Senin, 29 Oktober 2007

ALLOHU ALLOH


Perkataan Allah tidak boleh digunakan untuk menggambarkan jamak (banyak) atau melambangkan apa-apa jantina, atau dinamakan untuk apa-apa yang selain dari Tuhan. Asal perkataan Allah dari dua perkataan Arab; (Al-) yang memberi erti khusus dan (-ilah) memberi erti Tuhan. Sebaik-baik translasi perkataan Allah itu ialah Tuhan yang ESA Qadim Lagi Azali Perlu juga ditekankan disini, bahawa usul perkataan Allah itu timbul dari kata buat Arab ta'allaha (atau alaha) yang memberi maksud yang disembah. Oleh itu, perkataan Allah itu boleh juga bermaksud: satu-satunya yang layak disembah.

Perlu difahamkan bahawa Allah, Tuhan yang satu, yang disembah oleh umat Islam adalah Tuhan yang sama yang disembah oleh pengikut Yahudi dan Nasrani.

Islam menolak penjelmaan Tuhan didalam rupabentuk manusia atau sesuatu apa jua pun. Tiada konsep individu terpilih atau bangsa terpilih dalam Islam. Setiap manusia, tanpa mengira apa-apa tercipta dengan keadaan fitrah sama adil. Yang membezakan darjat masing-masing pada sisi Allah adalah amal dan ketakwaan individu itu sendiri.

Allah Tak Butuh Disembah!

Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu.

Praktik-praktik peribadatan yang selama ini kita lakukan, seperti puasa, salat, zakat, haji, masih terkonstruksi dalam pengertian bahwa itu semua dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Tak sedikitpun terbersit dalam nalar-keimanan kita bahwa, Allah sebagai Zat Mahakuasa tidak membutuhkan ibadah dan sesembahan apapun. Bagaimana mungkin Zat Yangmahakuasa meminta sesuatu dari ciptaan-Nya?

Berkebalikan dari itu, justru banyak sinyalemen yang memberi pertanda bahwa semua ibadah dalam doktrin Islam berdimensi kemanusiaan (antroposentrisme), bukan berdimensi ketuhanan/teosentrisme (Arkoun, 1993). Sebab itu, peribadatan dalam Islam tidak ditujukan untuk menciptakan muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah an sich. Peribadatan seharusnya dilakukan seorang untuk menghasilkan kesalehan privat dan sosial, karena demikian itulah substansi peribadatan yang dimaksudkan dan diperintahkan Allah.

Peribadatan yang berdimensi antroposentris memiliki arti bahwa semua peribadatan tidak satupun dimaksudkan untuk menyembah Allah, apalagi dengan pemahaman bahwa Allah mempunyai kepentingan terhadap ibadah tersebut. Dimensi antroposentrisme ibadah, hanya dimaksudkan untuk kepentingan umat manusia semata, supaya mereka mendapat ketenangan setelah keruhnya kehidupan dunia. Sebaik-baiknya implementasi ibadah juga harus tertransformasi kepada dimensi sosial yang lain. Jadi, ibadah tidak hanya untuk kepentingan privat-antroposentris, melainkan juga untuk kepentingan sosial-antroposentris.

Problematika Teks

Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu.

Banyak sekali firman-firman Allah yang dimispersepsi sehingga dampaknya tidak dirasakan secara substansial dalam dimensi antroposentris. Misalnya firman-firman Allah seperti “tidak Ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku (51:56), atau “manusia harus menyembah Allah yang telah menciptakannya dan manusia-manusia sebelumnya supaya ia bertakwa (2:21), atau “sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan selain-Nya (7:59). Hadis Qudsi yang mengungkapkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk mengonfirmasi eksistensi Allah, juga turut mengesankan seakan-akan Allah memang ingin disembah. Ibrahim Madkour, dalam catatan Boisard pernah mengutip hadis qudsi itu: “Aku ini dulunya sebagai suatu harta simpanan yang tak diketahui, kemudian Aku ingin agar dikenal.” Untuk maksud itu, Allah menciptakan manusia, maka manusia mengetahui-Nya (Boisard, 1980)

Sesungguhnya teks-teks itu tidak problematis. Problematika terjadi akibat mispersepsi terhadap teks-teks itu. Apa dampak mispersepsi dari teks-teks itu? Salah satu hal fundamental yang dampaknya dirasakan secara langsung dalam kehidupan kita adalah anggapan bahwa ibadah dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Dalam dataran itulah, ibadah hanya berdimensi teosentrisme. Padahal, tujuan fundamental ibadah supaya manusia mendapat ketentraman bagi dirinya (privat-antroposentris) dan bagi orang lain di sekelilingnya (sosial-antroposentris).

Konfirmasi Teks

Di balik perintah Allah agar menusia beribadah untuk menyembah-Nya, sesungguhnya tersirat penekanan bahwa ibadah sesungguhnya untuk umat manusia itu sendiri. Firman-firman Allah yang memerintahkan supaya kaum muslim beribadah, adalah firman yang berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kaum muslim sesungguhnya membutuhkan dimensi spiritualitas dan religiositas dalam kehidupan. Semua itu hanya akan ditemukan dengan cara menyembah Allah sebagai harapan kehidupan yang lebih baik di dunia maupun setelah dunia.

Jadi, kata perintah (amar) yang menyatakan Allah meminta kaum muslim menyembah-Nya, tidak berarti Allah memerintah Ia disembah, melainkan mengonfirmasi bahwa kesadaran untuk menyembah Allah akan menguntungkan. Dari pemahaman itu, sesungguhnya sangat merugilah mereka yang tidak menyembah Allah. Menyembah Allah, tidak berarti sesembahan itu untuk Allah, melainkan demi kepentingan kaum umat manusia itu sendiri (Wahid, 1997).

Ini senada dengan tujuan fundamental ibadah dalam doktrin Islam. Keadilan Allah, justru terletak pada saat (Ia) tidak membutuhkan ibadah dari ciptaan-Nya. Cukuplah setiap perintah ibadah untuk kepentingan umat itu sendiri. Dengan demikian, kesadaran untuk beribadah bukan lagi karena “paksaan” perintah Allah tapi datang dari dorongan internal kita.

Pemahaman bahwa ibadah untuk umat manusia itu sendiri, akan menimbulkan spirit dan rangsangan untuk lebih banyak lagi beribadah. Dengan demikian, kita diharapkan akan menemukan kedamaian privat dan memiliki etos transformasi sosial. Di situ juga tersirat pesan bahwa kita tidak bisa hanya berharap dari kerja-keras dan penalaran kita saja agar hidup ini lebih tentram. Dengan adanya kesadaran beribadah seperti itu, sesungguhnya terletak pengandaian bahwa setiap manusia membutuhkan harapan-harapan dan kedamaian dengan menyembah Allah. Jadi, Allah tidak butuh disembah, melainkan kita sendiri yang sesungguhnya butuh menyembah-Nya. Wallâhu ‘alam bi shawâb

Gusti Allah Tidak Sedang Bermain Dadu

Sebulan lebih aku nggak nulis, sudah begitu banyak hal yang terjadi di dunia ini. Kantorku sudah pindah, aku juga pindah rumah (tapi tetep ngontrak), aku sudah beli sepeda motor, Bush datang ke Bogor, dan sebuah pelajaran bahwa hujan durian di negeri tetangga yang tak seindah hujan air di negeri sendiri.

Tapi aku lagi tertarik sama kisah yang sinetron banget di negara alfabet.

Negara Alfabet

Kalau ini adalah negara Alfabet, maka mari kita sebut tokoh bernama A. Yang serba baik, pinter, alim, mampu menciptakan keluarga yang sakinah dengan 7 orang anak, menginspirasi semua orang untuk menjadi lebih baik, pengusaha sukses pula. Pokoknya nilainya serba A. Makanya dia disebut AA.

Di ujung negara yang lain, tentu saja namanya Z, ada orang yang juga pinter, baik hati, aktif di kegiatan kemahasiswaan hingga jadi ketua Umum organisasi mahasiswa islam. Sampai akhirnya beliau bisa memanjat pohon beringin yang mendudukkannya di kursi Senayan, naik motor 20 menit dari kontrakanku. Jadi posisiku dan dia bedanya nggak jauh-jauh amat sih. Pak Z ini sangat Yahud, maka diberi julukan YZ. *halah maksa*

AA ke YZ

Dunia tiba-tiba gempar. Mas AA menikah lagi, secara resmi di depan saksi. Istrinya yang baik, ramah, subur (lha anaknya 7 je), merelakan suaminya menikah lagi dengan seorang mantan model, cantik tinggi semampai.

Kemudian, Ibu-ibu demo, menteri ikut bikin pres rilis, pejabat lain mengajukan amandemen pengubahan undang-undang, presiden angkat bicara, infotainment dapat topik bahasan, tabloid-tabloid dapet berita.

Mas AA kembali menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Di ujung dunia lain, video klip amatir mas YZ beredar cepat dari HP ke HP, lewat mahasiswa, karyawan kantor, tukang ojek, anak SMA, lewat milis-milis, sampai akhirnya masuk ke media massa.

Penasaran juga, memang sutradaranya siapa sih kok peredaran filmnya ngalahin gegap gempitanya Jiffest? Owalah, ternyata adegan mas YZ sedang ‘ihik-ihik’ dengan mbak ME, seorang penyanyi dangdut yang memang sudah malang melintang di pentas panggung politik -dalam arti harfiah-. (Eh, tapi walau sudah nikah,nonton begituan tetep dosa ya?)

Kemudian, gedung Senayan geger lagi. Om Permadi malah bilang “ah, lagi sial aja itu si YZ, sudah biasa di sini”. Hwarakadah, ini lagi ngomongin dewan yang terhormat lho, bukan ngomongin komplek prostitusi. Waktu bergerak cepat, lalu mbak ME masuk TV, infotainment dapat topik bahasan, tabloid-tabloid dapat berita.

Tapi untuk kasus ini, mas YZ tidak menginspirasi banyak orang. Lagipula, waktu itu beliau sedang ke luar negeri.

Poligami dan Selingkuh

Jadi begitulah, di satu sisi dunia ada manusia yang menyalurkan sifat manusianya dengan cara yang berbeda. Satu dengan jalan yang memang diajarkan dalam agama -yang entah kondisinya sesuai atau tidak di jaman sekarang-. Satunya lagi dengan jalan yang selalu hina di jaman dan kebudayaan manapun.

Anak SD: “Kenapa acara Smack Down nggak ada lagi di TV ?”
Bapak : “Karena anak-anak suka meniru gerakannya, jadi berbahaya”
Anak SD: “Lho, kalau James Bond yang suka berzina itu kenapa tetap diputer di TV dan Bioskop? Bukannya Bapak-bapak juga suka meniru? Wakil rakyat saja sampai ikut meniru”
Bapak : “Oh kalau itu tidak bisa dihapus, karena nanti ramai orang demo lagi di bunderan HI, kan mengganggu anak-anak yang mau sekolah”

***

Sementara itu, di sebuah blok di Rumah Susun Tanah Abang, sepasang suami istri yang baru sebulan menikah ngobrol santai sambil nonton TV.

Istri Menyun: “Wah, AA Gym kawin kok negara sampai mau mengubah undang-undang sih? Reaktif, kaya infotainment saja”
Suami Geblek: “Ya begitulah. Eh, kalo aku kawin lagi gimana ya?”
Istri Menyun: “Emang mau punya istri berapa?”
Suami Geblek: “Delapan belas?”
Istri Menyun: “Lah, istri satu saja njemput di kantor terlambat terus kok. Kalau istrimu 18 nanti apa nggak susah antar jemputnya?”

Lalu aku bersyukur punya istri yang bisa mengingatkan keterbatasan kemampuanku.



Dan karena Einstein saja bilang kalau “God doesn’t play dice”, “Gusti Allah mboten dolanan dadu”, aku yakin dua kejadian yang terjadi bersamaan ini tidak terjadi tanpa hikmah buat umat manusia. Paling tidak untuk manusia yang masih sempat lihat infotainment dan baca tabloid gosip

CINTA KEPADA ALLAH

(MAHABBATULLAH)



Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.) bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: "Apakah engkau mencintai Allah?" Ali ra menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?" Ali ra kembali menjawab, "Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali menjawab,"Ya". Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?" Ali menjawab, "Ya". Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?" Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah". Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi'ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt". Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: "Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin."

Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah dapat di simak dalam doa mistiknya: "Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi."

Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).

Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.

Bayazid Bustami sering mengatakan: "Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit." Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana' ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: "Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa". Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.

Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. "Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka "'(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru'yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.

"Shalat adalah mi'rajnya orang beriman" begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin". Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.

Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.

Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: "Apa yang sedang anda kerjakan?" Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: "Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia". Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: "Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia". Malaikat itu berkata: "Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia".

Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas ini pernah di tekankan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadits qudsi: "Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur". Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya. Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah). Jawab beliau: "Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah, bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri." Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

CIRI-CIRI WALI ALLAH

((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون. الذين آمنوا وكانوا يتقون.لهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة لا تبديل لكلمات الله ذلك هو الفوز العظيم)). يونس (62-64).

Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa) bagi mereka berita gembira didalam kehidupan didunia dan akhirat, tidak ada perobahan bagi kalimat kalimat atau janji-janji Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Yunus 62 – 64)

Makna ayat :
Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa telah mengkhabarkan tentang wali-wali-Nya dan orang-orang yang dicintainya-Nya, Allah menyebutkan amalan-amalan dan sifat-sifat mereka, serta ganjaran yang mereka peroleh, dimana Allah berfirman:
((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم)). يونس (62).

Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu tidak ada kekhawatiran atas mereka,” terhadap apa apa yang mereka hadapi dimasa akan datang dari bentuk bentuk ketakutan ancaman ancaman. “Dan tidak pula mereka merasa bersedih,” atas apa yang telah mereka lalui, dikarenakan tidaklah berlalu dari mereka kecuali `amalan yang shoolih, sehingga dengan demikian tidak ada kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih, telah ditetapkan bagi mereka keamanan, kebahagian dan kebaikan yang amat banyak untuk mereka, tidak ada yang mngetahuinya kecuali Allah Ta’aalaa.

Kemudian Allah `Azza wa Jallah menyebutkan sifat sifat mereka :
((الذين آمنوا)

“Yaitu orang-orang yang beriman,” dengan Allah Ta`aalaa, malaikat malaikat-Nya, kitab kitabNya, para rasul-Nya, hari kiamat, taqdir yang baik maupun buruk, dan mereka buktikan keimanan mereka tadi dengan melakukan ketaqwaan kepada Allah Jalla wa `Alaa dengan cara melaksanakan segala perintah Nya serta mejauhi segala bentuk larangan-Nya.

Maka setiap orang yang beriman lagi bertaqwa, dia adalah wali Allah Subhaana wa Ta`aalaa.
((لهم البشري في الحياة الدنيا وفي الآخرة))
”Bagi mereka berita gembira didalam kehidupan dunia dan akhirat.”
Adapun khabar gembira didunia yaitu pujian yang baik, dan kasih sayang dihati hati orang yang beriman, dan mimpi-mimpi yang baik, dan apa-apa yang dilihat oleh hamba tersebut bentuk kelembutan Allah dengannya, serta Allah mudahkan baginya untuk melakukan amalan dan akhlak yang baik, dan juga Allah palingkan darinya akhlak-akhlak yang jelek, dan apapun diakhirat maka khabar gembira yang paling pertama didapat ketika Allah mencabut nyawa mereka, sebagaimana Allah berfirman :

((إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقامو تتنزل عليهم الملائكة ألا تخافوا ولا تحزنوا وأبشروا بالجنة التي كنتم توعدون)).

Artinya : “Sesungguhnya orang orang yang mengatakan “Rab kami adalah Allah; “kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan :” Janganlah kamu merasa takut dan jangan pula bersedih, dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” Fushilat 30).
Di dalam kubur mereka mendapat keridhoaan Allah dan kenikmatan tinggal didalamnya.
Diakhirat mendapatkan kesempurnaan khabar gembira tersebut, dimana Allah Ta`aalaa akan memasukannya kedalam Jannatun na`iim dan diselamatkan dari pada adzab yang pedih.
((لا تبديل لكلمات الله))
“Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah,” bahkan apa yang dijanjikan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa pasti benar, tidak akan pernah berubah, tidak akan berganti, sebab Allah Jalla wa `Alaa Maha Benar atas apa yang diucapkan-Nya, yang seorangpun tidak akan pernah mampu untuk menyelisihi apa yang telah ditetapkan-Nya.
((تلك هو الفوز العظيم))

“Yang demikian itu adalah kemenangan yang benar,” sebab terkandung di dalamnya keselamatan dari setiap malapetaka, dan memperoleh segala keinginan yang dicintainya, inilah kemenangan yang hanya diharapkan oleh orang orang beriman lagi bertaqwa tidak ada yang lain mereka harapkan.
Walhasil, khabar gembira tersebut mencakup segala kebaikan dan pahala, yang Allah Ta`aalaa telah menetetapkan di dunia dan di akhirat bagi orang beriman dan bertaqwa. Hal demikian itu mutlak bagi mereka, dan tidak secara terikat.” (Tafsiir “Taisiiril Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan”, hal. 324, cetakan pertama 1999M/1420-Muassasatur Risaalah Beirut Lebanon.)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

[url=http://www.youtube.com/watch?v=pa8xW-AQGHA]mobilspion[/url]