Hentikan penambangan Pasir Besi
Kita tidak tahu mengapa Penguasa Yoyakarta mendesakkan keinginaannya dirikan pengolahan pasir besi.
|
Kedua, mengambil dengan cara menggali dari gumuk pasir atau hamparan daerah pesisir yang tidak jauh dari pantai. Biasanya, jarak antara hamparan itu kurang lebih 300 hingga 500 meter. Hal ini dilakukan oleh PT Omega, PT Villa Husen
Sedangkan cara ketiga, yaitu ambil dari lepas pantai dengan cara disedot menggunakan kapal. Cara ini yang akan .
Dari tiga cara pengambilan pasir besi itu, semuanya mengandung risiko kerusakan lingkungan. Mulai dari abrasi, pesisir pantai nedap (amblas), hingga merusak biota laut.
Menurut Pakar Lingkungan, pertambangan pasir besi di pantai, mengandung risiko kerusakan lingkungan cukup tinggi. Sehingga, perlu analisa dampak lingkungan (amdal) yang benar-benar baik.
Sebelum izin dikeluarkan, kepala daerah mestinya melihat amdal dari perusahaan yang akan menambang tadi. Jika tidak, maka akan muncul masalah lingkungan di kemudian hari. Harus hati-hati ‘Pengambilan pasir besi secara jor-joran di sepanjang pantai, pertama akan menyebabkan bentangan lahan rusak. Lalu, kondisi pantai yang semula bersih, lambat laut akan keruh atau rusak. "Jika sudah terjadi demikian, maka tidak akan ada lagi ikan atau udang yang biasa berkembang di daerah itu,".
Selain itu, akan terjadi abrasi pantai yang lebih cepat lagi.
Jika saat ini dibuat lobang-lobang besar di pesisir itu, nantinya air laut akan merembes, hingga pada akhirnya terjadi longsoran dan nedap (atau amblas). Dengan demikian, kawasan pantai akan rusak. "Kalau sekarang tampaknya tidak, tapi jika pertambangan ini akan dilakukan selama bertahun-tahun, kerusakan bisa terjadi," Begitu pula yang terjadi di kawasan laut, yaitu dengan cara disedot. Cara ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dengan tetap mengacu kepada amdal. Penyedotan itu bisa merusak terumbu karang. "Nantinya ekosistem di daerah itu akan terganggu.
menyebutkan, rantai ekosistem di laut , bisa rusak dengan adanya pertambangan tersebut, secara besar-besaran. Ia menyarankan, masyarakat maupun pemkab, jangan terbuai dengan nilai ekonomisnya, sementara masalah lingkungannya terabaikan.
"Kaidah konservasi harus benar-benar diperhatikan, dalam pertambangan ini," Fungsi benteng alam di daerah pantai harus terjaga, dengan hutan mangrove dan penanaman tanaman yang kuat di pingir pantai, harus diperioritaskan. Agar terjangan ombak tidak langsung ke dataran.
Keuntungan Tak Sebanding dengan Kerusakan Alam
Rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo untuk menambah pendapatan daerah tidak sebanding dengan akumulasi kerusakan ekosistem pantai yang bakal terjadi. Pertanian warga di pesisir yang sangat potensial juga bakal hilang.
Menurut Sudaryatno, dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penambangan pasir besi tak cukup hanya dikalkulasi dan dicari solusinya lewat rencana pemulihan. Volume gumuk pasir yang terambil tidak akan secepat proses pengembalian oleh alam.
"Pasir ini berasal dari material terhalus Merapi yang terbawa aliran sungai. Sementara di atas
Dengan penambangan sepanjang 22 kilometer, menjorok ke daratan sejauh 1,8 km, dan menggerus sedalam 14,5 meter, volume pasir yang terambil mencapai 650 juta ton. Jumlah ini sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan areal bawang merah, semangka, cabai, dan sayuran milik warga, termasuk juga akan menyingkirkan rumah mereka.
Kandungan bijih besi di
"Apakah ada jaminan sisa pasir yang terambil akan dikembalikan lagi? Apakah perusahaan mau serepot itu dengan mengeluarkan biaya yang besar? Kalaupun dikembalikan sisa pasir yang tidak terpakai, pola alami gumuk pasir tidak akan mudah dibentuk. Dan lagi, bagaimana dengan pertanian pesisir yang hancur?" kata dia.
Gumuk pasir berguna meredam getaran dan ini sangat menolong saat gempa. Ketika pasir diambil, fungsi itu akan hilang, bahkan ditambah ancaman abrasi pantai dan intrusi air laut ke darat. Batas pantai yang bergeser juga memperlebar potensi genangan. "Terlalu mahal dampak kerusakannya dibanding manfaat penambangan pasir besi," . bkan nantinya nedap dan merusakkan kawasan pantai.
Kultur: Sajaknya Nyono | |||
|
|
Rela Sepenuh jiwa,
Pendekatan Kritik Sastra Terhadap AlquranOleh Muhtar Sadili23/07/2007Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora tadi, akan membantu secara metodologis agar kita sampai pada makna yang kehendaki teks. Hal ini tidak berarti teks Alquran akan kehilangan sakralitasnya lantaran didekati ilmu-ilmu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu tersebut merupakan alat bantu efektif yang dapat menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis wahyu. tra telah melahirkan metode tafsir sastrawi atas Alquran. Model tafsir ini dilandaskan pada Tonggak Pembaharuan Tafsir Amin al-Khûlî (1895-1966), adalah intelektual Mesir yang telah merintis perlunya penerapan metode kritik sastra atas teks-teks Alquran. Mulanya ia mengkaji bahasa dan sastra Arab sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Alquran. Kedua bukunya, Fil Adabil Mashrî (1943) dan Fannul Qawl (1947) adalah dua karya penting dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Alquran. Al-Khûlî mengawalinya dengan mendekonstruksi wacana sastra Arab. Belakangan, kita mengenal usaha itu dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Ahmad Khalafallah, Aisyah Abdurrahman atau Bintus Shâti (w. 1998), M. Syukri Ayyad (w. 2000) dan terakhir, Nasr Hamid Abu Zayd. Dekontruksi itu dilakukan melalui dua cara. Pertama, kritik ekstrinsik (an-naqdul khâriji) yang diarahkan pada ”kritik sumber”. Ini mirip kajian yang holistik tentang faktor-faktor eksternal munculnya sebuah karya, baik aspek sosial-geografis, religio-kultural, maupun politisnya. Juga kajian terhadap sejarah karya dengan berbagai atribut periodisasi, sehingga mampu menemukan hubungan antara karya, latar belakang kemunculannya, dan semangat intelektual yang dikandungnya. Kedua, kritik intrinsik (an-naqdul dâkhilî), yang diarahkan pada teks sastra itu sendiri. Dengan analisis linguistik yang hati-hati, kita diharapkan mampu menangkap makna yang dikandung sebuah teks. Ini menyerupai aliran egosentrik yang melihat sebuah karya sastra dari karya itu sendiri. Dalam konteks ini, kita menemukan Alquran telah menantang manusia untuk membuat sesuatu yang menyetarainya, sebagai cara Alquran memandang dirinya sendiri (QS. 17 : 88). Al-Khuli sangat serius menggeluti tafsir Alquran lewat kritik sastra. Usahanya berlanjut dalam studi-studi ilmu Alquran. Ulasannya dalam buku Tafsîr Ma’âlim Hayâtihi: Manhajul Yawma (Darul Ma’rifah, 1962), telah menilik kecendrungan-kecendrungan eksternal yang melatarbelakangi para mufassir Alquran dalam melahirkan karya tafsirnya. Yang diulas misalnya, latar belakang intelektual, sosial, politik, dan idiologi seorang penafsir. Karena itu, ia sangat antusias mengenalkan tafsir sastrawi terhadap Alquran (at-Tafsîr al-Adabî lil Qurân). Model ini diharapkan dapat menyuguhkan pesan-pesan Alquran secara lebih menyeluruh dan bisa menghindarkan diri dari tarikan-tarikan individual-ideologis yang pragmatis dari seorang penafsir. Al-Khuli, karena itu, mengkritik tafsir saintifik yang memaksa teks-teks keagamaan agar senantiasa selaras dengan hal-hal yang temporer dan relatif. Tafsir saintifik, baginya tidak memperhatikan ”konteks dan teks” serta ”relasi antar teks” secara serius. Padahal, dua hal ini merupakan konsideran penting bagi seorang mufassir ketika ingin mengetahui makna yang dikehendaki oleh sebuah teks. Jika keduanya diabaikan, seorang penafsir sebetulnya menempatkan Alquran bukan sebagai teks keagamaan yang suci dan absolut. Selain itu, jebakan tafsir saintifik telah menyebabkan suburnya sikap apologetis dari para mufassir karena selalu berusaha mengampanyekan kesesuaian antara teks keagamaan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang niscaya berkembang dan berubah. Mereka tergoda untuk menegaskan bahwa Alquran telah memuat informasi-informasi keilmuan seperti yang dikemukakan ilmuwan mutakhir. Padahal, cara ini mengabaikan pertimbangan-pertimbangan konteks ayat serta relasinya dengan ayat-ayat yang lain. Pada gilirannya, cara ini juga mereduksi pemahaman teks Alquran sebagai Weltanschauung kehidupan Muslim. Metodologi Tafsir Sastra Untuk melapangkan tafsir sastrawi atas Alquran, Alquran pertama-tama diandaikan sebagai teks sastra Arab yang paling agung (al-kitâbun al-`arabiyyul akbar). Secara historis, Alquran memang diturunkan dengan kemasan bahasa Arab, sebagai ”kode” yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya. Di sini, usaha menafsirkan Alquran didefinisikan sebagai proyek kajian sastra kritis dengan metode yang valid dan dapat diterima. Karena disejajarkan dengan studi sastra umumnya, al-Khuli menyuguhkan dua prinsip metodologis. Pertama, studi terhadap apa yang mengitari teks Alquran (dirâsatu mâ hawlal qur’ân). Kedua, studi teks Alquran itu sendiri (dirâsah fîl qur’ân nafsih). Studi pertama diarahkan untuk melakukan investigasi terhadap latar belakang Alquran, sejak proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, serta kodifikasi dan variasi cara bacaannya. Inilah tema kajian yang lebih dikenal dengan Ulûmul Qur’ân. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosial-historis Alquran, termasuk situasi mental, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke-7, saat Alquran diturunkan. Kajian ini menitikberatkan pentingnya aspek-aspek historis, kultural, dan antropologis wahyu, dan kondisi masyarakat Arab abad ke-7 sebagai objek langsung teks wahyu itu. Penitikberatan aspek-aspek sosial yang masuk dalam rumpun humaniora tadi, akan membantu secara metodologis agar kita sampai pada makna yang kehendaki teks. Hal ini tidak berarti teks Alquran akan kehilangan sakralitasnya lantaran didekati ilmu-ilmu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu tersebut merupakan alat bantu efektif yang dapat menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis wahyu. Selanjutnya, studi teks Alquran itu sendiri. Caranya dimulai dengan penafsiran makna kata-kata tunggal (mufradât) yang digunakan saat ia diwahyukan, perkembangan, dan cara pemakaiannya di dalam Alquran. Cara ini dilanjutkan dengan pengamatan terhadap kata-kata jamak (murakkab) plus analisis tentang pengetahuan gramatikal Arab (al-balâghah). Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, al-Khuli juga menggunakan metode tafsir tematik (tafsîr maudhû’i). Ini dikarenakan urutan ayat dan surat-surat pada Alquran tidak disusun berdasarkan kronologinya, dan karena itu, suatu informasi yang dimuatnya bertebaran tidak hanya pada satu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar