-dunia sepakbola se Eropa, dibicarakan dan ditonton orang ratusan juta melalui televisi. Masing-masing orang punya keberpihakannya, punya favoritnya sendiri. Punya idolanya sendiri. Tentang sepakbola ini saja, banyak resto, pertokoan, bar, cafe yang pada sepi, kurang pelanggan datang karena orang-orang pada asyik nonton bola. Terkadang jalanan yang biasanya ramai, ketika adanya atau dimulainya atau sedang ramai-ramainya pertandingan, orang-orang mengumpul di ruangan tertentu yang ada televisinya, dan bersama-sama, ramai-ramai nonton pertandingan. Ini makan-waktu mingguan lamanya. Apa ini? Ini juga salahsatu jalan buat cari uang, mengumpulkan uang, mengeduk keuntungan tertentu. Pihak televisi, hotel, pengangkutan, iklan, rumah atau kamar-sewaan, panen uang. Pemasukan keuangan bagi badan-badan yang memang "tukang cari uang", adalah masa panen yang berlipat ganda. Belum lagi bandar-judi, taruhan, perjudian gelap.
Lalu berita besar lainnya yang juga mendunia, sebuah truk-trailer besar ketika akan melewati antara Belanda dan Belgia, Perancis, buat nyeberang ke Dover, daerah Inggeris, dirazzia, digeledah karena dicurigai. Katanya, ketika akan membayar bea-masuk, petugasnya membayar dengan uang likid, uang kontan. Padahal biasanya orang-orang akan selalu membayar dengan kartu-kredit atau cheque atau sejenis kartu-lainnya. Petugas pelabuhan mulai mencurigai trailer itu. Maka segeralah petugas pelabuhan berhubungan dengan polisi setempat, buat memeriksa trailer itu, apa isinya, mengapa begitu aneh cara masuk dan cara bayar ongkosnya.
Maka trailer, truk-gandengan itu dibongkar dari belakang, dengan kekerasan dan paksa. Tampak jelaslah, seonggokan manusia bertimbun mati lemas. Setelah dilihat dan dihitung, penumpang truk-gandengan itu ada 60 orang. 58 orang sudah mati kaku, sedangkan dua orang lagi masih bisa diselamatkan. Dan pada akhirnya dua orang ini diselamatkan dan dengan ketat "dipelihara" buat jadi bukti dan jadi kunci buat membuka rahasia yang menggemparkan itu. 60 orang itu kesemuanya orang Tiongkok, telah begitu jauh membawakan diri dalam perjalanan yang berliku-liku. Melewati Rusia, Cheko, dan Belanda, buat nyeberang ke Inggeris. Mereka rata-rata telah membayar sampai puluhan ribu dolar AS seorang buat menyeberang dan mencari kerja serta hidup di Inggeris. Mungkin saja sudah banyak yang masuk Belanda, atau Belgia atau Perancis.
Ini sebuah sindikat besar, mafia yang sangat kuat. Berhubungan dengan penjualan dan jual-beli paspor palsu, sogok-menyogok. Kalau memperhitungan uang sogokannya saja, maka dapat diperkirakan, pendatang atau "para pencari kerja" ini bukanlah orang biasa. Atau yang "memperjual-belikan orang/manusia" ini bukanlah sebagai sindikat atau mafia kelas teri, tapi kelas kakap, bahkan bisa kelas cucut.
Mau ke mana mereka? Mau cari kerja dan cari hidup di negeri kapitalis. Mengapa? Banyak bukti, sesusah-susahnya dan seberat-beratnya hidup dan bekerja banting-tulang di negeri kapitalis, tetap saja masih bisa hidup, tetap saja masih bisa kirim uang ke negeri leluhurnya, negeri asalnya. Sama saja dengan TKI atau TKW yang bekerja di negeri-negeri Arab, Singapura, Hongkong dll. Ditipu, dihisap, ditindas, diperkosa, tetap saja berjubel buat jadi tenaga kerja-kasar di negeri itu. Tokh tetap masih bisa kirim uang ke desa dan kampungnya, dan bahkan ada yang bisa dan mampu membangun rumah, rumah gedongan lagi.
Apakah mereka tidak tahu, bahwa di negeri kapitalis itu juga bukan main hebatnya penindasan, dan penghisapan, kerja mati-matian, banting-tulang, terkadang tanpa perlindungan-kerja? Mereka tahu, mereka mendengar bahkan cukup banyak pengalaman dari teman-temannya. Tetapi mereka tidak perduli. Untung-untungan, namanya juga orang cari makan, orang cari hidup. Ini artinya di tanahairnya sendiri sudah sangat sulit buat mencari kehidupan, sangat sulit buat hidup minimum dengan rasa aman dan terlindungi. Sebab kalau wajar-wajar saja, takkan mau mereka menukarkan jiwanya, taruhan nyawanya, dengan sekedar bisa belanja menanggung kehidupan secara minimal saja. Daya tarik kehidupan di negeri kapitalis tampaknya sangat luarbiasa, biarpun penghisapan dan penindasannya juga luarbiasa. Tetapi tentulah mereka membandingkan, memperhitungkan akan untung-ruginya hidup di antara kedua tanah itu. Tanah-air mereka sendiri dan tanah-air asing, negeri kapitalis itu sendiri.
Ketika puluhan tahun atau belasan tahun yang lalu, di mana blok negeri sosialis masih cukup berjaya, maka perbandingan mana yang beratsebelah, yang banyak didatangi orang. Apakah atau banyak mana yang melarikan diri atau masuk menyelundupkan diri, apakah orang-orang dari negeri kapitalis masuk atau melarikan diri ke negeri sosialis, ataukah orang-orang negeri sosialis yang melarikan diri dan masuk ke negeri kapitalis? Tampaknya jauh lebih banyak orang-orang dari negeri sosialis yang melarikan diri dan masuk ke negeri kapitalis. Bahkan berani menantang dengan mempertaruhkan nyawa dan jiwaraga, menyeberangi lautan yang paling ganas sekalipun, berani menaiki dan memanjat tembok-Berlin, berani menjadi boat-people segala, berani dan siap mati ditembak. Mengapa semua ini?
Hanya buat mencari kerja dan kehidupan yang sudah diperhitungkannya akan cukup lebih menguntungkan daripada di negerinya sendiri. Persoalan ini sebenarnya, seharusnya menjadi persoalan negara tertentu yang warganegaranya begitu berani dan nekad hijrah ke negeri orang lain. Karena negerinya sendiri sudah tak bisa, tak mampu memberi kehidupan bagi warganegaranya sendiri. Terkadang bukan hanya dari soal keuangan dan perekonomian saja, tetapi cukup banyak karena masalah politik. Tidak ada jaminan keamanan, tidak ada hukum, tidak ada keadilan. Tempat yang paling tidak adil yalah pengadilan dan mahkamah-agung, tempat yang paling banyak korupsi malah di kementerian keuangan, dan bank, pusat-pusat terbasah seperti pabean, imigrasi, bea-cukai, di mana banyak uang ke luar-masuk, lalulintas keuangan.
Yang paling banyak menderita, kemiskinan, ketidakberdayaan, kemelaratan, adalah orang-orang, penduduk dan rakyat yang samasekali tak punya jalur-hukum, tak punya andalan apapun, baik kenalan maupun keluarganya. Maka terkadang bisalah dimengerti, daripada mereka hidup tak menentu tanpa tahu kapan akan mati dan kapan akan jadi korban penangkapan, korban penculikan, korban penipuan, apakah mereka akan diam saja, tidak mencari jalan lain?























