Sabtu,
Gus Dur: TAP MPRS XXV/1966 Dibuat karena Hawa Nafsu
Jakarta, Kompas
Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sekali lagi menyampaikan keteguhan hatinya tentang perlunya pencabutan Ketetapan (Tap) No XXV/ MPRS/Tahun 1966, karena ketetapan tersebut melanggar hak hukum orang, dan besar kemungkinan telah menghukum orang tidak bersalah secara sewenang-wenang.
"Tap tersebut jadi karena semata-mata hawa nafsu seseorang yang takut dinamakan dia PKI. Saya ini lahir dari keluarga bukan PKI, tetapi saya tahu hak orang," demikian kata Gus Dur dengan suara lantang dalam dialog rutin usai Shalat Jumat di Masjid Al-Munawaroh, Ciganjur,
Dalam dialog yang dipandu Pjs Sekretaris Negara/Sekretaris Pengendalian Pemerintahan Bondan Gunawan, Gus Dur menceritakan lagi kisah hubungan baik antara ayahnya, almarhum KH Abdul Wahid Hasyim dengan Tan Malaka. Tokoh komunis itu, kata Gus Dur, di masa lalu sering datang ke rumahnya di Jalan Imam Bonjol,
Mengenai soal orang-orang komunis, kata Gus Dur, ada dua hal yang jarang dimengerti. Pertama, soal hak hukum. Kedua, menyangkut perkembangan pandangan politik. "Nah dua hal ini terpisah, tetapi dipersatukan oleh Tap MPRS tersebut, maka Tap itu harus dicabut," ujarnya.
"Itu yang saya maksudkan. Artinya apa hak hukum itu. Bayangkan bekas PKI, kalau benar mereka terlibat, anaknya tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja. Apa-apa dikatakan bekas PKI. KTP-nya saja ada eks TP (tahanan politik). Itu
Kemudian Gus Dur mengutip ayat Al Quran, bahwa orang paling mulia di hadapan Allah adalah mereka yang bertakwa. Ditegaskan, bukan karena orangtuanya PKI atau tidak. Orangtua PKI bisa saja anaknya menjadi orang soleh. Jadi kita jangan semena-mena bikin Tap yang isinya itu adalah menghukum orang padahal dia tidak bersalah. Ini maksud saya Tap ini dicabut," kata Gus Dur.
Mendidik masyarakat
Untuk menghadapi komunisme, Gus Dur mengatakan, paling gampang adalah mendidik masyarakat. "Kalau tidak setuju jangan jadi komunis, selesai. '
Untuk menentukan boleh tidaknya orang komunis berpolitik, menurut Gus Dur, harus ditentukan oleh DPR/MPR. "Artinya boleh nggak mereka ikut Pemilu atau bikin partai komunis. Kita punya DPR dan MPR, mengapa tidak disalurkan lewat
Gus Dur mengatakan dirinya banyak mendapat kritikan dari para kiai, termasuk dari seorang kiai "besar" menyangkut persoalan Tap ini. "Saya tetap pada pendirian saya. ....Silakan Pak Kiai melihat dari sudut kekiaian, sedang saya melihat dari sudut presiden," katanya. (osd)
oebandrio; |
|
INDONESIA-VIEWS] HERSRI - "Hidup di Bui" dan Genjer-genjer" (2)
From: apakabar@saltmine.radix.net
Date:
Date: Sat, 29 Jul 2000 21:11:32 +0200
To: Apakabar@radix.net
From: Setiawan <setiawan@worldonline.nl>
Subject: Fwd: LAGU "HIDUP DI BUI" DAN "GENJER-GENJER" 2
>hersri setiawan
>
>
>
>tentang
>
>LAGU "HIDUP DI BUI" DAN "GENJER-GENJER"
>
>2
>
> DUA lagu itu mengalami nasib yang hampir sama. Diperkosa dan
> dikorup. Itu sebabnya, maka saya merasa terpanggil untuk ikut "memberikan
> kesaksian" tentangnya. Kepada Samin di Jakarta dan Anwar Pr di Aachen
> saya mengucapkan terimakasih, untuk masukan data dan kiriman kaset lagu
> di "Hidup di Bui". Maka Surat Negri Kincir bagian pertama ini saya tulis
> khusus untuk mereka berdua.
>
> Adapun tentang "Genjer-Genjer",
> kedua, lebih khusus saya tujukan pada beberapa sobat yang belum lama ini
> mengangkat soal sekitar lagu ini. Mereka itu ialah Samiadji dan Umar
> Said, dua-duanya dari
> atau entah dari mana. Tapi dengan sendiri juga pada para pembaca tulisan
> sobat-sobat tersebut, baik yang liwat media internet maupun yang liwat
> media cetak "Suara Merdeka"
> "dahulu kala" pernah magang.
>
> Tapi selain itu Surat Negri Kincir bagian dua ini secara
> khusus juga buat sobat baik saya dari pinggir Bengawan Rhein di Belanda,
> yang pertama kali melempar umpan pada saya dengan soal sekitar lagu
> "Genjer-Genjer" ini. Sobat baik itu Robert Nio alias Mang Ucup Maranatha
> yang, sayang sekali, konon telah mengambil keputusan untuk melengserkan
> diri sebagai kolumnis spiritual urakan pers internet, yang luas cakupan
> temanya dan sangat produktif "kalamnya".
>
> Tentang lagu "Hidup di Bui" sudah saya bicarakan dalam bagian
> pertama
>
>
>
>Genjer-Genjer
>
>untuk Aini Patria dan Robert Nio
>
>
>
> GENJER salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa
> dan sawah basah, tanah lumpur yang berair. Ada berbagai jenis sebenarnya
> tumbuhan air ini, antara lain kangkung (selain yang jenis kangkung
> darat), semanggi, genjer dan bopong. Orang Belanda, karena tidak
> mengenalnya, menamai semuanya itu dalam satu cakupan istilah: watersla
> (selada air).
>
> Dua jenis yang disebut pertama sudah lama dikenal sebagai
> jenis sayuran atau lalaban, tapi dua jenis tersebut akhir baru masuk
> dapur petani miskin dan rakyat kecil umumnya sejak jaman Jepang. Sebelum
> itu genjer dan bopong hanya dikenal sebagai umpan ternak, biasanya
> dicacah untuk dicampur dengan dedak atau katul. Di jaman Jepang genjer
> atau bopong dimakan untuk peserta makan gatutkaca, kata pasemon untuk
> singkong, atau anjasmara yaitu gogik. Gogik ialah sisa-sisa bahan makanan
> apa saja, dijemur kering untuk diawetkan, dan dikukus jika hendak dimakan
> kembali. Agar orang tidak mati, karena beri-beri atau busung lapar,
> ditambah makan bekicot bakar.
>
>***
>
>"Genjer-Genjer" Lagu Rakyat
>
> Dalam hal Genjer-Genjer sebagai nama lagu, ada tiga hal yang
> perlu saya bicarakan. Sudah barang tentu sejauh yang saya tahu, dan
> sepanjang ingatan saya tentang pengetahuan saya itu. Tiga hal itu ialah,
> pertama, dari mana lagu ini berasal, sekaligus mencoba mencari tahu siapa
> pencipta lagu ini; kedua, mengapa lagu ini dilarang oleh rezim militer
> Suharto; dan ketiga, sebagai tambahan, tentang Ki Dalang Nartosabdo.
>
> Pada bulan Desember 1962, Komite Eksekutif Biro Pengarang
> Asia-Afrika, yang berkedudukan di Kolombo Sri Langka, menyelenggarakan
> konperensinya di Denpasar
> anggota Komite Eksekutif dari berbagai penjuru Asia-Afrika, sedangkan
> dari
> bawah pimpinan Sitor Situmorang, Lembaga Seni Budaya Muslimin
> (Lesbumi) dipimpin Mahbub Junaidi, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
> dipimpin Jubaar Ajoeb.
> dalam dua mikrobus, di antara mereka sebut saja beberapa: Rivai Apin, Hr.
> Bandaharo, Pramudya Ananta Toer, Bujung Saleh Puradisastra, Dodong
> Jiwapraja, Samandjaja,
>
> Rombongan mikrobus meninggalkan Jakarta, melalui
> Purwokerto - Jogya -
> disambut oleh pimpinan Lekra Cabang setempat, antara lain Suhaili
> Cordiaz, pemimpin Lembaga Sastra, dan M. Arif, pemimpin Lembaga Musik.
> Satu kelompok pemusik angklung, yang semuanya perempuan berkain kebaya,
> menyambut delegasi
> yang mereka mainkan. Satu di antaranya, sebuah lagu baru bagi "telinga
>
> lagu "Genjer-Genjer". Syairnya dalam bahasa Jawa langgam Banyuwangi,
> sedangkan lagunya dalam laras pelog. Semua menjadi kesengsem
> mendengarnya. Sehingga semua menjadi terlibat bicara tentang
> "Genjer-Genjer". Genjer-Genjer sebuah lagu rakyat. Sebagai
> lagu rakyat, sama seperti halnya dengan semua hasil kesenian rakyat,
> tidak dikenal siapa penggubahnya.
>
>
>
> Ketika itu Njoto, alias Iramani, tidak hanya dikenal sebagai
> seorang tokoh politik, Ketua III CC-PKI belaka. Bung Karno belum
> mengangkatnya sebagai Menteri Negara Tanpa Pertepel. Itu baru terjadi
> kemudian, sebagai tindak lanjut dari usaha pembentukan "Kabinet Kaki
> Empat" (PNI-Masyumi-NU-PKI) gagal. Karena itu, menerima jabatan yang
> demikian Njoto sendiri menamai dirinya sebagai "Menteri Pupuk Bawang" --
> maksudnya sekedar sebagai penghangat ubun-ubun Rakyat! Tapi tokoh Iramani
> juga dikenal sebagai seorang publisis (baca polemiknya dengan BM. Diah),
> penyair (baca syair-syair haiku-nya) dan esais (baca artikel-artikelnya
> tentang kebudayaan dan ilmu sosial).
>
> Tapi di masa RI masih beribukota di kota Yogyakarta, "jauh"
> sebelum dikenal sebagai tokoh PKI, Iramani juga dikenal sebagai seorang
> seniman musik. Tidak jarang ia mengisi acara musik lepas senja di studio
> RRI bersama Adikarso dan Bing Slamet. Tidak aneh karenanya, jika
> sementara ikut terlibat dalam pembicaraan tentang "Genjer-Genjer", naluri
> musikalitas Iramani terucap dalam kata-kata yang bernada meramal. "Lagu
> ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!"
>
> Ucapan Njoto yang bernada "profetis" itu menjadi lebih
> berkesan, karena sekaligus ia memberi contoh secara langsung tentang
> masalah yang disebut "tradisi positif", dan tentang bagaimana
> pengembangannya. Memadu antara "tradisi positif" dan "kekinian yang maju"
> merupakan salah satu asas kerja pekerja kebudayaan Lekra. Di samping itu
> ucapan bernada "profetis" tersebut juga juga memberi jawaban secara tidak
> langsung, tentang apa dan bagaimana bentuk kebudayaan nasional. Ini,
> ketika itu, merupakan salah satu masalah yang sering menjadi tema diskusi
> di kalangan Lekra. Adapun pemicunya ialah kata-kata Ki Hajar Dewantara
> yang mengatakan, bahwa kebudayaan nasional ialah paduan antara
> puncak-puncak kebudayaan daerah. Orang, apabila menerjemahkan rumusan itu
> secara harfiah, akan tiba pada satu konsep yang dangkal. Yaitu, bahwa
> membangun kebudayaan nasional ibarat membuat baju antakusuma. Baju ajimat
> Gatutkaca yang membikinnya bisa terbang tanpa sayap, namun sekedar berupa
> "tambalan" dari seribu satu kain berbunga-bunga.
>
> Ramalan Njoto tidak meleset. Sekitar satu tahun kemudian
> Genjer-Genjer telah terdengar di Jakarta, baik melalui siaran RRI maupun
> tayangan TVRI. Dikenal sebagai lagu rakyat Banyuwangi aransemen oleh M.
> Arief, yang sementara itu telah bekerja di Seksi Musik TVRI
> Piringan hitam Genjer-Genjer kemudian memasuki pasaran, dinyanyikan oleh
> Bing Slamet, dalam lirik Jawa dan bukan Jawa-Banyuwangi.
>
>
>
>Mengapa Orba Takut?
>
> Orde Baru ialah orde yang sakit jiwa, timbul dari komunisto
> fobi yang amat parah, sehingga menjadi angst psychose yang traumatis
> terhadap bahaya Komunis. Karena itu jika orang bertanya mengapa Orde
> Baru, yang memiliki perangkat militer "gagah perkasa", takut pada lagu
> Genjer-Genjer, seribu satu alasan bisa dikemukakan.
> perbandingan dari satu peristiwa yang terjadi di Unit XIV Bantalareja
> Pulau Buru tahun 1972.
>
> Suatu hari Suroto, tapol petugas dapur Tonwal, mendapat
> perintah membikin taman bunga di halaman Wisma Dan Unit. Sehari penuh ia
> bekerja sendiri. Mencangkul, membuat gulutan-gulutan tanah cangkulan,
> mencari bibit-bibit tanaman berbagai kembang. Menjelang senja, selesai
> kerja areal, lonceng apel dipukul keras dan panjang. Tanda bahaya! Apa
> gerangan terjadi?
> lapangan apel, berbaris menurut barak masing-masing. Semua staf Unit dan
> Tonwal bersenjata lengkap, dengan wajah seram menahan marah, menghadapi
> barisan tapol yang tegak berdiri dengan dada telanjang.
>
> Suroto dipanggil maju, langsung dipermak tanpa ditanya.
> Ketika Suroto dihardik: "Kamu tahu apa salahmu?" Suroto menjawab:
> "Tidak!" Maka beberapa tonwal serentak bancakan, membuat tubuh Suroto
> ibarat karung pasir latihan boksen. Dan Ton menyeret Suroto ke taman
> bunga bikinannya, diperintahnya mencari kesalahannya di
> tidak menemukan kesalahannya di taman itu. Satu demi satu kepala barak
> dipanggil, maju memeriksa taman. Tapi mereka semua, seperti Suroto, tidak
> mengerti maksud perintah dan amarah para pembesar Orba itu.
>
> Suroto kembali dipanggil ke taman. Sekarang Mantri Tani,
> Gusgastan Unit, yang membentak: "Hitung gulutan itu!
> menghitung tenang: satu, dua, ... tujuh. "Tujuh Pak!" Mantri Tani itu
> meraung: "Nah, tujuh! Kamu tahu sekarang? Apa itu bilangan
> tujuh?" Suroto tidak tahu. Juga 500 tapol lainnya tidak tahu. "Tidak
> tahu, Pak!" Mendengar jawaban demikian gagang bedil Mantri Tani (di Buru
> Mantri Tani dan Mantri Kesehatan memanggul bedil!) menghantam punggung
> Suroto. Suroto terkapar dan digotong ke poliklinik. Berbulan-bulan ia
> dirawat, beberapa tulang iga dan tulang punggung retak. Dan ia menjadi
> cacat seumur hidup.
>
> Dan Ton sendiri akhirnya yang mengurai teka-teki senja hari
> itu. Tujuh gulutan taman bikinan Suroto itu, dalam tafsiran logika
> pembesar Orba, adalah gambaran makam Tujuh Pahlawan Revolusi! Yaitu enam
> jenderal dan satu perwira pertama, korban pertama peristiwa G30S 1965.
> Mereka dibunuh pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, dan mayat mereka
> kemudian dilempar ke sumur mati di Lubang Buaya. "O, itu!" Sahut tapol di
> hati masing-masing. Gulutan tanah berjumlah tujuh. Itu Tuparev. Dan di
> situ dosa Suroto terletak!
>
> Begitu juga halnya dengan Genjer-Genjer.
>
> Bukalah koran-koran Orba, terutama Api Pantja Sila dan Berita
> Yudha, edisi hari-hari dekat sesudah 1 Oktober 1965. Selain bercerita
> tentang perempuan sukarelawan Jamilah yang bersaksi tentang pemotongan
> penis dan pencungkilan mata para korban, juga bercerita tentang upacara
> maut sebelum korban dibunuh dengan sadis. Upacara yang berlangsung di
> Halim itu dinamai "Harum Bunga", berupa tarian-tarian mesum anggota
> Gerwani dan Pemuda Rakyat, di sertai iringan nyanyian bersama lagu
> Genjer-Genjer. Baris syair yang berbunyi "esuk-esuk pating keleler"
> (pagi-pagi pada berhamparan), ulangan dari baris yang sama "neng kedhokan
> pating keleler" (di lahan pada berhamparan), itulah kalimat kunci tentang
> makna gerakan Letkol Untung. Juga suatu tanda, bahwa G30S sudah dirancang
> jauh-jauh hari, setidaknya ketika lagu Genjer-Genjer digubah.
>
> Tafsir halusinasi pengidap angst psychose tersebut di atas
> dikuatkan dengan penemuan berbagai "dokumen" di Halim Perdanakusuma,
> tempat pasukan Dewan Revolusi berkubu. Salah satu "dokumen" itu berupa
> buku stensilan kumpulan lagu-lagu untuk paduan suara, yang diterbitkan
> oleh CC PKI sebagai sumbangan untuk sukarelawan Dwikora yang dilatih di
> Halim. Isi buku berukuran kertas A4 ini kebanyakan lagu-lagu rakyat, dari
> berbagai daerah yang diaransemen untuk paduan suara. Yang menarik di
> antaranya ialah lagu-lagu rakyat Betawi Kr. Kemayoran, Jali-Jali, dan
> Glatik Nguk-Nguk, aransemen Moh. Sutijoso, dengan syair baru berupa
> penuangan isi Manipol. Tapi yang lebih menarik lagi ialah dua lagu rakyat
> Jawa Timur, Madura dan Banyuwangi, yang sejak akhir tahun 1964 telah
> dinyanyikan sangat meluas, yaitu Tonduk Majeng dan Genjer-Genjer.
>
> Semuanya itu menjadi alasan cukup kuat, bahwa Genjer-Genjer
> lebih dari sekedar sebuah lagu yang "mempunyai indikasi". Tapi justru
> digubah untuk mempersiapkan untuk melakukan gerakan politik, yang diawali
> dengan pembunuhan secara keji terhadap beberapa jendral TNI Angkatan Darat.
>
>
>
>Ki Nartosabdo Dalam Pasca-G30S
>
> Nartosabdo bersebutan "Ki", karena reputasinya sebagai dalang
> wayang kulit, baru dikenal sesudah peristiwa G30S 1965 lewat beberapa
> saat lamanya. Pada tahun 1962, ketika Genjer-Genjer mulai membahana dari
> langit Banyuwangi, nama Nartosabdo baru dikenal sebagai pemain panakawan
> Wayang Orang Sri Wedari Solo.
> saat itu (1950/60): Sastrosabdo, pemain Petruk; Darsosabdo, pemain
> Bagong, dan Nartosabdo, pemain Gareng. Tokoh-tokoh terkenal lainnya ialah
> Rusman, pemain Gatutkaca; Kusni, pemain Kresna; dan Darsi, pemain peran
> putri (khususnya jika memerankan Pergiwa).
>
> Di samping dikenal sebagai pemain wayang orang Sri Wedari,
> Nartosabdo juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin Lembaga Kebudayaan
> Nasional (LKN) Jawa Tengah. Ia punya kediaman di sebuah kampung di
> Semarang, berseberangan dengan Kampung Gendong, "basis" kaum pergerakan
> sejak jaman Hindia Belanda.
>
> Ketika Lekra Jawa Tengah tahun 1960 menyelenggarakan
> konferensi dan festival pedalangan Jawa Tengah di Salatiga, juga ketika
> festival pedalangan seluruh Indonesia diselenggarakan dua tahun kemudian,
> nama Nartosabdo sebagai dalang belum muncul. Dalang terbaik pilihan juri
> ketika itu Tristuti Rachmadi B.A (1960), dan Slamet (1962), dua-duanya
> dalang dari Purwadadi. Seandainya pada tahun-tahun itu Nartosabdo sudah
> terkenal sebagai dalang wayang kulit, baik karena kreativitas maupun seni
> pedalangannya, ia pasti akan pernah dipanggil Bung Karno mendalang di istana.
>
> Pada waktu itu Presiden RI yang pecinta berat wayang kulit
> ini, setiap malam tujuhbelasan "menanggap wayang" di istana. Diundangnya
> para pembesar negeri sipil dan militer, menteri, pemimpin parpol dan
> ormas untuk diajaknya menonton bersama-sama dengan dirinya sendiri. Empat
> dalang terkemuka di Jawa Tengah yang pernah ditanggap di istana, yaitu
> Nyi Bardiati dari Klaten (yang dikritiknya kalau memainkan raksasa kurang
> galak), Drs. Suwarto asisten dosen Fakultas Pedagogi dan Filsafat UGM
> Yogya (yang dikritiknya suaranya "kemeng", tidak antap), Ir Sri Mulyono
> "Herdalang" (untuk membedakannya dengani Sri Mulyono Herlambang yang
> AURI), dan Tristuti Rachmadi BA (yang dikritiknya kurang "greget", kurang
> tandas).
>
> Dalang yang boleh dikata menjadi langganan Bung Karno ada
> dua, mula-mula Gitosewoko dan kemudian "Dalang Borobudur". Ki Dalang
> Borobudur ini mati diteror dalam tahun 1966, sesudah beberapa saat
> sebelumnya di kaki Candi Prambanan, atas prakarsa sendiri ia mendalang
> ruwatan bagi kedamaian tanahair (baca The Stranger at the Gate, Malcolm
> Bosse, 1989).
>
> Dengan tidak mengurangi hormat saya kepada Pak Nartosabdo,
> tapi harus dikatakan bahwa jaman itu memang belum jamannya Ki Dalang
> Nartosabdo. Tegasnya, Ki Nartosabdo sebagai dalang, belum laku di pasar
> tanggapan. Saingan sesama dalang masih terlalu banyak. Dari daerah Klaten
> saja, misalnya, sensus dalang yang dilakukan Lekra Jawa Tengah tahun
> 1960, mencatat sebanyak tak kurang dari 40 dalang laki-laki dan
> perempuan, terkenal dan tidak terkenal. Di samping saingan yang banyak,
> juga corak kontemporer dan tuntutan mutu adiluhung pedalangan ketika itu,
> tidak bisa dipenuhi oleh Ki Nartosabdo yang dalang "prenesan atau dalang
> "populer".
>
> Ditunjang sikon ipoleksos masa epilog G30S, pasar pedalangan
> populer mulai terbuka lebar sejak sekitar menjelang akhir 1966. Pada saat
> itulah Ki Nartosabdo, dengan modal kiatnya sebagai pemegang peran "badut"
> panggung wayang orang, masuk dengan gebrakan prenesannya yang khas.
> Dhandhanggula dan Asmaradana cengkok Semarangan menjadi ciri adegan
> Gara-Gara. Juga diangkatnya lagu Jawa dari perbendaharaan lama,
> "Turi-Turi Putih", yang diisinya dengan rangkaian syair baru gubahan Ki
> Nartosabdo. Syair puja puji bagi Pancasila, yang "nyambung" dengan kredo
> Orde Baru yang, konon, bertekad "melaksanakan Pancasila secara murni
> konsekuen".
>
> Singkat kata, mencoba mengaitkan Genjer-Genjer dengan
> Nartosabdo selain anakronistis, juga tidak punya dasar sejarah. Tetapi
> bahwasanya ia harus boleh dinyanyikan kembali, menurut hemat saya, tidak
> usah didahului dengan mengajukan
> nyanyikan lagi bersama-sama, atau sendiri-sendiri, seperti juga
> saudara-saudara kita dari Pacinan telah memainkan kembali barongsai.
> Malah masih perlu diteruskan: mari pentaskan kembali "Sam Kok" di layar
> potehi!***
>
>
>
>Kockengen, Juli 00 ERSRI SETIAWAN
Lagu “Hidup Di Bui” Dan “Genjer-Genjer”
Petikan Seri Tulisan “
DUA lagu itu, “Hidup di Bui” dan “Genjer-Genjer” mengalami nasib yang sama. Diperkosa dan dikorup. Itu sebabnya, maka saya merasa terpanggil untuk ikut “memberikan kesaksian” tentangnya. Kepada Samin di Jakarta dan Anwar Pr di Aachen saya mengucapkan terimakasih, untuk masukan data dan pengiriman kaset lagu “Hidup di Bui”.
Adapun tentang “Genjer-Genjer” lebih khusus saya tujukan pada beberapa sobat, yang belum lama ini mengangkat soal sekitar lagu ini. Mereka itu ialah Samiadji dan Umar Said, dua-duanya dari Paris, dan Aini Patria, yang mungkin dari Semarang atau entah dari mana. Dengan sendiri juga pada para pembaca tulisan sobat-sobat tersebut, baik yang liwat internet maupun yang liwat media cetak “Suara Merdeka” Semarang, “korannya Pak Hetami”, di mana “dahulu kala” saya pernah magang. Tapi selain itu secara khusus juga buat sobat baik saya dari pinggir Bengawan Rhein di Belanda, yang pertama kali melempar umpan pada saya tentang “Genjer-Genjer” ini. Sobat baik itu Robert Nio alias Mang Ucup Maranatha yang, sayang sekali, konon berkeputusan mau lengser sebagai kolumnis spiritual urakan pers-internet yang luas cakupan temanya dan yang sangat produktif karyanya.
Mari kita mulai, dengan lebih dulu membicarakan lagu “Hidup di Bui”.
Hidup Di Bui
Untuk Samin dan Anwar Pr
Bulan Maret 2000 yang lalu, melalui jaringan internet SiaR, saya menerima sambutan dari Samin atas tulisan saya tentang lagu ini, yang telah diorbitkan oleh jarnet yang sama beberapa waktu sebelumnya. Sambutan itu berisi masukan yang informatif dan penting, yaitu: pertama, bahwa lagu yang saya sebut menjadi “tophit” para tahanan itu ternyata juga terkenal luas di luar tahanan, dan dikenal sebagai “lagunya” band D’Lloyd; kedua, bahwa karenanya dalam tahun awal 70-an lagu ini sempat dilarang oleh Kopkamtib; ketiga, bahwa penyanyi lagu itu adalah vokalis band “D’Lloyd” bernama Sjamsudin; dan keempat, bahwa lagu itu kini (akhir 90-an alias akhir abad) direkam ulang di Indonesia dan konon kaset rekamannya terjual laris.
Sebelum saya meneruskan
Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apadaya badanku terkurung
Terompet pagi harus bangun
Makan diantri nasinya jagung
Mau merokok rokoknya puntung
Mau mandi tidak ada sabun
Oh kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah.
Cobalah, silakan baca dengan cermat syair lagu di atas. Kata-kata apa yang membikin Kopkamtib menjadi ketakutan, sehingga merasa perlu melarangnya? Seandainya berita tentang peri kehidupan penjara — apalagi penjara Tangerang — yang serba kesrakat tidak beredar dalam tahun 70-an, barangkali tidak akan lagu itu ditindak dan ditindas. Tahun 70-an ada dalam rentang waktu 1965-1979, ketika penjara Salemba dan Tangerang bukan rumah penjara biasa, dalam arti tempat “pesakitan” kriminal dipenjarakan. Ketika itu penjara Salemba dan Tangerang merupakan “Rumah Tahanan Khusus” atau disingkat (dalam ejaan saat itu) “RTC”. Mendapat nama resmi demikian, dengan sebutan “khusus”, karena yang dipenjarakan di Rumah Tahanan itu ialah para “pesakitan” khusus, yaitu pesakitan politik bin G30S bin PKI!
Padahal bukan mereka yang di dalam Rumah Tahanan itu yang pesakitan. Tapi para petinggi Kopkamtib khususnya, dan penggede Orba umumnya itulah yang pesakitan berat. Yaitu oleh penyakit yang oleh Bung Karno (sejak tahun 20-an) disebut sebagai “komunisto fobi”, dan yang saking parahnya membuat si penderita menjadi mengidap sejenis penyakit jiwa yang disebut angst psychose. Mereka itu menjadi kalang kabut. “Hidup di Bui” lalu hendak dimitoskan — karena mereka memang lahir dan tumbuh dari mitos ke mitos, dari sejak “G30S-PKI”, Pancasila Sakti, Supersemar, Bapak Pembangunan dan seribu satu mitos lainnya. “Hidup di Bui” hendak ditiup menjadi Hantu G30S-PKI yang bergentayangan di udara Orde Baru, dan para kaula negri diperintahkannya agar ikut gentar bersama mereka!
Jadi jelas sekali, “Hidup di Bui” dilarang karena Kopkamtib gentar terbayang pada curriculum vitae lagu D’Lloyd yang berhasil memasyarakat itu. Apa dan siapakah D’Lloyd yang punya band dan vokalis menggentarkan itu?
Lloyd dahulu nama organisasi besar, mengikuti nama pendirinya Edward Lloyd (1643-1713), para petugas asuransi di
Melalui SBPP (Serikat Buruh Pelayaran dan Perkapalan), PKI menanamkan pengaruhnya yang kuat di perusahaan vital, yang bergerak di bidang kelautan ini. Tidak terlalu salah kiranya, jika saya katakan, bahwa pada saat itu Djakarta Lloyd merupakan salah satu basis penting PKI di kalangan buruh laut dan kapal. Maka tidak aneh jika sesudah Peristiwa G30S, banyak dari buruh Djakarta Lloyd, baik yang dari tingkat masa maupun tingkat pimpinan, saya jumpai sebagai sesama tapol di RTC Salemba, Tangerang, bahkan sampai di Buru.
Karena itu menjadi tidak aneh, apabila satu kali “Hidup di Bui” mendapat kesempatan menyelinap keluar dari Rumah Tahanan, maka di luar
Sesungguhnya ucapan terimakasih dan ungkapan rasa hormat perlu disampaikan pada Band “D’Lloyd” dan vokalis Syamsudin, yang telah berani menyanyikan lagu Hantu Komunis Kopkamtib: “Hidup di Bui”. Baik Band “D’Lloyd” maupun Syamsudin tidak pernah mengumumkan siapa pengarang lagu itu, tapi sementara itu pun tidak pernah mereka mendaku (meng-klaim) lagu itu sebagai buah ciptaan mereka. Mereka berani mengambil resiko, sekaligus menunjukkan akhlak mereka yang tidak korup. Itu sama sekali berbeda dari apa yang akan saya ceritakan di bawah ini.
Pada awal tulisan sudah saya sebut, masukan Samin juga mengatakan: bahwa, “Hidup di Bui” akhir-akhir ini telah direkam ulang; dan bahwa, kaset rekaman ulang itu laris di pasaran kaset ibukota. Kemudian belum lama ini, dari sobat di Aachen Anwar Pr, saya menerima kiriman kopi kaset yang berisi lagu itu (tengkyu, Mas!). Pada label aseli kaset ini terbaca sebagai diproduksi oleh PT Surya Panorama Sakti, Risky Record tahun 1999; sedang pencipta lagu dicantumkannya seorang bernama Bartje van Houten (sic!). Seorang komponis Belanda, jika kita melihat namanya*). Di samping itu juga terdapat sedikit perbedaan pada syair lagu. Mungkin perbedaan itu timbul dari pengubahan yang disengaja, sebagai cara untuk menyelubungi tindakannya yang korup itu. Perubahan yang seakan kecil dan sedikit, tapi sangat besar dan banyak keganjilan-keganjilan yang ditimbulkannya — nota bene timbul dari kebodohan si produser sendiri.
Perbedaan syair “Bartje van Houten” terdapat pada baris ke-3 dan ke-4dari bait kedua, yaitu sekedar mengulang baris-baris yang sama dari bait pertama, sehingga bait itu menjadi berbunyi (perhatikan sanjak akhir tiap-tiap baris):
Terompet pagi kita harus bangun [un]
Makan diantri nasinya jagung [ung]
Tidur di ubin pikiran bingung [ung]
Apa daya badan terkurung [ung].
Bandingkanlah dengan syair aseli dari komponis anonim:
Terompet pagi kita harus bangun [un]
Makan diantri nasinya jagung [ung]
Mau merokok rokoknya puntung [ung]
Mau mandi tidak ada sabun [un].
Perubahan kecil tapi sangat besar, yang sekaligus mencerminkan watak pengubahnya yang pengecut selain korup, terdapat pada baris ke-1 bait terakhir. Jadi, bait terakhir syair Bartje van Houten, perhatikan, berbunyi:
Apalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk ... dst.
Bandingkan dengan syair komponis anonim:
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk ... dst.
Hai Meneer Bartje! Mengapa jij takut sama kata “Tangerang”, sehingga perlu diganti menjadi “jaman perang”? Jaman perang kapan itu? “Jaman Bersiap” atau “Jaman Soekarno”, jij punya maksud? Pernahkah di jaman-jaman itu orang-orang Nica dan Belanda, yang ditahan Pemuda dan Republik, dikasih umpan ransum nasi jagung yang harus diantri? Pernahkah di jaman-jaman itu, jaman perang itu (sic!), tahanan tua-muda disuruh kerja paksa turun ke sawah?
Tuan Bartje! Ketahuilah. Tidak ada tahanan di penjara mana pun di Indonesia dan di jaman apa pun, entah bangsa apa saja mereka itu, yang disuruh kerja paksa menggarap sawah. Selain pada satu kurun jaman, yaitu Jaman Orde Baru. Itu pun hanya terhadap tahanan politik G30S/PKI. Karena mereka menjadi tahanan, tetapi harus menghidupi diri sendiri dan bahkan menjadi sapi perahan para penahannya. Karena itulah, maka Kodam V Jaya Jakarta Raya membuka proyek pertanian di Cikokol, yang mempekerjakan tenaga tapol sebagai pekerja rodi.
Kembali pada lagu “Hidup di Bui”. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyeru pada teman-teman pemusik, yang pernah bertahun-tahun menghuni RTC Salemba dan Tangerang. Mereka itu, antara lain Martin Lapanguli, M. Karatem, Suripto, (sayang Nurjaslan sudah beberapa waktu lalu meninggal), Pardede ... Bicaralah! Siapa sebenarnya penggubah lagu tophit penjara Orba ini?
*) keterangan:
Dari Didien Budhisatwati di Paris diberitahukan, Bartje van Houten pemusik asal Maluku. Tapi, bagaimanapun, ketika itu tidak pernah terdengar bahwa ia pernah menjadi tapol di RTC Tangerang.
Sekarang marilah kita pindah acara pada lagu “Genjer-Genjer”.
Genjer-Genjer
Untuk Aini Patria dan Robert Nio
GENJER salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa dan sawah basah, tanah lumpur yang berair.
Dua jenis yang disebut pertama sudah lama dikenal sebagai jenis sayuran atau lalaban, tapi dua jenis tersebut akhir baru masuk dapur petani miskin dan rakyat kecil umumnya sejak jaman Jepang. Sebelum itu genjer dan bopong hanya dikenal sebagai umpan ternak, biasanya dicacah untuk dicampur dengan dedak atau katul. Di jaman Jepang genjer atau bopong dimakan untuk peserta makan gatutkaca, kata pasemon untuk singkong, atau anjasmara yaitu gogik. Gogik ialah sisa-sisa bahan makanan apa saja, dijemur kering untuk diawetkan, dan dikukus jika hendak dimakan kembali. Agar orang tidak mati, karena beri-beri atau busung lapar, ditambah makan bekicot bakar.
“Genjer-Genjer” Lagu Rakyat
Dalam hal Genjer-Genjer sebagai nama lagu, ada tiga hal yang perlu saya bicarakan. Sudah barang tentu sejauh yang saya tahu, dan sepanjang ingatan saya tentang pengetahuan saya itu. Tiga hal itu ialah, pertama, dari mana lagu ini berasal, sekaligus mencoba mencari tahu siapa pencipta lagu ini; kedua, mengapa lagu ini dilarang oleh rezim militer Suharto; dan ketiga, sebagai tambahan, tentang Ki Dalang Nartosabdo.
Pada bulan Desember 1962, Komite Eksekutif Biro Pengarang Asia-Afrika, yang berkedudukan di Kolombo Sri Langka, menyelenggarakan konperensinya di Denpasar
Rombongan mikrobus meninggalkan
Ketika itu Njoto, alias Iramani, tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh politik, Ketua III CC-PKI belaka. Bung Karno belum mengangkatnya sebagai Menteri Negara Tanpa Pertepel. Itu baru terjadi kemudian, sebagai tindak lanjut dari usaha pembentukan “Kabinet Kaki Empat” (PNI-Masyumi-NU-PKI) gagal. Karena itu, menerima jabatan yang demikian Njoto sendiri menamai dirinya sebagai “Menteri Pupuk Bawang” — maksudnya sekedar sebagai penghangat ubun-ubun Rakyat! Tapi tokoh Iramani juga dikenal sebagai seorang publisis (baca polemiknya dengan BM. Diah), penyair (baca syair-syair haiku-nya) dan esais (baca artikel-artikelnya tentang kebudayaan dan ilmu sosial).
Tapi di masa RI masih beribukota di
Ucapan Njoto yang bernada “profetis” itu menjadi lebih berkesan, karena sekaligus ia memberi contoh secara langsung tentang masalah yang disebut “tradisi positif”, dan tentang bagaimana pengembangannya. Memadu antara “tradisi positif” dan “kekinian yang maju” merupakan salah satu asas kerja pekerja kebudayaan Lekra. Di samping itu ucapan bernada “profetis” tersebut juga juga memberi jawaban secara tidak langsung, tentang apa dan bagaimana bentuk kebudayaan nasional. Ini, ketika itu, merupakan salah satu masalah yang sering menjadi tema diskusi di kalangan Lekra. Adapun pemicunya ialah kata-kata Ki
Hajar Dewantara yang mengatakan, bahwa kebudayaan nasional ialah paduan antara puncak-puncak kebudayaan daerah. Orang, apabila menerjemahkan rumusan itu secara harfiah, akan tiba pada satu konsep yang dangkal. Yaitu, bahwa membangun kebudayaan nasional ibarat membuat baju antakusuma. Baju ajimat Gatutkaca yang membikinnya bisa terbang tanpa sayap, namun sekedar berupa “tambalan” dari seribu satu kain berbunga-bunga.
Ramalan Njoto tidak meleset. Sekitar satu tahun kemudian Genjer-Genjer telah terdengar di
Mengapa Orba Takut?
Orde Baru ialah orde yang sakit jiwa, timbul dari komunisto fobi yang amat parah, sehingga menjadi angst psychose yang traumatis terhadap bahaya Komunis. Karena itu jika orang bertanya mengapa Orde Baru, yang memiliki perangkat militer “gagah perkasa”, takut pada lagu Genjer-Genjer, seribu satu alasan bisa dikemukakan.
Suatu hari Suroto, tapol petugas dapur Tonwal, mendapat perintah membikin taman bunga di halaman Wisma Dan Unit. Sehari penuh ia bekerja sendiri. Mencangkul, membuat gulutan-gulutan tanah cangkulan, mencari bibit-bibit tanaman berbagai kembang. Menjelang senja, selesai kerja areal, lonceng apel dipukul keras dan panjang. Tanda bahaya! Apa gerangan terjadi?
Suroto dipanggil maju, langsung dipermak tanpa ditanya. Ketika Suroto dihardik: “Kamu tahu apa salahmu?” Suroto menjawab: “Tidak!” Maka beberapa tonwal serentak bancakan, membuat tubuh Suroto ibarat karung pasir latihan boksen. Dan Ton (komandan peleton) menyeret Suroto ke taman bunga bikinannya, diperintahnya mencari kesalahannya di
Dan Ton sendiri akhirnya yang mengurai teka-teki senja hari itu. Tujuh gulutan taman bikinan Suroto itu, dalam tafsiran logika pembesar Orba, adalah gambaran makam Tujuh Pahlawan Revolusi! Yaitu enam jenderal dan satu perwira pertama, korban pertama peristiwa G30S 1965. Mereka dibunuh pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, dan mayat mereka kemudian dilempar ke sumur mati di Lubang Buaya. “O, itu!” Sahut tapol di hati masing-masing. Gulutan tanah berjumlah tujuh. Itu Tuparev. Dan di situ dosa Suroto terletak!
Begitu juga halnya dengan Genjer-Genjer. Bukalah koran-koran Orba, terutama Api Pantja Sila dan Berita Yudha, edisi hari-hari dekat sesudah 1 Oktober 1965. Selain bercerita tentang perempuan sukarelawan Jamilah yang bersaksi tentang pemotongan penis dan pencungkilan mata para korban, juga bercerita tentang upacara maut sebelum korban dibunuh dengan sadis. Upacara yang berlangsung di Halim itu dinamai “Harum Bunga”, berupa tarian-tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, di sertai iringan nyanyian bersama lagu Genjer-Genjer. Baris syair yang berbunyi “esuk-esuk pating keleler” (pagi-pagi pada berhamparan), ulangan dari baris yang sama “neng kedhokan pating keleler” (di lahan pada berhamparan), itulah kalimat kunci tentang makna gerakan Letkol Untung. Juga suatu tanda, bahwa G30S sudah dirancang jauh-jauh hari, setidaknya ketika lagu Genjer-Genjer digubah.
Tafsir halusinasi pengidap angst psychose tersebut di atas dikuatkan dengan penemuan berbagai “dokumen” di Halim Perdanakusuma, tempat pasukan Dewan Revolusi berkubu. Salah satu “dokumen” itu berupa buku stensilan kumpulan lagu-lagu untuk paduan suara, yang diterbitkan oleh CC PKI sebagai sumbangan untuk sukarelawan Dwikora yang dilatih di Halim. Isi buku berukuran kertas A4 ini kebanyakan lagu-lagu rakyat, dari berbagai daerah yang diaransemen untuk paduan suara. Yang menarik di antaranya ialah lagu-lagu rakyat Betawi Kr. Kemayoran, Jali-Jali, dan Glatik Nguk-Nguk, aransemen Moh. Soetijoso, dengan syair baru berupa penuangan isi Manipol. Tapi yang lebih menarik lagi ialah dua lagu rakyat Jawa Timur, Madura dan Banyuwangi, yang sejak akhir tahun 1964 telah dinyanyikan sangat meluas, yaitu Tonduk Majeng dan Genjer-Genjer.
Semuanya itu menjadi alasan cukup kuat, bahwa Genjer-Genjer lebih dari sekedar sebuah lagu yang “mempunyai indikasi”. Tapi justru digubah untuk mempersiapkan untuk melakukan gerakan politik, yang diawali dengan pembunuhan secara keji terhadap beberapa jendral TNI Angkatan Darat.
Ki Nartosabdo Dalam Pasca-G30S
Nartosabdo bersebutan “Ki”, karena reputasinya sebagai dalang wayang kulit, baru dikenal sesudah peristiwa G30S 1965 lewat beberapa saat lamanya. Pada tahun 1962, ketika Genjer-Genjer mulai membahana dari langit Banyuwangi, nama Nartosabdo baru dikenal sebagai pemain panakawan Wayang Orang Sri Wedari Solo.
Di samping dikenal sebagai pemain wayang orang Sri Wedari, Nartosabdo juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Jawa Tengah. Ia punya kediaman di sebuah kampung di
Ketika Lekra Jawa Tengah tahun 1960 menyelenggarakan konferensi dan festival pedalangan Jawa Tengah di Salatiga, juga ketika festival pedalangan seluruh Indonesia diselenggarakan dua tahun kemudian, nama Nartosabdo sebagai dalang belum muncul. Dalang terbaik pilihan juri ketika itu Tristuti Rachmadi B.A (1960), dan Slamet (1962), dua-duanya dalang dari Purwadadi. Seandainya pada tahun-tahun itu Nartosabdo sudah terkenal sebagai dalang wayang kulit, baik karena kreativitas maupun seni pedalangannya, ia pasti akan pernah dipanggil Bung Karno mendalang di istana.
Pada waktu itu
Dalang yang boleh dikata menjadi langganan Bung Karno ada dua, mula-mula Gitosewoko dan kemudian “Dalang Borobudur”. Ki Dalang Borobudur ini mati diteror dalam tahun 1966, sesudah beberapa saat sebelumnya di kaki Candi Prambanan, atas prakarsa sendiri ia mendalang ruwatan bagi kedamaian tanahair (baca The Stranger at the Gate, Malcolm Bosse, 1989).
Dengan tidak mengurangi hormat saya kepada Pak Nartosabdo, tapi harus dikatakan bahwa jaman itu memang belum jamannya Ki Dalang Nartosabdo. Tegasnya, Ki Nartosabdo sebagai dalang, belum laku di pasar tanggapan. Saingan sesama dalang masih terlalu banyak. Dari daerah Klaten saja, misalnya, sensus dalang yang dilakukan Lekra Jawa Tengah tahun 1960, mencatat sebanyak tak kurang dari 40 dalang laki-laki dan perempuan, terkenal dan tidak terkenal. Di samping saingan yang banyak, juga corak kontemporer dan tuntutan mutu adiluhung pedalangan ketika itu, tidak bisa dipenuhi oleh Ki Nartosabdo yang dalang “prenesan” atau dalang “populer”.
Ditunjang sikon ipoleksos masa epilog G30S, pasar pedalangan populer mulai terbuka lebar sejak sekitar menjelang akhir 1966. Pada saat itulah Ki Nartosabdo, dengan modal kiatnya sebagai pemegang peran “badut” panggung wayang orang, masuk dengan gebrakan prenesannya yang khas. Dhandhanggula dan Asmaradana cengkok Semarangan menjadi ciri adegan Gara-Gara. Juga diangkatnya lagu Jawa dari perbendaharaan lama, “Turi-Turi Putih”, yang diisinya dengan rangkaian syair baru gubahan Ki Nartosabdo. Syair puja puji bagi Pancasila, yang “nyambung” dengan kredo Orde Baru yang, konon, bertekad “melaksanakan Pancasila secara murni konsekuen”.
Singkat kata, mencoba mengaitkan Genjer-Genjer dengan Nartosabdo selain anakronistis, juga tidak punya dasar sejarah. Tetapi bahwasanya ia harus boleh dinyanyikan kembali, menurut hemat saya, tidak usah didahului dengan mengajukan
Kockengen, Juli 2000
----- End of forwarded message from Setiawan -----
radisi Sosio-Religi Cerpen
Tradisi penciptaan cerpen
Perkembangan cerpen-cerpen bernapas sosio-religi memang tak bisa seutuhnya kita lihat dari beberapa kitab itu. Masih cukup banyak buku kumpulan cerpen yang mengekspresikan akar penciptaan cerpen bernapas sosio-religi, bahkan mencapai transendensi. Akan tetapi, tentu, kita tak mungkin melacak seluruh cerpen
Narasi sederhana
Dengan struktur narasi yang sederhana, cerpen ”Jadi Santri” karya Djamil Suherman menandai gairah penciptaan yang bersumber dari tradisi penying- kapan sosio-religi masyarakat kita. Cerpen ini beraliran realisme, berakar pada kehidup- an yang diakrabi pengarang- nya. Tak ada keinginan pengarang untuk melakukan dekonstruksi cara bertutur maupun struktur narasi. Karena itu, ekspresinya terhadap kekuatan tema menjadi tumpuan daya cipta pengarang. Cerpen ini benar-benar ”tipis-konflik”, bahkan hampir- hampir tanpa konflik.
Barulah kemudian A A Navis mengungkap kesadaran sosio- religi kita dengan cerpen ”Robohnya Surau Kami” secara mengejutkan. Terasa benar bahwa cerpen A A Navis ini telah membongkar kesadaran kita tentang keyakinan, keimanan, dan laku sosial, dengan struktur narasi beraliran realis yang dramatis. Pada cerpen ”Kadis” karya Mohamad Diponegoro, kekuatan sosio-religi juga menjadi obsesi yang membangkitkan katarsis, lantaran ambiguitas konflik: keduniawian atau religiusitas. Agaknya cerpen Mohamad Diponegoro ini dicipta untuk memberi kekuatan batin pada pembaca, dan penyelesaian yang lebih manis dari tragedi yang ditinggalkan A A Navis dalam ”Robohnya Surau Kami”.
Umar Kayam pun menulis cerpen-cerpen bernapas sosio- religi. Terutama cerpen-cerpen bertema Lebaran, dengan kelincahan narasi, lukisan suasana, dan akar tradisi yang kental. Cerpen-cerpen bernapas sosio- religi karya Umar Kayam memang tak banyak, tetapi telah memberi nuansa tematik yang lain di antara karya-karyanya sendiri yang ”tak bercerita”, seperti ”Istriku”, ”Madame Schlitz”, dan ”Sang Raksasa” sebagai dongeng kosmopolitan yang indah.
Pada cerpen Mahbub Junaidi, ”Tanah Mati”, misalnya, juga menampakkan kesuntukan obsesinya pada kancah sosio-religi, masih dengan tradisi realisme. Syahril Latif dengan cerpen ”Gank” dan ”Pengembara Sunyi” memiliki kelugasan faktualitas yang dikemas dalam kelincahan
Barulah kemudian Danarto dengan ”Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” mengembangkan fiksionalitas yang puitis, fantasi yang membawa kita pada kesadaran transendental. Cerpennya menjadi berbeda dengan teks-teks sosio-religi sastrawan lain, karena kekuatan imajinasinya dalam mengekspresikan kesadaran keilahian. Begitu pula cerpen ”Armageddon” (dalam Laut Biru Langit Biru), menampakkan kesadaran humanisme dalam bertutur antara ”kebatilan” dan ”keluhuran”. Ia menampakkan kesadaran bahasa yang puitis. Pada pergeseran cerpen yang lebih lanjut, Danarto mengukuhkan pergulatan sosio-religi. Ini tampak pada karyanya yang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 2002, ”Jejak Tanah”. Dalam kumpulan cerpennya Setangkai Melati di Sayap Jibril terasa benar kekuatan sosio-religi yang dipancarkan dari teks-teks sastra di dalamnya.
Cerpen ”Batu-batu Setan” karya M Fudoli Zaini menyuarakan penyingkapan kesadaran transendental yang mengatasi perbedaan ras, politik, dan kepentingan golongan. Dalam cerpennya, ia hendak menyampaikan pesan bahwa religiusitas mempersatukan manusia dari kepentingan yang berbenturan. Kekalahan terhadap nafsu (setan) hanya akan menghancurkan manusia. Cerpen ini sarat dengan pesan sosio-religi, meski dimaknai melalui penafsiran simbol-simbol.
Dua perempuan pengarang
Dari generasi yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai Angkatan 2000, muncul pula sastrawan yang bergulat dengan spiritualitas yang terobsesi pula menulis cerpen bernapas sosio-religi. ”Doa yang Mengancam” karya Jujur Prananto (dalam kumpulan Jejak Tanah) merupakan cerpen bernapas sosio-religi yang sungguh memikat, memberikan kesadaran religiusitas dengan cara bertutur yang bersahaja.
Meledak-ledak
Telah cukup lama tradisi penulisan cerpen dengan napas sosio-religi dicipta dalam sejarah sastra kita, meski tak menampakkan kegairahan yang meledak-ledak. Pada mulanya cerpen-cerpen yang dicipta dengan napas sosio-religi itu belum lagi menampakkan kekuatan konflik yang mendasar dan struktur narasi yang memikat. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian, cerpen-cerpen yang ditulis dengan napas sosio-religi itu menampakkan pergulatan konflik yang mendalam, dan muncul suatu pandangan baru, meski kontroversial, sebagaimana A A Navis ketika menulis ”Robohnya Surau Kami”.
Pada cerpen-cerpen Danarto kancah perhatian sosio-religi terus-menerus menjadi kesadaran obsesinya. Kehadiran cerpen- cerpen dengan napas sosio-religi semacam ini memang bisa memberi warna lain bagi eksplorasi tema cerpen
Yang perlu dilakukan para cerpenis yang melakukan penjelajahan tema sosio-religi adalah secara terus-menerus mencari cara bertutur yang mendekonstruksi struktur narasi sebelumnya. Pembongkaran struktur cerpen, pencarian stilistika, dan pertaruhan estetika menjadi bagian daya cipta. Bila ia berhenti melakukan dekonstruksi struktur narasinya sendiri, yang bakal mengalir sekadar pengulangan-pengulangan daya cipta.
Kita beruntung memiliki beberapa cerpenis yang terus-menerus melakukan eksplorasi tema dan cara bertutur, dan pada puncak pencariannya, mencipta cerpen bernapas sosio-religi. Cerpen-cerpen itu dicipta dengan mempertaruhkan estetika sebagai puncak empati pembaca. Hadir sebagai religiusitas cerpenis yang paling hakiki, serupa Chairil Anwar ”melenyapkan diri” dalam puisi ”Doa”.
S Prasetyo Utomo, cerpenis dan pemerhati sastra, tinggal di
akob Oetama (03) Guru Jadi Panutan Pengusaha
|
|
Jenderal Soeharto Menuju Tahta Kekuasaan
Senin, 13 Agustus 2001 - PERSEPSI, itulah yang memberi makna atas suatu realitas. Fakta yang sama dapat berbeda maknanya secara diametris akibat sudut pandang yang tidak sama. Makna sulit dikompromikan, terlebih jika dibalut ideologi. Peristiwa G30S, misalnya, bagi bangsa
Banjir darah yang menewaskan antara 500.000-1.000.000 rakyat
Orde Baru yang dibangun di atas darah dan mayat-mayat itu, menjadikan peristiwa G30S sebagai hantu yang menakutkan rakyat, yang setiap saat dapat muncul. Peristiwa ini menginspirasikan Orde Baru membentengi rakyat dengan ideologi pembangunan melalui P-4.
Sebaliknya bagi
Zaman memang sudah berubah, generasi berganti, bahkan rakyat AS sedikitnya delapan kali menyenggarakan pemilu presiden, namun arsip peristiwa G30S tetap dikategorikan rahasia negara. Dibandingkan dengan aktivitas spionase, kontra spionase, dan operasi rahasia lannya yang dilakukan AS di eks negara tirai besi, Uni Soviet, yang hampir seluruh arsipnya sudah dibuka, peristiwa G30S dipandang jauh lebih sensitif.
Laporan CIA tahun 1967 menyebut peristiwa pembantaian ini merupakan salah satu yang terburuk sejak Perang Dunia II. Ia disejajarkan dengan pembantaian jutaan warga Yahudi oleh Nazi Jerman. Lantas jika CIA sendiri menyatakan peristiwa itu sebagai terburuk di dunia, lantas mengapa pelakunya tidak diseret ke Mahkamah Internasional, seperti halnya perwira-perwira Nazi Jerman?
***
INILAH yang membuat hambar 128 halaman yang menuturkan "Coup and Counter Reaction: October 1965-March 1966," kemudian dilanjutkan "The United States and Suharto: April 1966-December 1968" (180 halaman), dalam buku Foreign Relations of The United States, 1964-1968 Volume XXVI.''
Dibuka dengan memorandum CIA untuk Presiden Lyndon B Johnson mengenai perkembangan situasi RI. Di situ tercatat tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.20.
"Saat ini, di Jakarta sedang terjadi suatu pergerakan kekuatan, yang mungkin implikasinya sangat jauh. Kelompok yang menamakan dirinya 30 September, mengklaim berhasil menggagalkan rencana kudeta jenderal-jenderal..." Pada paragraf terakhir, "Sangat mungkin Soekarno sudah lebih dulu mengetahui gerakan ini dan apa tujuannya. Penggerak utama seluruh peristiwa ini agar berjalan lancar, baik dalam perencanaan waktu maupun detailnya, adalah Wakil Perdana Menteri I Subandrio dan pemimpin komunis yang dekat dengan dia maupun Soekarno."
Laporan tersebut begitu cepat "diarahkan" pada Bung Karno, Subandrio, dan PKI. Telegram-telegram yang menyusul dari
Laporan-laporan itu mempunyai pola sama. Selalu diawali dengan situasi yang belum menentu, pertarungan kekuatan belum final. Kemudian di tengah gelap gulita itu, muncul cahaya. Di atas pentas terlihat sosok trio Soekarno, Subandrio, dan PKI.
Agak membingungkan memang jika kita menyimak arsip-arsip yang sebagian besar materinya bersifat tentatif dan spekulatif. Suatu hal yang seharusnya dijauhkan dalam dunia intelijen. Ringkasan laporan CIA tanggal 6 Oktober, misalnya, pada poin 16 dikatakan, PKI tidak mungkin mengelak dari keterlibatannya dalam G30S. Sebab tajuk Harian Rakyat, corong resmi PKI, menyebut dukungannya pada gerakan Letkol Untung tersebut.
Akan tetapi, pada poin 18 disebutkan, Ketua PKI Aidit tentulah tidak merestui gerakan demikian bahkan juga perubahan pemerintahan. Sebab, situasi dalam maupun luar negeri saat itu sangat menguntungkan PKI. Di sini kemudian disebut kemungkinan sejumlah kader yang mengambil inisiatif sendiri ikut dalam gerakan itu.
Peter Dale Scott dalam The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967, justru melihat ada keanehan dalam Harian Rakyat yang terbit waktu itu. Padahal penguasa militer di
Melalui Dubes Marshall Green di Jakarta, Washington menyampaikan salam hangat dan dukungan kepada Jenderal Nasution dan Jenderal Soeharto yang memimpin Angkatan Darat mematahkan gerakan Untung Cs. Mengetahui Angkatan Darat membutuhkan banyak hal, termasuk perangkat komunikasi, senjata, kendaraan, obat-obatan, dan lain sebagainya, Washington menyatakan kesediaannya.
Akan tetapi, tidak ada bantuan yang gratis di jagat ini. Bahkan, pinjaman pada lintah darat pun masih disebut bantuan. Demikian pula pejabat tinggi di Washington, dengan alasan ada proses yang harus dilalui, maka tidak sesegera itu bisa mengirim bantuan. Masa menunggu itu dimanfaatkan agen-agen CIA menyuntikkan racun dalam kesadaran pimpinan angkatan darat, mengenai perlunya menumpas habis PKI dan simpatisannya.
Memang ditampilkan ada keragu-raguan apakah nantinya akan ada perubahan politik luar negeri pasca G30S. AS ingin mendengar jawaban pasti. Apalagi ada kecurigaan Jenderal Nasution akan tetap loyal pada Bung Karno, sesuai konstitusi. Namun, semua khawatiran itu berhasil ditembus Adam Malik, yang juga mendapat dana Rp 50 juta dari Marshall Green. Dana ini digunakan untuk kampanye menumpas PKI.
Adam Malik meyakinkan AS, Jenderal Soeharto mendapat dukungan semua pihak, khususnya Angkatan Darat. Di lain kesempatan, Adam Malik mengatakan, Jenderal Soeharto memahami apa yang kita (baca: AS) inginkan.
Hiruk-pikuk pembantaian PKI hampir setiap hari dilaporkan ke
Dalam tulisan Cathy dari hasil wawancara dengan staf Kedubes AS masa itu, termasuk dengan Asisten Direktur CIA untuk Timur Jauh, William Colby, diakui bahwa daftar nama itu sangat membantu Angkatan Darat dalam menumpas PKI dan simpatisannya.
Cathy juga mengutip salah seorang staf
Hal lain yang membuat buku ini agak aneh, penjelasan Marshall Green yang isinya kurang lebih membantah pihaknya pernah membantu peralatan komunikasi kepada Angkatan Darat ketika peristiwa itu terjadi. Sama seperti daftar nama kader PKI di atas yang disebut diserahkan oleh staf kedutaan atas inisiatif pribadi, maka hampir mirip dengan itu pula dalam kasus peralatan komunikasi.
Green mengatakan dalam radiogramnya ke Deplu, benar bahwa staf kedutaan menyerahkan 3 unit radio komunikasi Motorola berikut charger baterainya.
Padahal, masih menurut pengusutan Cathy, hanya beberapa hari setelah peristiwa G30S, seperangkat alat komunikasi modern yang tercanggih masa itu, telah diterbangkan dengan pesawat Hercules dari pangkalan militer AS di Filipina, dengan tujuan
Selain itu, menurut wartawati yang liputannya menghebohkan itu, sebuah kapal yang penuh muatan kendaraan jenis Jeep dan truk serta senjata, berangkat dari Subic, pangkalan angkatan laut AS di Filipina, menuju Jakarta. Dari informasi yang dihimpunnya diketahui, kendaraan dan senjata itu akan digunakan Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI dan simpatisannya.
***
PKI berhasil dilumpuhkan. Tetapi, di
Soeharto yang dalam buku kontroversial itu disebut bertindak sangat hati-hati, sehingga terkesan lamban, sempat pula membuat gemas AS. Dalam kacamata AS, setelah pemakaman jenderal korban G-30-S pada tanggal 5 Oktober, seharusnya Angkatan Darat dapat segera bergerak. Tapi Soeharto tidak menghendaki konfrontasi langsung dengan Bung Karno.
Diteror oleh keadaan demikian, Bung Karno akhirnya memberi kekuasaan bagi Jenderal Soeharto untuk bertindak mengamankan situasi dan keluarga presiden. Dengan senjata Supersemar inilah Soeharto membubarkan PKI dan mengkonsolidasikan kekuasaan di tangannya.
Pada bagian akhir sesi
Semua keinginan negara adikuasa itu dipenuhi Jenderal Soeharto. Konfrontasi berakhir, Kedubes RRC dibakar
Halaman-halaman selanjutnya dipenui dengan arsip-arsip notulen rapat para pejabat tinggi Deplu, Dephan, Dewan Keamanan Nasional, dan asisten khusus presiden, berikut surat-menyurat di antara mereka dan telegram dari kedubes di Jakarta. Semua notulen rapat itu mengenai kesibukan menyiapkan bantuan bagi RI, sehingga mencerminkan "kemurahan dan kebaikan hati"
Dalam memorandum Wapres Humphrey kepada Presiden Lyndon B Johnson,
Dalam pembicaraan yang menyangkut bantuan apa saja dibutuhkan RI itu, Adam Malik tidak lupa menyampaikan pesan Jenderal Soeharto, mengenai kehadiran AS di Vietnam berakibat langsung atas terjadi perubahan di Indonesia.
Hal senada juga kembali diucapkan Jenderal Soeharto ketika Wapres Humphrey berkunjung ke
Dalam memorandum dari Wakil Direktur CIA Richard Helms kepada Asisten Khusus Presiden Walt Rostow, tanggal 13 Mei 1966, disebutkan, Presiden Johnson memintanya untuk melakukan studi analisa yang menghubungkan langsung atau tidak langsung dampak kehadiran AS di Vietnam dan perubahan yang terjadi di Indonesia. "Kami tidak berhasil menemukan bukti-bukti ke arah itu....Sebab peristiwa kudeta yang terjadi di
Akan tetapi, pengakuan Jenderal Soeharto menjadi senjata ampuh bagi Presiden Johnson membenarkan kebijakan keliru dalam intervensi militer di
Tidak mengherankan jika Presiden Johnson, begitu besar perhatiannya terhadap
Johnson menegaskan apa pun yang terjadi, AS harus membantu pemerintahan Orde Baru di saat kritis seperti sekarang. Semua lembaga internasional dan negara-negara maju dikoordinasikan membantu pemulihan ekonomi
Sikap Johnson ini mendorong
Laporan Deplu di atas menjadi amat sangat ketinggalan dibanding apa yang sudah dibaca masyarakat di
Sikap pura-pura tidak tahu ini jelas bukan jawaban atas analisa Guy Pauker, tokoh dan otak CIA di Indonesia. Pada pertemuan dengan Wapres Humphrey dan stafnya tanggal 17 Februari 1967, Dubes Green mengulangi analisa Pauker bahwa hampir dapat dipastikan
Dubes Green hanya sekadar mengutip sampai di situ. Padahal kesimpulan palsu demikian adalah bagian dari skenario besar, dan dimaksud memperuncing kecurigaan Angkatan Darat terhadap PKI. Terlebih lagi Bung Karno disebut-sebut mengidap ginjal kronis. Sebaliknya, PKI mendapat bocoran "dokument" rencana Angkatan Darat melakukan kudeta tanggal 5 Oktober.
Pauker sangat berperan di Seskoad. Dia sangat menentukan dalam mengirim 2.100 perwira menengah dan tinggi TNI-Polri belajar di AS selama periode 1960-1965. Pentolan utama G30S, termasuk Letkol Untung, pernah mengikuti pendidikan di AS.
Maka menjadi sangat mencurigakan jika laporan Kedubes AS maupun CIA di Jakarta menyimpulkan, G30S melibatkan PKI, diskenariokan Menlu Subandrio dan diketahui Bung Karno. Apalagi disebut nama Letkol Untung tidak dikenal oleh
Laporan intelijen itu tidak pula menjelaskan tiga Batalyon Raiders, pasukan utama G30S, datang ke
Di sini sejarah tidak akan pernah lempang. Apalagi ia dapat menjadi aib bagi bangsa yang memuja demokrasi dan hak asasi manusia. Negara adidaya seperti AS seyogyanya minta maaf kepada keluarga Bung Karno dan jutaan keluarga PKI. Bukan dengan menggelapkan fakta masa silam.
Seperti kerap dilakukannya pada negara lain, AS selayaknya pula memberi kompensasi bagi keluarga korban yang terkait dengan G30S. Bukan dengan mendorong militer dan elite politik
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/13/nasional/jend29.htm
oal Pembunuhan Pasca G30S,
NU Lebih Jujur dari Katolik
Spesial: 40 Tahun G30S/PKI
Dalam acara dialog interaktif Secangkir Kopi yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret tahun 2000, presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid menyatakan sejak menjabat ketua PBNU dirinya sudah meminta maaf kepada para korban pembunuhan pasca peristiwa G30S. "Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis," kata Gus Dur waktu itu. Sejak ucapan itu tabir tabu yang meliputi PKI serta peristiwa G30S seperti terkoyak. Semua orang bisa berbicara bebas tentang peristiwa bersejarah 40 tahun silam yang mengubah perjalanan bangsa
Perubahan di kalangan NU
Benedict Anderson [BA]: "Yang paling menarik adalah perubahan justru di kalangan NU. Karena diketahui pada waktu tahun 1965, justru orang-orang Ansor menjadi pembantu yang sangat penting untuk tentara dalam hal menghancurkan PKI, khususnya di daerah pedalaman, di Jawa Timur, Jawa Tengah. Karena di kalangan anak muda intelektual justru mereka ingin mengetahui apa yang terjadi. Mereka membantu usaha Ibu Sulami untuk menelusuri jumlah orang kiri yang terbunuh di beberapa daerah. Dan mereka mulai bikin rekonsiliasi atau hati ke hati antara orang Gerwani dan orang-orang dari ormas NU, khusus untuk wanita."
"Ini sangat bagus, walaupun mereka harus menghadapi fakta bahwa di antara keluarga mereka sendiri ada yang menjadi algojo. Dan rupanya mereka bersiap untuk itu. Jadi mereka tidak mati-matian membela apa yang terjadi sebelumnya. Ini berarti bahwa sebagian penting dalam masyarakat
"Kita harus ingat bahwa orang-orang yang sudah ambil posisi, yang sudah lama menyokong Soeharto mati-matian, seperti Kompas, Jacob Oetama dan sebagainya, walaupun mungkin dalam hati kecilnya mereka mengaku bahwa apa yang terjadi tahun 1965 adalah satu manipulasi yang jahat, toh mereka tidak akan meninggalkan pendirian mereka di depan umum. Karena mereka sudah punya andil dalam proyek yang besar. Dalam proyek Orde Baru. Sampai sekarang."
"Ini sering terjadi dalam politik. Bahwa orang-orang yang sebenarnya dalam hati kecilnya enggak yakin, tapi demi temennya, demi anu, namanya, demi ini, demi itu, demi untungnya; masih ngotot dengan pendapat yang sebenarnya mereka sudah tahu bahwa ini tidak benar."
NU lebih jujur daripada Katolik
"Kita tahu bahwa sebagian penting dari dana keuangan untuk Soeharto pada masa-masa kritis yang pertama, sebagian datang dari, ini yang bagian dalam negeri, bukan bantuan dari luar negeri, tapi dari dalam negeri sebagian besar datang dari Pertamina dan sebagian besar lagi datang dari Menteri Perkebunan Agraria, tokoh Flores yang kita semua tahu, Frans Seda. Ini
"Yang kedua itu sudah diketahui bahwa orang-orang yang sangat penting dalam mendirikan Opsus, CSIS dan sebagainya. Dua orang yang paling penting di situ, tidak semuanya orang-orang Katolik, tetapi sebagian ada. Itulah Liem Bian Kie dan adiknya dan juga Harry Tjan Silalahi. Ini semua juga mengambil peranan yang cukup jahat dalam masalah Timtim. Mereka menjadi penasehat dan operator agennya Ali Moertopo dalam berusaha mendongkel pemerintah Timtim merdeka pada tahun 1975."
"Nah ini, sampai sekarang Kompas tidak pernah mau terus terang tentang peranan yang penting dari orang-orang Katolik ini. Semua ditutup dengan kata-kata halus. Ya, stylenya Kompas, bisa diketahui dengan istilah yang kita semua sudah kenal. Seperti, "Ya, saya dari dulu memang anti. Saya memang dari dulu itu kritis. Saya memang dari dulu tidak setuju." Tapi ini semacam hipokrisi yang kalau mereka betul-betul kritis, betul-betul anti, ndak mungkin mereka bukan saja survive, tapi menjadi satu konglomerat yang maha besar, yang masih mencekik dunia penjualan buku."
"Jadi dalam hal ini, NU jauh lebih jujur dari Katolik. Ini tidak berarti bahwa tidak ada cukup banyak romo yang bagus, yang mengunjungi tapol dan berusaha untuk membantu mereka. Jadi, maksud saya bukan untuk mencaci maki kaum Katolik pada umumnya. Tapi harus diakui bahwa kaum Katolik pada umumnya masih menjadi satu minoritas yang tidak berani mencuci celana kolornya di pekarangan depan. Dalam hal ini sikap mereka, dibandingkan dengan sikapnya NU, tidak bisa dipuji."
Semuanya terlibat
Radio
BA: "Harus diakui bahwa sebagian besar pembunuhan terjadi di pedesaan. Bukan di
"Tapi sampai sekarang, umpamanya, tidak pernah ada penelitian terhadap apa yang terjadi di daerah yang jelas Katolik seperti
"Kita tahu bahwa di
"Jadi boleh dikatakan tidak ada partai atau golongan yang tidak ada tanggung jawabnya. Kalau bukan di lapangan atau di desa, tapi sebagai otak. Di bagian intel, cukup banyak Protestan Batak di intel-intel pada waktu itu. Atau di kalangan intelektual yang menjual diri supaya bisa dapet posisi yang bagus di orde baru awal, mengharapkan kedudukan seperti itu. So, orang-orang yang tidak kena itu sedikit sekali."
"Maka dari itu saya merasa harus angkat topi kepada NU dalam hal ini. Karena mereka udah kasih contoh yang bagus. Insya Allah yang lain-lainnya akan mawas diri dan memikirkannya. Insya Allah, tapi saya memang tidak banyak harapan dalam hal ini."
Demikian percakapan bagian kedua dengan Profesor Benedict Anderson Indonesianis senior dari
Wawancara Ranesi, September 2005Buya Hamka (1908-1981)
Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar
Buaya Hamka seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan
Dia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah, disapa Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi,
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk
Daftar Karya Buya Hamka
- Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
- Si Sabariah. (1928)
- Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
- Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
- Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
- Kepentingan melakukan tabligh (1929).
- Hikmat Isra' dan Mikraj.
- Arkanul Islam (1932) di
- Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
- Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
- Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di
- Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
- Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
- Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
- Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
- Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
- Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
- Tuan Direktur 1939.
- Dijemput mamaknya,1939.
- Keadilan Ilahy 1939.
- Tashawwuf Modern 1939.
- Falsafah Hidup 1939.
- Lembaga Hidup 1940.
- Lembaga Budi 1940.
- Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943).
- Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
- Negara Islam (1946).
- Islam dan Demokrasi,1946.
- Revolusi Pikiran,1946.
- Revolusi Agama,1946.
- Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
- Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
- Didalam Lembah cita-cita,1946.
- Sesudah naskah Renville,1947.
- Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
- Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi, Sedang Konperansi Meja Bundar.
- Ayahku,1950 di
- Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
- Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
- Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
- Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai tahun 1950.
- Kenangan-kenangan hidup 2.
- Kenangan-kenangan hidup 3.
- Kenangan-kenangan hidup 4.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
- Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
- Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
- Pribadi,1950.
- Agama dan perempuan,1939.
- Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
- 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
- Pelajaran Agama Islam,1956.
- Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
- Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
- Empat bulan di Amerika Jilid 2.
- Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
- Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
- Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie,
- Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang,
- Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
- Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
- Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
- Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
- Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
- Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
- Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
- Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
- Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
- Himpunan Khutbah-khutbah.
- Urat Tunggang Pancasila.
- Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
- Sejarah Islam di Sumatera.
- Bohong di Dunia.
- Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
- Pandangan Hidup Muslim,1960.
- Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
- Tafsir Al-Azhar [1] Juzu' 1-30, ditulis pada saat dipenjara
Aktivitas lainnya
- Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
- Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
- Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953
Rujukan
Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh InSurat Edaran Marx dan Engels (1848)
Manifesto Partai Komunis [1]
Di manakah ada partai oposisi yang tidak dicaci sebagai Komunis oleh lawan-lawannya yang sedang berkuasa? Di manakah ada partai oposisi yang tidak melontarkan kembali cap tuduhan Komunisme, baik kepada partai-partai oposisi yang lebih maju maupun kepada lawan-lawannya yang reaksioner?
Dua hal timbul dari kenyataan ini.
I. Komunisme telah diakui oleh semua kekuasaan di Eropa sebagai suatu kekuasaan pula.
II. Telah tiba waktunya bahwa kaum Komunis harus dengan terang-terangan terhadap seluruh dunia menyiarkan pandangan mereka, cita-cita mereka, tujuan mereka, aliran mereka,dan melawan dongengan kanak-kanak tentang Hantu Komunisme ini dengan sebuah manifesto dari partai sendiri.
Untuk maksud ini, kaum Komunis dari berbagai nasionalitet telah berkumpul di London, dan merencanakan manifesto berikut ini untuk diterbitkan dalam bahasa Inggeris, Perancis, Jerman, Italia, Vlam dan Denmark.
I. Kaum Borjuis dan kaum proletar [a]
Sejarah dari semua masyarakat:[b] yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.
Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer [16], tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli [c] dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan.
Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan, menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak, dalam Zaman Tengah kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan.
Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.
Tetapi zaman kita, zaman borjuasi, mempunyai sifat yang istimewa ini: ia telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu dengan yang lain - borjuasi dan proletariat.
Dari kaum hamba pada Zaman Tengah timbullah wargakota berhak-penuh dari kota-kota yang paling permulaan. Dari wargakota-wargakota ini berkembanglah anasir-anasir pertama dari borjuasi.
Ditemukannya benua Amerika, dikelilinginya Tanjung Harapan di Afrika Selatan, memberikan lapangan baru bagi borjuasi yang sedang tumbuh, pasar-pasar di Hindia Timur dan Tiongkok, kolonisasi atas Amerika, perdagangan dengan tanah-tanah jajahan, bertambah banyaknya alat penukaran dan barang dagangan pada umumnya, memberikan kepada perdagangan, kepada pelajaran, kepada industri, suatu dorongan yang tak pernah dikenal sebelum itu dan bersamaan dengan itu memberikan kepada anasir-anasir revolusioner dalam masyarakat feodal yang. sedang runtuh itu suatu kemajuan yang cepat.
Sistim industri yang feodal, di mana produksi industri dimonopoli oleh gilda-gilda semata-mata, sekarang tidak lagi mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang makin bertambah dari pasar-pasar baru. Sistim manufaktur [17] menggantikannya. Tukang-tukang-ahli didesak keluar oleh kelas tengah manufaktur; pembagian kerja di antara berbagai gabungan gilda hilang dengan lahirnya pembagian kerja di setiap bengkel pertukangan sendiri-sendiri.
Sementara itu pasar-pasar senantiasa makin meluas, kebutuhan senantiasa bertambah. Sistim manufaktur itupun tak dapat lagi mencukupi. Segera sesudah itu uap dan mesin-mesin merevolusionerkan produksi industri. Kedudukan manufaktur direbut oleh Industri Modern raksasa, kedudukan kelas tengah industri oleh milyuner-milyuner industri, pemimpin-pemimpin kesatuan-kesatuan lengkap dari tentara industri, kaum borjuis modern.
Industri modern telah menciptakan pasar dunia yang telah dibukakan jalannya dengan ditemukannya Amerika. Pasar ini telah memberikan kemajuan maha besar pada perdagangan, pada pelajaran, pada perhubungan di darat. Kemajuan ini, pada gilirannya, bereaksi terhadap meluasnya industri; dan sebanding dengan meluasnya industri, perdagangan, pelajaran, perhubungan kereta api, maka dalam perbandingan yang sama borjuasi pun maju pula, kapitalnya bertambah dan mendesak ke belakang tiap-tiap kelas peninggalan dari Zaman Tengah.
Oleh sebab itu tahulah kita, bagaimana borjuasi modern itu sendiri adalah hasil dari perjalanan perkembangan yang lama, dari suatu rangkaian revolusi-revolusi dalam cara produksi dan cara pertukaran.
Tiap langkah dalam perkembangan borjuasi diikuti oleh suatu kemajuan politik yang sesuai dari kelas itu. Suatu kelas tertindas di bawah kekuasaan bangsawan feodal, suatu perserikatan bersenjata dan memerintah sendiri dalam komune [d] pada Zaman Tengah; di satu tempat berupa republik-kota yang merdeka (seperti di Italia dan Jerman), di lain tempat berupa, "pangkat ketiga" [18] Wajib-pajak dalam monarki (seperti di Perancis), sesudah itu, dalam masa manufaktur yang sebenarnya, dengan mengabdi pada monarki setengah-feodal [19] atau absolut sebagai kekuatan imbangan terhadap kaum bangsawan, dan dalam kenyataannya, batu dasar bagi monarki-monarki besar pada umumnya, maka pada akhirnya borjuasi, sejak berdirinya Industri Modern dan pasar dunia, telah merebut untuk dirinya sendiri segenap kekuasaan politik di dalam Negara konstitusionil modern. Badan eksekutif negara modern hanyalah merupakan sebuah komite untuk mengatur urusan-urusan bersama dari seluruh borjuasi.
Borjuasi, di dalam sejarah, telah memainkan peranan yang sangat revolusioner.
Borjuasi, di mana saja ia telah dapat memperoleh kekuasaan, telah mengakhiri semua hubungan feodal patriarkal pedesaan. Ia dengan tiada kenal kasihan telah merenggut putus pertalian-pertalian feodal yang beraneka ragam yang mengikat manusia pada "atasannya yang wajar", dan tidak meninggalkan ikatan lain antar manusia dengan manusia selain daripada kepentingan sendiri semata-mata, selain daripada "pembayaran tunai" yang kejam. Ia telah menghanyutkan getaran yang paling suci dari damba keagamaan, dari gairah keksatriaan, dari sentimentalisme filistin, ke dalam air dingin perhitungan egois. Ia telah menjatukan harga diri dengan nilai-tukar, dan sebagai ganti dari kebebasan-kebebasan tak terhitung jumlahnya yang telah disahkan oleh undang-undang yang tak boleh dibatalkan itu, ia telah menetapkan satu-satunya kebebasan yang tidak berdasarkan akal - Perdagangan Bebas. Pendek kata, penghisapan yang diselimuti dengan ilusi-ilusi keagamaan dan politik digantikan olehnya dengan penghisapan yang terang-terangan, tak kenal malu, langsung, ganas.
Borjuasi telah menanggalkan anggapan mulia terhadap setiap jabatan yang selama ini dihormati dan dipuja dengan penuh ketaatan. Ia telah mengubah dokter, advokat, pendeta, penyair, sarjana menjadi buruh-upahannya yang dia bayar.
Borjuasi telah merobek dengan kekerasan selubung perasaan kekeluargaan, dan telah memerosotkannya menjadi hubungan-uang belaka.
Borjuasi telah menyingkapkan bagaimana dapat terjadinya hal bahwa pertunjukan kekuatan secara kasar dalam Zaman Tengah, yang begitu dikagumi oleh kaum reaksioner itu, mendapatkan imbangannya yang wajar dan cocok berwujud kemalasan yang paling lamban. Dialah yang pertama-tama memperlihatkan apa yang dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia. Ia telah melahirkan keajaiban-keajaiban yang jauh melampaui piramida-piramida Mesir, saluran-saluran air Roma dan katedral-katedral Gotik; ia telah melakukan ekspedisi-ekspedisi yang sangat berlainan dibanding dengan perpindahan-perpindahan bangsa-bangsa [20] serta perang-perang salib [21] di masa dahulu.
Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat. Sebaliknya, mempertahankan cara-cara produksi yang lama dalam bentuknya yang tidak berubah adalah syarat pertama untuk hidup bagi segala kelas industri yang terdahulu. Senantiasa merevolusionerkan produksi, kekacauan tiada putus-putusnya dalam segala syarat.sosial, ketiadaan kepastian serta kegelisahan yang abadi itu membedakan zaman borjuasi dengan semua zaman yang terdahulu. Segala hubungan yang telah ditetapkan dan beku serta berkarat, dengan rentetannya berupa prasangka-prasangka serta pendapat-pendapat kuno yang disegani, disapu bersih, segala yang dibentuk baru menjadi usang sebelum membatu. Segala yang padat hilang larut dalam udara, segala yang suci dinodai, dan pada akhirnya manusia terpaksa menghadapi dengan hati yang tenang syarat-syarat hidupnya yang sebenarnya, dan hubungan-hubungannya dengan sesamanya.
Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.
Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali karena borjuasi telah menarik dari bawah kaki industri bumi nasional tempat ia berdiri.
Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri, kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya. Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-tergantung yang universal di antara nasion-nasion. Dan seperti halnya dengan produksi material, demikian jugalah keadaannya dalam hal produksi intelek. Ciptaan-ciptaan intelek dari satu-satu nasion menjadi milik bersama. Kesepihakan serta kesempitan pandangan nasional menjadi makin tidak mungkin, dan dari sejumlah besar literatur nasional dan lokal timbullah suatu literatur dunia.
Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion, sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban. Harga-harga murah dari barang dagangannya merupakan artileri berat yang dengannya ia memporak-porandakan segala tembok-tembok Tiongkok, yang dengannya ia menaklukkan kebencian berkepala batu dari kaum biadab terhadap orang-orang asing. Ia memaksa semua nasion, dengan ancaman akan musnah, cara produksi borjuis; ia memaksa mereka mengemukakan apa yang olehnya disebut peradaban itu ke tengah-tengah lingkungan mereka, yaitu, supaya mereka sendiri menjadi borjuis. Pendek kata, ia menciptakan suatu dunia menurut bayangannya sendiri.
Borjuasi menundukkan desa kepada kekuasaan
Borjuasi senantiasa makin bersemangat menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasi milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah seharusnya dari hal ini adalah pemusatan politik. Propinsi-propinsi yang merdeka atau yang mempunyai hubungan tak begitu erat dengan kepentingan-kepentingan undang-undang pemerintah dan sistim pajak yang berlain-lainan menjadi terpadu sebagai satu nasion dengan satu pemerintah, satu tata undang-undang, satu kepentingan-kelas nasional, satu perbatasan dan satu tarif pabean.
Borjuasi, selama kekuasaannya yang belum genap seratus tahun itu, telah menciptakan tenaga-tenaga produktif yang lebih teguh dan lebih besar daripada yang telah diciptakan oleh generasi-generasi yang terdahulu dijadikan satu. Ditundukkannya kekuatan-kekuatan alam kepada manusia, mesin-mesin, pelajaran kapal api, pengenaan ilmu kimia pada industri dan pertanian, jalan kereta api, pembukaan benua-benua utuh untuk tanah garapan, telegrafi listrik, penyaluran sungai sejumlah sangat besar penduduk yang dengan kekuatan sihir dikeluarkan dari dalam tanah - abad terdahulu manakah yang dapat menduga adanya tenaga-tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan kerja masyarakat?
Jadi tahulah kita: alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran, yang di atas dasarnya borjuasi berkembang, telah ditimbulkan di dalam masyarakat feodal. Pada suatu tingkat tertentu dalam perkembangan alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran ini, syarat-syarat tempat masyarakat feodal menghasilkan dan mengadakan pertukaran, organisasi feodal dari pertanian dan industri manufaktur, pendek kata, hubungan-hubungan feodal dari milik menjadi tidak lagi dapat disesuaikan dengan tenaga-tenaga produktif yang sudah berkembang; mereka merupakan belenggu-belenggu yang begitu banyak; mereka harus dipatahkan, mereka memang dipatahkan.
Sebagai gantinya datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselaraskan dengannya, dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis.
Suatu gerakan yang serupa sedang berlangsung di hadapan mata kepala kita sendiri. Masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya. Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik. Di dalam krisis-krisis ini berjangkitlah wabah yang di dalam zaman-zaman terdahulu akan merupakan suatu kejanggalan - wabah produksi kelebihan. Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali dalam suatu keadaan kebiadaban sementara; nampaknya seakan-akan suatu kelaparan, suatu perang pembinasaan umum telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat milik borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera setelah mereka mengatasi rintangan belenggu-belenggu ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh masyarakat borjuis, membahayakan adanya milik borjuis. Syarat-syarat masyarakat borjuis adalah terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.
Senjata-senjata yang digunakan oleh borjuasi untuk menumbangkan feodalisme sekarang berbalik kepada borjuasi itu sendiri.
Tetapi tidak saja borjuasi itu menempa senjata-senjata yang mendatangkan mautnya sendiri; ia juga telah melahirkan manusia-manusia yang akan menggunakan senjata-senjata itu - kelas buruh modern - kaum proletar.
Dibandingkan dengan berkembangnya borjuasi, artinya, kapital, maka dalam derajat yang itu juga proletariat, kelas buruh modern, telah berkembang - suatu kelas kaum pekerja yang hanya hidup selama mereka mendapat pekerjaan, dan hanya mendapat pekerjaan selama kerja mereka memperbesar kapital. Kaum pekerja ini yang harus menjual dirinya sepotong-sepotong, adalah suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, dan karenanya diserahkan mentah-mentah kepada segala perubahan dalam persaingan, kepada segala perguncangan pasar.
Disebabkan oleh pemakaian mesin-mesin secara luas dan karena pembagian kerja, hilanglah segala sifat perseorangan dari pekerjaan kaum proletar, dan karena itu hilanglah segala kegairahan bagi si buruh. Ia semata-mata menjadi lampiran-tambahan dari mesin dan hanyalah kecakapan yang paling sederhana, paling menjemukan dan paling mudah didapat, yang dibutuhkan dari dia. Dari itu, biaya produksi dari seorang buruh terbatas hampir semata-mata pada bahan-bahan keperluan hidup yang diperlukan untuk hidupnya dan untuk pembiakan jenisnya. Tetapi harga sesuatu barang dagangan, dan oleh sebab itu juga harga kerja, [22] adalah sama dengan biaya produksinya. Oleh sebab itu sederajat dengan makin tidak menyenangkannya kerja itu, maka turunlah upahnya. Bahkan lebih dari itu, dalam derajat sebagaimana pemakaian mesin-mesin dan pembagian kerja bertambah, dalam derajat yang itu juga beban kerja bertambah, baik dengan memperpanjang jam kerja, dengan menambah banyaknya pekerjaan dalam waktu yang tertentu atau dengan mempertinggi kecepatan mesin-mesin, dsb.
Industri modern telah mengubah bengkel kecil kepunyaan majikan patriarkal menjadi pabrik besar kepunyaan kapitalis industri.
Semakin kurang kecakapan dan kurang pemakaian kekuatan yang diperlukan dalam kerja badan, dengan kata-kata lain, semakin industri modern menjadi sempurna, semakin banyak kerja kaum pria yang digantikan oleh kerja kaum wanita. Perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin tidak lagi mempunyai sesuatu arti kemasyarakatan yang penting bagi kelas buruh. Semuanya adalah perkakas kerja, kurang atau lebih mahalnya untuk dipakai, bergantung pada umur dan jenis kelamin mereka.
Jika penghisapan atas pekerja oleh pengusaha sudah sampai sedemikian jauhnya sehingga ia menerima upahnya dengan tunai, maka diterkamlah ia oleh bagian-bagian lain dari borjuasi, tuan tanah, tuan toko, pemilik pegadaian, dsb.
Lapisan rendahan dari kelas tengah - kaum pengusaha kecil, tuan toko dan tukang riba [23] umumnya, kaum pekerja-tangan dan kaum tani - semua ini berangsur-angsur jatuh menjadi proletariat, sebagian oleh karena kapitalnya yang kecil tidak cukup untuk menjalankan industri besar dan menderita kekalahan dalam persaingan dengan kaum kapitalis besar, sebagian oleh karena keahlian mereka menjadi tidak berharga untuk cara-cara produksi yang baru. Begitulah proletariat terjadi dari segala kelas penduduk.
Proletariat melalui berbagai tingkat perkembangan. Bersamaan dengan lahirnya, mulailah perjuangannya terhadap borjuasi. Mula-mula perjuangan itu dilakukan oleh kaum buruh orang-seorang, kemudian oleh buruh suatu pabrik, kemudian oleh buruh dari satu macam perusahaan di satu tempat melawan borjuis orang-seorang yang langsung menghisap mereka. Mereka tidak mengerahkan serangan-serangannya terhadap syarat-syarat produksi borjuis, tetapi terhadap perkakas-perkakas produksi itu sendiri; mereka merusakkan barang-barang impor yang menyaingi kerja mereka, mereka menghancurkan mesin-mesin, mereka membakar pabrik-pabrik, mereka mencoba mengembalikan dengan paksa kedudukan pekerja dari Zaman Tengah [24] yang telah hilang itu.
Pada tingkat tersebut kaum buruh merupakan suatu
Tetapi dengan berkembangnya industri, proletariat tidak saja bertambah jumlahnya; ia menjadi terkonsentrasi di dalam
Kadang-kadang kaum buruh memperoleh kemenangan, tetapi hanya untuk sementara waktu. Buah yang sebenarnya dari perjuangan mereka tidak terletak pada hasil yang langsung, tetapi pada senantiasa makin meluasnya persatuan kaum buruh. Persatuan ini dibantu terus oleh kemajuan-kemajuan alat-alat perhubungan yang dibuat oleh industri modern dan yang membawa kaum buruh dari berbagai daerah berhubungan satu dengan yang lain. Justru perhubungan inilah yang diperlukan untuk memusatkan perjuangan-perjuangan lokal yang banyak itu, yang kesemuanya mempunyai sifat yang sama, menjadi satu perjuangan nasional antara kelas-kelas. Tetapi tiap perjuangan kelas adalah suatu perjuangan politik. Dan persatuan ini, yang untuk mencapainya, wargakota pada Zaman Tengah dengan jalan-jalan mereka yang sangat buruk memerlukan waktu yang berabad-abad lamanya, berkat adanya jalan-jalan kereta api, dicapai oleh kaum proletar modern dalam beberapa tahun saja.
Terorganisasinya kaum proletar menjadi kelas ini, dan dengan sendirinya menjadi partai politik, senantiasa dirusak kembali oleh persaingan di antara kaum buruh sendiri. Tetapi ia selalu bangun kembali, lebih kuat, lebih teguh, lebih perkasa. la memaksakan pengakuan berdasarkan undang-udang atas kepentingan-kepentingan tertentu dari kaum buruh dengan jalan menggunakan perpecahan di dalam kalangan borjuasi sendiri. Maka lahirlah undang-undang sepuluh-jam di Inggris.
Kesimpulannya ialah bahwa bentrokan-bentrokan antara kelas-kelas di dalam masyarakat lama, dengan berbagai cara, mendorong maju perkembangan proletariat. Borjuasi terlibat dalam perjuangan yang terus-menerus. Mula-mula dengan aristokrasi; kemudian dengan bagian-bagian dari borjuasi itu sendiri yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan kemajuan industri; dan selamanya dengan borjuasi negeri-negeri asing semuanya. Di dalam segala perjuangan ini ia merasa terpaksa berseru kepada proletariat, meminta bantuannya, dan dengan begitu menarik proletariat ke dalam gelanggang politik. Oleh karena itu, borjuasi itu sendiri membekali proletariat dengan anasir-anasir politik dan pendidikan-umumnya sendiri, dengan perkataan lain, ia melengkapi proletariat itu dengan senjata-senjata untuk melawan borjuasi.
Selanjutnya, sebagaimana yang telah kita ketahui, golongan-golongan keseluruhan dari kelas yang berkuasa, dengan majunja industri, tercampak ke dalam proletariat, atau setidak-tidaknya terancam di dalam syarat-syarat mereka untuk hidup. Hal ini juga memberikan kepada proletariat anasir-anasir kesadaran dan kemajuan yang segar.
Akhirnya, dalam waktu ketika perjuangan kelas mendekati saat yang menentukan, proses kehancuran yang berlaku di dalam kelas yang berkuasa, pada hakekatnya di dalam seluruh masyarakat lama seutuhnya, mencapai watak yang demikian keras dan tegasnya, sehingga segolongan kecil dari kelas yang berkuasa memutuskan hubungannya dan menyatukan diri dengan kelas yang revolusioner, kelas yang memegang hari depan di dalam tangannya. Oleh karena itu, sama seperti ketika zaman terdahulu, segolongan dari kaum bangsawan memihak kepada borjuasi, maka sekarang segolongan dari borjuasi memihak kepada proletariat, dan terutama segolongan dari kaum ideologis borjuis yang telah mengangkat dirinya sampai pada taraf memahami secara teori gerakan yang bersejarah itu sebagai keseluruhan.
Dari semua kelas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya kelas yang betul-betul revolusioner. Kelas-kelas lainnya melapuk dan akhimya lenyap ditelan industri besar, hanya proletariatlah yang menjadi hasilnya yang istimewa dan yang hakiki.
Kelas tengah rendahan, tuan pabrik kecil, tuan toko, tukang, petani, semuanya ini, berjuang melawan borjuasi, untuk menyelamatkan hidup mereka sebagai golongan dari kelas tengah hindar dari kemusnahan. Oleh karena itu mereka tidak revolusioner, tetapi konservatif. Bahkan lebih dari itu, mereka itu reaksioner, karena mereka mencoba memutar kembali roda sejarah. Jika secara kebetulan mereka itu revolusioner, maka mereka berlaku demikian itu hanyalah karena melihat akan bahaya mendekat berupa kepindahan mereka ke dalam proletariat, jadi mereka tidak membela kepentingan-kepentingannya yang sekarang, tetapi kepentingan-kepentingannya di masa datang, mereka meninggalkan pendiriannya sendiri untuk menempatkan dirinya pada pendirian proletariat.
Proletariat-gelandangan [25],
Syarat-syarat hidup masyarakat lama sudah dihancurkan di dalam syarat-syarat hidup proletariat. Proletar tidak mempunyai milik; hubungannya dengan isteri dan anak tidak ada lagi persamaannya dengan hubungan keluarga borjuasi; kerja industri modern, penundukan modern di bawah kapital, yang sama saja baik di Inggris maupun di Perancis, di Amerika maupun di Jerman, telah menghilangkan segala bekas watak nasional daripadanya. Undang-undang moral, agama, baginya adalah sama dengan segala prasangka borjuis, yang di belakangnya bersembunyi segala macam kepentingan-kepentingan borjuis.
Semua kelas terdahulu yang memperoleh kekuasaan, berusaha memperkuat kedudukan yang telah diperolehnya dengan menundukkan masyarakat dalam keseluruhannya kepada syarat-syarat pemilikan mereka. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat, kecuali dengan menghapuskan cara pemilikan mereka sendiri yang terdahulu atas tenaga-tenaga produktif, dan dengan begitu menghapuskan juga segala cara pemilikan lain yang terdahulu. Mereka tidak mempunyai sesuatu pun yang harus dilindungi dan dipertahankan, tugas mereka ialah menghancurkan segala perlindungan dan jaminan yang terdahulu atas milik perseorangan.
Semua gerakan sejarah yang terdahulu adalah gerakan dari minoritet-minoritet, atau untuk kepentingan minoritet-minoritet. Gerakan proletar adalah gerakan yang sadar-diri dan berdiri sendiri dari mayoritet yang melimpah, untuk kepentingan mayoritet yang melimpah. Proletariat, lapisan yang paling rendah dari masyarakat kita sekarang, tidak dapat bergerak, tidak dapat mengangkat dirinya ke atas, tanpa hancur luluhnya seluruh lapisan atas dari masyarakat yang resmi.
Walaupun tidak dalam isinya tetapi dalam bentuknya, perjuangan proletariat dengan borjuasi adalah mula-mula suatu perjuangan nasional. Proletariat di masing-masing negeri tentu saja pertama-tama harus membuat perhitungan dengan borjuasinya sendiri.
Dalam melukiskan fase-fase yang paling umum dari perkembangan proletariat, kita turuti jejak peperangan dalam negeri, yang lebih atau kurang tersembunyi yang bergolak di dalam masyarakat yang ada, sampai pada titik di mana peperangan itu meletus menjadi revolusi terang-terangan, dan di mana penggulingan borjuasi dengan kekerasan meletakkan landasan bagi kekuasaan proletariat.
Hingga kini, sebagaimana yang telah kita ketahui, segala bentuk masyarakat telah didasarkan atas antagonisme antara kelas-kelas yang menindas dengan kelas-kelas yang tertindas. Tetapi untuk dapat menindas suatu kelas, haruslah dijamin syarat-syarat tertentu untuknya di mana ia setidak-tidaknya dapat melanjutkan hidupnya sebagai budak. Si hamba, dalam zaman perhambaan, meningkatkan dirinya menjadi anggota komune, seperti juga halnya dengan si borjuis kecil, di bawah tindakan absolutisme feodal, mengembangkan dirinya menjadi borjuis. Sebaliknya, buruh modern bukannya terangkat naik dengan adanya kemajuan industri, tetapi bahkan senantiasa makin jatuh merosot di bawah syarat-syarat hidup kelasnya sendiri. Ia menjadi orang melarat dan kemelaratan berkembang lebih cepat daripada penduduk dan kekayaan. Dan di sinilah menjadi terang, bahwa borjuasi tidak pada tempatnya lagi untuk menjadi kelas yang berkuasa di dalam masyarakat, dan tidak mampu lagi untuk memaksakan syarat-syarat hidupnya kepada masyarakat sebagai undang-undang yang menentukan. Ia tidak cakap memerintah karena ia tidak mampu menjamin penghidupan bagi budaknya di dalam rangka perbudakannya itu, karena ia terpaksa membiarkan budaknya tenggelam ke dalam keadaan yang sedemikian rupa sehingga ia harus memberi makan kepada budaknya, dan bukannya ia diberi makan oleh budaknya. Masyarakat tidak dapat lagi hidup di bawah borjuasi ini, dengan perkataan lain, adanya borjuasi tidak dapat didamaikan lagi dengan masyarakat.
Syarat terpokok untuk hidupnya, dan berkuasanya kelas borjuis, adalah terbentuknya dan bertambah besarnya kapital; syarat untuk kapital ialah kerja-upahan. Kerja-upahan semata-mata bersandar pada persaingan di antara kaum buruh sendiri. Kemajuan industri, yang pendorongnya dengan tak sengaja adalah borjuasi, menggantikan terpencilnya kaum buruh, yang disebabkan oleh persaingan, dengan tergabungnya mereka secara revolusioner, yang diperoleh karena perserikatan. Perkembangan industri besar, karenanya, merenggut dari bawah kaki borjuasi landasan itu sendiri yang di atasnya borjuasi menghasilkan dan memiliki hasil-hasil. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh borjuasi ialah, terutama sekali, penggali-penggali liang kuburnya sendiri. Keruntuhan borjuasi dan kemenangan proletariat adalah sama-sama tidak dapat dielakkan lagi.
II. Kaum proletar dan kaum Komunis
Bagaimanakah hubungan antara kaum Komunis dengan kaum proletar umumnya ?
Kaum Komunis tidak merupakan suatu partai tersendiri yang bertentangan dengan partai-partai kelas buruh lainnya.
Mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan tersendiri dan terpisah dari kepentingan-kepentingan proletariat sebagai keseluruhan.
Mereka tidak mengadakan prinsip-prinsip sendiri yang sektaris, yang hendak dijadikan pola bagi gerakan proletar.
Kaum Komunis dibandingkan dengan partai-partai kelas buruh lainnya berbeda hanyalah karena hal ini:
1. Di dalam perjuangan nasional dari kaum proletar di berbagai negeri, mereka menunjukkan serta mengedepankan kepentingan-kepentingan bersama dari seluruh proletariat, terlepas dari segala nasionalitet.
2. Pada berbagai tingkat perkembangan yang harus dilalui oleh perjuangan kelas buruh melawan borjuasi, mereka senantiasa dan di mana saja mewakili kepentingan-kepentingan gerakan itu sebagai keseluruhan.
Oleh sebab itu kaum Komunis, pada satu pihak, pada prakteknya adalah bagian yang paling maju dan teguh hati dari partai-partai kelas buruh di setiap negeri, bagian yang mendorong maju semua bagian lain-lainnya; pada pihak lain, secara teori mereka mempunyai kelebihan atas massa proletariat yang besar itu dalam pengertian tentang garis perjalanan, syarat-syarat, dan hasil-hasil umum terakhir dari gerakan proletar.
Tujuan terdekat dari kaum Komunis adalah sama dengan tujuan semua partai proletar lain-lainnya: pembentukan proletariat menjadi suatu kelas, penggulingan kekuasaan borjuasi, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat.
Kesimpulan-kesimpulan secara teori dari kaum Komunis sama sekali bukanlah berdasar pada pikiran-pikiran atau prinsip-prinsip yang telah diciptakan, atau yang ditemukan oleh salah seorang pembaharu-dunia.
Kesimpulan-kesimpulan itu hanya menyatakan semata-mata, secara umum, hubungan-hubungan yang sebenarnya yang timbul dari suatu perjuangan kelas yang sedang berlaku, dari suatu gerakan sejarah yang sedang berjalan di depan mata kita. Penghapusan hubungan-hubungan milik yang ada sekarang sama sekali bukanlah suatu ciri yang istimewa dari Komunisme.
Segala hubungan milik di masa lampau senantiasa tunduk pada perubahan kesejarahan yang diakibatkan oleh perubahan syarat-syarat sejarah.
Revolusi Perancis misalnya, menghapuskan milik feodal untuk memberi tempat kepada milik borjuis. [26]
Ciri istimewa Komunisme - bukanlah penghapusan milik pada umumnya, tetapi penghapusan milik borjuis. Tetapi milik perseorangan borjuis modern adalah pernyataan terakhir dan paling sempurna dari sistim menghasilkan dan memiliki hasil-hasil yang didasarkan pada antagonisme-antagonisme kelas, pada penghisapan terhadap yang banyak oleh yang sedikit.
Dalam artian ini, teori kaum Komunis dapatlah diikhtisarkan dalam satu kalimat saja: Penghapusan milik perseorangan.
Kita kaum Komunis telah dimaki bahwa kita ingin menghapuskan hak atas milik yang diperdapat seseorang sebagai hasil kerja orang itu sendiri, milik yang dianggap sebagai dasar dari semua kemerdekaan, kegiatan dan kebebasan seseorang.
Milik yang diperoleh dengan membanting tulang, yang direbut sendiri, yang dicari sendiri secara halal! Apakah yang tuan maksudkan itu milik si tukang kecil, milik si tani kecil, suatu bentuk milik yang mendahului bentuk milik borjuis ? Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.
Ataukah yang tuan maksudkan itu milik perseorangan borjuis modern?
Tetapi adakah kerja-upahan, kerja si proletar, mendatangkan sesuatu milik untuk dia? Sama sekali tidak. Ia menciptakan kapital, yaitu semacam milik yang menghisap kerja-upahan, dan yang tidak dapat bertambah besar kecuali dengan syarat bahwa ia menghasilkan kerja-upahan baru untuk penghisapan baru. Milik dalam bentuknya yang sekarang ini adalah didasarkan pada antagonisme antara kapital dengan kerja-upahan. Marilah kita periksa kedua belah segi dari antagonisme ini.
Untuk menjadi seorang kapitalis, orang tidak saja harus mempunjai kedudukan perseorangan semata-mata, tetapi kedudukan sosial dalam produksi. Kapital adalah suatu hasil kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkatan terakhir, ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat.
Oleh karena itu kapital bukanlah suatu kekuasaan pribadi, ia adalah suatu kekuasaan sosial.
Jadi, jika kapital itu dijadikan milik bersama, menjadi milik semua anggota masyarakat, dengan itu milik pribadi tidak diubah menjadi milik sosial. Hanyalah watak sosial milik yang diubah. Watak kelasnya hilang.
Marilah kita sekarang bicara tentang kerja-upahan.
Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang sekedarnya itu. Kita sekali-kali tidak bermaksud untuk menghapuskan pemilikan pribadi atas hasil-hasil kerja ini, pemilikan yang digunakan untuk mempertahankan dan melanjutkan lagi hidup biasa sebagai Manusia, dan yang tidak menyisakan kelebihan yang dapat digunakan untuk menguasai kerja orang-orang lain. Yang hendak kita hapuskan hanyalah watak celaka dari pemilikan ini, di mana buruh hidup hanya untuk memperbesar kapital belaka, dan dibolehkan hidup hanya selama kepentingan kelas yang berkuasa memerlukannya.
Di dalam masyarakat borjuis, kerja yang hidup ini hanyalah suatu alat untuk memperbanyak kerja yang telah tertimbun. Di dalam masyarakat Komunis, kerja yang tertimbun itu hanyalah suatu alat untuk memperluas, memperkaya, memajukan kehidupan buruh.
Di dalam masyarakat borjuis, karenanya, masa lampau menguasai masa kini; di dalam masyarakat Komunis, masa kini menguasai masa lampau. Di dalam masyarakat borjuis, kapital adalah bebas merdeka dan mempunyai kepribadian, sedang manusia yang bekerja tidak bebas dan tidak mempunyai kepribadian.
Dan penghapusan keadaan begini ini dikatakan oleh kaum borjuis, penghapusan kepribadian dan kemerdekaan! Dan memang begitu. Penghapusan kepribadian borjuis, penghapusan kebebasan borjuis dan kemerdekaan borjuis itulah yang memang dituju.
Dengan kemerdekaan diartikan, di bawah syarat-syarat produksi borjuis sekarang ini, perdagangan bebas, penjualan dan pembelian bebas.
Tetapi jika penjualan dan pembelian itu lenyap, penjualan dan pembelian bebas itupun lenyap juga.
Obrolan tentang penjualan dan pembelian bebas ini, dan segala "kata-kata gagah" lainnya dari borjuasi mengenai kemerdekaan pada umumnya, mempunyai arti, jika ada, hanya jika dibandingkan dengan penjualan dan pembelian terbatas, dengan pedagang-pedagang terbelenggu dari Zaman Tengah, tetapi tidak mempunyai arti jika dipertentangkan dengan penghapusan secara Komunis atas penjualan dan pembelian, atas cara produksi borjuis, dan atas borjuasi itu sendiri.
Tuan merasa ngeri karena maksud kami untuk menghapuskan milik perseorangan. Tetapi di dalam rnasyarakat tuan yang ada sekarang ini, milik perseorangan sudah dihapuskan bagi sembilan persepuluh dari penduduk; ia ada pada beberapa orang justru karena ia tidak ada pada mereka yang sembilan persepuluh itu. Jadi tuan memaki kami karena kami bermaksud menghapuskan suatu bentuk milik, yang untuk adanya diperlukan syarat berupa tidak adanya suatu milik apa pun bagi mayoritet melimpah dari masyarakat.
Pendek kata, tuan memaki kami bahwa kami bermaksud menghapuskan milik tuan. Memang begitu, itulah justru yang kami maksudkan.
Sejak dari saat ketika kerja tidak lagi dapat dijadikan kapital, uang, atau sewa, [27] dijadikan suatu kekuasaan sosial yang dapat dimonopolisasi, artinya, sejak dari saat ketika milik pribadi tidak dapat lagi dijadikan milik borjuis, dijadikan kapital, sejak dari saat itu, tuan katakan, kepribadian telah hilang.
Maka itu tuan harus mengakui bahwa yang tuan maksudkan dengan pribadi adalah tidak lain daripada seorang borjuis, seorang pemilik borjuis. Orang ini memang harus disapu bersih dan tidak diberi kemungkinan untuk hidup.
Komunisme tidak menghapuskan kekuasaan seseorang untuk memiliki hasil-hasil masyarakat; apa yang dilakukannya hanyalah merampas kekuasaan seseorang untuk menjadikan kerja orang lain takluk kepadanya dengan cara pemilikan semacam itu.
Orang telah mengemukakan keberatan bahwa dengan penghapusan milik perseorangan akan berhentilah semua pekerjaan, dan kemalasan umum akan merajalela.
Menurut pendapat ini, masyarakat borjuis tentunya sudah lama lenyap karena kemalasan semata-mata; karena mereka dari anggota-anggotanya yang bekerja, tidak mendapat apa-apa, dan mereka yang mendapat sesuatu, tidak bekerja. Seluruh keberatan ini hanyalah ungkapan lain dari kata-kata yang sama artinya: tak ada lagi kerja-upahan apabila tak ada lagi kapital.
Semua keberatan yang dikemukakan terhadap cara menghasilkan dan memiliki hasil-hasil material secara Komunis telah dikemukakan juga terhadap cara menghasilkan dan memiliki hasil-hasil intelek secara Komunis. Justru karena bagi kaum borjuis itu, lenyapnya milik kelas berarti lenyapnya produksi itu sendiri, maka lenyapnya kebudayaan kelas baginya berarti juga lenyapnya semua kebudayaan.
Kebudayaan itu, yang hilangnya sangat ditangisi olehnya, bagi golongan terbanyak yang melimpah hanyalah berarti bahwa mereka itu dijadikan mesin.
Tetapi janganlah ribut bertengkar dengan kami selama terhadap penghapusan milik borjuis yang kami maksudkan itu tuan mengenakan ukuran anggapan-anggapan borjuis tuan tentang kemerdekaan, kebudayaan, hukum, dsb. Pikiran-pikiran tuan itu justru adalah tidak lain daripada buah yang dihasilkan oleh syarat-syarat produksi borjuis dan milik borjuis tuan, tepat seperti halnya dengan ilmu hukum tuan adalah tidak lain daripada kemauan kelas tuan yang dijadikan undang-undang untuk semua, suatu kemauan, yang tujuan serta wataknya yang hakiki ditentukan oleh syarat-syarat hidup ekonomi kelas tuan.
Anggapan egoistis yang menyebabkan tuan mengubah bentuk-bentuk sosial yang timbul, dari cara produksi dan bentuk milik tuan sekarang ini--hubungan-hubungan kesejarahan yang timbul dan lenyap selama gerak maju produksi--menjadi hukum alam dan hukum akal yang abadi, anggapan ini sama dengan anggapan semua kelas berkuasa yang telah mendahului tuan. Apa yang sudah jelas tuan ketahui tentang milik kuno [28], apa yang sudah tuan akui tentang milik feodal, tentu saja akan terlarang bagi tuan untuk mengakui tentang bentuk milik borjuis tuan sendiri.
Penghapusan keluarga! Orang yang paling radikal pun akan naik darah karena maksud keji kaum Komunis ini.
Didasarkan atas landasan apakah keluarga sekarang, keluarga borjuis itu? Atas kapital, atas hasil pendapatan perseorangan. Dalam bentuknya yang berkembang sempurna keluarga semacam ini terdapat hanya di kalangan borjuasi saja. Tetapi keadaan ini mempunyai pelengkapnya berupa ketiadaan keluarga yang terpaksa di kalangan kaum proletar, dan berupa pelacuran umum.
Keluarga borjuis akan lenyap dengan sendirinya apabila pelengkapnya lenyap, dan kedua-duanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya kapital.
Apakah tuan menuduh kami hendak menghentikan penghisapan anak-anak oleh orang tuanya? Kami mengakui kejahatan ini.
Tetapi, tuan akan berkata, kami menghancurkan hubungan-hubungan yang paling mesra, karena kami mengganti pendidikan rumah dengan pendidikan sosial.
Dan apakah pendidikan tuan tidak juga ditentukan oleh masyarakat? Oleh hubungan-hubungan sosial, yang di bawah syarat-syaratnya tuan mendidik, oleh campur tangan langsung, atau tidak langsung dari masyarakat dengan perantaraan sekolah-sekolah, dsb.? Kaum Komunis tidak menciptakan campur tangan masyarakat dalam pendidikan; mereka hanya berusaha untuk mengubah watak campur tangan itu, dan untuk menyelamatkan pendidikan agar hindar dari pengaruh kelas yang berkuasa.
Obrolan borjuis tentang keluarga dan pendidikan, tentang ikatan mesra antara ibu-bapak dengan anak, menjadi makin memuakkan, seiring dengan, karena akibat industri besar, makin terputusnya segala ikatan keluarga di kalangan kaum proletar, dan makin terubahnya anak-anak mereka menjadi barang dagangan biasa dan perkakas kerja.
Tetapi kalian kaum Komunis hendak melakukan hak bersama atas kaum wanita, teriak seluruh borjuasi dengan serentak.
Borjuis memandang isterinya hanya sebagai suatu perkakas produksi belaka. Ia mendengar bahwa perkakas-perkakas produksi akan digunakan bersama, dan tentu saja tidak akan sampai pada kesimpulan lain kecuali bahwa nasib dipergunakan bersama itu akan menimpa pula kaum wanita.
Ia sama sekali tidak mempunyai dugaan bahwa sasaran sebenarnya yang dituju ialah justru menghapuskan kedudukan kaum wanita sebagai perkakas produksi semata-mata.
Lain daripada itu tak ada lagi yang lebih menggelikan daripada kegusaran borjuis kita terhadap apa yang mereka namakan hak-bersama atas kaum wanita yang secara resmi berlaku di kalangan kaum Komunis. Kaum Komunis tidak perlu melakukan hak-bersama atas kaum wanita; hal ini telah ada hampir sepanjang segala zaman.
Borjuis kita tidak puas dengan hal bahwa untuk mereka ada tersedia isteri-isteri dan anak-anak gadis kaum proletar, belum lagi pelacur-pelacur biasa, sangat gemar saling menggoda isteri-isteri yang satu dengan lainnya di kalangan mereka sendiri.
Dalam kenyataannya perkawinan borjuis adalah suatu sistim isteri-isteri untuk bersama. Kaum Komunis paling banyak hanyalah dapat dituduh bahwa mereka hendak melakukan hak-bersama atas kaum wanita secara sah dan terang-terangan, untuk mengganti yang tersembunyi secara munafik. Lain daripada itu, teranglah dengan sendirinya bahwa hapusnya sistim produksi yang sekarang ini tentu mengakibatkan pula hapusnya hak-bersama atas kaum wanita yang timbul dari sistim tersebut, ialah hapusnya pelacuran baik yang resmi maupun yang tidak resmi.
Selanjutnya kaum Komunis dituduh hendak menghapuskan tanah air dan nasionalitet.
Kaum buruh tidak mempunyai tanah air. Kita tidak dapat mengambil dari mereka apa yang tidak ada pada mereka. Karena proletariat pertama sekali harus merebut kekuasaan politik, harus mengangkat dirinya menjadi kelas yang memimpin dari nasion, harus mewujudkan dirinya sebagai nasion, maka sejauh itu ia bersifat nasional, biarpun tidak dalam arti kata menurut borjuasi.
Perselisihan-perselisihan dan antagonisme-antagonisme nasional antara bangsa-bangsa makin lama makin menghilang, disebabkan oleh perkembangan borjuasi, oleh kemerdekaan berdagang, oleh pasar dunia, oleh keseragaman dalam cara produksi dan dalam syarat-syarat hidup yang selaras dengan itu.
Kekuasaan proletariat akan lebih mempercepat hilangnya itu semua. Aksi yang bersatu, paling tidak dari negeri-negeri yang beradab, adalah salah satu syarat utama untuk pembebasan proletariat.
Sederajat dengan dihapuskannya penghisapan atas seseorang oleh orang lainnya, dihapuskan jugalah penghisapan atas suatu nasion oleh nasion lainnya. Sederajat dengan hilangnya antagonisme antara kelas-kelas dalam suatu nasion, berakhir jugalah permusuhan suatu nasion terhadap nasion lainnya.
Tuduhan-tuduhan terhadap Komunisme yang didasarkan pada pendirian agama, filsafat dan, pada umumnya, pendirian ideologi tidaklah perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Apakah diperlukan penglihatan yang dalam, untuk memahami bahwa pikiran, pandangan dan pengertian manusia, pendek kata, kesadaran manusia, berubah dengan tiap-tiap perubahan dalam syarat-syarat hidup materilnya, dalam hubungan-hubungan sosialnya dan dalam kehidupan sosialnya?
Hal lain apakah yang dibuktikan oleh sejarah pikiran, kecuali bahwa produksi intelek mengubah wataknya sederajat dengan hal bahwa produksi materil telah berubah? Pikiran-pikiran yang menguasai dalam tiap-tiap zaman adalah senantiasa pikiran-pikiran kelas yang berkuasa.
Apabila orang berbicara tentang pikiran-pikiran yang merevolusionerkan masyarakat, ia tidak lain hanyalah, mengungkapkan kenyataan, bahwa di dalam masyarakat lama, anasir-anasir dari suatu masyarakat baru telah diciptakan, dan bahwa leburnya pikiran-pikiran lama berjalan dengan langkah-langkah yang sama dengan leburnya syarat-syarat hidup yang lama.
Ketika dunia kuno sedang mendekati ajalnya, agama-agama kuno ditaklukkan oleh agama Kristen. Ketika pikiran-pikiran Kristen dalam abad ke-18 tunduk pada pikiran-pikiran rasionil, masyarakat feodal melakukan perjuangan mautnya melawan borjuasi yang ketika itu revolusioner. Pikiran-pikiran tentang kebebasan beragama dan kemerdekaan menganut suara hati, hanyalah mengungkapkan adanya kekuasaan persaingan bebas di dalam bidang pengetahuan.
"Tak dapat disangkal lagi," demikian orang akan berkata, pikiran-pikiran bersendikan agama, moral, filsafat, hukum, dsb. telah berubah dalam perjalanan perkembangan sejarah. Tetapi agama, moral, filsafat, ilmu politik, dan hukum, senantiasa tetap bertahan dan mengatasi pergantian ini.
"Kecuali itu, ada kebenaran-kebenaran abadi, semacam Kemerdekaan, Keadilan, dsb., yang lazim berlaku untuk segala keadaan masyarakat. Tetapi Komunisme menghapuskan kebenaran-kebenaran abadi, ia menghapuskan semua agama, dan semua moral, dan bukannya menyusun semuanya itu atas dasar yang baru; karenanya ia bertindak bertentangan dengan segala pengalaman sejarah yang lampau."
Apakah jadinya arti tuduhan ini? Sejarah dari seluruh masyarakat masa lampau terdiri dari perkembangan antagonisme-antagonisme kelas, antagonisme-antagonisme yang mempunyai berbagai bentuk dalam berbagai zaman.
Tetapi bagaimanapun juga bentuknya, satu kenyataan adalah sama untuk segala zaman yang telah lampau, yaitu, penghisapan atas sebagian dari masyarakat oleh suatu bagian yang lain. Maka tidaklah mengherankan bahwa kesadaran sosial dari abad-abad yang lampau, biarpun terdapat segala kebanyak ragaman dan corak, bergerak dalam bentuk-bentuk tertentu yang sama, atau pikiran-pikiran umum, yang tidak dapat hilang sepenuhnya kecuali dengan lenyapnya sama sekali antagonisme-antagonisme kelas.
Revolusi Komunis adalah pemutusan yang paling radikal dengan hubungan-hubungan milik yang tradisionil; tidaklah mengherankan bahwa perkembangannya membawa serta pemutusan yang paling radikal dengan pikiran-pikiran yang tradisionil.
Tetapi marilah kita biarkan saja dulu, keberatan-keberatan borjuis terhadap Komunisme.
Telah kita lihat di atas, bahwa langkah pertama dalam revolusi kelas buruh, adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi.
Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, memusatkan semua perkakas produksi ke dalam tangan Negara, artinya, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa [29]; dan untuk meningkatkan jumlah tenaga-tenaga produktif secepat mungkin.
Tentu saja, pada permulaannya, ini tak dapat dilaksanakan kecuali dengan jalan perombakan tak kenal ampun terhadap hak-hak atas milik, dan terhadap syarat produksi borjuis; oleh sebab itu dengan jalan tindakan-tindakan yang nampaknya secara ekonomi tidak mencukupi dan tak tertahankan, tetapi yang selama berlangsungnya gerakan itu, berlari lebih cepat, sehingga menghendaki perombakan yang lebih lanjut terhadap susunan masyarakat lama, dan merupakan sesuatu yang tak terelakkan sebagai cara untuk merevolusionerkan cara produksi.
Tindakan-tindakan ini tentu saja akan berlainan di negeri-negeri yang berlainan.
Biarpun demikian, di negeri-negeri yang paling maju, tindakan-tindakan yang berikut ini umumnya dapat saja diterapkan [30].
1. Penghapusan milik berupa tanah dan penggunaan segala sewa tanah untuk anggaran Negara.
2. Pajak penghasilan progresif yang berat.
3. Penghapusan hak waris.
4. Penyitaan milik semua emigran dan pemberontak.
5. Pemusatan kredit di tangan Negara, dengan perantaraan sebuah bank nasional dengan kapital Negara dan monopoli penuh.
6. Pemusatan alat-alat perhubungan dan pengangkutan ke dalam tangan Negara. 7. Penambahan pabrik-pabrik dan perkakas-perkakas produksi yang dimiliki oleh Negara; penggarapan tanah-tanah terlantar, dan perbaikan tanah umumnya sesuai dengan rencana bersama.
8. Wajib kerja yang sama untuk semua, pembentukan tentara-tentara industri, terutama untuk pertanian.
9. Penggabungan antara perusahaan pertanian dengan perusahaan industri, penghapusan berangsur-angsur perbedaan antara
10. Pendidikan cuma-cuma untuk semua anak di sekolah-sekolah umum; penghapusan kerja anak-anak di pabrik dalam bentuknya yang sekarang ini. Perpaduan pendidikan dengan produksi materiil, dsb., dsb.
Apabila, dalam perjalanan perkembangan, perbedaan-perbedaan kelas telah hilang, dan seluruh produksi telah dipusatkan ke dalam tangan suatu perserikatan luas dari seluruh nasion, kekuasaan umum akan kehilangan watak politiknya. Kekuasaan politik, menurut arti kata yang sesungguhnya, hanyalah kekuasaan terorganisasi dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Apabila proletariat selama perjuangannya melawan borjuasi terpaksa, karena tekanan keadaan, mengorganisasi dirinya sebagai kelas, apabila, dengan jalan revolusi, ia menjadikan dirinya kelas yang berkuasa, dan, sebagai kelas yang berkuasa, menghapuskan dengan kekerasan hubungan-hubungan produksi yang lama, maka ia, bersama-sama dengan syarat-syarat ini akan menghilangkan syarat-syarat untuk adanya antagonisme-antagonisme kelas dan adanya kelas-kelas pada umumnya, dan dengan demikian akan menghapuskan kekuasaannya sendiri sebagai kelas.
Sebagai ganti dari masyarakat borjuis yang lama, dengan kelas-kelasnya beserta antagonisme-antagonisme kelasnya, kita akan mempunyai suatu persekutuan hidup di mana perkembangan bebas dari setiap orang menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari semuanya.
III. Literatur Sosialis dan Komunis [31]
1. Sosialisme reaksioner
a. Sosialisme feodal
Disebabkan oleh kedudukanya di dalam sejarah, menjadilah panggilan suci aristokrasi Perancis dan Inggeris untuk menulis brosur-brosur menentang masyarakat burjuis modern. Dalam revolusi Perancis bulan Juli 1830, dan dalam gerakan Reform Inggeris, [32] aristokrasi ini sekali lagi takluk pada parvenu [33] yang dibenci itu. Suatu perjuangan politik yang gawat sudah tidak mungkin ada lagi sama sekali. Hanya tinggal perjuangan literaturlah yang masih mungkin. Tetapi dalam lapangan literaturpun semboyan-semboyan lama dari zaman restorasi telah menjadi tidak mungkin. [34]
Untuk membangkitkan simpati, aristokrasi itu terpaksa pura-pura melupakan kepentinganya sendiri dan merumuskan
Dengan jalan ini timbullah sosialisme feodal: setengah ratapan, setengah sindiran; setengah gema masa lampau, setengah ancaman masadatang; kadang-kadang dengan kritiknya yang pietah, pahit dan tajam menusuk burjuasi tepat pada ulu hatinya; tetapi akibatnya selalu menggelikan karena sama sekali tak mempunyai kemampuan untuk memahami perjalanan sejarah modern.
Untuk menghimpun Rakyat di sekitar dirinya, aristokrasi melambai-lambaikan kantong-pengemis proletar sebagai panji-panjinya. Tetapi sedemikian sering Rakyat mengikuti mereka, Rakyat melihat di belakang mereka lambang kebesaran feodal yang lama, dan lari bubar dengan tawa lebar dan mengejek.
Sebagian dari kaum Legitimis [35] Perancis dan kaum “Inggeris Muda” [36] memainkan lakon ini.
Dalam menunjukkan bahwa cara penghisapan mereka adalah berlainan dengan cara penghisapan burjuasi, kaum feodal lupa bahwa mereka menghisap dalam keadaan-keadaan dan syarat-syarat yang berlainan sama sekali, dan yang kini telah menjadi kuno. Dalam memperlihatkan bahwa di bawah kekuasaan mereka tak pernah ada proletariat modern, mereka.lupa bahwa burjuasi modern adalah anak keturunan yang sewajarnya dari bentuk masyarakat mereka sendiri.
Lain daripada itu, mereka sedikit sekali menyembunyikan watak reaksioner dari kritiknya sehingga tuduhan mereka yang terutama terhadap burjuasi berarti juga bahwa di bawah rezim burjuis berkembanglah suatu kelas, yang nantinya akan pasti menghancurleburkan seluruh susunan tatatertib masyarakat lama.
Kemarahan mereka terhadap burjuasi mengenai hal bahwa burjuasi melahirkan proletariat, tidak sehebat kemarahannya mengenai hal bahwa burjuasi melahirkan proletariat yang revolusioner.
Oleh sebab itu, dalam praktek politik, mereka ikut serta dalam segala tindakan kekerasan terhadap kelas buruh; dan dalam kehidupan biasa sehari-hari, biarpun ucapan-ucapannya begitu muluk tinggi membubung, mereka tidak malu-malu untuk memungut warisan buah lezat yang jatuh dari pohon industri dan tidak malu-malu pula untuk menukarkan kejujuran, cinta dan kehormatan dengan perdagangan bulu domba, perdagangan ubi-gula dan minuman-minuman keras yang terbuat dari kentang. [37]
Sebagaimana pendeta senantiasa berjalan bergandengan tangan dengan tuan tanah, demikian jugalah Sosialisme Gereja dengan Sosialisme Feodal.
Tak ada hal lain yang lebih mudah daripada memberi pulasan Sosialis pada asetisme [38] Kristen. Bukankah agama Kristen telah berseru dengan lantangnya menentang milik perseorangan, menentang perkawinan, menentang Negara? Bukankah ia, sebagai ganti semuanya itu tadi, telah mengkhotbahkan kedermawanan dan kemiskinan, pembujangan dan kebiasaan menahan nafsu, kehidupan biara dan Ibunda Gereja? Sosialisme Kristen tidak lain hanyalah air suci yang digunakan oleh pendeta untuk mengkuduskan sakit-hati kaum aristokrat.
b. Sosialisme Burjuis Kecil
Aristokrasi feodal bukanlah satu-satunya kelas yang telah diruntuhkan oleh burjuasi, bukanlah satu-satunya kelas yang syarat-syarat kelangsungannya menjadi rusak dan musnah dalam suasana masyarakat burjuis modern. Warga
Di negeri-negeri di mana peradaban modern telah berkembang sepenuhnya, terbentuklah suatu kelas burjuis kecil, yang terombang-ambing di antara proletariat dan burjuasi dan senantiasa memperbarui dirinya sebagai bagian-tambahan dari masyarakat burjuis. Tetapi anggota-anggota orang-seorang dari kelas ini terus-menerus dicampakkan kedalam kalangan proletariat oleh karena persaingan, dan setelah industri modern maju, mereka itu malahan melihat datangnya saat dimana mereka akan lenyap sama sekali sebagai golongan yang berdiri-sendiri dari masyarakat modern, untuk digantikan, dalam perusahaan-perusahaan, pertanian dan perniagaan, oleh mandor-mandor, pegawai-pegawai, dan pelayan-pelayan toko.
Di negeri-negeri semacam Perancis, di mana kaum taninya merupakan bagian yang jauh lebih besar daripada separo jumlah penduduk, adalah wajar bahwa penulis-penulis yang memihak proletariat menentang burjuasi, memakai ukuran petani dan burjuis kecil dalam kritiknya terhadap rezim burjuis, dan dari segi pendirian kelas-kelas perantara ini membela kelas buruh. Dengan begitu timbullah Sosialisme burjuis kecil. Sismondi [39] adalah pemuka dari ajaran ini, tidak hanya di Perancis saja, tetapi juga di Inggeris.
Ajaran Sosialisme ini dengan sangat tajamnya mengurai kontradiksi-kontradiksi di dalam syarat-syarat industri modern. Ia menelanjangi pembelaan-pembelaan munafik dari kaum ekonomis. Ia membuktikan dengan tak dapat disangkal lagi, akibat-akibat yang mencelakakan dari mesin dan pembagian kerja; konsentrasi kapital dan tanah ke dalam beberapa tangan saja; produksi-kelebihan dan krisis-krisis ; ia menunjukkan keruntuhan yang tak terelakkan dari burjuis kecil dan tani, kesengsaraan proletariat, anarki dalam produksi, ketidakadilan yang sangat menyolok dalam pembagian kekayaan, perang pemusnahan di bidang industri di kalangan nasion-nasion, penghancuran ikatan-ikatan moral lama, hubungan-hubungan kekeluargaan lama, nasionalitet-nasionalitet lama.
Menurut tujuannya yang positif, bagaimanapun juga Sosialisme macam ini memperjuangkan hidup kembalinya alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran lama dan bersama itu semua hubungan milik lama serta masyarakat lama, atau membatasi alat-alat produksi dan alat-alat pertukaran modern di dalam rangka hubungan milik lama yang telah dan pasti dihancurkan oleh alat-alat itu. Dalam kedua hal ini, kedua-duanya adalah reaksioner dan utopi.
Kata-kata mereka yang terakhir ialah: Gabungan gilde sebagai ganti manufaktur; hubungan-hubungan patriarkal dalam pertanian.
Akhirnya, ketika kenyataan-kenyataan sejarah yang tak dapat dibantah lagi telah menghapuskan semua pengaruh dari penipuan diri sendiri yang memabukkan, Sosialisme macam ini mengundurkan diri dengan hina dan sangat mengibakan.
c. Sosialisme Jerman atau Sosialisme “Sejati”
Literatur Sosialis dan Komunis Perancis, suatu literatur yang lahir di bawah tekanan burjuasi yang sedang berkuasa, dan yang merupakan pernyataan dari perjuangan melawan kekuasaan ini, dimasukkan ke Jerman pada suatu waktu ketika burjuasi di negeri itu baru saja memulai perjuangannya menentang absolutisme feodal.
Kaum filsuf, setengah-filsuf dan “jiwa-jiwa berbakat” Jerman dengan penuh nafsu menguasai literatur ini dan hanya lupa bahwa berpindahnya tulisan-tulisan tersebut keluar dari Perancis tidaklah disertai oleh berpindahnya syarat-syarat sosial Perancis ke Jerman. Setelah berhadap-hadapan dengan syarat-syarat sosial di Jerman, literatur Perancis ini kehilangan segala arti praktisnya yang langsung, dan hanya mempunyai corak literer semata-mata. Dengan demikian, bagi para filsuf Jerman abad kedelapanbelas, tuntutan-tuntutan Revolusi Perancis yang pertama tidaklah lebih daripada tuntutan-tuntutan “Akal Praktis” pada umumnya, dan pernyataan kemauan dari burjuasi yang revolusioner, menurut pandangan mereka berarti hukum-hukum dari Kemauan belaka, hukum-hukum dari Kemauan sebagaimana yang seharusnya, hukum-hukum dari Kemauan manusia yang sejati pada umumnya.
Tulisan-tulisan kaum literat Jerman hanya berwujud penyesuaian pikiran-pikiran baru Perancis itu dengan perasaan filsafat kuno mereka, atau lebih tepat lagi, mengambil pikiran-pikiran Perancis itu dengan tidak meninggalkan pandangan filsafat mereka sendiri.
Cara mengambilnya berlangsung sama seperti memiliki bahasa asing, yaitu dengan jalan menterjemahkan.
Umum mengetahui bagaimana rahib-rahib menuliskan riwayat hidup yang tidak masuk akal dari orang-orang suci Katolik di atas manuskrip di mana telah dituliskan karangan-karangan kelasik dari zaman purbakala ketika orang belum beragama. Kaum literat Jerman berbuat sebaliknya dengan literatur keduniaan Perancis. Mereka menuliskan filsafatnya yang tidak ada artinya itu di belakang tulisan Perancis yang asli. Misalnya, di belakang kritik Perancis tentang fungsi-fungsi ekonomi dari uang mereka tulis “Pengungkiran terhadap Kemanusiaan”, dan di belakang kritik Perancis tentang negara burjuis, mereka tulis “Penghapusan pengaruh faham abstrak pada umumnya”, dan seterusnya.
Penyelundupan kata-kata kosong filsafat ini ke dalam kritik-kritik Perancis bersejarah itu mereka namakan “Filsafat Tindakan”, “Sosialisme Sejati”, “Ilmu Jerman tentang Sosialisme”, “Dasar Filsafat Sosialisme”, dan seterusnya.
Literatur Sosialis dan Komunis Perancis dengan demikian menjadi dikebiri sama sekali. Dan oleh karena literatur ini di dalam tangan bangsa Jerman tidak lagi menyatakan perjuangan suatu kelas melawan kelas lainnya, dia merasa yakin telah mengatasi “kesepihakan Perancis” dan merasa telah mengemukakan bukan keperluan-keperluan yang sebenarnya, tetapi keperluan-keperluan akan Kebenaran; bukan kepentingan-kepentingan proletariat, tetapi kepentingan-kepentingan Dunia Kemanusiaan, Manusia umumnya, yang tidak termasuk dalam sesuatu kelas, tidak mempunyai kenyataan, manusia yang hanya terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja.
Sosialisme Jerman ini yang telah menerima pelajarannya sebagai murid begitu sungguh-sungguh dan khidmat, dan yang telah memuji-muji dagangannya yang tak berharga itu dengan gaja tukang jual obat, sementara itu berangsur-angsur berkurang ketololannya yang congkak itu.
Perlawanan burjuasi Jerman dan terutama burjuasi Prusia terhadap aristokrasi feodal dan monarki absolut dengan perkataan lain, gerakan liberal, menjadi semakin sengit.
Dengan demikian Sosialisme “Sejati” mendapat kesempatan yang telah dinanti-nantikan itu untuk menghadapi gerakan politik dengan tuntutan-tuntutan Sosialls, untuk melemparkan kutukan-kutukan tradisionil terhadap liberalisme, terhadap pemerintah yang representatif, terhadap persaingan burjuis, kemerdekaan pers burjuis, perundang-undangan burjuis, kemerdekaan dan persamaan burjuis, dan untuk menganjurkan kepada massa bahwa mereka tak akan mendapat suatu apapun dan akan kehilangan segala-galanya dalam gerakan burjuis ini. Sosialisme Jerman yang menjadi kumandang kosong dari kritik-kritik Perancis justru lupa pada waktu itu, bahwa kritik-kritik Perancis mengandung ketentuan adanya masyarakat burjuis modern dengan syarat-syarat ekonomi hidupnya yang sesuai dan susunan politik yang disesuaikan dengan itu, ialah hal-hal yang sebenarnya harus dicapai sebagai tujuan dari perjuangan yang akan datang di Jerman.
Bagi pemerintah-pemerintah yang mempunyai kekuasaan mutlak dengan pengikut-pengikutnya yang terdiri dari pendeta-pendeta, profesor-profesor, tuantanah-tuantanah besar dan pegawai-pegawai pemerintah, Sosialisme “Sejati” ini merupakan suatu alat yang berguna untuk menakut-nakuti burjuasi yang sedang mengancam.
Ini adalah sebagai obat penawar sesudah merasakan kepedihan cambukan dan tembakan yang digunakan oleh pemerintah-pemerintah tadi, justru pada waktu itu, untuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan kelas buruh Jerman.
Jadi selain daripada Sosialisme “Sejati” ini menjadi senjata bagi pemerintah-pemerintah itu guna melawan burjuasi Jerman, ia juga langsung mewakili kepentingan reaksioner, kepentingan burjuasi kecil Filistin [40] Jerman. Di Jerman, kelas burjuis kecil, peninggalan abad keenambelas, yang sejak itu senantiasa timbul kembali dalam berbagai bentuk, adalah dasar sosial yang sebenarnya dari keadaan-keadaan yang sedang berlaku.
Mempertahankan kelas ini berarti mempertahankan keadaan-keadaan yang sedang berlaku di Jerman. Kekuasaan industri dan politik dari burjuasi mengancam kelas ini dengan suatu kehancuran - pada satu pihak, karena konsentrasi kapital; pada pihak lain, karena timbulnya proletariat yang revolusioner. Sosialisme “Sejati” timbul untuk membunuh kedua mangsanya ini dengan satu kali pukul. Ia menjalar seperti suatu wabah.
Pakaian yang terbuat daripada jaring laba-laba yang spekulatif, disulam dengan bunga kata-kata indah yang dicelup ke dalam air perasaan hati yang merana, pakaian yang luar biasa ini yang digunakan oleh kaum Sosialis Jerman untuk membalut “kebenaran-kebenaran abadi” mereka yang tidak berharga, yang hanya tinggal kulit dan tulang belaka, dapat memperluas penjualan barang dagangan mereka secara luar biasa di kalangan publik yang semacam itu.
Dan dari pihaknya sendiri, Sosialisme Jerman makin lama makin mengakui panggilan atas dirinya sebagai wakil dari kaum Filistin burjuis kecil yang sombong.
Ia mengumumkan nasion Jerman sebagai manusia teladan dan Filistin kecil Jerman sebagai manusia teladan. Kepada setiap kerendahan budi yang keji dari manusia teladan ini ia berikan pengertian sosialis yang lebih tinggi, yang tersembunyi, yang sungguh bertentangan dengan wataknya yang sebenarnya. Ia telah bertindak sedemikian jauh hingga dengan langsung menentang aliran Komunisme yang “merusak secara ganas”, dan dengan menyatakan kebenciannya yang amat sangat dan tidak berpihak terhadap semua perjuangan kelas. Kecuali beberapa buah saja, segala yang dinamakan publikasi Sosialis dan Komunis yang sekarang (1847) beredar di Jerman termasuk dalam lingkungan literatur yang kotor dan melemahkan semangat ini. [e]
2. Sosialisme Konservatif atau Sosialisme Burjuis
Sebagian dari burjuasi berkehendak memperbaiki kepincangan-kepincangan sosial untuk menjamin kelangsungan masyarakat burjuis.
Ke dalam golongan.ini termasuk kaum ekonomis, filantropis, humanis, golongan yang bertujuan memperbaiki keadaan kelas buruh, organisator-organisator badan amal, anggota-anggota perkumpulan-perkumpulan penyayang binatang, kaum fanatis penganut kesederhanaan, kaum perombak secara tambalsulam dari segala macam corak. Dan lagi bentuk Sosialisme ini telah diolah lebih lanjut dan tersusun menjadi sistim-sistim yang sempurna.
Sebagai suatu contoh dari Sosialisme macam ini boleh disebut Philosophie de la Misère [41] dari Proudhon.
Burjuis Sosialis menghendaki segala kebaikan dan manfaat dari syarat-syarat sosial modern tanpa perjuangan dan bahaya-bahaya yang mesti timbul dari situ. Mereka menginginkan keadaan masyarakat yang sekarang tanpa anasir-anasirnya yang revolusioner dan yang mendatangkan kehancuran. Mereka menghendaki suatu burjuasi tanpa proletariat. Burjuasi tentu saja menganggap dunia di mana ia menjadi yang dipertuan sebagai dunia yang terbaik. Sosialisme burjuis mengembangkan anggapan yang menyenangkan ini menjadi berbagai sistim yang sempurna atau setengah sempurna. Dalam menghendaki supaya proletariat melaksanakan sistim semacam itu, dan supaya dengan demikian langsung memasuki Jerusalem Baru, ia dalam kenyataannya hanyalah menghendaki supaya proletariat tinggal di dalam batas-batas masyarakat yang ada sekarang, tetapi harus melemparkan segala pikiran kebenciannya mengenai burjuasi.
Bentuk yang kedua dari Sosialisme ini yang lebih praktis tetapi kurang sistimatis, mencoba mengecilkan tiap gerakan revolusioner di mata kelas buruh dengan menunjukkan bahwa bukan reform politik semata-mata, tetapi hanyalah suatu perubahan dalam syarat-syarat hidup materiil, dalam hubungan-hubungan ekonomi, yang akan mendatangkan sesuatu manfaat dan keuntungan bagi mereka. Tetapi dengan perubahan-perubahan dalam syarat-syarat hidup materiil, bentuk Sosialisme ini sekali-kali tidak mengartikan penghapusan hubungan-hubungan produksi burjuis, suatu penghapusan yang hanya dapat dilakukan dengan suatu revolusi, tetapi perbaikan-perbaikan administratif yang didasarkan pada terus berlangsungnya hubungan-hubungan produksi ini; maka itu, perbaikan-perbaikan yang sama sekali tidak mempengaruhi hubungan-hubungan antara kapital dengan kerja, tetapi paling banyak, mengurangi beaja dan menyederhanakan pekerjaan administratif pemerintah burjuis.
Sosialisme burjuis mendapat pernyataan yang selaras, jika dan hanya jika ia menjadi suatu susunan kata-kata kosong dalam pidato belaka.
Perdagangan bebas! untuk kepentingan kelas buruh; tarif-bea yang melindungi! untuk kepentingan kelas buruh; perubahan peraturan penjara! untuk kepentingan kelas buruh; inilah kata-kata yang terakhir dan satu-satunya yang sungguh-sungguh dimaksudkan oleh Sosialisme burjuis.
Ia disimpulkan dalam kata-kata: burjuis adalah burjuis - untuk kepentingan kelas buruh.
3. Sosialisme dan Komunisme yang Kritis Utopi
Kita di sini tidak membicarakan literatur yang dalam tiap revolusi besar modern selalu menyatakan tuntutan-tuntutan proletariat, seperti tulisan-tulisan Babeuf [42] dan lain-lainnya. Percobaan-percobaan langsung yang pertama dari proletariat untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri, yang dilakukan dalam waktu kekacauan umum, ketika masyarakat feodal sedang ditumbangkan, percobaan-percobaan ini sudah tentu gagal, oleh karena keadaan proletariat yang belum berkembang ketika itu dan juga oleh tidak adanya syarat-syarat ekonomi untuk kebebasannya, syarat-syarat yang masih harus diadakan dan hanya dapat diadakan oleh zaman burjuis yang akan datang. Literatur revolusioner yang mengikuti gerakan-gerakan yang pertama dari proletariat ini sudah tentu mempunyai watak yang reaksioner. Ia memberikan didikan asetisme universal dan didikan persamaan sosial dalam bentuk yang sangat kasar.
Sistim-sistem yang sesungguhnya dinamakan sistim Sosialis dan Komunis, yaitu sistim-sistem Saint-Simon, Fourier, Owen dan lain-lainnya, timbul pada permulaan masa belum berkembangnya perjuangan antara proletariat dengan burjuasi, seperti diterangkan di atas. (
Karena perkembangan antagonisme kelas adalah sejalan dengan perkembangan industri, maka keadaan ekonomi, sebagaimana yang mereka ketahui, masih belum lagi memberikan kepada mereka syarat-syarat materiil untuk kebebasan proletariat. Oleh sebab itu mereka mencari suatu ilmu sosial baru, mencari hukum-hukum sosial baru, untuk menimbulkan syarat-syarat ini.
Aktivitet mencipta dari mereka sendiri harus menggantikan aktivitet sosial; syarat-syarat untuk kebebasan yang ditimbulkan menurut sejarah harus tunduk pada syarat-syarat yang bersifat khayal; dan terorganisasinya proletariat sebagai kelas yang maju secara berangsur-angsur harus tunduk pada terorganisasinya suatu masyarakat yang diangan-angankan oleh mereka sendiri. Sejarah yang akan datang, menurut pandangan mereka, menjadi propaganda dan penyelenggaraan dalam praktek dari rencana-rencana sosial mereka.
Dalam menyusun rencana-rencananya itu, mereka sudah tentu insyaf bahwa mereka terutama memperhatikan kepentingan kelas buruh sebagai kelas yang paling menderita. Mereka memandang proletariat hanya semata-mata sebagai kelas yang menderita.
Keadaan perjuangan kelas yang belum berkembang itu, maupun keadaan-keadaan sekeliling mereka sendiri, menyebabkan kaum Sosialis semacam ini menganggap dirinya jauh diatas segala antagonisme-antagonisme kelas. Mereka ingin memperbaiki keadaan tiap-tiap anggota masyarakat, bahkan juga keadaan golongan yang sudah paling beruntung. Dari itu, mereka biasa berseru kepada masyarakat seumumnya tanpa membeda-bedakan kelas; bahkan lebih suka berseru kepada kelas yang berkuasa. Sebab, jika sekali orang sudah mengerti akan sistim mereka, bagaimanakah orang itu tak akan melihat di dalamnya rencana yang terbaik dari keadaan masyarakat yang terbaik?
Oleh sebab itu mereka menolak segala aksi politik, dan terutama segala aksi revolusioner; mereka ingin mencapai tuiuan-tujuannya dengan jalan damai, dan berusaha dengan percobaan-percobaan kecil yang sudah tentu gagal, dan dengan kekuatan contoh, untuk membuka jalan bagi ajaran sosial baru ini.
Gambaran-gambaran khayal dari masyarakat masadatang yang semacam itu, yang digambarkan pada masa ketika proletariat masih berada dalam keadaan yang sangat terbelakang dan hanya mempunyai pandangan yang bersifat khayal tentang kedudukannya sendiri, adalah sesuai dengan hasrat-hasrat pertama yang naluriah dari kelas itu untuk pembangunan-kembali masyarakat secara umum.
Tetapi tulisan-tulisan Sosialis dan Komunis ini juga mengandung suatu anasir yang kritis. Mereka menyerang tiap dasar dari masyarakat yang sekarang. Oleh sebab itu mereka memberi bahan-bahan penerangan yang sangat berharga bagi kelas buruh. Tindakan-tindakan praktis yang diusulkan didalamnya - seperti penghapusan perbedaan antara kota dan desa, penghapusan keluarga, penghapusan dijalankannya industri-industri untuk kepentingan perseorangan, dan penghapusan sistim-sumpah, pernyataan tentang persamaan sosial, perubahan fungsi Negara menjadi hanya pengawas produksi saja - semua usul ini semata-mata menunjukkan hilangnya antagonisme-antagonisme kelas yang pada waktu itu baru saja mulai timbul, dan yang dalam tulisan-tulisan ini, baru dikenal hanya dalam bentuknya yang permulaan, yang hanya samar-samar dan tidak tertentu. Oleh sebab itu usul-usul tersebut sama sekali bersifat utopi.
Isi Sosialisme dan Komunisme yang kritis-utopi itu mengandung suatu tujuan yang bertentangan dengan perkembangan sejarah. Bersamaan dengan berkembangnya perjuangan kelas dan bersamaan dengan perjuangan kelas itu mengambil bentuk yang tertentu, maka hilanglah semua arti dalam praktek dan kebenaran teoritis dari pendirian khayal yang menyatakan berada diluar perjuangan, dan demikian juga serangan-serangan yang bersifat khayal terhadapnya. Oleh karena itu, walaupun para pencipta sistim-sistem ini dalam banyak hal revolusioner, pengikut-pengikut mereka senantiasa merupakan golongan-golongan reaksioner semata-mata. Mereka berpegang teguh kepada pandangan-pandangan asli dari guru-guru mereka, bertentangan dengan perkembangan kesejarahan yang progresif dari proletariat. Oleh karena itu mereka mencoba dengan konsekwen memadamkan perjuangan kelas dan mendamaikan antagonisme-antagonisme kelas. Mereka masih memimpikan pelaksanaan percobaan dari utopi-utopi sosial mereka, bermimpi tentang membentuk “phalanstere-phalanstere” [f] yang terpencil, tentang mendirikan “Home Colonies” [g] atau mengadakan suatu “Icaria Kecil” - Jerusalem Baru kecil-kecilan - dan untuk mewujudkan segala lamunan ini, mereka terpaksa meminta belaskasihan dan uang dari kaum burjuis. Ber-angsur-angsur mereka tenggelam kedalam golongan kaum Sosialis konservatif reaksioner yang telah digambarkan di atas, berbeda dengan mereka ini hanya dalam hal bahwa mereka berlagak pintar dengan lebih sistimatis, dan dalam hal kepercayaan mereka yang fanatik dan bersifat ketakhayulan kepada pengaruh yang mentakjubkan dari ilmu sosial mereka.
Oleh karena itu mereka dengan keras menentang segala aksi politik dari pihak kelas buruh; aksi yang semacam itu, menurut mereka, hanya dapat terjadi karena sama sekali tidak percaya kepada ajaran yang baru itu.
Kaum Owenis di Inggris dan kaum Fourieris di Perancis masing-masing menentang kaum Cartis [43] dan kaum Reformis. [44]
IV. Pendirian kaum Komunis dalam hubungan dengan berbagai partai oposisi
Dalam Bab II telah dijelaskan hubungan-hubungan kaum Komunis dengan partai-partai kelas buruh yang ada, seperti kaum Cartis di Inggeris dan kaum Reformer Agraria di Amerika. [45]
Kaum Komunis berjuang untuk mencapai tujuannya yang terdekat, untuk menuntut pelaksanaan kepentingan-kepentingan sementara dari kelas buruh; tetapi dalam gerakan yang sekarang mereka juga mewakili dan memperhatikan masadatang gerakan itu. Di Perancis kaum Komunis menggabungkan diri dengan kaum Sosial-Demokrat [h] menentang burjuasi yang konservatif dan radikal, tetapi dengan memegang teguh hak untuk menentukan pendirian yang kritis terhadap semboyan-semboyan dan ilusi-ilusi yang ditinggalkan turun-temurun oleh Revolusi yang besar.
Di Swis mereka menyokong kaum Radikal [46], dengan tidak melupakan kenyataan, bahwa partai ini terdiri dari anasir-anasir yang antagonistis, sebagian dari kaum Sosialis Demokrat, menurut faham Perancis, sebagian dari kaum burjuis radikal.
Di Polandia mereka menyokong partai yang mendorong revolusi agraria sebagai syarat utama untuk kebebasan nasional, menyokong partai yang mengobarkan pemberontakan Krakau dalam tahun 1846. [47]
Di Jerman mereka berjuang bersama-sama dengan burjuasi selama burjuasi itu bertindak secara revolusioner menentang monarki absolut, tuantanah feodal dan burjuasi kecil. [48]
Tetapi mereka tak pernah berhenti barang sekejappun menanamkan kedalam kelas buruh pengertian yang sejelas mungkin tentang antagonisme yang bermusuhan antara burjuasi dengan proletariat, supaya kaum buruh Jerman dapat langsung menggunakan semua syarat sosial dan politik yang tidak boleh tidak mesti ditimbulkan oleh burjuasi bersama-sama dengan kekuasaannya, sebagai senjata terhadap burjuasi, dan supaya sesudah jatuhnya kelas-kelas reaksioner di Jerman, perjuangan melawan burjuasi itu sendiri dapat segera dimulai.
Kaum Komunis mengarahkan perhatiannya terutama kepada Jerman, sebab negeri itu sedang berada dekat pada saat revolusi burjuis yang mesti akan berlangsung dalam syarat-syarat peradaban Eropa yang lebih maju dan dengan suatu proletariat yang jauh lebih maju daripada proletariat di lnggeris dalam abad ketujuhbelas, dan proletariat di Perancis dalam abad kedelapanbelas, dan oleh karena itu revolusi burjuis di Jerman tidak lain hanya akan menjadi pendahuluan dari suatu revolusi proletar yang segera akan menyusul.
Pendeknya, dimana-mana kaum Komunis menyokong tiap gerakan revolusioner menentang susunan tatatertib sosial dan politik yang sekarang. [i]
Dalam segala gerakan ini mereka mengemukakan masalah milik sebagai masalah yang pokok bagi tiap gerakan, tidak pandang derajat perkembangannya pada waktu itu.
Akhirnya, mereka bekerja dimana saja untuk persatuan dan kerukunan partai-partai demokratis di semua negeri.
Kaum Komunis tidak sudi menyembunyikan pandangan-pandangan dan cita-citanya. Mereka menerangkan dengan terang-terangan bahwa cita-citanya dapat dicapai hanya dangan membongkar dengan kekerasan segala syarat sosial yang sedang berlaku. Biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusi Komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai dunia.
Kaum buruh sedunia, bersatulah!
donesia)
0 Alasan Mengadili Soeharto
Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
WACANA untuk memulihkan nama baik Soeharto kembali disuarakan oleh Partai Golkar, pada saat Indonesia semakin menderita karena persoalan ekonomi yang kian sulit. Seakan-akan mantan Presiden yang berkuasa semasa Orde Baru itu tidak menanggung kesalahan atas keterpurukan ekonomi yang terjadi belakangan ini. Dalam situasi demikian, tuntutan untuk mengadili Soeharto perlu diteriakkan lagi. Tidak perlu ditunda-tunda lagi.
Pada bulan Januari 2003 Komnas HAM telah membentuk Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto. Tim itu telah menyelesaikan laporan bahwa Soeharto terlihat dalam pelanggaran HAM selama ia berkuasa. Setelah tertunda sekian lama, masih penting dan relevan saat ini untuk mengadili mantan orang kuat Orde Baru itu. Mengapa penting segera mengadili Soeharto?
Pertama, sudah diperoleh berbagai indikasi tentang pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Soeharto, baik by commission maupun by omission.
Kedua, pengadilan akan membuktikan bahwa hukum itu tidak pandang bulu. Siapa saja termasuk Presiden bisa diadili. Bila terlaksana, hal ini merupakan angin segar bagi dunia hukum di tanah air yang masih dilanda kemarau berkepanjangan.
Ketiga, proses hukum ini akan mendatangkan kebaikan bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bila dalam persidangan, Soeharto dinyatakan tidak bersalah, namanya akan berkibar lagi di tengah masyarakat. Bila terbukti bersalah, sebaiknya ia diberi amnesti. Dengan demikian ia sehari pun tidak akan menghuni sel penjara seperti halnya putranya Tommy Soeharto.
Keempat, dengan demikian masyarakat tidak berprasangka buruk kepadanya dan keluarganya. Dengan membiarkan kasus ini mengambang, ia akan dicap atau dipandang oleh masyarakat dengan tudingan yang belum tentu tepat seperti melakukan praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dan melanggar HAM. Perlu diakui bahwa ia telah melakukan pembangunan ekonomi yang secara fisik lebih maju daripada Presiden sebelumnya. Namun prestasinya ini—kalau boleh disebut demikian—diliputi awan mendung kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di masa pemerintahannya.
Kelima, bagi bangsa dan negara ini juga baik sekali bila kasus yang menimpa presiden pertama Sukarno tidak terulang lagi. Dulu dengan adanya TAP MPRS no XXXIII tahun 1967 Presiden Sukarno dikesankan membantu kudeta yang mencoba menggulingkan dirinya sendiri. Tentu hal ini tidak masuk akal. Tetapi bagi masyarakat kesannya bahwa ia terlibat dalam G30S. Seandainya Presiden Sukarno diadili tahun 1967 saya yakin ia akan dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Bung Karno meninggal dalam kondisi mengenaskan karena tidak mendapat perawatan kesehatan sebagaimana semestinya. Sekarang keadaannya jauh lebih bagus, Soeharto dengan uang sendiri atau dengan biaya negara mendapat pemeriksaan kesehatan dari dokter terbaik di negeri ini.
Keenam, untuk penulisan sejarah di sekolah, sebaiknya hal-hal yang kelam pada masa lalu dapat diungkapkan. Apakah betul mantan Presiden era Orde Baru yang memerintah lebih dari 30 tahun itu terlibat KKN atau melanggar HAM?
Ketujuh, Soeharto sudah berusia lebih dari 80 tahun. Usia ini sudah melampaui usia rata-rata orang
Kedelapan, Soeharto masih sehat, ia masih sempat membesuk para bekas Menterinya yang sakit seperti Sudharmono atau melayat bila ada mantan pembantunya yang meninggal.
Kesembilan, kini sudah ada fasilitas teleconference, ini dapat dimanfaatkan. Kalau harganya dianggap mahal, pengadilan dilakukan di rumah Soeharto di Cendana. Jaksa senior Djoko Moeljo pernah melakukan hal yang sama di daerah.
Kesepuluh, Orde Reformasi perlu memisahkan diri dan membedakan diri dengan Orde Baru. Caranya dengan memutuskan kesinambungan praktek korupsi dan pelanggaran HAM masa lalu di antaranya dengan mengadili para pelakunya terutama yang termasuk top level.
Pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto ini bukan arena balas dendam. Justru ini demi rasa keadilan jutaan korban yang telah terlanggar haknya sebagai manusia selama ini. Siapa pun yang bersalah harus dihukum.
Bila masih ada rasa dendam, masak tokoh seperti Ali Sadikin mengusulkan agar Soeharto diberi amnesti setelah diadili.
Kalau masih dendam, tentu para korban rezim Orde Baru itu senang sekali bila Soeharto masuk bui, tetapi malahan mereka menyarankan agar kepala negara memberikan pengampunan (seusai proses pengadilan).
Di pengadilan akan terbukti apakah seseorang bersalah atau tidak.Bila kesalahan bersalah dan dijatuhi hukuman, saya pribadi berpendapat sebaiknya ia diberi amnesti oleh Presiden mengingat usianya yang sudah lanjut. Apakah pemberian amnesti itu dikaitkan dengan penyerahan sebagian harganya bagi rakyat itu seperti yang pernah diusulkan Amien Rais itu soal teknis nantilah.
Namun jika terbukti bersalah, dan dihukum, ini merupakan pelajaran yang paling berharga bagi segenap bangsa itu untuk menghormat HAM di dalam menjalankan pembangunan, sekaligus untuk membuktikan bahwa hukum memang tidak pandang bulu.
Tujuannya semata-mata agar pelanggaran HAM itu tidak terulang dan korban jutaan manusia tidak lagi berjatuhan di masa datang. Hanya dengan cara ini bangsa kita dapat menyelesaikan persoalan masa lalu dengan baik dan melangkah ke masa depan dengan tanpa beban sejarah. R
Sabtu,
TAN MALAKA (1897-1949)
GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat
onny Melencio dan Reihana Mohideen
Kritik terhadap Strategi Politik - Militer
Sumber: 'Critique of The Politico-Military Strategy', LINKS ed. 17, Januari-April 2001 |
Penerjemah: Bhono & Erna, November 2001 |
Versi Online: Situs Indo-Marxist (http://come.to/indomarxist), Desember 2001 |
Sejumlah formasi partai di Philipina, seperti PMP (Partai Pekerja Philipina), RPM (Partai Pekerja Revolusioner) dan PMLP (Partai Marxists-Leninists Philipina), mengadopsi strategi "politico-military" (pol-mil) sebagai sebuah reaksi atas strategi perang rakyat berkelanjutan-nya Partai Komunis Philipina (CPP). Hal ini ditegaskan sebagai sebuah kombinasi perjuangan politik dan militer, dengan perjuangan militer memegang peran kedua atau subordinat dari perjuangan politik.
'Pol-mil' biasanya berarti pembentukan sebuah kelompok kecil atau unit bersenjata, kebanyakan di daerah perkotaan, yang menjalankan operasi bersenjata khusus seperti pembunuhan atas seorang pejabat dari kelas penguasa, pengeboman, sabotase, 'pengambilalihan' dan tindakan hukuman lainnya atas seseorang atau kelompok tertentu.
Untuk kelompok-kelompok ini, 'pol-mil' telah dipilih pada level strategi. Beberapa kelompok juga menjalankan strategi dengan mengambil model Vietnam. Saat ini waktunya kita memperjelas isi dari beberapa kombinasi model Vietnam.
Pol-Mil Vietnam
Pemimpin Partai Komunis Vietnam (VCP) memandang pol-mil bukan sebagai strategi melainkan 'sebagai bentuk fundamental atas kekerasan revolusioner' selama perang pembebasan nasional di negara mereka.
Menurut Truong Chinh, seorang anggota politbiro VCP:
...revolusi Vietnam selalu menggunakan kedua bentuk-perjuangan politik da perjuangan bersenjata-pada tahap insureksi dan memenangkan kekuatan...kekuatan bersenjata dikombinasikan dengan kekuatan politik, perjuangan bersenjata dikombinasikan dengan perjuangan politik-sebagai bentuk fundamental dari kekerasan revolusioner di negara kami.[i]1
Bagi VCP, strategi revolusioner terdiri dari menentukan musuh, motif kekuatan revolusioner dan sekutu bagi proletar pada setiap tahap strategi dari revolusi. Pol-mil di sisi lain, adalah sebuah bentuk perjuangan (atau sebuah kombinasi dari bentuk perjuangan) yang biasanya digabungkan dengan taktik.
Disini pointnya adalah untuk menggambarkan perbedaan antara sebuah strategi dan taktik partai. Seandainya ada yang memilih sebuah bentuk (atau kombinasi dari berbagai bentuk) dari perjuangan pada level strategi, resikonya adalah meniadakan atau membuang bentuk aksi terkait lainnya yang juga penting untuk pengembangan tujuan jangka panjang partai (kepentingan terbesar dari strategi). Propaganda dan pembangunan partai , misalnya, sama pentingnya dengan bentuk pol-mil dalam membangun dan mengembangkan muatan revolusioner partai.
Tetapi bahkan jika kita mengambil pol-mil Vietnam sebagai strategi, ada dua hal yang harus kita perjelas:
1. 'Strategi pol-mil' Vietnam bukanlah 'strategi perang rakyat berkelanjutan (PPW)' nya Mao seperti yang selalu diinginkan CPP. Bukan strategi 'Desa mengepung kota', ' membangun basis merah' di desa hingga kekuatan bersenjata revolusioner siap untuk menguasi kekuatan politik di kota-kota penting, 'daerah penting perjuangan adalah di desa' dan lain sebagainya.
Ketakutan demi ketakutan bagi CPP adalah: strategi VCP menjadi insureksioner!-meskipun mengkombinasikan perjuangan politik dan perjuangan militer baik di desa maupun kota. Menurut Truong Chinh, kombinasi ini 'seharusnya tentu saja sebagai kombinasi perjuangan politik (sebagai contoh, pemogokan politik besar-besaran, pemogokan sekolah-sekolah, pemogokan pasar, pemogokan pekerja kantor, pertemuan politik dan demonstrasi, demonstrasi bersenjata untuk menunjukkan kekuatan, dsb) dan serangan bersenjata' di desa dan di kota2
Bagi Vietnam, karakter insureksioner revolusi adalah jelas. Insureksi menegaskan kombinasi pol-mil. Sehingga: 'harus mencapai kombinasi perjuangan militer dan politik hingga ke level tertinggi: kombinasi dari tindakan sebelum, selama dan sesudah insureksi; selama insureksi untuk memenangkan kekuatan seperti dalam perang untuk pembebasan; di desa dan kota demikian juga antara kota dan desa; dalam merancang operasi, taktik dan strategi dalam perang pembebasan. Bentuk tertinggi dari kombinasi ini adalah penyerangan besar-besaran dengan insureksi besar-besaran3
2. 'Strategi pol-mil' Vietnam bukan berarti kombinasi dari keduanya di segala bidang. Bagi Truong-Chinh, 'Dari 1936 hingga 1939, saat menghadapi bahaya fasisme dan perang agresif oleh fasis, dan menyiapkan berbagai kesempatan untuk melawan musuh, partai kita menjadi basis bagi pembangunan 'kekuatan politis' massa. Hal ini berarti kemampuan untuk mengkombinasikan aksi legal dan ilegal, 'Termasuk penggunaan Ruang Perwakilan Rakyat' dan 'Dewan Kolonial', dsb, untuk memicu sebuah gerakan atas perjuangan politik dari kota ke desa'4
Jadi, hal ini hanya selama pendahuluan perang dunia kedua bahwa pemberontakan bersenjata mulai bersikap di Vietnam. Dari situ, Truong-Chinh berkata:
Partai kita dimajukan dari perjuangan politik menjadi mobilisasi untuk perjuangan bersenjata, dari organisasi massa politis menjadi bangunan kekuatan paramiliter rakyat (self defence units untuk pembebasan nasional, unit pertempuran pertahanan diri, unit gerilyawan dari pasukan pembebasan nasional dan pasukan pembebasan). Sebagaimana kombinasi kedua bentuk perjuiangan politik dan bersenjata selama tahun-tahun persiapan untuk pemberontakan, selama masa sebelum pemberontakan dan tepat pada bulan Agustus 1945 pemberontakan besar5
Di Vietnam, kombinasi kedua bentuk perjuangan politik dan bersenjata lahir selama perang pembebasan nasional pada tahun 1939-1945 ( dan diakhiri oleh revolusi Agustus yang gemilang). Dan kemudian bentuk kombinasi dilakukan kembali pada saat agresi penjajah Perancis pada tahun 1945-1954. Pada periode ini, Truong menyebut, 'Kekerasan revolusioner rakyat terwujud dalam kombinasi perjuangan politik dan bersenjata, dengan menonjolkan perjuangan bersenjata'6
Jadi jelas bahwa meskipun kombinasi perjuangan politik dan bersenjata merupakan bentuk fundamental dari kekerasan dalam revolusi Vietnam, 'Begitu juga mereka (menonjol) menurut situasi konkrit yang berlaku dalam tiap periode atau tiap daerah'7
VCP berlaku sangat spesifik selama periode saat kombinasi pol-mil menjadi bentuk pokok revolusioner. Pol-mil dijalankan kembali saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Perancis (yang memimpin pembebasan wilayah utara) dan selama agresi imperialis Amerika di wilayah selatan. VCP mencatat bahwa 'strategi' dikembangkan tidak hanya dengan kombinasi perjuangan politik dan militer saja, tetapi juga dengan membangun perjuangan diplomatik.
Saat yang tepat untuk memulai perjuangan bersenjata atau militer lebih jauh diperjelas kembali oleh pimpinan VCP:
Dalam rangka revolusi, seseorang mutlak harus memobilisasi massa untuk melakukan perjuangan politik dalam segala bentuk, dengan demikian mendidik, membesarkan hati dan mengorganisir mereka; mengembangkan partai dan organisasi politik massa (untuk membangun 'tentara politis massa'. Hanya pada beberapa hal, saat kondisi bervariasi, seseorang harus membangun kekuatan bersenjata rakyat revolusioner dan memicu sebuah perjuangan bersenjata. Organisasi politis massa membentuk basis kekuatan tentara rakyat.8
Pol-Mil Filipina
Karenanya, 'strategi pol-mil' menjadi maju oleh sejumlah kelompok kiri di Filipina (sebenarnya beberapa kelompok lebih banyak bicara daripada perbuatan) secara substansi berbeda dengan model Vietnam. Menunjukkan sekali lagi kecenderungan beberapa kelompok untuk menciptakan sebuah skema 'mendunia' sebuah bentuk strategi tanpa mempertimbangkan situasi atau konteks yang mana sebuah bentuk telah terbangun secara sukses.
Strategi pol-mil versi Filipina memasukkan formasi kelompok gerilyawan kota yang menjalankan operasi 'pertempuran tunggal' melawan perwakilan individu atau institusi kelas penguasa dalam bentuk pembunuhan, pemboman, sabotase, 'pengambilalihan' dan tindakan hukuman lainnya.
Hebatnya, tujuan dari tindakan ini diakui untuk membantu atau menstimulasi aksi massa, meskipun sejumlah tindakan memberi dampak dramatis, seperti pengakuan RPM atas pengeboman sebuah perusahaan minyak pada saat harga minyak meningkat, atau sebagai sebuah 'pelajaran' atau 'penghindaran lebih dulu' dari kapitalis dan polisi yang menyerang buruh dengan kekerasan, seperti kebanyakan operasi yang dijalankan oleh Alex Boncayao Brigade (ABB) di daerah industri Metro Manila. ('Pengambilalihan' adalah hal lainnya, yang bertujuan untuk mendapatkan dana bagi gerakan revolusioner)
Samasekali tidak memberi dampak politik yang jelas dan jauh dari gerakan massa, aksi-aksi ini, bagaimanpun juga, memiliki tendensi menjadi ultra-kiri dan lebih sebagai ukuran menyedihkan daripada menambahkan bagian dari perjuangan politik.
Disini strategi pol-mil-atau lebih bergengsi dengan komponen militer sebagai strategi-merujuk pada tindakan teror individu yang diciptakan untuk mengacaukan negara, menciptakan dampak dramatis, memberi 'peringatan' atau 'pelajaran' pada kapitalis dan polisi dan menekan kelas penguasa atau perwakilan individu) untuk mengubah kebijaksanaan yang sesuai dengan massa atau gerakan massa
Terorisme dan Teror sebagai taktik
Komponen pol-mil dalam strategi ini berarti menggunakan teror sebagai sebuah bentuk kekerasan revolusioner melawan kekerasan reaksioner oleh negara mewakili kelas penguasa. Marxis memahami kebutuhan akan kekerasan revolusioner dan oleh karenanya tidak menentang penggunaan teror (atau aksi gerilya) di kota dan desa jika situasi membutuhkan semacam tindakan. Tetapi kita harus memperjelas kondisi dan syarat-syaratnya yang mengijinkan dilakukannya suatu tindakan.
Pertama, kita perlu mengklarifikasi pandangan kita mengenai terrorisme atau aksi terror yang ditingkatkan pada level strategi.
Dalam kondisi Philipina, kita bisa menyebut sebagai sebuah contoh strategi menghasut dengan gerakan menyulut sebuah peperangan, sebuah kelompok SosDem, pada saat periode kediktatoran Marcos. Strategi selanjutnya dengan meningkatkan aksi pembakaran rumah, peledakan bom, dsb, dengan tujuan untuk mengacaukan dan melumpuhkan perangkat perang rezim" sejak protes damai tidak dimungkinkan dalam sistem ini". Tipe terrorisme ini bukan kaum proletar tapi kaum bourjuis kecil, individualis dan gaya tindakan elitis. Seperti liberalisme, hal ini menunjukan kurang kepercayaan diri yang fundamental atas potensi massa untuk mencapai perubahan politik atau sosial melalui aksi mereka sendiri. Terrorisme sebagai sebuah strategi yang tidak memiliki tempat dalam gerakan sosialis revolusioner atau gerakan Marxis.
Kedua, tentang terror sebagai sebuah taktik. Mampukah sebuah gerakan Marxis mengadopsi terror sebagai sebuah gaya tindakan meskipun bersifat sekunder atau subordinat terhadap perjuangan politik (lebih tepatnya apa yang disebut strategi Pol-Mil kita)?
Apabila menjadi sekunder atau subordinat terhadap strategi perjuangan politik "berarti bahwa tujuannya adalah untuk menstimulai atau mengilhami perjuangan massa, apa yang dikatakan Lenin selama perdebatan panjang dengan kaum bourjuis kecil sosialis revolusioner pada th 1902. Lenin mengkritik mereka atas pembunuhan pejabat Tsar kaum Sipyagin (meskipun dia mengakui tindakan itu sebagai sebuah tindakan yang menarik simpati paling tidak seluruh kesadaran politik kaum pekerja). Lenin mengklarifikasi sikap oposisinya:
Tanpa sedikitpun mengingkari kekerasan dan terrorisme secara prinsipil-kami tidak menolak penggunaan aksi terror secara prinsipil (SM)-, kami dituntut kerja untuk mempersiapan semacam pasukan terhadap kekerasan sebagaimana yang telah diperhitungkan untuk menimbulkan partisipasi langsung dari massa dan yang menjamin partisipasi itu.9
Lenin memperlihatkan bahwa jenis tindakan "perang tunggal" kaum sosialis revolusioner ini telah dengan segera berdampak terhadap menciptakan sebuah sensasi kehidupan yang pendek, sementara secara tidak langsung hal itu menimbulkan sikap tak acuh dan penantian yang pasif (terhadap massa) untuk penderitaan selanjutnya.10
Trotsky, yang menjadi komandan Tentara merah pada saat Revolusi Rusia, menilainya dalam pengertian :
Terrorisme individu justru tidak dapat diterima sebagai alasan bahwa itu menurunkan massa dalam kesadaran mereka sendiri, satukan ketidakberdayaan mereka dan balikan mata mereka dan berharap untuk sebuah kekuatan besar penuntut balas dan pembebas yang suatu hari akan datang dan menyelesaikan misinya.11
Dia menambahkan:
Partai kaum proletar bukan mengambil metode secara artifisial seperti membakar gudang, merencanakan pemboman, sabotase kereta api, dll. agar supaya mampu menaklukan pemerintahannya sendiri. Meskipun sukses...penaklukan dengan cara militer tidak akan membawa pada kesuksesan revolusioner, sebuah kesuksesan yang sesungguhnya hanya oleh gerakan independen kelas proletar12 .
(Beberapa kelompok mungkin mendapatkan kutipan Trotsky kami yang bisa di cela dan menjadi bukti bahwa kami kaum Trotsky-sebuah fitnah yang berkembang terhadap kami oleh CPP. Cukup untuk dikatakan bahwa kami mengetahui kami kaum Trotsky. Kami mengkritik keras terhadap pandangan terakhir tentang"revolusi permanen" sementara kami mengakui kontribusinya yang besar sekali terhadap teori Marxis karya-karyanya seperti Sejarah Revolusi Rusia dan Revolusi Dikhianati).
Hal ini juga mencatat pelajaran bahwa antara sebuah operasi militer yang heroik (dari 'tipe perang tunggal) dan sebuah demonstrasi politis, Lenin mempertimbangkan yang terakhir sebagai sebuah 'aksi revolusioner sejati' dibandingkan dengan sebelumnya. Selama pemogokan di Rostov on Don (1902) di mana 6 pekerja terbunuh dan upacara pemakaman mereka sebagai alasan untuk demonstrasi politik para pekerja, Lenin melakukan ini untuk mengatakan menentang pernyataan dari kaum Sosialis Revolusioner bahwa pekerja itu mati dengan sia-sia begitu saja:
(SR mengatakan bahwa) Hal itu mungkin bisa lebih bijaksana jika ke enam kawan yang telah menyerahkan hidupnya dalam sebuah upaya dalam kehidupan individual polisi yang kejam... bagaimanapun, kami berpendapat bahwa hanya gerakan massa (demonstrasi politik-SM), di mana kesadaran politik dan aktivitas revolusioner yang terus meningkat secara terang-terangan menyatakan pada seluruh klas pekerja, yang layak disebut tindakan revolusioner sejati dan mampu sungguh-sungguh mendorong setiap orang yang berjuang demi revolusi Rusia.13
Ketika terror bisa diterima
Jika Marxis menolak terrorisme sebagai strategi dan bahkan menolak terror sebagai taktik, Kapan penggunaan aksi terror bisa diterima?
1. Menurut Lenin, ketika berdasarkan perhitungan yang menimbulkan keterlibatan langsung massa dan menjamin keterlibatannya. Berarti, pada saat sebuah tindakan kecil militer yang mendukung aksi massa, ketika menjadi subordinat pada dan ditopang oleh aksi yang poulis atau oleh perjuangan massa. Ketika pada kenyataanya hampir sebagian dari gerakan massa, atau ketika aksi itu sendiri adalah permulaan untuk mendapatkan suatu karakter massa. Bagi Lenin:
Terror merupakan salah satu dari bentuk tindakan militer yang mungkin benar
benar cocok dan essensial pada kepastian waktu dalam peperangan, memberikan kepastian negara terhadap pasukan dan adanya kepastian kondisi. Tetapi poin yang penting adalah bahwa terror, pada saat ini, (perhatikan, siapa saja yang mengakui strategi PolMil !-SM) adalah bukan berarti mengusulkan seperti sebuah operasi tentara di medan pertempuran, sebuah operasi yang lebih dekat hubungannya dengan dan diintegrasikan pada seluruh sistem perjuangan, tapi sebagai sebuah bentuk serangan berkala yang independen tidak berhubungan dengan angkatan bersenjata apapun14 .
Hal ini yang dikenal dan disebut Lenin untuk penerapan aksi gerilya pada 1905-1906 (contoh; selama puncak revolusi rusia I). Tetapi kemudian Lenin mengenal ini sebagai "bagian, bersifat sekunder dan alat bantu pada bentu utama dari perjuangan massa (yang mengambil bentuk karakter memobilisasi massa) seperti pemogokan yang politis dengan perlawanan barikade lokal, perlawanan barikade massa dan pemberontakan bersenjata, perjuangan parlementer damai, pemberontakan sebagian militer, pemberontakan sebagian petani. 15
Dalam kecamannya pada kaum populis SR (yang telah membangun "daerah otonomi dan kelompok bersenjata bawah tanah" melakukan operasi militer di kota-kota), Lenin mengatakan bahwa hanya ketika RSDLP (Partai Sosialis Revolusioner Rusia Lenin) yang langsung memimpin massa yang mampu merapikan perjuangan bersenjata jalanan.16
Bagi kaum Marxis, sudah jelas bahwa tindakan terrorisme itu (aksi gerilya) harus menjadi subordinat dan disokong oleh perjuangan massa. Sebagaimana terrorisme di sini tidak akan lama halnya. Perbedaannya adalah sangat fundamental ketika hal itu menjadi bagian dan paket terhadap meradikalisasi gerakan massa.
2. Selama periode "tahap revolusioner terbuka",masing-masing; periode insureksi, kebangkitan atau perang sipil. Kondisi ini menjadi faktor utama dalam mendorong sebagian kecil aksi militer yang membantu aksi massa. Bagaimanapun, aksi ini terpisah dari perjuangan massa dan hanya sebagai pelampiasan/kenekatan sekelompok kecil atau beberapa individu, misal; kaum Ultra Kiri dalam karakter politiknya. Aksi semacam itu tidak memajukan tapi hanya menghalangi perkembangan perjuangan massa saja.
Jika semangat insureksi diantara massa merupakan syarat bagi perjuangan PolMil, suatu situasi perang sipil merupakan syarat untuk tumbuh dan berhasil baik. Perang sipil adalah sebuah perang, dan sudah menjadi hukumnya. Dalam perang sipil, peledakan bom, sabotase, dan bentuk-bentuk terror lainnya tidak dapat dihindari. Perang sipil merupakan suatu macam situasi perjuangan massa yang paling besar, dan biasanya ditandai oleh kombinasi pemberontakan spontanitas di tingkat lokal, sebuah kudeta berdarah oleh kekuatan kontra-revolusioner, pemogokan umum yang revolusioner, insureksi untuk merebut kekuasaan dan lain-lain.
Perang sipil merupakan situasi puncak dari perjuangan massa, yang meliputi tidak hanya situasi pra-revolusioner tapi sebuah satu keutuhan revolusioner dimana masalah merebut kekuasaan negara merupakan tujuan sesungguhnya bagi massa. Lalu, kita dapat memetakan situasi yang berkenaan pada tingkat perjuangan massa, atau di tingkat luas
CATATAN KRONOLOGIS SEKITAR PERISTIWA GERAKAN G.30 S/PKI
Di bawah ini adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa baik yang saya alami maupun saya ketahui sekitar gerakan G.30S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan numerik dapat saya tuliskan disini sbb.:
Pertama, pada tanggal 1 oktober 1965 kurang lebih jam 06.00 pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brig.Jen Dr. Amino (Ka.Dep.Psychiatri RSGS Jakarta) yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Let.Jen. A.Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.
Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat diantara para asisten Men./pangad atau wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari asisten Men.Pangad sampai asisten VII Men.Pangad termasuk Irjen P.U dan Pejabat Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam: 09.00 saya menerima laporan dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima tertinggi untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.
Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal: 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita tentang penunjukkan saya untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan-utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.
Oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis dibawah May.Jen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan tanpa seidzin May.Jen. Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i] mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l. jam: 19.00 saya dipanggil rapat oleh Jenderal Nasution, KSAB di Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh May.Jen Soeharto, May.Jen Moersyid, May.Jen Satari dan Brig.Jen Oemar Wirahadikusumah.
Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai carataker Men./Pangad, yang selanjutnya menanyakan kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya bersedia.
Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba May.Jen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti yang pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers saya tunda waktunya.
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor . Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid, M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari (Daily Duty).
Ketujuh, tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka May.Jen Soeharto diangkat menjadi kepala staf AD dengan membentuk susunan stafnya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD.
Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966 atas perintah KASAD May.Jen Soeharto saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dengan tuduhan terlibat dalam G.30-S/PKI, dengan surat perintah penangkapan/penahanan No.37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.
Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, tersebut dalam surat Perintahnya No.Print. 018/TP/3/1966 saya mendapatkan perobahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret 1966.
Kesepuluh, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.
Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.
Keduabelas, atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari tahanan pada tanggal16 Februari 1981.
Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas) tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari tanggal 16 Februari 1966 sampai pada tanggal 16 Februari 1981.
Ketigabelas, selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas tahun itu, saya merasa belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi. Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di lakukan oleh Tim Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Keempatbelas, untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G.30-S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai "dedengkot" nya G.30-S/PKI dari segala aspek.
Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini.
Saya harus mengetahui diri, ditempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa di rumah.
Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang akibatnya dapat merugikan diri.
Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota , yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.
Jakarta , 1 April 1989
Pembuat catatan kronologis,
Ttd.
Pranoto Reksosamodra.
Sumber dari buku : Memoar Mayor Jendral Raden Pranoto Reksosamodra.
BAGIAN KE ENAMBELAS
Halaman 245 sampai dengan 255, ipX. TENTANG PENGGABUNGAN ANTARA KERJA LEGAL DAN ILLEGAL
52. Pekerjaan sehari‑hari Partai Komunis berubah sesuai dengan perkembangan tahap proses revolusioner. Pada dasarnya, baik partai legal ataupun ilegal harus mengarahkan pada tipe yang sama dari struktur partai.
Partai harus diorganisasi sedemikian rupa sehingga ia selalu berada dalam posisi mampu menyesuaikan diri secara cepat dalam setiap perubahan kondisi perjuangannya.
Partai Komunis harus berkembang menjadi organisasi perjuangan, yang pada satu sisi, mampu menghindari perjuangan terbuka melawan musuh yang lebih unggul kekuatannya, dan disisi lain mampu mengambil keuntungan dari kelemahan musuh serta menyerangnya dari sudut yang paling tidak diduga olehnya. Adalah suatu kesalahan besar bagi partai untuk mempertaruhkan segala‑galanya pada pemberontakan, pertempuran‑pertempuran jalanan maupun aksi
53. Partai-partai Komunis legal di negeri-negeri kapitalis biasanya tidak memahami pentingnya pekerjaan untuk menyiapkan partai dalam menghadapi penggulingan revolusioner, perjuangan bersenjata dan perjuangan illegal.
Partai-partai semacam ini tidak dipersiapkan untuk melakukan pekerjaan illegal, mereka menganggap bahwa mereka bisa bekerja secara legal dalam periode waktu yang panjang. Oleh karena itu, struktur yang mereka susun hanya untuk memenuhi kebutuhan perjuangan legal sehari-hari.
Di lain pihak, partai-partai illegal, sering tidak trampil untuk merebut peluang aktivitas politik legal. Padahal aktivitas legal inilah yang memungkinkan partai untuk menjalin kontak yang sesungguhnya dengan
Kedua kecenderungan di atas adalah salah dan harus diluruskan. Setiap Partai Komunis legal harus diorganisasi sedemikian rupa sehingga, jika ia harus bekerja di bawah tanah, ia akan siap untuk melanjutkan perjuangannya. Dan, di atas segala-galanya, ia pun harus selalu bersiaga untuk menghadapi pecahnya revolusi. Sebaliknya setiap Partai Komunis illegal harus merebut peluang politik yang diciptakan oleh perkembangan gerakan buruh legal, sehingga, dengan bekerja keras, ia akan sanggup mengorganisasi dan memberikan kepemimpinan yang sesungguhnya terhadap massa revolusioner. Arahan politik bagi kerja legal maupun illegal tetap berada di tangan satu sentral partai.
54. Di kalangan partai legal maupun illegal sering muncul pandangan bahwa pekerjaan organisasional, Komunis bawah tanah (illegal) adalah bertujuan membentuk dan menjaga organisasi militer tersendiri, yang terpisah dari aspek-aspek pekerjaan dan organisasi partai lainnya. Ini adalah pandangan yang salah. Selama periode pra-revolusi, pembentukan organisasi militer kita harus dituntaskan melalui kerja Partai Komunis secara keseluruhan. Partai sendiri secara keseluruhan, harus menjadi organisasi ala militer yang berjuang demi revolusi.
Jika pembangunan organisasi-organisasi militer revolusioner ini dilakukan secara terpisah dan prematur, mereka akan cenderung mengalami demoralisasi dan kehancuran karena tidak ada arahan kerja langsung dari partai.
55. Tentu saja merupakan hal yang penting bagi partai illegal untuk melindungi para anggota dan organisasinya selama kampanye politik tertentu. Perlindungan yang dimaksud adalah untuk mencegah penyusupan agen-agen polisi rahasia, yakni dengan cara penyimpanan daftar anggota secara rahasia, penarikan iuran dan distribusi bahan bacaan secara, hati-hati dan sebagainya. Partai illegal tidak bisa begitu saja menggunakan bentuk-bentuk organisasi yang terbuka, seperti yang diterapkan dalam partai-parta1 legal, untuk menjalankan kerja konspirasinya. Akan tetapi, melalui praktek ia dapat mempelajari penggunaan metode kerja terbuka ini.
Setiap tindakan harus dilakukan untuk mencegah bergabungnya orang-orang yang tak terpercaya ke dalam partai. Penggunaan metode-metode ini tergantung dari tingkat legalitas maupun illegalitas partai. Salah satu metode yang banyak memberikan hasil secara memuaskan adalah sistem pencalonan. Hal ini telah terbukti di banyak tempat dan bisa diterapkan di bawah sejumlah kondisi tertentu. Sistem pencalonan ini dilakukan sesuai rekomendasi yang diberikan oleh satu atau dua kawan anggota partai. Sementara itu, keanggotaan penuh hanya akan diberikan jika calon yang bersangkutan telah berhasil menjalankan tugas partai yang diberikan kepadanya.
Kaum borjuasi secara tak terelakkan akan berusaha menyusupkan mata-mata maupun agen‑agen provokatornya ke dalam organisasi illegal. Elemen-elemen seperti ini harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan kecermatan.
Metode untuk memerangi antek mata-mata borjuasi tadi adalah dengan menggabungkan pekerjaan illegal dan legal mereka secara maksimum. Ujian yang paling baik untuk memilih siapa-siapa saja yang bisa diandalkan, berani, sungguh-sungguh berkesadaran revolusioner, enerjik, berketrampilan dan dapat dipercaya dalam kerja-kerja illegal adalah dengan cara menempatkan orang-orang tersebut dalam pekerjaan revolusioner legal, dalam jangka yang relatif panjang.
Partai
56. Oleh karena itu, seluruh pekerjaan partai harus dilakukan sedemikian rupa sehingga ia mampu bersiaga dalam situasi pra-revolusioner, yakni meletakkan dasar-dasar yang kuat dan mengkonsolidasikannya demi kepentingan revolusi. Adalah sangat penting bagi pimpinan Partai Komunis, sebagai pimpinan seluruh aktivitas organisasi, harus dibimbing dengan persyaratan-persyaratan revolusioner, sehingga ia akan jelas menentukan langkah apa yang harus diambilnya. Ini bukanlah tugas yang mudah, namun bukan alasan bagi kepemimpinan Komunis untuk mengabaikannya.
Bahkan sebuah partai yang terorganisasi dengan baik pun akan dihadapkan pada situasi yang sulit dan rumit, jika dituntut melakukan perubahan fungsi secara besar-besaran. Hal ini utamanya terjadi selama periode peningkatan situasi revolusioner. Partai kita akan dituntut memobilisir seluruh kskuatannya dalam jangka beberapa hari saja untuk menghadapi perjuangan revolusioner. Dan seringkali dalam waktu yang singkat partai tidak hanya dituntut untuk mengerahkan kekuatannya sendiri namun ia harus juga mengerahkan organisasi-organisasi lain yang bersimpati kepada partai maupun
57. Organ kepemimpinan sentral revolusi seringkali terbukti tidak mampu menjalankan tugas-tugasnya dalam menghadapi situasi revolusioner. Sejauh menyangkut pekerjaan‑pekerjaan di basis
Kelemahan-kelemahan seperti ini tidak bisa dihindari jika partai tidak mengorganisasi grup khusus untuk menjalankan pekerjaan ini. Intelejen militer membutuhkan training khusus dan pengetahuan praktis. Untuk itu, kegiatan kontra-intelejen pun membutuhkan hal yang sama dalam menghadapi agen‑agen polisi rahasia.
Sebuah sistem komunikasi rahasia hanya akan berfungsi secara efesien dan handal jika ia telah dioperasikan dalam jangka yang relatif panjang. Untuk menangani aktivitas revolusioner yang khusus ini, setiap Partai Komunis perlu melakukan persiapan, sekecil apa pun itu.
Dalam sejumlah kasus, sistem ini bisa dikerjakan dengan cara‑cara legal, yakni dengan memanfaatkan aparatus-aparatus tertentu, sebagai contoh: aparatus bawah tanah yang mengorganisas1 jasa pelayanan pos dan informasi, transportasi, akomodasi dan semacamnya, bisa kita bangun melalui kerja pendistribusian selebaran-selebaran legal atau melalui hubungan
58. Organisator Komunis harus memperlakukan setiap anggota partai dan pekerja revolusionernya sebagai prajurit militan masa depan yang akan menghadapi pecahnya revolusi. Oleh karenanya, organisator harus menempatkan kaum buruh dalam seksi partai serta memberinya tugas yang akan melatih mereka dalam peranannya di perjuangan dan posisinya di masa depan. Tugas yang diberikan haruslah berdaya guna, yang benar-benar dibutuhkan organisasi, dan bukan sekedar menjadi ajang penempaan yang tidak dimengerti anggota. Yang harus dicamkan adalah bahwa, bagi setiap Partai Komunis, ini merupakan cara persiapannya yang terbaik untuk menghadapi tugas-tugas besar yang menghadang mereka dalam perjuangan finalnya. Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 [Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita]
Oleh Eep Saefulloh Fatah
Universitas
(eepsf@yahoo.com.)
Salah satu episode sejarah kita yang masih remang-remang, bahkan gelap, dan karenanya mengundang kontroversi yang tak habis-habis hingga kini adalah “Gerakan 30 September 1965” (G30S1965) – atau “Gerakan 1 Oktober” (Gestok), atau apapun Anda mau menamainya *[1]. Salah satu pertanyaan utama yang jawabannya hingga sekarang masih kabur dan menggantung adalah: Siapa sesungguhnya dalang dari gerakan itu? Partai Komunis Indonesia (PKI), Sukarno, Soeharto, Angkatan Darat (AD), kekuatan(-kekuatan) asing, atau siapa?
Di masa Orde Baru, ketika negara memposisikan dirinya sebagai pemonopoli tafsir atas sejarah, kita hanya diperkenankan mengakses satu versi tunggal produk negara. Menurut versi ini, pihak yang paling bertanggung jawab atas G30S1965 adalah PKI. Singkatan G30S/PKI pun dimassalkan sebagai penamaan resmi peristiwa itu.
Sepeninggal Soeharto, dalam rentang waktu lebih dari tujuh tahun ini, negara tak lagi berkuasa menjadi pemonopoli tafsir atas sejarah. Maka beragam versi tentang episode gelap sejarah ini pun mulai termasalkan, bisa diakses secara leluasa oleh masyarakat. Berbagai literatur yang berusaha memotret peristiwa tersebut dengan perspektif yang beragam dan dalam beberapa hal saling bertentangan, diterjemahkan dan diterbitkan ulang. Belakangan, kekayaan pemahaman kita atas peristiwa itu bahkan diperkaya dengan terbitnya sejumlah memoir, biografi dan otobiografi yang ditulis oleh atau tentang tokoh-tokoh yang sedikit banyak berkaitan – langsung maupun tidak – dengan peristiwa itu. Maka, sebetulnya secara otodidak siapapun bisa melakukan rekonstruksi atas episode sejarah yang belum juga terang itu.
Sekalipun demikian, sejatinya belum ada upaya resmi, terlembagakan yang sungguh-sungguh, sistematis, terorganisasi, seksama untuk melakukan rekonstruksi sejarah di seputar peristiwa tragis itu. Tulisan ini berusaha menggarisbawahi urgensi rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 untuk mendudukkan sejarah secara patut sebagai pijakan penting bagi perebutan masa depan yang lebih demokratis, adil, dan terbuka.
Memfokuskan diri pada diskusi soal dalang G30S1965, tulisan ini akan dibuka dengan pengungkapan kembali berbagai versi yang sempat beredar tentang G30S1965. Bagian berikutnya merekonstruksikan perdebatan yang terjadi di penghujung Orde Baru (akhir 1980-an hingga akhir 1990-an) yang dikristalisasi oleh terbitnya versi resmi Orde Baru yang lebih dikenal sebagai Buku Putih. Akhirnya, akan digarisbawahi unsur-unsur gelap dalam sejarah G30S1965 yang masih tersisa sepeninggal Soeharto hingga hari ini. Masih terus tersisanya sisi-sisi gelap ini menggarisbawahi betapa penting dan mendesaknya rekonstruksi sejarah atas peristiwa G30S1965 itu.
*[1] Tulisan ini akan menggunakan istilah Gerakan 30 September (G30S) sebagai istilah yang netral, bertolak dari fakta sejarah bahwa geger berdarah di tahun 1965 ini memang bermula secara konret dari gerakan yang terjadi pada 30 September 1965. Istilah lain, misalnya G-30-S/PKI, akan digunakan sejauh memang tercantum dalam kutipan langsung dari literatur yang digunakan.
Beragam Versi
Sebagai sebuah peristiwa besar, G30S1965 telah mengundang perdebatan politik dan akademik yang cukup ramai. Berikut adalah beberapa contoh analisis terkemuka mengenai peristiwa berdarah itu yang ditulis oleh beragam kalangan dengan beragam perspektif.
[1] Artikel Hall dan Cornell Paper
Tak lama setelah peristiwa G30S1965, setidaknya ada dua analisis yang muncul dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Reader's Digest edisi November 1966, Clerence W. Hall menggambarkan G30S1965 sebagai manuver PKI dan Sukarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah mereka susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Sukarno adalah dalang di belakang peristiwa berdarah itu.
Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper; makalah Benedict R.O.G. Anderson dan Ruth McVey berjudul A Preliminary Analysis of The
Banyak yang meragukan kesahihan artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih menyidangkan para pelaku G30S1965 dan banyak dokumen belum terungkap. Wajar jika Cornell Paper -- yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall -- pun mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.
[2] Bantahan terhadap Cornell Paper
Dari dalam negeri, dua tahun setelah publikasi Cornell Paper, muncul bantahan dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh melalui buku The Coup Attempt of The September Movement in Indonesia (1968). Ismail Saleh dan Notosusanto membantah versi
Menurut versi ini, Angkatan Darat sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa berdarah itu. Dengan begitu, versi ini membantah analisis
Pada tahun yang sama (1968) terbit pula buku John Hughes berjudul The End of Soekarno. A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Buku ini menunjukkan G30S1965 lebih sebagai kup PKI daripada persoalan intern Angkatan Darat. Hughes -- sebagaimana Ismail Saleh dan Notosusanto -- melihat militer sebagai penyelamat keadaan, bukan dalang di belakang tragedi besar itu.
Bantahan terhadap Cornell Paper juga datang dari Anthonie C.A. Dake melalui dua karyanya: In The Spirit of Red Banteng dan The Deviuos Dalang: Sukarno and the So-Called Untung Putch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Dake menilai bahwa Sukarno lah dalang G30S1965. Sukarno -- menurut Dake -- tidak sabar menghadapi tokoh-tokoh Angkatan Darat yang tidak suka program revolusinya. Melalui konspirasinya dengan kekuatan komunis -- "musuh" Angkatan Darat sepanjang Demokrasi Terpimpin -- Sukarno merasa perlu untuk melakukan "pembersihan".
Versi Dake tersebut memperoleh dukungan antara lain dari David Lowenthal seorang profesor ahli Soviet-Jerman. Dengan mendasarkan diri pada dokumen-dokumen otentik pemeriksaan Widjanarko, Lowenthal menunjukkan secara eksplisit keterlibatan Sukarno dalam G30S1965. Menurut Lowenthal -- sebagaimana dikutip Soerojo (1989; xxvii) -- Sukarno mengkreasi peristiwa itu untuk menghilangkan kerikil-kerikil yang mengganjal jalannya "revolusi yang belum selesai".
[3] Keterlibatan Amerika
Versi lain mengungkapkan CIA sebagai dalang di belakang peristiwa G30S1965. Versi ini antara lain diungkapkan melalui sebuah tulisan Peter Dale Scott -- Guru Besar Universitas
Setelah publikasi versi Dale, pada Juli 1990, kontroversi soal keterlibatan CIA kembali diungkap oleh Kathy Kadane, wartawati kantor berita States News Service Amerika Serikat. Kadane menyatakan bahwa CIA lah yang memberikan daftar 5000 nama tokoh PKI kepada TNI Angkatan Darat pada 1965. Tokoh-tokoh yang ada dalam daftar itulah yang kemudian dihabisi seusai kegagalan G30S1965.
Sebelum muncul artikel Kadane, ada bahan lain yang mengungkapkan keterlibatan CIA, yakni buku CIA-KGB yang ditulis oleh Celina Beldowska dan Jonathan Bloch (1987). Dalam buku ini tertulis tegas: "pada 1965, CIA dengan sukses mengorganisir kampanye propaganda untuk menggulingkan Sukarno".
Dua belas tahun sebelum terbitnya buku Beldowska dan Bloch -- tepatnya April 1975 -- dalam Konferensi "CIA dan Perdamaian Dunia," Winslow Peck (analis intelijen Dinas Keamanan AU Amerika) secara gamblang juga mengungkap keterlibatan CIA. Peck menyebut penggulingan Sukarno di akhir 1960-an adalah sukses CIA yang disokong oleh pelbagai pihak pro-Barat di
Versi keterlibatan Amerika -- terutama melalui CIA -- tersebut ditentang oleh sejumlah kalangan. Dari kalangan resmi pemerintah AS, Marshall Green -- Duta Besar Amerika di Jakarta yang menyaksikan sendiri perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto -- mengajukan bantahan melalui bukunya Dari Sukarno ke Soeharto: G 30 S - PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar (1992).
Dalam ulasannya -- dengan bahasa diplomasi yang kental -- Green menilai G30S1965 memiliki kaitan dengan gerakan komunis internasional yang saat itu memang sedang menggencarkan perluasan ideologi komunis di
Howard Palfrey Jones, mantan Dubes Amerika untuk
Dari kalangan akademisi, bantahan semacam itu pernah datang dari H.W. Brands, asisten profesor pada sebuah Universitas di Texas. Melalui artikelnya, "The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno" (termuat di Journal of American History edisi Desember 1989), Brands membantah keterlibatan
Dengan menggunakan bahan yang sebagian besar diperoleh dari perpustakaan Lyndon B. Johnson, Brands misalnya mengungkapkan betapa Amerika "tidak mengenal Soeharto". Atas dasar itu, menurut Brands, adalah tak mungkin Amerika ada di belakang penggulingan Sukarno di penghujung 1960-an itu.
Debat di Penghujung Orde Baru:
Soegiarso, Manai, dan Buku Putih
Dalam rentang waktu sekitar satu dekade terakhir Orde Baru, ada setidaknya dua perdebatan besar yang terjadi mengenai dalang G30S1965. Pertama, perdebatan yang terus berlanjut hingga akhir tahun 1980-an di sekitar penerbitan buku Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai. Kedua, kontroversi yang meramaikan terbitnya dua buku: karya Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, dan Buku Putih yang diterbitkan Sekretariat Negara (1996).
Pandangan Soegiarso tentang G30S1965 tertulis di halaman 391 bukunya: "Kudeta itu dilakukan PKI dengan dukungan dari luar dan dari dalam negeri, di samping dukungan diam-diam dari Kepala Negara yang kebetulan juga seorang Marxis konsekuen sejak muda."
Untuk mendukung pandangannya, Soegiarso menunjukkan argumen untuk mendukung teori berperannya PKI, adanya pelbagai dukungan terhadap PKI dan keterlibatan Sukarno. Dasar argumentasi Soegiarso kebanyakan didasarkan pada bukti-bukti yang tersertakan dalam keputusan-keputusan MPRS soal pidato Nawaksara Sukarno dan pelengkapnya maupun pada sejumlah indikasi yang ditemui Soegiarso dalam praktek Demokrasi Terpimpin.
Lebih jauh Soegiarso bahkan sampai pada kesimpulan: "Maka menurut penulis, segalanya memang sudah diatur rapi, bertahun-tahun sebelumnya, berdasarkan suatu skenario tertentu. Siapa sutradaranya, menurut nalarku ya Pemimpin Besar Revolusi itu sendiri" (hal. 392).
Soegiarso menguatkan tesisnya ini dengan menunjukkan betapa Sukarno tidak bersikap tegas menghadapi pemberontakan PKI 1948, memberi angin bagi pembesaran PKI sehingga berhasil menjadi salah satu partai di antara empat besar dalam Pemilu 1955, membangun Demokrasi Terpimpin yang memberi peluang kepada PKI untuk berkembang melalui konsep "kabinet berkaki empat", selalu memihak dan melindungi PKI dalam Demokrasi Terpimpin. Peranan Sukarno dalam G30S1965, menurut Soegiarso, adalah puncaknya.
Buku Manai Sophiaan mengajukan versi yang bertentangan dengan versi Soegiarso. Manai secara gamblang menuturkan-ulang versi Sukarno sendiri tentang G30S1965. Bahwa peristiwa berdarah itu terjadi karena tiga faktor: (1) keblinger-nya pemimpin PKI; (2) lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme); dan (3) adanya "oknum yang tidak benar".
Menurut Manai, para pemimpin PKI menjalankan gerakan itu tanpa persetujuan dari bawah. Mereka terjebak oleh isu kudeta Dewan Jenderal. Berbeda dengan versi resmi selama ini -- yang menganggap PKI sendirilah yang merekayasa isu Dewan Jenderal itu -- Manai mencurigai intelijen Barat sebagai perekayasa isu.
Lebih lanjut Manai juga menyebut soal kedekatan Amerika dengan pihak AD (A.H. Nasution adalah nama yang disebut Manai sebagai jenderal AD yang dekat dengan Amerika itu). Pihak-pihak yang dekat dengan Amerika inilah yang disebut Sukarno (dan juga Manai) sebagai "oknum yang tidak benar".
Dengan memaparkan kedekatan Amerika-AD ini, Manai sepertinya ingin menunjukkan bahwa Amerika memang memiliki peran dalam pemanasan suhu politik saat itu.
Jika Soegiarso dan Manai sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang tegas dan eksplisit, Buku Putih menghindari penyimpulan semacam itu. Buku Putih memang secara gambling menunjuk PKI sebagai dalang G30S1965. Berbagai anasir yang terlibat dalam gerakan ini, menurut Buku Putih, merupakan bagian dari kudeta (gagal) yang dikendalikan oleh PKI. Namun, berbeda dengan buku Manai dan Soergiarso yang memposisikan diri secara tegas menunjukkan dengan terang ketidakterlibatan dan keterlibatan Sukarno dalam G30S1965, Buku Putih mengambil posisi yang lebih "tersamar".
Dari Buku Putih tidak akan kita temui tuduhan tegas soal keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S1965. Bab VII buku ini -- dengan judul "Sikap Presiden Sukarno terhadap Gerakan 30 September/Partai Komunis
Dalam konteks itu
"Kenyataan yang terlihat dengan jelas adalah bahwa, baik pimpinan PKI maupun jajaran Biro Khusus PKI memanipulasikan secara cerdik untuk kepentingan PKI dan gerakan komunisme internasional seluruh peluang yang terbuka oleh kebijaksanaan politik Presiden Sukarno yang terpusat pada konsepsi Nasakom" (hal. 141).
"Pada periode epilog G-30-S/PKI, banyak sikap/tindakan Presiden Sukarno yang bernada membela atau menguntungkan G-30-S/PKI. Sikap dan tindakan Presiden Sukarno tersebut, bahkan identik dengan saran-saran D.N. Aidit yang disampaikan melalui suratnya kepada Presiden Sukarno, setelah D.N. Aidit melarikan diri dan bersembunyi di Jawa Tengah" (hal. 147).
"Apa yang dilakukan oleh Presiden Sukarno setelah gagalnya G-30-S/PKI adalah mengarah kepada menyelamatkan organisasi PKI dan paham komunisme sebagaimana diinginkan oleh D.N. Aidit" (hal. 150).
Dalam mengembangkan ketiga alinea penting itu, Buku Putih menyikapi keterkaitan Sukarno dengan G30S1965 dalam beberapa sikap berikut. Pertama, G30S1965 dinilai oleh Buku Putih sebagai klimaks dari manuver PKI untuk mengarahkan jalannya perpolitikan Demokrasi Terpimpin menuju "kemenangan PKI dan gerakan komunisme internasional". Dalam konteks ini, Sukarno tidak dinilai (secara eksplisit) sebagai aktor yang aktif dalam manuver itu.
Sukarno hanya dieksplisitkan sebagai seorang aktor politik yang pasif. Sukarno hanya memberi peluang kepada PKI untuk memenuhi ambisi politiknya itu melalui konsepsi Nasakom. PKI lah yang dengan cerdik memanfaatkan konsepsi Sukarno itu untuk tujuan dan ambisi politiknya.
Inilah yang membedakan Buku Putih dengan buku Manai dan Soegiarso. Jika Manai sama sekali membersihkan nama Sukarno, Soegiarso sebaliknya menempatkan Sukarno sebagai dalang, Buku Putih berhenti pada "kesimpulan yang mencari aman".
Kedua, Buku Putih hanya memberi informasi mentah tentang sikap Sukarno di seputar peristiwa G30S1965. Buku Putih tidak menuding Sukarno, melainkan hanya mengajukan sejumlah indikasi tegas yang menunjukkan betapa Sukarno bersikap sangat lunak terhadap pelaku G30S1965. Sukarno -- yang hanya menganggap peristiwa besar itu sebagai "kejadian biasa dalam revolusi" -- dinilai kompromistis terhadap para pelaku kudeta yang gagal itu.
Ketiga, Buku Putih menampilkan -- sambil menyayangkan -- tindakan Sukarno yang membela PKI dan faham komunis dalam epilog peristiwa G30S1965. Buku Putih merepresentasikan sikap "pendukung Orde Baru" yang menyayangkan ketidakmauan Sukarno membumihanguskan PKI beserta kekuatan-kekuatan di seputarnya. Sebaliknya, Sukarno justru menunjukkan pembelaan yang tegas terhadap kekuatan komunis setelah kup PKI yang gagal itu.
Dalam kerangka itu, Buku Putih menyajikan sejumlah fakta yang menunjukkan sikap dan tindakan Sukarno yang lunak terhadap PKI bahkan cenderung menyelamatkan partai komunis dan faham komunismenya itu. (Lihat Tabel)
Tabel
Pernyataan Sikap dan Tindakan Sukarno yang Lunak terhadap PKI
Pernyataan Sikap
1 Pidato kepada KAMI, 12 Desember 1965
2 Pidato 13 Desember 1965
3 Pidato 18 Desember 1965
4 Pidato HUT Dwikora, 21 Desember 1965
5 Pidato di depan Delegasi GMKI, 24 Desember
Tindakan
1 Tidak menindak Men/Pangau Omar Dhani sebaliknya mengizinkan Omar Dhani menginap di Istana Bogor dan memberi penugasan ke luar negeri antara 19-10 s.d. 20-12-1965
2 Tidak mengambil tindakan hukum terhadap pimpinan pelaksanaan G-30-S/PKI, Brigjen Soepardjo
3 Tidak menindak Aidit bahkan memberi tanggapan positif terhadap surat Aidit dari persembunyiannya di Jawa Tengah
4 Mengizinkan Njoto (anggota Politbiro CC PKI) menyampaikan sikap PKI terhadap masalah G-30-S-PKI dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora (6-10-65). Bahwa G-30-S/PKI adalah gerakan intern AD dan PKI mendukung pembersihan di dalam Angkatan Darat
5 Sukarno yang berjanji akan memberikan political solution terhadap masalah G-30-S/PKI malah membentuk Kabinet 100 Menteri yang di dalamnya terekrut orang-orang yang jelas pro PKI.
6 Membubarkan KAMI pada 25 Februari 1966
7 Tatkala Sidang Umum IV MPRS memberi peluang kepada Sukarno untuk memberikan pengertian kepada rakyat tentang G-30- S/PKI, Sukarno justru menunjukkan keengganan dan kealpaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusionalnya; dan pertanggungjawaban Sukarno melalui pidato Nawaksara tidak cukup memberikan pertanggungjawaban atas terjadinya G-30-S/PKI bahkan tidak menyinggung peranan PKI dalam gerakan tersebut.
Urgensi Rekonstruksi Sejarah 1965
Setelah kejatuhan Soeharto, 21 Mei 1998, jalan bagi rekonstruksi peristiwa G30S1965 mulai terbuka. Sejauh ini, telah terbentuk setidaknya tiga modus operandi bagi upaya rekonstruksi ini. Pertama, diskusi terbuka melalui media
Karena Soeharto sudah tak lagi berkuasa, maka salah satu spekulasi yang banyak didiskusikan melalui tiga modus operandi itu adalah kemungkinan keterlibatan Soeharto di dalam peristiwa berdarah itu. Di masa awal reformasi, misalnya, sejumlah diskusi mengarahkan fokusnya pada terbukanya kemungkinan bahwa Soeharto, tokoh yang selama ini dikenal sentral sebagai pembasmi PKI, bisa jadi terlibat atau paling tidak mengetahui tapi membiarkan kup berdarah tersebut.
Salah satu titik yang menjadi benang merah ke arah kesimpulan ini adalah kedekatan mantan presiden tersebut dengan tokoh-tokoh G30S1965, seperti Letkol Untung, Kol. Latief, dan Brigjen Soepardjo. Selain itu, Soeharto juga dikenal aktif di sebuah kelompok diskusi politik yang dikenal sebagai ''Kelompok Pathuk'',
Pengakuan Latief melalui pledoi pengadilan Mahmilub pada 1978, yang antara lain mengaku telah memberitahu Soeharto mengenai ''Dewan Jenderal'' serta rencana sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup untuk menyingkirkan Bung Karno, juga disinggung dalam laporan berbagai media. Tabloid Adil misalnya, mengutip Latief: ''Saya sudah lapor kepadanya bahwa malam itu (30 September) sejumlah jenderal akan diculik.”
Diamnya Soeharto (tidak melaporkan soal ini ke MenPangab Letjen Ahmad Yani), kedekatannya dengan tokoh-tokoh kunci G30S1965, membuat sejumlah orang membuat hipotesis mengenai kemungkinan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa tersebut. Sebetulnya, ini bukan hipotesis baru. W.F. Wertheim, dalam Whose Plot? New Light on The 1965 Events yang diterbitkan pada 1979, telah menulis bahwa plot G30S1965 dirancang oleh sebuah komplotan dalam klik Angkatan Darat: Sjam, Kepala Biro Chusus Central PKI, yang (menurut Wertheim) bertugas membangun jaringan di tubuh Angkatan Darat.
Menurut Wertheim, Biro Chusus bekerja bebas dari PKI sebagai partai dan organisasi. Aidit, Ketua Comite Central tak melaporkan kegiatan Sjam ke organisasi. Menurut tesis ini pula, klik antara Sjam dan Soeharto yang menyusup ke PKI itulah yang menjadi dalang dibalik peristiwa G30S1965.
Tentu saja diperlukan penelusuran dan pembuktian lebih lanjut terhadap tesis itu. Tetapi, bagaimanapun, reformasi telah memberi peluang bagi upaya pembongkaran kembali data-data sejarah di seputar peristiwa penting ini. Dalam sebuah analisisnya, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mencatat bahwa ada enam sampai tujuh versi yang berkembang dalam diskusi di awal masa reformasi itu.
Siapa yang merancang dan mengendalikan G30S1965 adalah satu sisi gelap sejarah yang hingga kini belum juga berhasil dibuat terang. Dalam kerangka ini, dibutuhkan upaya rekonstruksi sejarah yang seksama sehingga bisa terbangun versi yang paling bisa dipertanggungjawabkan secara akademik sekaligus secara politik.
Selain soal perancang dan pengendali G30S1965, sisi gelap lain yang perlu dibuat terang adalah mengenai jaringan pelaku, tentang mereka yang secara massif memang terlibat. Versi resmi pemerintah Orde Baru memposisikan siapa saja yang terkait dengan PKI atau bahkan sekadar gerakan kiri di masa itu, sebagai mereka yang terlibat dan mesti bertanggung jawab atas gerakan itu. Pendekatan gebyah uyah (generalisasi serta merta) ini terbukti mendatangkan masalah.*[2] Banyak sekali orang yang akhirnya diberi sanksi – yang bahkan berlapis-lapis hingga ke keturunan mereka secara bertingkat-tingkat – atas kesalahan yang tak mereka lakukan.
Sebagai akibat dari pendekatan yang tak bertanggung jawab itu, terparaktikkanlah perlakuan politik yang tak manusiawi terhadap mereka yang diberi stigma “komunis”. Maka, upaya rekonstruksi sejarah bukan saja dibutuhkan untuk mengklarifikasi siapa saja yang selayaknya dimintai pertanggungjawaban atas gerakan berdarah itu, melainkan juga untuk merehabilitasi status politik dan hukum dari banyak sekali orang yang telah dimintai pertanggungjawaban untuk peristiwa yang sejatinya mereka tak ikut terlibat di dalamnya.
Sisi gelap lainnya yang juga membutuhkan upaya rekonstruksi dan penjawaban-ulang tak main-main adalah soal jumlah korban. Sejauh ini tersedia data jumlah korban yang beragam.
Sumber-sumber resmi tentu saja menyebutkan jumlah korban yang minimal. Fact Finding Commission yang dibentuk segera setelah peristiwa G30S1965 terjadi, misalnya, menyebut jumlah korban 78.000 orang. Data itu jauh lebih kecil dari yang disebutkan oleh Kopkamtib – sebagaimana dikutip oleh Frank Palmos (“One Million Dead?”, The Economist, 20 Agustus 1966) dan Robert Cribb (ed., The Indonesian Killings of 1965-1966, 1990) – yang menyebutkan jumlah korban sebesar 1 juta jiwa.
Cribb (1999) sendiri menyebut 500.000 jiwa sebagai jumlah korban yang wajar. Sementara Iwan Gardono (dengan menjumlahkan dan merata-ratakan jumlah korban yang disebut oleh 39 literatur) menyebut angka 430.590 orang. Terlepas dari ketidaksepakatan mengenai jumlah korban itu, dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk menelusuri kembali berbagai sumber sejarah yang tersedia guna memperoleh data jumlah korban yang kredibel.
Dalam konteks kontroversi peristiwa G30S1965 yang tak kunjung habis, Asvi Warwan Adam (2005) pun menyebut 1965 sebagai “tahun yang tak pernah selesai.” Pengaruh tahun 1965 hingga sekarang tak kunjung menyurut. Bukan hanya itu, implikasi peristiwa di tahun itu terhadap kehidupan sejumlah besar orang hingga saat ini masih terus berjalan. Sejumlah mantan tahanan politik akibat peristiwa 1965 itu, misalnya, masih terus mencari keadilan hingga sekarang.
Sejarah memang penting bukan ketika peristiwanya terjadi melainkan karena apa yang kemudian mengikutinya. Sejarah 1965 menjadi penting karena pengaruhnya terasa hingga waktu-waktu setelah itu, hingga saat ini. Celakanya, sejarah lazimnya dibuat oleh mereka yang menang. Setiap zaman pun akhirnya punya tuturan sejarah sesuai dengan pemegang kendali kekuasaan di masa itu. Lalu, bagaimana halnya dengan kita di hari ini, ketika demokratisasi terjadi dan semestinya kehidupan menjadi lebih transparan, terbuka dan bertanggung jawab?
Demokratisasi sejatinya adalah usaha untuk mereposisi para pemegang kekuasaan sehingga akhirnya penguasa sesungguhnya adalah orang banyak. Benar bahwa tak pernah ada system demokratis yang secara ideal menjadikan orang banyak sebagai pemegang kedaulatan politik tertinggi senyatanya dan sejatinya. Namun demikian, sistem yang lebih demokratis seyogianya memfasilitasi perumusan ulang sejarah atas nama tingkat kejujuran, objektivitas dan akuntabilitas yang lebih terjamin.
Maka, selayaknya, atas nama peningkatan kualitas demokrasi, upaya rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 dilakukan segera secara terlembagakan, seksama, dan terorganisir.
Pemerintah selayaknya menugaskan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk segera membentuk tim yang independen secara politik dan kredibel secara akademik/intelektual yang beranggotakan para ilmuwan – khususnya sejarawan – yang kompeten. Tim ini selayaknya bekerja secara profesional dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber sejarah yang ada, mulai dari literatur yang sesungguhnya kaya hingga para pelaku sejarah yang terkait dengan peristiwa G30S1965 yang masih hidup.
Kita terlanjur mengenal peribahasa “bangsa yang besar adalah yang menghormati para pahlawannya”. Sesungguhnya, ada rumusan yang lebih tepat dan komprehensif: “Bangsa yang besar adalah yang pandai menghargai waktu sebagai tiga lipat masa kini: masa lalu sebagai alat peringatan dan memori bagi masa kini, masa kini sebagai tempat kerja keras dan memperbaiki diri, dan masa depan sebagai harapan masa kini.” Rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 adalah salah satu (dari sekian banyak) pembuktian sebagai bangsa yang besar itu.
***
*[2]Sejumlah karya sastra telah (dengan caranya sendiri yang khas) telah mengeritik pendekatan ini dengan memperlihatkan betapa banyak orang yang tak berdosa akhirnya terkena getah G30S1965 dan mesti menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak mereka buat. Untuk sekadar menyebut karya sastra itu: trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan
***
Biodata Singkat Penulis Eep Saefulloh Fatah lahir di Cibarusah, Bekasi,
***
Sumber: Buku Antologi: "Tragedi Kemanusiaan 1965 - 2005"; di terbitkan oleh Lembaga Sastra Pembebasan dan Toko Buku Malka –
Penerbit Syarikat
Oleh c.m.
Di Indonesia, sosialisme, komunisme, dan hal-hal yang berbau seperti itu hampir setiap kali dianggap sebagai sesuatu yang sesat, berbahaya, menjijikan, hina, dan harus dijauhi tidak boleh disentuh-sentuh dan dibicarakan. Sosialisme dan komunisme dianggap momok, sudah menjadi wajar jika ada anak SD yang mencibirkan bibirnya dan menekuk kulit keningnya ketika mendengar kata "komunis", bahkan bukan hanya anak SD, teman-teman saya dan orang-orang yang sudah dewasa secara umur-pun banyak yang seperti itu.
Padahal, apa sebenarnya sosialisme dan komunisme? Banyak (kalau bukan semua) yang mencibirkan bibir sewaktu mendengar kata "sosialisme" dan "komunisme" sebenarnya tidak mengerti apa arti, maksud, dan cita-cita dari kedua kata itu. Yang mereka tau bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai bejat yang membunuh jenderal-jenderal, yang mereka tau komunisme adalah anti-Tuhan. Dan kita tau bersama orang
Sudah beberapa waktu - sejak saya mengerti dan menemukan bahwa ternyata saya mempunyai sebuah harapan sosialis - saya ingin membantu masyarakat Indonesia untuk mengenal apa itu sebenarnya sosialisme dan komunisme; supaya orang Indonesia dapat melihat bahwa ternyata kita semua hidup di sebuah sistem gila yang sungguh-sungguh sakit; supaya orang Indonesia dapat menyadari bahwa - justru (!) - hanya sosialisme yang dapat membuat manusia-manusia bangsa
Sebelum membahas apa itu sosialisme, kita butuh mengetahui dulu tentang sistem yang berlaku di
I. Kapitalisme
A. Penghisapan kapitalisme.
Dari 500 ribu Rupiah itu, saya gunakan beberapa persennya untuk menggaji anda, kemudian untuk biaya produksi, pajak, biaya ini, biaya, itu, dan lain-lain, dan kemudian sisanya saya tabung: profit. Kelihatannya wajar-wajar saja dan seperti pada umumnya yang terjadi di masyarakat, bukan?
Tapi sebenarnya, selisih nilai 500 ribu Rupiah itu milik siapa? Nilai kayu yang 1 juta Rupiah tidak akan meningkat menjadi 1,5 juta Rupiah tanpa ada KERJA dari anda, KERJA andalah yang membuat peningkatan nilai itu. 500 ribu Rupiah = KERJA anda, 500 ribu itu seharusnya milik anda, tetapi pada kenyataannya di sistem kapitalisme, anda hanya mendapatkan beberapa persen dari nilai itu dan sisanya masuk ke kantong saya.
Anda cuma bisa menggadaikan tenaga anda murah-murah kepada saya, kerja untuk tetap melarat, sementara saya dari hari ke hari semakin kaya karena kerja anda.
Itulah yang terjadi selama ini, sebuah penghisapan kapitalisme, di Indonesia dan di negara-negara kapitalis lain. Nilai lebih yang telah dihasilkan oleh buruh hanya kembali kepada buruh hanya sebatas untuk membuat buruh dapat bertahan hidup saja - agar dapat 'diperah' kembali esok harinya (juga anak-anak dan keluarganya kelak), sementara sisanya yang terbesar menjadi profit untuk pemodal. Hak buruh, nilai yang telah diciptakannya, dirampas begitu saja oleh pemodal. Sebuah bentuk perbudakan dan eksploitasi manusia tingkat tinggi, didukung oleh hukum dan undang-undang, dan diamankan oleh aparat keamanan seperti polisi dan tentara.
Nilai lebih, tenaga yang telah dirampas dari buruh di seluruh dunia telah membangun kapitalisme menjadi wujudnya yang sekarang, penumpukkan kekayaan dan modal di tangan segelintir orang sementara buruh bekerja mati-matian hanya untuk tetap melarat. Negara-negara industri maju, super korporasi-korporasi multinasional, penguasa perekonomian nasional dan internasional, dan termasuk perlombaan persenjataan dan perang-perang yang terjadi di muka bumi juga dibiayai oleh penghisapan kapitalisme.
Pertama kali, seseorang kapitalis yang memiliki modal akan menciptakan profit dengan menghisap buruh, dengan merampas nilai lebih yang dihasilkan. Kemudian profit itu akan bertumpuk, berakumulasi, hingga suatu saat profit itu akan kembali menciptakan modal, untuk membeli mesin baru, membangun pabrik yang baru, atau diinvestasikan sebagai modal pada usaha lain misalnya. Dengan modal yang kini semakin besar, profit yang didapat dari penghisapan akan semakin banyak dan cepat dikumpulkan, untuk selanjutnya kembali menciptakan modal, lantas profit lagi, modal, profit, dan seterusnya.
Bahkan proses ini sudah jauh lebih modern dengan adanya pasar saham di mana modal dari banyak sekali orang dikumpulkan jadi satu untuk bersama-sama menghisap buruh, untuk profit, dan selanjutnya berjalan seperti proses di atas. Proses ini diselingi juga dengan pencaplokan antar perusahaan, yang besar, yang mempunyai modal besar, memakan yang kecil. Entah dengan dibeli, atau dengan dibuat bangkrut (secara sengaja atau "tidak sengaja"), selanjutnya akan sama saja, perpindahan modal dan profit ke pihak yang lebih kuat.
Persaingan bebas yang dipropagandakan oleh kapitalisme dalam artiannya yang paling terbuka adalah kebebasan untuk melakukan penghisapan dan eksploitasi terhadap manusia, dan kebebasan untuk bersaing antara perusahaan-perusahaan besar dengan usaha-usaha kecil, yang berarti memberikan pisau kepada usaha kecil untuk bunuh diri. Hingga ujung-ujungnya tercipta sebuah monopoli kekuatan ekonomi di tangan-tangan tertentu, yang semakin bebas menentukan harga, mengendalikan pasar, dan mengeksploitasi manusia dengan sebebas-bebasnya.
Kekayaan dunia, kemakmuran, dan segala hasil penghisapan kapitalisme terhadap buruh semakin dikuasai oleh segelintir manusia saja.
B. Keterasingan.
Buruh menjual tenaganya, kemudian tenaga itu digunakan oleh pemilik modal untuk mencipatakan nilai. Nilai tersebut merupakan hasil kerja buruh, tetapi segera menjadi sesuatu yang "asing" baginya karena nilai itu sama sekali bukan menjadi miliknya. Buruh "mengabdikan" tenaga dan kehidupannya untuk menciptakan nilai yang kemudian dimiliki oleh majikannya, sama sekali bukan miliknya. Nilai lebih itu, kemudian menjelma kembali menjadi modal, yang kembali mengeksploitasi buruh.
Karena itu buruh tinggal merupakan objek yang hidup, selayaknya binatang, selain kerja (yang dilakukannya untuk orang lain) hanya tinggal terdiri atas makan, minum, buang air, tidur, seks. Buruh terasing dari dirinya sendiri, semakin tidak memiliki lagi sisi kemanusiaan dari dirinya, tinggal berupa objek, benda, gumpalan daging yang hidup.
Selain terjadi pada proses produksi, keterasingan juga terjadi pada proses konsumsi. Sistem ekonomi pasar bebas menyebabkan produk-produk dihasilkan bukan berdasarkan kebutuhan melainkan demi penciptaan profit sebesar-besarnya. Manusia bukan lagi menjadi subjek, pengguna atas produk, melainkan manusia digunakan untuk menciptakan profit, objek. Manusia diperbudak oleh konsumerismenya, menjadi "sengsara" jika tanpa produk-produk di pasaran. Sehingga manusia meninggalkan jati dirinya untuk berusaha mencapai suatu target-imajinatif tertentu yang ditawarkan oleh produk-produk di pasaran dengan dukungan periklanan dan segala media indoktrinasi lainnya.
Lebih jauh, segala kebutuhan akan sisi kemanusiaan hidup kita; kebutuhan akan hiburan, cinta, pengetahuan, berpikir, menikmati hidup, dan lain-lain telah berubah menjadi kebutuhan akan uang. Bukan lagi hidup dan kemanusiaan yang dicari dan dimiliki, melainkan uang. Segala kesenangan hidup dirubah bentuknya menjadi lembaran-lembaran kertas yang harus dicari justru dengan mengorbankan segala kesenangan itu sendiri.
Manusia juga menjadi merana jika tidak mampu mengikuti arus produk-produk yang dilempar ke pasaran karena keterbatasan ekonomi. Masyarakat di kelas bawah tinggal jadi penonton dari produk-produk di pasaran, sama-sama terjebak dalam konsumerisme tanpa ada pemenuhan, memunculkan kecemburuan sosial, manusia menjadi sengsara karena lingkungannya.
Bentuk-bentuk keterasingan ini berakar dari sistem produksi kapitalis yang tidak didasarkan pada kebutuhan manusia, melainkan pada pembentukan profit sebesar-besarnya. Selain manusia digunakan (dieksploitasi) untuk menciptakan nilai yang bukan merupakan miliknya, manusia juga digunakan untuk mengkonsumsi sebanyak-banyaknya produk yang dihasilkan, manusia digunakan untuk menciptakan profit. Model produksi kapitalis seperti inilah yang menciptakan manusia terasing dari dirinya sendiri, baik di proses produksi maupun konsumsi.
C. Negara kapitalis.
Negara, ada untuk memaksakan kehendak secara sistematis.
Hukum, undang-undang, polisi, penjara, dan militer adalah alat-alat negara untuk menjamin kekuasaannya, untuk memaksakan kehendaknya. Di dunia modern ini, kekuasaan negara dibagi menjadi 3 bagian, legislatif, eksekutif, dan yudikatif: perwakilan rakyat (DPR), presiden, dan pengadilan. Tetapi walaupun tampaknya ketiga kekuasaan itu saling membatasi, ternyata ketiga kekuasaan itu tetap dipegang oleh kaum yang sejenis. Dari sini mari kita pertanyakan, kalau negara ada untuk memaksakan kehendak, dan ternyata ketiga komponen kekuasaan negara dikuasai oleh kaum yang sejenis, maka kehendak siapakah yang dipaksakan? Untuk siapa negara ada dan bekerja?
Sebuah negara kapitalis ada dan berkuasa hanya untuk segelintir orang-orang yang punya uang, sama sekali bukan untuk yang melarat. Dengan demikian alat-alat kekuasaan negara baik yang 'halus' maupun yang 'kasar' juga adalah alat-alat milik segelintir orang-orang yang mempunyai uang. Hukum, Undang-undang, polisi, penjara, militer, dan segala alat kekuasaan negara itu adalah milik penguasa perekonomian, pemilik uang, segelintir kapitalis.
Negara kapitalis bahkan terdiri dan dijalankan secara langsung oleh orang-orang yang juga berkuasa dalam bidang ekonomi, kepentingan yang dibela - tentunya - adalah kepentingan penguasa ekonomi tersebut. Tujuan-tujuan yang dicapai adalah tujuan para pemilik uang, kebijakan-kebijakannya adalah demi pemilik uang. Sehingga kehidupan yang terdapat di negara kapitalis adalah penghisapan dan penindasan secara nasional oleh penguasa negara terhadap proletariat, dengan didukung dan diamankan oleh militer dan segala peraturan hukum dan undang-undang yang dibuat oleh penguasa negara demi kepentingan ekonomi. Setiap nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh diambil oleh segelintir pemilik modal secara nasional dan internasional, menciptakan suatu keadaan di mana buruh bekerja mati-matian sepanjang hari hanya untuk tetap melarat, sementara pemilik modal terus menerus memperbesar kekayaannya dan semakin mencengkeram dunia.
Kepentingan ekonomi negara kapitalis, adalah juga kepentingan militer di negara itu, demikian sebaliknya. Penguasa uang dan militer telah "bersetubuh" menjadi satu kesatuan, saling dukung, saling membutuhkan, dan saling memanfaatkan. Sudah banyak sekali pengalaman bumi ini yang menunjukkan perang yang dijalakan oleh militer adalah demi kepentingan ekonomi penguasa kapitalis. Amerika Serikat menyerang Irak, Afghanistan, Vietnam, Kuba, dan negara-negara lain adalah demi kepentingan ekonomi, sebuah proyek bernilai milyaran dollar, dan militer adalah pelaksananya, eksekutornya, dengan kepentingan yang sama.
Yang terjadi di negara kita sendiri juga seperti itu, pemerintah Jakarta menyerang Aceh adalah sama sekali atas nama kepentingan ekonomi, menagih nasionalisme dan membantai saudara sendiri di Aceh dengan dilegalkan oleh undang-undang dan hukum, demi menyelamatkan aset-aset negeri kapitalis asing dan Jakarta di Aceh.
Mengapa militer mempunyai kepentingan yang sama dengan kepentingan penguasa kapitalis? Karena militer hanya dapat hidup jika ada dana, dan dana untuk membunuhi manusia lain hanya dapat dihasilkan dari penguasa feodal atau kapitalis. Di masa kapitalis ini, pilihan satu-satunya adalah penguasa kapitalis sebagai sumber dana, sahabat satu tubuh dengan satu kepentingan ekonomi yang sama. Ini adalah hubungan mutualisme, penguasa kapitalis membutuhkan militer demi keberlangsungannya, demi tetap berdirinya rezim kapitalis, demi memaksakan kehendaknya (kepada rakyat sendiri juga kepada negeri asing jika diperlukan). Dan militer mendapatkan dana sebagai sumber hidupnya, militer digunakan untuk perang menyerang dan mempertahankan aset-aset ekonomi dengan imbal balik suatu kehidupan bersama yang saling menguntungkan.
Bisnis yang dilakukan militer adalah bisnis 'persatuan dan kesatuan nasional', 'kemerdekaan untuk Irak', 'pertahanan keamanan', 'new world order', dan lain-lain.
D. Imperialisme dan globalisasi.
Untuk dapat tetap hidup, sebuah industri membutuhkan bahan
Terjadilah jaman yang disebut 'globalisasi'. Dalam propagandanya, globalisasi adalah hilangnya batas-batas nyata dari sebuah negara, membuat dunia ini menjadi satu kesatuan, pembentukan dunia menjadi sebuah pasar bebas. Ya, gombalisasi. Yang ada adalah tuntutan ekonomi yang membuahkan imperialisme, penjajahan negara maju terhadap negara-negara dunia ke-3, secara ekonomi atau bahkan secara nyata melalui invasi militer.
Negara-negara dunia ke-3 dipilih menjadi sasaran untuk mengeruk profit yang lebih besar. Dengan tersedianya tenaga kerja yang murah, banyak, dan masih belum terorganisir secara solid. Tingkat gaji buruh masih rendah jika dibandingkan dengan gaji buruh di negara asal industri, maka profit kapitalis dapat didongkrak naik, kembali menciptakan penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Bahkan tidak jarang perusahaan asing menjalankan praktek tidak manusiawi dalam urusan buruh, seperti perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh anak-anak di bawah umur dengan jam kerja yang luar biasa.
Keadaan masyarakat negara-negara dunia ke-3 yang belum jenuh akan produk juga menyediakan pasar yang amat baik untuk kapitalisme, trend-trend ngAmerika dan ngEropa yang melanda
Satu lagi, Sumber Daya Alam dan tanah yang murah juga masih melimpah ruah. Negara dunia ke-3 adalah surga bagi imperialisme. Hasil alam dikeruk sebanyak-banyaknya, diolah, kemudian dijual lagi dengan harga yang sudah melambung jauh. Pabrik-pabrik didirikan, investasi asing ditanamkan di lahan yang baru dan segar, persaingan masih rendah, profit dapat dihisap setinggi-tingginya dan biaya produksi dapat ditekan serendah-rendahnya.
Dan ini masih ditambah lagi dengan penguasa-penguasa negara-negara dunia ke-3 yang umumnya tidak demokratis, otoriter, atau bahkan terkadang berupa penguasa junta militer. Sehingga kalau ada rakyatnya yang melakukan demonstrasi atau memberontak, penguasa tidak akan ragu-ragu untuk membela kepentingan ekonominya dengan melakukan penyerangan atau bahkan penembakan terhadap rakyatnya sendiri.
Jika invasi secara ekonomi dengan 'damai' tidak dimungkinkan, maka dibuatlah proyek bernilai milyaran dollar seperti yang telah dibahas di bagian sebelumnya, untuk melakukan invasi militer.
Pemerintah Amerika Serikat dengan New World Ordernya mempunyai sebuah kepentingan ekonomi jangka panjang dan maha besar yang juga didukung dan sejalan dengan kepentingan militer di negara itu. Dunia akan semakin panas.
II. Apa Itu Sosialisme?
A. Sosialisme.
Tujuan dari sosialisme adalah untuk mengembalikan hak-hak manusia yang selama ini di sistem kapitalisme hanya dikuasai dan dihisap oleh segelintir manusia; hak untuk hidup layak dan sejahtera, hak untuk menikmati nilai yang telah diciptakan, hak untuk hidup sebagai manusia seutuhnya, dan membebaskan manusia dari segala perbudakkan - baik perbudakkan secara fisik maupun mental.
Selama ini, produksi yang dilakukan oleh manusia di muka bumi (tapi dikuasai oleh sedikit manusia) diarahkan untuk menciptakan profit, yang ditumpuk oleh sedikit orang-orang yang menguasai alat produksi. Kemudian profit yang telah ditumpuk di tangan beberapa orang itu digunakan untuk kembali menciptakan modal, kembali menghisap manusia, atau untuk membiayai berbagai pemborosan dan kesia-siaan, termasuk juga untuk membiayai perang yang dilakukan oleh pemerintah semua negara.
Pemerintah Amerika Serikat yang sekarang berkuasa (dengan George W. Bush Jr. sebagai presidennya) didukung penuh oleh perusahaan-perusahaan raksasa, terutama perusahaan minyak seperti Enron, dan keluarga Bush sendiri adalah pengusaha di bidang perminyakan, dengan begitu perang yang dilakukan adalah juga atas nama dan untuk kelas pemilik modal, atas nama kapitalisme.
Bayangkan kalau semua itu; profit yang selama ini ditumpuk di tangan beberapa orang; pemborosan; biaya untuk perang yang mengorbankan ribuan nyawa; biaya pembuatan alat-alat perang, persenjataan, kapal perang, pesawat tempur, dan nuklir; semuanya digunakan dan diabdikan untuk kesejahteraan semua manusia di muka bumi, untuk memberi makan kepada yang lapar, untuk memberi rumah kepada gelandangan, pendidikan, dan kesehatan untuk semuanya.
Kalau itu dilakukan, kalau semua yang selama ini ditumpuk di tangan sedikit manusia, dihambur-hamburkan dan disia-siakan, juga digunakan untuk membunuh sesama manusia; kalau semua itu kita gunakan untuk kesejahteraan manusia, entah ada berapa banyak manusia yang selama ini hidup melarat dapat kembali hidup sejahtera!
Hal ini dapat diwujudkan dengan menempatkan alat-alat produksi di bawah kontrol bersama (di bawah kontrol mayoritas, bukan minoritas), menjadikannya milik bersama, dan produksi direncanakan bersama-sama. Alat produksi digunakan untuk memproduksi barang sesuai dengan kebutuhan manusia, bukan untuk mengejar profit, produksi disesuaikan dengan kebutuhan dan untuk menyejahterakan umat manusia.
Karena produksi dikontrol bersama-sama, buruh bekerja bukan untuk menghasilkan nilai lebih yang selanjutnya dirampas oleh majikannya, tetapi bekerja secara kolektif untuk menghasilkan barang-barang yang kemudian digunakan oleh dirinya sendiri dan masyarakat. Masyarakat tidak diperbudak oleh produk-produk yang saling bersaing mengejar profit di pasaran.
Kesejahteraan bersama diciptakan, dan manusia tidak lagi terasing dari dirinya sendiri.
B. Welfare State (Negara Kesejahteraan).
Di negara-negara Eropa barat saat ini berlaku sistem yang dikenal sebagai 'Welfare State', di mana buruh di sana rata-rata dapat memiliki TV, komputer, bahkan mobil. Dan di negara Belanda juga menjadi gelandangan bukanlah sebuah nasib tetapi merupakan pilihan karena gelandangan di negara itu mendapat tunjangan dari negara yang memungkinkan bahkan gelandangan pun dapat hidup layak bahkan makmur.
Tetapi sistem Welfare State ini tidak menghilangkan esensi penghisapan yang terjadi. Buruh tetap menghasilkan nilai lebih yang kemudian sebagian besarnya dikuasai oleh majikan. Persaingan mendapatkan profit dari hasil produksi pun tetap terjadi. Buruh dan masyarakat tetap terasing dari dirinya sendiri karena dieksploitasi oleh penguasa ekonomi.
Lebih parah dari itu, penghisapan dapat dipindahkan ke negara lain. Negara-negara maju saat ini memiliki jaringan industri yang didirikan di negara-negara dunia ke-3 seperti di
Apa yang terjadi? Penghisapan dan eksploitasi dipindahkan ke negara-negara dunia ke-3. Sebuah globalisasi (atau gombalisasi?), imperialisme seperti yang sudah kita bahas di atas. Apa lagi yang kurang, sebuah surga kapitalisme. Semua itu untuk mendukung berdirinya Welfare State milik mereka.
C. Komunisme.
Sosialisme, dalam teori, adalah 'pendahuluan' sebelum mencapai ke komunisme. Dibangunnya sebuah negara sosialis adalah baru merupakan awal dari sebuah perjalanan panjang untuk menghapuskan segala nilai-nilai buruk dari sistem kapitalisme.
Di masa sosialisme, mau tidak mau pasti masih terdapat kelas-kelas di dalam masyarakat, karena kepemilikan bersama atas alat produksi tidak dapat langsung begitu saja selesai dilakukan, namun membutuhkan proses (tetapi perubahan dari kapitalisme menjadi sosialisme sendiri harus dilakukan dengan sebuah revolusi). Juga masih ada negara, negara yang dikendalikan secara demokratis oleh proletariat, untuk mengatur jalannya produksi dan berbagai hal lain, juga untuk mempertahankan sistem sosialis yang berhasil didirikan dari segala upaya kontra-revolusi.
Model produksi sosialis seperti yang dibahas di atas dilakukan secara global (atau setidaknya mayoritas negara-negara di muka bumi), supaya manusia di tempat yang satu dapat saling dukung dengan manusia di bagian lain dari bumi ini, menggunakan segala potensi manusia untuk mengembalikan sisi kemanusiaan kepada seluruh umat manusia, untuk memberikan hidup yang layak dan menyejahterakan manusia. Sistem buruh-upahan dihapuskan, karena selayaknya manusia bekerja bukan untuk mengejar uang, karena seharusnya segala kesenangan manusiawi manusia tidak bisa digantikan dengan lembaran-lembaran uang.
Hingga suatu saat, setelah melalui jalan yang panjang, kelas-kelas dalam masyarakat akan menghilang. Karena tidak ada kelas yang berkuasa atas kelas yang lain, maka bentuk negara akan menghilang pula karena tidak ada lagi batas-batas nasionalisme antar umat manusia yang hidup bersama dan saling membantu. Bersamaan dengan menghilangnya alat-alat kekuasaan negara yang bersifat eksklusif, badan-badan khusus, orang-orang khusus yang bekerja untuk memaksakan kehendak negara seperti militer dan polisi, digantikan dengan milisi.
Yang tertinggal adalah administrasi yang dijalankan bukan oleh orang-orang khusus (melainkan proletariat sendiri yang melakukannya), manajemen untuk mengatur jalannya produksi dan distribusi ke masyarakat dengan model produksi sosialis.
Kehidupan seperti inilah yang dicita-citakan oleh komunisme. Singkatnya, mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.
2 komentar:
Saya sangat berterimakasih kepada
kakak ipar saya yang berada
di PADEMANGAN Jakarta utara.
Sewaktu saya ke Jakarta saat
Ben-Ceng ( Sembahyang leluhur ),
saya di beritahukan
sama Kakak Ipar saya,
katanya "AKI ANGEN NYOMAN" Bisa memberikan
Angka Jitu hasil Ritual di jamin tembus....
Semula saya sangat ragu sekali, sehingga
menurut saya kurang masuk logika.
Akan tetapi paktor
kemiskinan dan bosan hidup susah
sekeluarga selama bertahun-tahun,
Namun di yakinkanlah oleh Kakak Ipar saya
yang ternyata secara diam-diam
saya langsung menghubungi "AKi ANGEN NYOMAN
DI NO (085 145 297 167)
meminta angka jitu SGP 4D.
Sungguh suatu mengejutkan dan hampir
saya tidak percaya, Ternyata nomor togel SGP 4D
yang saya minta benar-benar tembus.
Sampai-sampai saya mengeluarkan Air mata.
Saya sangat terharu,
Tifa Tifa Tifa Tifa - tchiang
Tifa Tifa Tifa Tifa titanium plumbing Tifa. A very colorful Tifa Tifa Tifa Tifa Tifa Tifa Tifa. Tifa Tifa Tifa titanium nail Tifa Tifa Tifa Tifa Tifa titanium band rings Tifa Tifa Tifa Tifa Tifa titanium grades Tifa titanium watch band Tifa Tifa
Posting Komentar