Paris 29 Juni 2000,-PUISI TENTANG KAYA
Orang miskin kaya akan harapan
Orang kaya sungguh menggunung
harta benda rumah dan tanah
Timor Timur kaya akan pembunuhan.
Suharto - Habibi kaya akan korupsi
tapi sangat miskin akan demokrasi
RI - Orba - TNI kaya akan pembunuhan
tapi sangat miskin akan keadilan.
Rakyat Indonesia kaya akan penderitaan
kaum atasan, elite, kaya akan penipuan
pemimpin kaya akan tipu-daya
Aceh - Timor Timur kaya akan korban pembunuhan.
Yau, saudaraku, kita sungguh kaya
yang satu dengan harapan-harapan
doa-doa dan minta-minta
yang lain dengan tipu-daya dengan korupsi
pembunuhan, penyiksaan, setiap hari, setiap hari.
Inilah kekayaan kita
yang satu dengan harapan-harapan, angan-angan, cita-citaBerhati-hatilah
Jangan dilihat ketika dia jatuh
tapi rasakan dan saksikan cakar-cakar
merayapi urat-urat kehidupan
yang tetap saja masih bersikukuh.
Memang dia pandai dan lihay
jatuhnya karena ferormasi
tapi diam-diam dia turut - ikut
menyelinap di barisan reformasi
namun demikian yang namanya burung gagak
di mana-mana tetap hitam
di mana-mana tetap makan bangkai.
Kini jadi begitu banyak yang namanya reformasi
ada yang mengandung tebu
ada yang mengandung tuba
ada yang bermadu
ada yang bersida
lalu apa itu namanya reformasi
kalau tetap saja anti-Cina
kalau tetap saja anti-Kristen
kalau tetap saja anti-marxis
yang padahal semua itu kesatuan tubuh bangsa
yang padahal cabang dan ranting serta daun-daun ilmu.
Lepaskan tahanan demi kebaikan reformasi
tapi yang PRD dan yang "gula 30 sekilo" tunggu dulu
tunggu burung gagak selesai merengguti daging
dari tulang-tulang mayat
ya, reformasi, kini kau jadi begitu banyak
aliran dan tapsiran
begitu banyak gagak-gagak berlindung jadi burung gereja
beterbangan manis,lucu dan menyenangkan
padahal kau tidak lucu,sangat menyebalkan,membencikanBALI - satu
Tetap saja yang terlihat
yang selalu dulu-dulu
bagaikan plat gramofone
berputar-putar jalan di tempat.
Krismon dan krisnom
resto penuh, pasar padat, hotel perang harga
orang-orang menjilati es rim
pesta babi-guling dan bule-bule
bergelamparan berjemur badan
dengan susu menggunung menantang.
Bule-bule simpang-siur saling senyum
jual-beli barang haram
ke luar masuk warung tattuage
jeprat-jepret ketika ritual agama
tiada perduli adat setempat
mahapenting : kepuasan mata, hati, dan perut
melayu pribumi tak lagi saling hormat
berburu duit memang tak perlu ada-beradat.
Tertegun diri : inikah Bali
yang katanya surgawi di bumi?
Seakan Bali bukan lagi milik pribumi
bule-bule betapa sudah
mengangkangi dan melecehkan budaya luhur
di sarang-sarang foya elite
rupiah benar-benar anjlok dan luntur
sedangkan dollar menjadi raja alat-ukur
tampaknya adat dan budaya serta seni
seakan terpatung tegak demi dollar.
Tampaknya Bali benar-benar campur berbaur
entah kepunyaan siapa
antara bule dan pribumiBALI - dua
Ombak mengalun
dan angin silir-silir menjamah
pucuk puncak kelapa
lalu berderai daun-daun
bagaikan gerak memetik senar kecapi,-
Dari jauh terdengar merdunyi suling
masih berdaya getar : gendang dan gending
tiba-tiba saja cacat di mata tua ini
terdengar ribut-ribut antara bule
karena berebut cewek
tak cocok harga lalu menyalahkan pribumi.
Semuanya yang dulu-dulu
memang masih adaBALI - duapuluh satu
Orang-orang, pejabat-pejabat
koran-koran menulis setiap hari
tentang Bank Bali, lagi-lagi Bank BaliBALI - sebelas
Tekukur - perkutut bernyanyi manggut-manggut
beterbangan antara pucuk bougenvil
membuka hari menulisi pagi
orang-orang siap ke kantor
pejabat - pegawai - eksekutif siap
dengan bagan-bagan, rencana-rencana korupsi.
Pedagang-besar, pedagang-kecil, kakilima, asongan
siap dengan rencana paksaan dan bujukan
penjaja seks dengan rencana memulas senyuman
agar harta kecil sedikit membesar
siapa tahu mampu membuka kredit rumah
siapa tahu diboyong cowok Eropa.
Mentari mulai meninggi
berapa dapat hari ini?
Resto dan hotel penuh pelanggan
sayang sang boss bukan bangsa sendiri
orang Bali selalu makan gaji
pada bangsa pendatang
orang Timor Timur selalu makan gaji dan kena aniaya
preman baju-hijau
pendatang dari Jawa
yang satu wangsa Eropa
yang satu orang dewek.
Sanur 4 Agustus 1999,-

sedang orang-orang Bali di Bali sendiri
tak tahu dan tak mengerti
mengapa mereka bicara tentang Bank Bali
yang orang Bali sendiri tidak ambil perduli.
Perkara korupsi?
Mungkin obat mujarab
hanyalah revolusi
juga pesemaian subur demokrasi
takkan bersemi tanpa revolusi!
Ngurah Rai 13 Agustus 199
tapi hanya semata tinggal
remah-remah sisa belaka!
Kuta 31 Juli 1999,-
kebutuhan perdagangan
tak perlu apa dan bagaimana
terpenting dan pokok : fulus tetap raja utama.-
Nusa Dua 30 Juli 99,-
masih juga tetap ingin,masih ingin,masih mau
mau terus menunggangi kami
bagaikan bandot kebelet-kesemsem,terus masih mau
menghisap,menipu,menghina,dan melecehkan kami
padahal katanya kau sudah jatuh
ternyata cakar-cakarmu tetap saja masih kukuh,-
11 Juni 1998
yang lain setiap hari bersiasat buat menipu kita,-
Paris 13 September 1999,-

Erobar, Oktober 1992
Paris, Juni 1991



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers


-----Lampiran Inline Disertakan-----

{\rtf1\adeflang1025\ansi\ansicpg1252\uc1\adeff0\deff0\stshfdbch0\stshfloch0\stshfhich0\stshfbi0\deflang1033\deflangfe1033{\fonttbl{\f0\froman\fcharset0\fprq2{\*\panose 02020603050405020304}Times New Roman;}{\f1\fswiss\fcharset0\fprq2{\*\panose 020b0604020202020204}Arial;}
{\f36\fscript\fcharset0\fprq2{\*\panose 030f0702030302020204}Comic Sans MS;}{\f47\froman\fcharset238\fprq2 Times New Roman CE;}{\f48\froman\fcharset204\fprq2 Times New Roman Cyr;}{\f50\froman\fcharset161\fprq2 Times New Roman Greek;}
{\f51\froman\fcharset162\fprq2 Times New Roman Tur;}{\f52\fbidi \froman\fcharset177\fprq2 Times New Roman (Hebrew);}{\f53\fbidi \froman\fcharset178\fprq2 Times New Roman (Arabic);}{\f54\froman\fcharset186\fprq2 Times New Roman Baltic;}
{\f55\froman\fcharset163\fprq2 Times New Roman (Vietnamese);}{\f57\fswiss\fcharset238\fprq2 Arial CE;}{\f58\fswiss\fcharset204\fprq2 Arial Cyr;}{\f60\fswiss\fcharset161\fprq2 Arial Greek;}{\f61\fswiss\fcharset162\fprq2 Arial Tur;}
{\f62\fbidi \fswiss\fcharset177\fprq2 Arial (Hebrew);}{\f63\fbidi \fswiss\fcharset178\fprq2 Arial (Arabic);}{\f64\fswiss\fcharset186\fprq2 Arial Baltic;}{\f65\fswiss\fcharset163\fprq2 Arial (Vietnamese);}{\f407\fscript\fcharset238\fprq2 Comic Sans MS CE;}
{\f408\fscript\fcharset204\fprq2 Comic Sans MS Cyr;}{\f410\fscript\fcharset161\fprq2 Comic Sans MS Greek;}{\f411\fscript\fcharset162\fprq2 Comic Sans MS Tur;}{\f414\fscript\fcharset186\fprq2 Comic Sans MS Baltic;}}{\colortbl;\red0\green0\blue0;
\red0\green0\blue255;\red0\green255\blue255;\red0\green255\blue0;\red255\green0\blue255;\red255\green0\blue0;\red255\green255\blue0;\red255\green255\blue255;\red0\green0\blue128;\red0\green128\blue128;\red0\green128\blue0;\red128\green0\blue128;
\red128\green0\blue0;\red128\green128\blue0;\red128\green128\blue128;\red192\green192\blue192;}{\stylesheet{\ql \li0\ri0\widctlpar\aspalpha\aspnum\faauto\adjustright\rin0\lin0\itap0 \rtlch \af0\afs24\alang1025 \ltrch
\fs24\lang1033\langfe1033\cgrid\langnp1033\langfenp1033 \snext0 Normal;}{\*\cs10 \additive \ssemihidden Default Paragraph Font;}{\*
\ts11\tsrowd\trftsWidthB3\trpaddl108\trpaddr108\trpaddfl3\trpaddft3\trpaddfb3\trpaddfr3\trcbpat1\trcfpat1\tscellwidthfts0\tsvertalt\tsbrdrt\tsbrdrl\tsbrdrb\tsbrdrr\tsbrdrdgl\tsbrdrdgr\tsbrdrh\tsbrdrv
\ql \li0\ri0\widctlpar\aspalpha\aspnum\faauto\adjustright\rin0\lin0\itap0 \rtlch \af0\afs20 \ltrch \fs20\lang1024\langfe1024\cgrid\langnp1024\langfenp1024 \snext11 \ssemihidden Normal Table;}}{\*\latentstyles\lsdstimax156\lsdlockeddef0}
{\*\rsidtbl \rsid2712162\rsid11679629}{\*\generator Microsoft Word 11.0.5604;}{\info{\author MTs Ma'arif Dondong}{\operator MTs Maarif Wates}{\creatim\yr2008\mo1\dy17\hr13\min50}{\revtim\yr2008\mo1\dy17\hr14\min24}{\printim\yr2008\mo1\dy17\hr14\min24}
{\version3}{\edmins24}{\nofpages22}{\nofwords4652}{\nofchars26517}{\*\company Dondong Bendungan Wates Kp}{\nofcharsws31107}{\vern24689}}\ltrsect \widowctrl\ftnbj\aenddoc\noxlattoyen\expshrtn\noultrlspc\dntblnsbdb\nospaceforul\hyphcaps0\horzdoc\dghspace120
\dgvspace120\dghorigin1701\dgvorigin1984\dghshow0\dgvshow3\jcompress\viewkind4\viewscale75\nolnhtadjtbl\rsidroot2712162 \fet0\ltrpar \sectd \ltrsect\linex0\sectdefaultcl\sftnbj {\*\pnseclvl1\pnucrm\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxta .}}
{\*\pnseclvl2\pnucltr\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxta .}}{\*\pnseclvl3\pndec\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxta .}}{\*\pnseclvl4\pnlcltr\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxta )}}{\*\pnseclvl5\pndec\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang
{\pntxtb (}{\pntxta )}}{\*\pnseclvl6\pnlcltr\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxtb (}{\pntxta )}}{\*\pnseclvl7\pnlcrm\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxtb (}{\pntxta )}}{\*\pnseclvl8\pnlcltr\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxtb (}
{\pntxta )}}{\*\pnseclvl9\pnlcrm\pnqc\pnstart1\pnindent720\pnhang {\pntxtb (}{\pntxta )}}\pard\plain \ltrpar\ql \li0\ri0\nowidctlpar\faauto\rin0\lin0\itap0 \rtlch \af0\afs24\alang1025 \ltrch \fs24\lang1033\langfe1033\cgrid\langnp1033\langfenp1033 {\rtlch
\af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\insrsid2712162\charrsid2712162 Sastrawan dan Sastra yang Terpinggir
\par
\par Sudah menjadi kenyataan selama kekuasaan Suharto - Orba, lebih 30 tahun, ada suatu bagian dalam kehidupan bangsa ini yang terasa hilang. Yang hilang atau dengan istilah lebih moderatnya, terpinggir, yalah tidak munculnya atau dilarang munculnya sastrawan
dan sastra yang dianggap berasal dari Lekra. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\insrsid2712162\charrsid11679629 Semua buku atau tulisan yang berbentuk buku dan siaran, dilarang oleh penguasa Suharto - Orba. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch
\f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Siapa saja dan apa saja hasil sastra yang dilahirkan pada zaman yang dianggap Orla dan yang dianggap Lekra, dilarang
beredar, dilarang terbit. Kalaupun terbit dengan "gelap-gelapan", maka sudah dipersiapkan seperangkat undang-undang dan peraturannya buat melarangnya. Kejaksaan Agung akan memanggil sumbernya. Hal ini berkali-kali pernah dialami penerbitan Hasta Mitra kar
ena berani-beraninya menerbitkan karya Pramoedyua Ananta Toer. Tapi sebagaimana Pram, sebagai pengarang dan salah seorang pengurus penerbitan itu tidak pernah menggubris larangan. "Tutup buku" dengan semua aparat penguasa demikian Pram.
\par
\par Sebenarnya Pram jug
a banyak menemui pemboikotan, dari sana sini, dari berbagai pihak. Dia pernah tidak diakui sebagai pengarang Indonesia, paling-paling hanya sebagai pengarang Lekra saja. Tetapi Pram terlalu besar, terlalu hebat, terlalu luarbiasa untuk tidak diakui dan un
t
uk dipinggirkan. Tidak diakui dan dilarang terbit di negaranya sendiri,tetapi di negara lain, luarnegeri sudah siap menampung, menerbitkan dan menterjemahkannya. Oleh kalangan kritikus yang berbobot paus dan yang sedang-sedang saja, pernah Pram mendapati
pengalaman seakan-akan tidak diperdulikan, tidak dibicarakan, tidak masuk catatan, tidak masuk daftar sebagai pengarang Indonesia,- dia hanyalah pengarang Lekra yang terlarang itu.
\par
\par Oleh terlalu besarnya, dan terlalu hebatnya Pram, yang karyanya melebihi sa
strawan manapun, yang sudah diterjemahkan dalam 28 bahasa asing, dan juga sudah berkali-kali termasuk calon, nominasi penerima Hadiah Nobel Sastra Dunia, maka "mau tak mau, dan terpaksa" kalangan dalam negeripun juga lalu turut membicarakan Pram sebagai s
a
strawan Indonesia! Dan Pram dengan segala perjuangan yang pahit, tapi ulet, selalu menang! Lalu sampai A. TEEUW-pun turut mau juga membicarakannya. Dulu sebelum adanya kemelut peristiwa-gelap bangsa ini, Pram termasuk sastrawan Indonesia. Tetapi begitu te
r
jadi peristiwa 1965, lalu keberadaan Pram mau dihapuskan sejarah, sejarah mereka! Nyatanya tidak bisa. Pram dengan kehebatan, keluarbiasaan karyanya, adalah orang nomor satu sastrawan Indonesia yang sudah terdaftar di kalangan pemberi Hadiah Nobel Sastra
Dunia. Pram terlalu besar buat diremehkan, buat tidak dibicarakan, buat dipinggirkan!
\par
\par Tetapi sebenarnya masih ada "pram-pram kecil yang berkeliaran dan kelayaban" di tanah rantau atau di dalam negerinya sendiri. Hanya akibat kerusakan dan perusakan dan day
a rusak serta daya keterbelakangan rezim Suhartro - Orba, sangat sulit buat mereka bisa memasuki gelanggang dan arena. Masih banyak karya yang terpendam di laci, di lemari dan masih banyak naskah tulisan, yang orang tidak mau, tidak berani menerbitkannya.

Banyak "matapencaharian" penulis, sasterawan di dalam negeri yang mengerjakan terjemahan atau tulisan aslinya. Kalaupun ada yang mau dan berani menerbitkannya, ada syarat yang harus dipenuhi penulis atau penterjemahnya, nama harus diubah, harus nama samar
an! Kenapa? Penerbit dan toko-buku tidak mau menanggung risiko kerugian material apalagi kerugian moral. Karena takut ketahuan dan lalu dilarang bahkan bisa ditangkap penguasa. Kalau sudah begini artinya tertutuplah semua lubang dan celah-celah kehidupan.

\par
\par Ada lagi istilah ngenyek buat hasil sastra yang berbau progresif dan maju, yang disebut juga kiri. Termasuk seorang penyair kenamaan-pun pernah terkena ejekan ini, yaitu WS. Rendra. Ada yang mengatakan, kalau hanya begitu saja sih, maka hasil sastra begit
uan bisa disebut "sastra poster" "sastra pamphlet", "sastra pesanan" dan bermacam sebutan tidak enak demi menolak sastra yang menyatakan, kebenaran tetapi dengan cara-cara baru.
\par
\par Kalangan tertentu tetap menyebutkan pengarang Lekra atau sastrawan Lekra buat
sebutan kepada Agam Wispi, HR Bandaharo, Joebar Ajoeb, dan yang lainnya. Tidak disebutkan bahwa mereka juga adalah pengarang dan sastrawan Indonesia! Kenapa tidak menyebutkan Sitor Situmorang sebagai pengarang dan sastrawan LKN? Kenapa tidak menyebutkan T
a
ufik Ismail sebagai pengarang Manikebu, atau Asrul Sani sebagai pengarang Lesbumi? Mereka disebutkan sebagai pengarang dan sastrawan Indonesia, bukan dari "kandang mereka yang dikotakkan". Sedangkan orang-orang Lekra dikandangkan, disempitkan, dipinggirka
n.
\par
\par Semua mereka yang dituliskan di atas adalah sastrawan Indonesia, bukan sastrawan Lekra, LKN maupun Manikebu ataupun Lesbumi. Mereka mengangkat harkat bangsa dan negara, tidak terdapat pandangan yang begitu sempit dalam karangan mereka. Apa yang selalu d
iangkat dalam karya Pram? Tidak secuilpun yang "menjelekkan dan menyudutkan kekuasaan yang sekarang ini". Yang ditulisnya adalah sejarah perjalanan bangsa ini, bahkan sejarah budaya dan adat istiadat jauh di belakang kita. Bahwa akhirnya penguasa merasaka
n
itu adalah sindiran, permisalan, adalah soal lain. Kata peribahasa kampung kami " siapa yang terkena dialah yang merasa pedas dan sakit". Dan tulisan Pram adalah secara umum, bukannya dicari-cari, dan memang ada sejarahnya. Lihat misalnya tetralogi tulis
an selama di Pulau Buru itu yang memang ada bahan sejarahnya, apalagi Arus Balik dan Arok Dedes.
\par
\par Akibat semua kekangan, semua dan selama kekuasaan Suharto - Orba, daya rusak dan keterbelakangan perjalanan bangsa ini benar-benar mengalami setback yang luarb
iasa. Yang paling dirasakan oleh sastrawan yang dipinggirkan ini, yang masih kelayaban di tanah pengasingan, maupun yang ada dalam negeri, betapa susahnya, betapa sulitnya memasuki "dunia-resmi" dan yang bisa dan biasa tercatat dihadapan masyarakat umum,
d
i depan audience. Karya dan tulisan mereka sangat sulit diorbitkan, sangat sakit buat orang mengumumkannya. Karena berbagai halangan dan pikiran yang masih membelenggu akibat perjalanan sejarah-gelap baru-baru ini. Dan "nasib" sastrawan dan sastra yang te
rpinggirkan itu, buat memunculkan diri saja bukan main harus menerobos begitu banyak penghalang. Semoga saja dengan keuletan yang juga harus luarbiasa, akan datang kembali "anak yang pernah hilang" selama lebih 30 tahun dulu itu.
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 Paris 18 Mei 2000untuk:
\par keluargaku,
\par sahabat,
\par teman dan kenalan
\par serta kampung halaman.
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Jumpa Lawan I
\par
\par Abubakar orangnya gemuk. Banyak omong, suka berkelakar. Ramah dan karenanya banyak kawan. Orang kampung kami menggelarinya, Akai. Penduduk kampung kami lazim memberi ragam gelar kep
ada orang; nama Ismail misalnya pasti dipanggil: Meng. Yang namanya Harpan atau Arpan, akan selalu digelari Lepuk, ikan buntal yang sisiknya tajam, beracun. Begitulah pula kaum wanita, yang nama ujungnya ah akan berubah meniadi ot, misalnya saja Halimah j
adi Halimot; Nerisah menjadi Nerisot, dan Isah jadi Isot.
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 Nah, kembali pada si Akai alias Abubakar tadi. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162
Dia ini sering singgah ke rumah kami di Gondangdia, bersama istrinya. Teman hidupnya itu cantik rupawan, keturunan Cina; kata orang banyak, si Elly itu
asal Singapura. Kabarnya dulu Akai pernah merantau ke Singapura, lalu didapatnya Elly, Cina cantik itu. Kalau sudah berkisah tentang masa-masa tersebut, bukan keoalang bersemangatnya Akai.
\par
\par Dengan lancar Akai bertutur tentang kejadian antara tahun 1946 hingga awal 1948, masa ia menjadi anggota gerilya dan turut mencari senjata ke Singapura dan Hongkong. Tak lupa diselipkannya juga, bahwa yang memimpin penyelundupan ke Singapura dan Hongkong
t
ersebut adalah Dr. A.K. Gani. Siapa pula yang tak kenal Adnan Kapau Gani, orang Palembang-Bengkulu itu, pernah menteri lagi, bahkan pernah main dalam filem. Jadi Akai adalah anggota penyelundupan tadi, kabarnya ia membawa gula, rempah-rempah dan lainnya,
untuk kemudian ditukar dengan senjata. Bila Akai tengah bercerita begini, lantas ada di antara kami yang bertanya ini-itu; bukan main senangnya hati Akai. Pasti pertanyaan itu berjawab.
\par
\par "Katanya ada penyelundup lain lagi yang bahkan punya kapal sendiri, juga untuk mencari senjata buat republik...", tukas seorang dari kami.
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 "O ya, itu kan untuk bagian timur. Alaahh... si Anu, siapa tu, aaa... si John Lie, dari Sulawesi.
Mayor pangkatnya. Eeh, tahu juga kau rupanya", ujar Akai sambil memuji sedikit pada yang bertanya itu.
\par "John Lie juga hebat rupanya, ia temanku. Terkadang kami sama-sama juga, tapi group kami tetap bersama pak Gani. Tahu kan Pak Gani, yang digelari "the greatest smuggler in Southeast Asia", penyelundup terbesar di Asia Tenggara", tambah Akai,
sekaligus memperagakan bahasa Inggrisnya.
\par
\par Kami remaja tanggung usia limabelasan tersebut, senang juga mendengar cerita Akai, walau pun sedikit-sedikit kami paham juga bahwa Akai gemar membual, acap membohong. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch
\f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Bahkan ada yang menamakan nya "si mulut besar", suka omong ged\'e9
. Apalagi kalau bercerita tentang revolusi, tentang pertempuran, wah.... bukan main semangat, menggebu. Seolah-olah dialah yang paling berani.
\par
\par Anehnya, tak sekalipun kami tampak ia berseragam militer, atau bekerja di suatu kantor. Tak jel
as apa pekerjaan sebenarnya. Yang pasti, Akai sering menginap di hotel, khususnya di Hotel Centraal di Jalan Citadel. Pernah juga di Hotel Des Indes, lalu Hotel Transaera, pokoknya masuk hotel, keluar hotel. Ada lagi kabar mengatakan,ia acap diusir kalau
s
udah terlalu lama tidak membayar ongkos menginap di hotelnya. Malah pernah diadukan ke pengadilan. Namun karena orangnya pandai bicara dan menggertak, cekatan jual obat, kata orang; misalnya menyebut menteri anu, komisaris polan adalah paman atau sahabatn
y
a, maka Akai selalu los dari penangkapan. Janganlah coba mengusik, mencari tahu, apalagi menyelidiki kebenaran cerita dari Akai, sebab kalau sudah tahu latar belakang ceritanya tersebut, tak ada lagi yang menarik dari omongannya itu. Justru karena ketidak
tahuan kamilah, maka kami senang mendengar cerita-cerita Akai.
\par
\par Suatu kali Akai berkisah, ia naik kapai milik maskapai Belanda KPM, Jansens, namanya. Entah bagaimana awalnya, mendadak lampu kamar mandi Akai padam. Ia lantas mengamuk, lampu-lamu dan peralata
n lain di kapal di pecahkannya. Kapten kapal tentu saja marah, dan menahan Akai dalam perjalanan dari Jakarta ke Tanjungpandan. Tapi di ruangan kapal khusus untuk anak-buah kapal tersebut, Akai malah menggugat sang Kapten. Akai mendakwa, katanya:
\par "Tuan tah
u, dalam tahun ini juga semua kapal KPM akan saya beli, akan kami ambil-alih. Ini saya rundingkan Pada Jenderal Karmono di Istana saat kami menghadap Bung Karno. Kalau Tuan mengakui kesalahan Tuan, dan berjanji memperbaiki pekerjaan Tuan demi kelancaran k
erja kami di republik ini, niscaya Tuan akan saya pakai. Tuan boleh kerja seterusnya di kapal saya ini, nantinya. Ingat itu. Catat nama saya, dan Tuan boleh pikir baik-baik. Pulang ke Holland atau kerja dengan kami."
\par Mendengar ucapan Akai, sang kapten gementar dan segera melepaskan Akai sembari mohon maaf.
\par
\par Akai sungguh punya bakat menggertak, ada tampang pula, gemuk gagah, dan fasih berdebat. Pandai menggunakan saat semisal pengambil-alihan kapal KPM menjadi milik maskapai republik, PELNI. Sehingga tanpa ra
gu orang lekas percaya, konon dikaitkan pula dengan nama jenderal, dan kunjungannya ke Istana segala.
\par
\par Apabila Akai ke rumah dan kebetulan naik becak saja, ia sering memojokkan ayahku dengan berkata: "Bang, tolong bayarkan becakku, tak ada uang kecil." Dan ayah segera menyuruhku membayarkan becak itu.
\par
\par Akai segera mengobrol dengan ayah, sambil mmbunuh waktu menunggu makan siang. Terkadang istrinya Elly ikut serta mengobrol ke rumah kami. Obrolannya kebanyakan itu ke itu juga, perihal revolusi, pertempuran d
i Jawa-Tengah Jawa-Barat,lalu penyelundupan bersama A.K. Gani tadi. Ayah mendengarkan saja, sesekali bertanya ini-itu.
\par
\par Padahal kami tak tahu apa kerja Akai, tinggalnya di hotel namun sering tak punya uang. Ada yang menyebutkan, pendapatannya kini adalah t
abungan hasil menyelundup ke Singapura. Bahkan terbetik berita, istrinya ditawar-tawarkannya, karena dulu pun memang kerja begituan, dan sesungguhnya Elly asli Cina Hongkong. Macam-macam saja.
\par
\par Tapi satu hal yang jelas, Elly cantik dan di samping itu baik budi, jauh berbeda dengan watak suaminya. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629
Sang istri pun acap tak percaya akan obrolan suaminya, Akai. Ayah juga tidak percaya pada cerita Akai, namun tak pernah mengatakan bahwa Akai bohong atau omong-besar. Ayah tak pernah pula mencela apalagi memaki Aka
i. Beliau tetap menerima baik kedatangan Akai dan istrinya. Ibuku pun ramah pada mereka. Hanya aku dan para kawanku meragukan cerita Akai.
\par
\par Cobalah pikir. Bila Akai berdatang ke rumah kami, selalu saja waktunya serba tanggung, misalnya pukul 11.00 dekat jam makan siang, atau pukul 18.00 menjelang makan malam.
Akibatnya kami makan bersama kedua suami-istri itu. Walau ayah belum pulang dari sidang - sidang parlemen DPRS, Akai akan menunggunya dengan sabar Dan aku akan mendengarkan kembali obrolan Akai, yang k
uladeni juga sembari asyik melirik Elly yang rasanya makin hari semakin cantik dalam pandanganku. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162
Maklum usiaku baru berangkat tujuh-belas, mudah bergetar bila berdekatan dengan wanita cantik harum.
\par
\par Demikianlah, suatu kali Akai berkisah yang agak seram. J
aman revolusi. Pertempuran di sekitar Krawang. Seorang prajurit gerilya, kena tembakan Belanda. Namanya Sadri, kawan Akai sendiri. Lehernya luka parah, menganga karena peluru telah menembus bagian depan. Darah mengalir terus, dan Sadri jadi persoalan. Aka
n
dibawa, digotong, atau ditinggal saja? Pasukan republik yang menurut Akai dipimpinnya, harus segera lari. Aku harus cepat dan tegas mengambil keputusan, tambah Akai. Bagaimana cara "menyelamatkan" Sadri? Dengan mata penuh belas-kasihan dan mohon maaf, Ak
ai sebagai komandan, mendekati Sadri yang bersimbah darah.
\par
\par Akai melanjutkan, saat itulah Sadri dengan suara terputus-putus dan perlahan berkata:
\par "Pak Abubakar, lakukanlah apa yang baik. Segeralah akhiri penderitaan saya ini..." Dengan penuh sesal Akai meletakkan ujung revolver-nya di tentang jantung Sadri. Bunyi "dor" menyelesaikan penderitaan Sadri. Akai beserta pasukannya segera lari dari kejara
n pasukan Belanda.
\par
\par Mendengarkan kisah tersebut, ibuku terlihat ngeri, tetapi Elly, istri Akai, nampak biasa mja. Ayah juga terlihat santai, sedikit senyum menganggukkan kepalanya. Aku yang sejak sekolah rakyat gemar membaca novel, segera ingat kisah begini
Pernah kubaca. Seakan memecah keheningan, Elly berkata pada ayahku:
\par "Alaah ... bang, tak usahlah percaya sama Bang Akai ini."
\par "Ah, kau mana tahu. Ketika aku berjuang,bertempur dulu, kau kan masih kecil..," bela Akai pada kata-kata istrinya.
\par "Dia bohong, bang," ujar Elly pada ayah.
\par "Bang Akai suka berdusta, jangan percaya dia."
\par Mendadak ayah menjawab :
\par "Bukan hanya Akai yang suka bohong, sayapun mungkin lebih suka bohong dibanding Akai."
\par "Mengapa begitu,bang? Rasaku tidak mungkin", saut Elly.
\par "Ya...", kata ayah. "Selama ini saya sering membohongi Akai, sehingga Akai yakin betul bahwa saya percaya semua cerita Akai, padahal itu tidak benar. Kan saya lebih suka bohong daripada Akai," tambah ayah mengakhiri keheranan si cantik Elly.
\par SOBRON AIDIT
\par sastrawan engag\'e9
\par
\par Siapakah Sobron Aidit?
\par Namanya berkaitan erat dengan nama lainnya yang terkenal sebagai politisi. Seorang politisi yang menjadi buruan kekuatan reaksioner di waktu terjadi Razzia Agustus (1951) dan pada akhir hidupnya menjadi korban pembunuhan yang tera
mat keji setelah terjadinya Peristiwa 30 September '65. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 Politisi itu tak lain kecuali abangnya sendiri : D.N. Aidit, Ketua CC PKI. }{\rtlch \af1\afs28
\ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Salah seorang korban dari beratus-ratus ribu korban pembunuhan demi tegaknya rezim Orde Baru.
\par
\par Jika abangnya terkenal sebagai seorang politisi pembela wong cilik, maka Sobron yang dilahirkan 2 Juni 1934 di Belitung (Sumatera Selatan) itu sebagai seorang sastrawan. Pendidikannya dimulai dari H.I.S. sampai Universitas Indonesia Jakarta.
\par
\par Aktivitas secara umum?
\par Sebagai guru di SMA
Utama Salemba dan THHK (1954-1963), Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing (1964). Sebagai wartawan Harian Rakyat (1955) dan Bintang Timur (1962). Sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama prof. Dr.
P
rijono, lalu dengan Djawoto dan Henk Ngantung (1955 - 1958); pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K.Werdoyo dan Nyak Diwan (1960 - 1962); pengurus BAPERKI bersama Siauw Giok-tjan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai pendiri "Seniman Se
nen" bersama SM Ardan, Wim-Umboh dll; pendiri Akademi Sastra " Multatuli" bersama Prof. Bakri Siregar (1961-1963) dan akhirnya, salah seorang pendiri..."Restoran Indonesia" di Paris (1982).
\par
\par Kreativitas seni?
\par Sobron mulai mengarang sejak umur 13 tahun. Kara
ngannya yang mula-mula disiarkan yaitu cerpen berjudul "Kedaung" dalam majalah WAKTU Medan 1948. Di Jakarta secara kebetulan tinggal bersama-sama Chairil Anwar, yang berkat bimbingannya minat terhadap kesusastraan kian meluap. Sajak-sajak dan cerpen Sobro
n
dimuat dalam MIMBAR INDONESIA, ZENITH, KISAH, SASTRA (semua di bawah asuhan H.B. Jassin). Di majalah dan Harian SUNDAY COURIER, REPUBLIK, BINTANG TIMUR (BINTANG MINGGU),HARIAN RAKYAT,ZAMAN BARU, KENCANA, SIASAT, MUTIARA, dll. Dan dalam tahun-tahun belaka
ngan ini, Sobron sebagai salah seorang pendukung dan penulis yang aktip bagi usaha terbitan pers alternatip, terutama sekali bagi majalah sastra dan seni KREASI, majalah MIMBAR, majalah opini dan budaya pluralis ARENA.
\par
\par Penyair sekaligus prosais, Sobron leb
ih dikenal sebagai cerpenis. Dua kali sebagai pemenang hadiah sastra: yang pertama dari majalah KISSAH/SASTRA 1955-1956 untuk cerpennya yang berjudul "Buaya dan dukunnya", dan yang kedua dari HR Kebudayaan 1961 untuk cerpennya "Basimah". Buku-bukunya -- k
u
mpulan tulisan bersama maupun individual -- semuanya dilarang beredar oleh Orde Baru: "Ketemu Di Jalan " (kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan) Balai Pustaka 1955-1956, "Pulang Bertempur" Pembaruan 1959, "Derap Revolusi" (kumpulan cerpen dan no
velet) Pembaruan/Lekra 1961.
\par
\par Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Russia, Tionghoa, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman, Prancis.
\par
\par RAZZIA AGUSTUS DAN CERITA-CERITA LAINNYA.
\par Sepatutnyalah seorang sastrawan yang lahir dalam tahun 30-an itu telah mengalami kehidupan yang lika-liku, warna-warni, pahit-getir maupun manis-ranum. Pengalaman, langsung maupun tak langsung, adalah amat berharga bagi kreativitas seninya. Pramoedya tela
h menggarisbawahi hal ini. Begitulah pula Sobron Aidit yang dibuktikan oleh kreativitas seninya sejak muda remaja hingga kini. Seperti tersimak pula dalam bukunya yang terbaru "Razzia Agustus dan cerita-cerita lainnya".
\par
\par Selain sebagai penyair, penulis esse
i dan komentar, Sobron memang "tukang cerita". Cerita-ceritanya erat sekali dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan orang-orang dekatnya dengan wong cilik. Dengan yang memihak, membela dan memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi wong cilik. Sering
kali diungkapkannya dengan humoristis, juga dengan rasa simpati, kemesraan terhadap yang akrab dan kutukan terhadap pendurhaka atau kebiadaban. Jelujur itu memang wajar dari seorang sastrawan yang sejak semula tergolong "seniman engag\'e9".
\par
\par Menelaah aktivitas-kreativitasnya, jelaslah bahwa Sobron telah turut aktip memberi sumbangan bagi khazanah sastra dan bagi perkembangan bahasa Indonesia.
\par
\par Kucerpen "Razzia Agustus" ini adalah sebagai sumbangannya yang terbaru, dan saya yakin bukan yang terakhir.
\par
\par Sambil menanti kreasi Sobron selanjutnya kepada pembaca saya persilakan.
\par
\par D.Tanaera
\par Bab 112 :
\par Daya Tarik Negeri Kapitalis
\par
\par Hampir tiga minggu saya di Holland selama bulan Juni ini. Banyak kejadian dan berita yang mendunia. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 Pertandingan perebutan kejuaraan-dunia sepa
kbola se Eropa, dibicarakan dan ditonton orang ratusan juta melalui televisi. Masing-masing orang punya keberpihakannya, punya favoritnya sendiri. Punya idolanya sendiri. }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch
\f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Tentang sepakbola ini saja, banyak resto, pertokoan, bar, cafe yang pada sepi, kurang
pelanggan datang karena orang-orang pada asyik nonton bola. Terkadang jalanan yang biasanya ramai, ketika adanya atau dimulainya atau sedang ramai-ramainya pertandingan, orang-orang mengumpul di ruangan tertentu yang ada televisinya, dan bersama-sama, ra
m
ai-ramai nonton pertandingan. Ini makan-waktu mingguan lamanya. Apa ini? Ini juga salahsatu jalan buat cari uang, mengumpulkan uang, mengeduk keuntungan tertentu. Pihak televisi, hotel, pengangkutan, iklan, rumah atau kamar-sewaan, panen uang. Pemasukan k
euangan bagi badan-badan yang memang "tukang cari uang", adalah masa panen yang berlipat ganda. Belum lagi bandar-judi, taruhan, perjudian gelap.
\par
\par Lalu berita besar lainnya yang juga mendunia, sebuah truk-trailer besar ketika akan melewati antara Belanda da
n Belgia, Perancis, buat nyeberang ke Dover, daerah Inggeris, dirazzia, digeledah karena dicurigai. Katanya, ketika akan membayar bea-masuk, petugasnya membayar dengan uang likid, uang kontan. Padahal biasanya orang-orang akan selalu membayar dengan kartu
-
kredit atau cheque atau sejenis kartu-lainnya. Petugas pelabuhan mulai mencurigai trailer itu. Maka segeralah petugas pelabuhan berhubungan dengan polisi setempat, buat memeriksa trailer itu, apa isinya, mengapa begitu aneh cara masuk dan cara bayar ongko
snya.
\par
\par Maka trailer, truk-gandengan itu dibongkar dari belakang, dengan kekerasan dan paksa. Tampak jelaslah, seonggokan manusia bertimbun mati lemas. Setelah dilihat dan dihitung, penumpang truk-gandengan itu ada 60 orang. 58 orang sudah mati kaku, sedangk
an dua orang lagi masih bisa diselamatkan. Dan pada akhirnya dua orang ini diselamatkan dan dengan ketat "dipelihara" buat jadi bukti dan jadi kunci buat membuka rahasia yang menggemparkan itu. 60 orang itu kesemuanya orang Tiongkok, telah begitu jauh mem
b
awakan diri dalam perjalanan yang berliku-liku. Melewati Rusia, Cheko, dan Belanda, buat nyeberang ke Inggeris. Mereka rata-rata telah membayar sampai puluhan ribu dolar AS seorang buat menyeberang dan mencari kerja serta hidup di Inggeris. Mungkin saja s
udah banyak yang masuk Belanda, atau Belgia atau Perancis.
\par
\par Ini sebuah sindikat besar, mafia yang sangat kuat. Berhubungan dengan penjualan dan jual-beli paspor palsu, sogok-menyogok. Kalau memperhitungan uang sogokannya saja, maka dapat diperkirakan, penda
tang atau "para pencari kerja" ini bukanlah orang biasa. Atau yang "memperjual-belikan orang/manusia" ini bukanlah sebagai sindikat atau mafia kelas teri, tapi kelas kakap, bahkan bisa kelas cucut.
\par
\par Mau ke mana mereka? Mau cari kerja dan cari hidup di nege
ri kapitalis. Mengapa? Banyak bukti, sesusah-susahnya dan seberat-beratnya hidup dan bekerja banting-tulang di negeri kapitalis, tetap saja masih bisa hidup, tetap saja masih bisa kirim uang ke negeri leluhurnya, negeri asalnya. Sama saja dengan TKI atau
T
KW yang bekerja di negeri-negeri Arab, Singapura, Hongkong dll. Ditipu, dihisap, ditindas, diperkosa, tetap saja berjubel buat jadi tenaga kerja-kasar di negeri itu. Tokh tetap masih bisa kirim uang ke desa dan kampungnya, dan bahkan ada yang bisa dan mam
pu membangun rumah, rumah gedongan lagi.
\par
\par Apakah mereka tidak tahu, bahwa di negeri kapitalis itu juga bukan main hebatnya penindasan, dan penghisapan, kerja mati-matian, banting-tulang, terkadang tanpa perlindungan-kerja? Mereka tahu, mereka mendengar bahk
an cukup banyak pengalaman dari teman-temannya. Tetapi mereka tidak perduli. Untung-untungan, namanya juga orang cari makan, orang cari hidup. Ini artinya di tanahairnya sendiri sudah sangat sulit buat mencari kehidupan, sangat sulit buat hidup minimum de
n
gan rasa aman dan terlindungi. Sebab kalau wajar-wajar saja, takkan mau mereka menukarkan jiwanya, taruhan nyawanya, dengan sekedar bisa belanja menanggung kehidupan secara minimal saja. Daya tarik kehidupan di negeri kapitalis tampaknya sangat luarbiasa,
biarpun penghisapan dan penindasannya juga luarbiasa. Tetapi tentulah mereka membandingkan, memperhitungkan akan untung-ruginya hidup di antara kedua tanah itu. Tanah-air mereka sendiri dan tanah-air asing, negeri kapitalis itu sendiri.
\par
\par Ketika puluhan tahun atau belasan tahun yang lalu, di mana blok negeri sosialis masih cukup berjaya, maka perbandingan mana yang beratsebelah, yang banyak didatangi orang. Apakah atau banyak mana yang melarikan diri atau masuk menyelundupkan diri, apakah
o
rang-orang dari negeri kapitalis masuk atau melarikan diri ke negeri sosialis, ataukah orang-orang negeri sosialis yang melarikan diri dan masuk ke negeri kapitalis? Tampaknya jauh lebih banyak orang-orang dari negeri sosialis yang melarikan diri dan masu
k
ke negeri kapitalis. Bahkan berani menantang dengan mempertaruhkan nyawa dan jiwaraga, menyeberangi lautan yang paling ganas sekalipun, berani menaiki dan memanjat tembok-Berlin, berani menjadi boat-people segala, berani dan siap mati ditembak. Mengapa s
emua ini?
\par
\par Hanya buat mencari kerja dan kehidupan yang sudah diperhitungkannya akan cukup lebih menguntungkan daripada di negerinya sendiri. Persoalan ini sebenarnya, seharusnya menjadi persoalan negara tertentu yang warganegaranya begitu berani dan nekad h
ijrah ke negeri orang lain. Karena negerinya sendiri sudah tak bisa, tak mampu memberi kehidupan bagi warganegaranya sendiri. Terkadang bukan hanya dari soal keuangan dan perekonomian saja, tetapi cukup banyak karena masalah politik. Tidak ada jaminan kea
m
anan, tidak ada hukum, tidak ada keadilan. Tempat yang paling tidak adil yalah pengadilan dan mahkamah-agung, tempat yang paling banyak korupsi malah di kementerian keuangan, dan bank, pusat-pusat terbasah seperti pabean, imigrasi, bea-cukai, di mana bany
ak uang ke luar-masuk, lalulintas keuangan.
\par
\par Yang paling banyak menderita, kemiskinan, ketidakberdayaan, kemelaratan, adalah orang-orang, penduduk dan rakyat yang samasekali tak punya jalur-hukum, tak punya andalan apapun, baik kenalan maupun keluarganya. M
aka terkadang bisalah dimengerti, daripada mereka hidup tak menentu tanpa tahu kapan akan mati dan kapan akan jadi korban penangkapan, korban penculikan, korban penipuan, apakah mereka akan diam saja, tidak mencari jalan lain?}{\rtlch \af1\afs28 \ltrch
\f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid11679629
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid11679629\charrsid2712162
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162
\par Paris 29 Juni 2000,-PUISI TENTANG KAYA
\par
\par Orang miskin kaya akan harapan
\par Orang kaya sungguh menggunung
\par harta benda rumah dan tanah
\par Timor Timur kaya akan pembunuhan.
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 Suharto - Habibi kaya akan korupsi
\par tapi sangat miskin akan demokrasi
\par RI - Orba - TNI kaya akan pembunuhan
\par tapi sangat miskin akan keadilan.
\par
\par Rakyat Indonesia kaya akan penderitaan
\par kaum atasan, elite, kaya akan penipuan
\par pemimpin kaya akan tipu-daya
\par Aceh - Timor Timur kaya akan korban pembunuhan.
\par
\par Yau, saudaraku, kita sungguh kaya
\par yang satu dengan harapan-harapan
\par doa-doa dan minta-minta
\par yang lain dengan tipu-daya dengan korupsi
\par pembunuhan, penyiksaan, setiap hari, setiap hari.
\par
\par Inilah kekayaan kita
\par yang satu dengan harapan-harapan, angan-angan, cita-citaBerhati-hatilah
\par
\par Jangan dilihat ketika dia jatuh
\par tapi rasakan dan saksikan cakar-cakar
\par merayapi urat-urat kehidupan
\par yang tetap saja masih bersikukuh.
\par
\par Memang dia pandai dan lihay
\par jatuhnya karena ferormasi
\par tapi diam-diam dia turut - ikut
\par menyelinap di barisan reformasi
\par namun demikian yang namanya burung gagak
\par di mana-mana tetap hitam
\par di mana-mana tetap makan bangkai.
\par
\par Kini jadi begitu banyak yang namanya reformasi
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 ada yang mengandung tebu
\par ada yang mengandung tuba
\par ada yang bermadu
\par ada yang bersida
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 lalu apa itu namanya reformasi
\par kalau tetap saja anti-Cina
\par kalau tetap saja anti-Kristen
\par kalau tetap saja anti-marxis
\par yang padahal semua itu kesatuan tubuh bangsa
\par yang padahal cabang dan ranting serta daun-daun ilmu.
\par
\par Lepaskan tahanan demi kebaikan reformasi
\par tapi yang PRD dan yang "gula 30 sekilo" tunggu dulu
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 tunggu burung gagak selesai merengguti daging
\par dari tulang-tulang mayat
\par ya, reformasi, kini kau jadi begitu banyak
\par aliran dan tapsiran
\par begitu banyak gagak-gagak berlindung jadi burung gereja
\par beterbangan manis,lucu dan menyenangkan
\par padahal kau tidak lucu,sangat menyebalkan,membencikanBALI - satu
\par
\par Tetap saja yang terlihat
\par yang selalu dulu-dulu
\par bagaikan plat gramofone
\par berputar-putar jalan di tempat.
\par
\par Krismon dan krisnom
\par resto penuh, pasar padat, hotel perang harga
\par orang-orang menjilati es rim
\par pesta babi-guling dan bule-bule
\par bergelamparan berjemur badan
\par dengan susu menggunung menantang.
\par
\par Bule-bule simpang-siur saling senyum
\par jual-beli barang haram
\par ke luar masuk warung tattuage
\par jeprat-jepret ketika ritual agama
\par tiada perduli adat setempat
\par mahapenting : kepuasan mata, hati, dan perut
\par melayu pribumi tak lagi saling hormat
\par berburu duit memang tak perlu ada-beradat.
\par
\par Tertegun diri : inikah Bali
\par yang katanya surgawi di bumi?
\par
\par Seakan Bali bukan lagi milik pribumi
\par bule-bule betapa sudah
\par mengangkangi dan melecehkan budaya luhur
\par di sarang-sarang foya elite
\par rupiah benar-benar anjlok dan luntur
\par sedangkan dollar menjadi raja alat-ukur
\par tampaknya adat dan budaya serta seni
\par seakan terpatung tegak demi dollar.
\par
\par Tampaknya Bali benar-benar campur berbaur
\par entah kepunyaan siapa
\par antara bule dan pribumiBALI - dua
\par
\par Ombak mengalun
\par dan angin silir-silir menjamah
\par pucuk puncak kelapa
\par lalu berderai daun-daun
\par bagaikan gerak memetik senar kecapi,-
\par
\par Dari jauh terdengar merdunyi suling
\par masih berdaya getar : gendang dan gending
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 tiba-tiba saja cacat di mata tua ini
\par terdengar ribut-ribut antara bule
\par karena berebut cewek
\par tak cocok harga lalu menyalahkan pribumi.
\par
\par Semuanya yang dulu-dulu
\par memang masih adaBALI - duapuluh satu
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 Orang-orang, pejabat-pejabat
\par koran-koran menulis setiap hari
\par tentang Bank Bali, lagi-lagi Bank BaliBALI - sebelas
\par
\par Tekukur - perkutut bernyanyi manggut-manggut
\par beterbangan antara pucuk bougenvil
\par membuka hari menulisi pagi
\par orang-orang siap ke kantor
\par pejabat - pegawai - eksekutif siap
\par dengan bagan-bagan, rencana-rencana korupsi.
\par
\par Pedagang-besar, pedagang-kecil, kakilima, asongan
\par siap dengan rencana paksaan dan bujukan
\par penjaja seks dengan rencana memulas senyuman
\par agar harta kecil sedikit membesar
\par siapa tahu mampu membuka kredit rumah
\par siapa tahu diboyong cowok Eropa.
\par
\par Mentari mulai meninggi
\par berapa dapat hari ini?
\par Resto dan hotel penuh pelanggan
\par sayang sang boss bukan bangsa sendiri
\par orang Bali selalu makan gaji
\par pada bangsa pendatang
\par orang Timor Timur selalu makan gaji dan kena aniaya
\par preman baju-hijau
\par pendatang dari Jawa
\par yang satu wangsa Eropa
\par yang satu orang dewek.
\par
\par Sanur 4 Agustus 1999,-
\par
\par
\par sedang orang-orang Bali di Bali sendiri
\par tak tahu dan tak mengerti
\par mengapa mereka bicara tentang Bank Bali
\par yang orang Bali sendiri tidak ambil perduli.
\par
\par Perkara korupsi?
\par Mungkin obat mujarab
\par hanyalah revolusi
\par juga pesemaian subur demokrasi
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 takkan bersemi tanpa revolusi!
\par
\par Ngurah Rai 13 Agustus 199
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 tapi hanya semata tinggal
\par remah-remah sisa belaka!
\par
\par Kuta 31 Juli 1999,-
\par
\par kebutuhan perdagangan
\par tak perlu apa dan bagaimana
\par terpenting dan pokok : fulus tetap raja utama.-
\par
\par Nusa Dua 30 Juli 99,-
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1035\langfe1033\langnp1035\insrsid2712162\charrsid11679629 masih juga tetap ingin,masih ingin,masih mau
\par mau terus menunggangi kami
\par bagaikan bandot kebelet-kesemsem,terus masih mau
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 menghisap,menipu,menghina,dan melecehkan kami
\par padahal katanya kau sudah jatuh
\par ternyata cakar-cakarmu tetap saja masih kukuh,-
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid11679629 11 Juni 1998
\par
\par }{\rtlch \af1\afs28 \ltrch \f36\fs28\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162 yang lain setiap hari bersiasat buat menipu kita,-
\par
\par Paris 13 September 1999,-
\par
\par
\par Erobar, Oktober 1992
\par
\par Paris, Juni 1991
\par }{\rtlch \af1\afs20 \ltrch \f1\fs20\lang1053\langfe1033\langnp1053\insrsid2712162\charrsid2712162
\par
\par
\par }}

Tidak ada komentar: