Mawie Ananta Jonie
Laporan Dari Lobang Jarum Kekuasan (4)
Sangsaka Merah Putih Itu.
Bulan Agustus tahun 1965, aku menyelesaikan studiku di Akademi Bahasa Asing Beijing dengan hasil memuaskan. Bulan-bulan yang menegangkan itu dapat menjembatani kuliahku dengan Sekolah Tinggi Olahraga (STO) yang kumasuki. Saat ini pula aku meninggalkan kampus Akademi Bahasa Asing Beijing dan kemudian menjadi salah seorang penghuni kampus STO Beijing. Aku dijemput dengan sebuah taxi oleh Kepala Kantor Urusan Mahasiswa Asing. Asramaku ini adalah sebuah bangunan baru. Jadi bersih dan mentereng. Ini bisa dipahami, karena ia sering dipergunakan untuk menginap olahragawan-olahragawan dari negeri sahabat yang melawat ke Tiongkok. Atau tempat menginap bagi mereka yang menggunakan sarana olahraga yang terdapat di sini untuk latihan. Waktu aku datang, sudah ada mahasiswa dari Jepang dan mahasiswa Vietnam. Selain dari itu ada Tim Senam dari Tunisia dan Delegasi olahragawan Kamboja yang mengadakan latihan selama beberapa bulan.
Aku mengambil jurusan senam. Selain itu sekali dalam seminggu aku ikut latihan renang. Ini mata pelajaran kejuruan. Aku ditempatkan satu kelas dengan mahasiswa Jepang. Mereka ada sejumlah duabelas orang dan hampir mengisi kejuruan yang ada di Perguruan ini. Di kelas, kami menerima mata pelajaran bahasa Tionghoa, anatomi dan sejarah Tiongkok. Di luar mata pelajaran kejuruan, yang hampir sepanjang hari berada di lapangan latihan, maka ada mata pelajaran lainnya seperti: atletik, basketbal, volleybal, pencaksilat dan angkat besi. Berat bagiku tentu. Biasanya untuk belajar senam usia pemula sangat menentukan. Sedang waktu aku masuk ke sini aku sudah berumur seperempat abad.
Baru seminggu lebih aku kuliah, Kedutaan RI mengadakan kegiatan-kegiatan untuk merayakan Hari Proklamasi 17 Agustus. Peringatan secara resmi dengan mendatangkan undangan dari diplomat negeri-negeri sahabat yang ada di Beijing, berlangsung di salah satu ruangan yang ada di Gedung Kongres Rakyat yang terletak di sebelah kanan Lapangan Tian An Men. Acara kesenian diselenggarakan di salah satu gedung pertunjukan di pusat kota. Malam itu aku ikut rekan-rekan dalam koor dan tari-tarian. Kegiatan olahraga hanya berlangsung di kalangan masyarakat Indonesia saja.
Menjelang upacara penaikan bendera Sangsaka Merah Putih tanggal 17 Agustus 1965 pagi di Kedutaan RI di Beijing, malamnya aku ditelpon oleh salah seorang pimpinan PPI Tiongkok. Aku ditunjuk sebagai penggerek- penaikan bendera dan dua rekan lainnya mendampinginya. Aku terima. Tapi aku gugup. Tidak tau. Hampir semalaman aku melamun. Begini: Waktu aku baru masuk di kelas satu SGB Negeri IV tahun di kota Kecamatan, keinginanku untuk dapat menjadi pembawa bendera di depan barisan sekolah, kalau ada upacara-upacara nasional, bukan main besarnya. Setahun aku menunggu. Tahun 1958 aku melanjutkan sekolah ke SGPD Negeri IV tahun di Padang. Daerah kami baru saja dilanda pemberontakan PRRI/Dewan Banteng. Bahkan tahun pertamaku di dalam kota masih saja digendangi pelemparan granat di bioskop-bioskop sehabis orang-orang menonton film. Siangnya pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara melakukan gempuran gencar ke sarang sisa-sisa gerombolan yang tak mau menyerah. Maka setiap hari Senin, pukul delapan pagi, di sekolah-sekolah , di kantor-kantor pemerintahan diadakan upacara penaikan bendera dengan iringan lagu Indonesia Raya. Sehabis upacara ini, Kepala Sekolah membacakan bahan indoktrinasi di depan kami. Bahan ini datang dari instansi yang bersangkutan dengan sekolah yaitu Perwakilan PDK Propinsi. Di sini aku sering mengambil tugas sebagai anggota penggerek -penaikan bendera. Malah kadang-kala,kalau Kepala Sekolah berhalangan datang, Wkl. Kepala Sekolah meminta aku untuk membacakan bahan indoktrinasinya. Seluruh kota Padang menjadi hening bak “kampung dialahkan garuda”, lalu lintas semua berhenti di tempat, begitu mendengarkan alaram terdengar berbunyi.
Yang lain, aku ingat penaikan Sangsaka Merah Putih di Gedung Kedubes Inggris di Jakarta seperti yang telah kuceritakan di depan.Kejadiannya persis dengan pengalamanku bersama rekan-rekan Hasan Bisri, Exen Samon dan seorang Rekan pemotret ketika aku menurunkan bendera Taiwan di Senayan. Tepat sewaktu Bung Karno sedang menyampaikan pidato pembukaannya atas Asian Games Ke-IV, 24 Agustus 1962. Tali benderanya kukudung dan terlepas dari pegangan. Untuk mendapatkannya kembali aku panjat tiang bendera tapi sangat sulit menangkapnya karena ditiup angin. Waktu kami hendak membakar bendera itu di tempat, tiba-tiba terdengar seruan dari pengeras suara kepada polisi-polisi yang berjaga bahwa di Parkir Timur ada penurunan bendera. Seketika motor-motor polisi dengan sirenenya meraung-raung ke arah kami. Kami lari berpisah, memencar ke tengah-tengah oto yang sedang diparkir itu. Aku membawa bendera itu dan setelah sepakat dengan Exen, bendera itu kupurukan ke dalam lembah kecil yang terbentang antara Parkir Timur dengan jalan raya. Waktu itu IPPI menyokong politik menentang masuknya Taiwan dan Israel ikut serta di dalam Asian Games.
Bangun pagi aku memanjatkan doa. Juga sewaktu dalam taxi yang membawaku ke Kedutaan kuminta kekuatan padaNya. Para hadirin sudah siap di tempat upacara akan berlangsung. Kuikuti acara-acara ini dengan rasa khidmad. Sebentar aku patut-patut pakaian yang kukenakan hari ini. Stelan jas warna abu-abu pekat. Dasi merah padam. Di kopiahku tersemat lencana Garuda Pancasila. Aku puas. Maka ketika pengacara meminta kami tampil , aku melangkah bersama dua rekan yang mendampingiku. Seorang di antaranya membawa Sangsaka Merah Putih di atas baki. Seorang lagi akan menjadi pemegang tali yang kutarik naik. Lagu Indonesia Raya berkumandang. Jelas suara-suara nyaring ketika itu datang dari para mahsiswa anggota-anggota PPI di Tiongkok. Dan suara-suara lainnya memperindah gema yang melantun dari dinding-dinding gedung Kedutaan. Ketika kami makan siang yang disediakan oleh Ibu Duta, salah seorang Pimpinan PPI menyalamiku. Katanya: Belum pernah dalam pengalaman selama ini, penaikan bendera dengan Lagu Indionesia kelar, Sangsaka sampai di puncak menggelepar!
G30S Meletus
Kampus STO ini terletak tidak jauh dari Universitet Qing Hua. Berjarak satu kilometer. Qing Hua dekat dengan jalan raya, sedang STO berada di dalam. Dilindungi oleh pohon-pohon liu nan rindang. Di sini terdapat; lapangan atletik terbuka dan tertutup, lapangan sepakbola terbuka dan tertutup, kolam renang terbuka dan tertutup, dua gedung untuk senam indah, satu gedung untuk basketbal dan volleybal, ruangan untuk pingpong, angkat besi, pencak silat dsbnya. Sebuah gedung untuk kuliah mata pelajaran teori termasuk untuk ruangan praktek belajar anatomi. Ada sebuah rumah sakit, sebuah kooperasi tempat menjual pakaian dan alat-alat olahraga. Sebuah kooperasi kebutuhan sehari-hari. Sebuah kantor post lengkap dengan banknya. Gedung ruangan mandi dengan air panas dan sebuah tempat speda yang dipinjamkan. Ada empat gedung bertingkat sebagai asrama. Satu gedung untuk olahragawan-olahragawan cilik berbakat dan beberapa grup olahragawan muda yang bertaraf propinsi dan nasional. Yang lain untuk para mahasiswa dan dosen-dosen yang bujangan atau keluarga mereka jauh di kampung. Para dosen yang punya keluarga di tempat ada perumahan sendiri di luar kampus bergabung dengan para pegawai Universitet. Semua dekat dari kampus.
Setiap mahasiswa asing punya kamar sendiri-sendiri. Ditemani dengan seorang mahasiswa Tiongkok. Mereka pada pokoknya mempunyai kejuruan yang sama dengan mahasiswa asing yang ditemaninya itu. Ruangan kamar sebesar yang kutempati itu, bagi mahasiswa Tiongkok dapat diisi oleh empat sampai enam orang dengan menggunakan ranjang bertingkat. Setiap pagi sekitar jam lima atau setengah enam terasa seluruh kampus bangun menggeliat. Lampu-lampu jalan terpasang terang benderang. Pada setiap pokok-pokok pohon atau pada dinding-dinding tembok gedung telah diisi oleh orang-orang yang habis berlari pagi. Mereka di sana pada meregang-regang otot kaki, lengan dan bagian badan lainnya. Kira-kira pada pukul enam hampir semuanya masuk ke dalam gedung tempat latihan mereka. Mereka melakukan latihan ada yang dibawah bimbingan pelatih/dosen ada juga yang atas inisiatif sendiri. Aku bersama mahasiswa Jepang temanku mendapat seorang pelatih. Khusus untuk senam. Jam tujuhan kantin dibuka dan pada jam setengah sembilan, kuliah di kelas dimulai.
Ketika aku meninggalkan Tanah Air bulan Desember 1964, ada memang yang perlu kubuat catatan sebagai berikut: Di dalam negeri, Bung Karno dan pendukung-pendukungnya mempropagandakan ide Nasakom dan melawan “komunisto phobi”. Apa-apanya berporoskan Naskom. Aku berpikir Nasakom ini kah partai politik Bung Karno?! Dengan dasar Pancasila dan Marhainisme, Manipol-Usdek sebagai teori pembimbingnya. Dan tentara dibawah pimpinan Partai yang demikian, front persatuan dibawah pimpinan Partai yang demikian sebagai tiga senjata utama Bung Karno dalam menghadapi musuhnya kaum imperislisme dunia dan kaki-tangannya. Kongkritnya waktu itu Inggris dengan apa yang dinamakan “boneka Malaysia”.
Nasakom, yang Nasionalisme itu, yang Agamais itu, yang Komunis itu apa mungkin diMarhainiskan, diManipol-Usdekan? Semua orang tau bahwa masing-masing Partai tadi memiliki dasar teori yang membimbing pikiran mereka yang berbeda-beda. Tentara yang pada waktu itu boleh dikatakan berada di dalam genggaman Jendral Nasution, telah berkali-kali mengadakan percobaan pembunuhan terhadap diri Bung Karno. Mengadakan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan Bung karno. Apa mungkin bisa menerima kepemipinan Nasakom? Dan Front Nasional yang rapuh, yang hanya ada nama dan pernyataan politik saja, tanpa didukung dengan sepenuh hati oleh Partai-Partai dan Ormas-Ormas yang menjadi anggotanya. Karena Partai-Partai politik dan Ormas-Ormas tersebut masing-masing lebih mendahulukan kepentingan mereka. Hingga, secara politis Front Nasional yang menghimpun bermacam-macam Partai dan Ormas itu mendukung kebijaksanaan-kebijaksanaan Bung Karno dengan lain di mulut lain di hati.
Catatanku yang lain adalah: Di berbagai tempat dan daerah kaum tani sering melancarkan “aksi sepihak”. Mereka menyerbu tanah-tanah perkebunan, sawah-sawah, hingga timbul bentrokan dengan tentara dan polisi yang melindungi kepentingan tuan-kebun dan tuan-tanah dengan dalih demi keamanan.Di bidang perburuhan, organisasi-organisasi buruh yang ada tampak pertentangan. Sangat menonjol pada SOBSI dan SOKSI. Di bidang kebudayaan antara Lekra dan Manikebu. PGRI terpecah menjadu dua. Pers dengan polemik Harian Rakyat dan Merdeka. PNI ada yang Ali-Surahman ada yang Osa-Usep. Begitu pula di kalangan Pemuda, Mahasiswa dan Pelajar ada ketegangan-ketegangan. Semua itu bak api dalam sekam.
Di kalangan tentara apakah ada perpecahan aku tidak tahu persis. Tidak pernah dengar itu nama Dewan Jendral. Tapi hatiku, kami anak-anak IPPI ketika itu merasa lebih dekat pada Omar Dhani dan Achmad Yani daripada kepada Nasution. Sebagai Komisaris Organisasi PB IPPI dan Ketua Biro Lomba Olahraga dan Seni Panitia Kongres IPPI Ke VII tahun 1964, Robby Sumolang, Tompo Hendrawati Kamdani dan aku, bertiga menjadi delegasi untuk menghadap dan minta bantuan serta restu kekalangan petinggi tentara . Jendral Nasution menerima kami di rumah beliau, sambil minum kopi susu kami berbincang-bincang dan Nasution menyanggupi untuk memberi bantuan apa yang kami butuhkan. Namun waktu yang semula kami berikan kepadanya untuk bicara menyampaikan kata sambutan di dalam Kongres kami batalkan. Dengan A. Jani kami diterima di ruangan kerjanya Jalan Merdeka Utara. Kuingat pesannya: “Adik-adik dari IPPI, belajarlah dengan giat. Harapan kita tertuju pada kalian. Generasi kalianlah yang kami harapkan untuk menggantikan kedudukan kami”. Sambil menunjuk ke kursi di belakang meja tempat dia bekerja menambahkan; “Adik-adiklah nanti yang akan mengisinya!”
Tentang IPPI, Bung Karno dalam amanatnya kepada Kongres IPPI Ke VI bulan Juli 1961 pernah mengatakan sebagai berikut: Saya mengucapkan selamat kepada Kongres IPPI yang Ke VI, semoga Kongres saudara-saudara menghasilkan keputusan-keputusan yang berguna dan bermanfaat bagi Revolusi Indonesia.
Saya mengenal IPPI sejak jaman physical-revolusion di Jogja dulu, selaku suatu organisasi Pemuda Pelajar yang sadar kepada tugas kewajibannya di tengah-tengah revolusi.
Karena kesedaran saudara-saudara itu maka saya mengenal IPPI juga dalam perbuatan-perbuatannya.
Kini dalam masa pembangunan Masyarakat Sosialis Indonesia berdasarkan Panca-Sila, saya mempunyai kepercayaan besar bahwa IPPI akan terus memiliki kesedaran itu, yakni: di tengah-tengah barisan pelajar-pelajar Indonesia lainnya, berdiri tegak di barisan depan, dalam melaksanakan tujuan Revolusi kita.
Baru sebulan aku mengikuti kuliah di STO ini, maka pada 1 Oktober 1965, mahasiswa-mahasiswa Jepang mencariku dan bertanya tentang apa yang sedang terjadi di Jakarta-Indonesia. Aku samasekali tidak bisa menjawab. Aku tidak tau. Tak punya radio. Juga baca koran berbahasa Tiohoa belum jalan. Aku coba kontak teman-teman di Universitet lain. Mereka juga banyak yang belum dengar. Apa? Baru aku tahu sore harinya dari teman yang kuliah di Universitet Beijing. Telah terjadi perebutan kekuasaan di Jakarta. Tidak lengkap penjelasannya.Akhirnya begini: Menurut siaran RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan darat. Yang kemudian beken dengan sebutan G30S. Setelah berita G30S meletus kuketahui, aku membeli sebuah radio buatan Shanghai agar bisa berkesinambungan mengikuti situasi Tanah Air. G30S dipimpin oleh Letkol Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal Istana Presiden. Mereka telah menangkap sejumlah jendral yang disebut sebagai kelompok Dewan Jendral yang akan melakukan perebutan kekuasaan dengan mendapat sokongan dari CIA, Amerika Serikat. Bung Karno selamat.
Jadi aku baru tahu setelah berada di Tiongkok dan setelah peristiwa itu meletus melalui radio. Peristiwa itu meletus aku sedang menunaikan tugas belajarku di Beijing, Tiongkok. Ketika di tanah Air, haram aku, kalau pernah mengetahuinya. Ini penting sekali artinya bagiku. Karena ada orang yang mencoba-coba menyangkut-pautkan diriku dengan peristiwa G30S tersebut. Kukutip “Prahara Budaya” Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk: D.S. Moeljanto, Taufiq Ismail. Bunyinya begini: Enam bulan menjelang Gestapu, Mawie sudah berkata “kunanti bumi memerah darah”. Tepat, karena rupanya dia sudah tau sebelumnya. (Bagian Kelima). Berbahaya bukan? Untukku. Hanya karena sajakku “Kunanti Bumi Memerah Darah” pernah dimuat oleh Lampiran Kebudayaan Lentera, Bintang Timur, 21 Maret 1965, aku difitnah !!!
Menentang KekuasaanYang Dipimpin Jendral Suhato.
Setelah G30S meletus, sekolahku boleh dikatakan terganggu sekali. Siapa yang tak memikirkannya ketika itu? Adakalanya petugas asrama datang malam hari mengetuk pintuku, menegur agar suara radio di rendahkan. Atau dia minta aku agar tidur karena sudah jauh malam. Masuk ke kelas , kadang dengan mata mengantuk. Sedang pelajaran betul-betul tak bisa kuikuti dengan baik. Berita dari Tanah Air kupantau melalui siaran Radio Australia, Amerika dan Beijing.
Beberapa catatan yang masih kuingat kututurkan di bawah ini dengan urutan kejadiannya tampa penanggalan.
Pak Jawoto, Duta Besar RI di Beijing mengeluarkan Surat Pernyataan yang initinya: Beliau diangkat menjadi Duta Besar di Tiongkok dengan tugas untuk menjalin hubungan bersahabat antara dua Rakyat dan dua Pemerintahan RI dan RRT. Tapi sekarang sedang berlangsung di Indonesia politik anti Tiongkok dan anti Tionghoa. Para penguasa di Jakarta yang dipimpin oleh Jendral Suharto sedang melancarkan politik pembasmian terhadap para pendukung Presiden Sukarno, Presiden yang mengangkat beliau menjadi Duta .Oleh karena itu beliau meletakkan jabatannya.
Suatu malam aku menerima telpon dari seorang Rekan menyampaikan: Pada sekitar pukul 24.00 akan datang sebuah auto ke Asrama untuk mengambilku. Supaya siap-siap! Dan memang pada waktunya sebuah sedan “Moskowa” hitam berhenti di halaman asramaku.Aku hampiri dan sipengemudi minta aku masuk. Kami berangkat sudah lewat tengah malam. Akhir dari perjalanan ini aku sampai di Kedutaan. Begitu aku masuk di halaman rumah aku temui beberapa Rekan lainnya sudah datang di situ. Kami berunding lalu membagi pekerjaan. Bagianku adalah di dalam gedung kediaman Pak Jawoto. Kulihat Ibu sedang sibuk dengan bungkus membungkus buku-buku. Di sinilah aku.
Menjelang fajar semua selesai. Aku kembali ke asrama.
Dari Rekan-Rekan aku mendapat berita: Pihak Kedutaan memanggil para mahasiswa untuk melaporkan diri ke Kedutaan. Kamipun mulai bertukar pikiran. Aku berada di pihak yang tidak mengikuti panggilan tersebut. Dari perhitunganku, tidak lebih seperempat dari jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Tiongkok ketika itu yang memenuhi panggilan itu.Mereka-mereka ini kemudian digiring kembali ke Tanah Air. Sehabis batas masa melapor yang ditetapkan oleh Kedutaan, diantar oleh Kepala Kantor Urusan Mahasiswa Asing dari STO, aku menuju ke Kantor Urusan Mahasiswa Asing di Beijing untuk menyampaikan surat pernyataanku yang isinya antara lain: Aku menentang kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Suharto yang melancarkan pengejaran, penangkapan dan pembunuhan terhadap para pendukung Presiden Sukarno. Menolak panggilan untuk melapor kepada Kedutaan RI di Beijing. Mohon kepada Pemerintah Tiongkok untuk memberikan perlindungan dan akan meneruskan studi.
Setelah itu, tidak ada hak tidak ada huk, aku duduk dan berdiri dengan aman. Hanya berita-berita kekejaman rezim Suharto sepanjang harilah yang selalu mengusikku.
Dengan beberapa orang Rekan kami membentuk satu grup. Grup untuk memantau situasi dan tempat tukar-menukar informasi sekali seminggu. Di samping itu untuk saling membantu dalam belajar.
Di masa-masa yang sangat genting inilah, Pimpinan PPI Tiongkok, tampil dengan senjata Bulletin-nya untuk membelejeti kekejaman-kekejaman yang sedang dan erus terjadi di Indonesia yang dilancarkan oleh klik Jendral Suharto. Pembunuhan, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, perkosaan, perampokan, pembakaran, orang-orang dan harta milik pengikut Bung Karno. Di dalam Bulletin ini aku menyumbangkan sebuah tulisan dalam setiap terbitnya dengan ruangan: Catatan Seorang Rekan. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar Dimulai.
Goncangan yang ditimbulkan oleh G30S, pelan-pelan dapat kuatasi. Dan gairah belajar mulai pulih. Tapi, di penghujung tahun 1965 ini gelombang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) yang melanda daratan Tiongkok itu menerjang ke kampus-kampus. Tidak terkecuali kampus tempat aku studi. Pagi-pagi seperti biasa, aku meninggalkan asrama dengan jalan kaki pergi ke tempat latihan. Tampak di sepanjang jalan yang kulalui didirikan papan-papan dan dinding-dinding dari anyaman bambu. Di sementara tempat telah tertempel lembaran kertas dengan ditulisi huruf-huruf Tionghoa. Ini belum lagi menarik perhatianku.
Sore hari sehabis pelajaran, dengan sepeda aku menuju Universitet Qing Hua untuk melihat-lihat keadaan. Lagi pula di sini ada beberapa orang teman yang kuliah. Eh, begitu aku masuk pintu pagar tembok kampusnya, terasa ada yang baru. Yaitu tampak di mana-mana “Da Zi Bao” atau “Koran Huruf Besar”, atau Koran Dinding kata teman-teman, tertempel di seantero gedung-gedung. Begitu pula di Universitet Beijing, yang kukunjungi pada waktu yang sama, lebih meriah lagi.
Hampir sebulan kemudian, aku menulis catatan begini:
Di kalangan atas Partai Komunis, Liga Pemuda dan Pimpinan Universitet telah terjadi perpecahan akibat perbedaan pendapat mengenai garis dan politik Partai di masa lampau. Hal ini telah mendorong lahirnya kelompok-kelompok. Setiap kelompok mencari sandaran politik dan organisasi ke bawah. Dan menularlah penyakit itu sampai ke organisasi basis seperti grup-grup Partai . Di dalam grup-grup Partai ini terorganisir para dosen anggota Partai. Dosen-dosen ini mencari kaki pada anggota Liga Pemuda. Anggota Liga Pemuda menggarap para mahasiswa. Wabah itu berkembang biak dan meruyak di situ. Lahirlah “Hong Wei Ping” atau “Garda Merah”. Garda Merah ini didominasi oleh para anggota Liga Pemuda dan para mahasiswa. Mereka punya jaringan ke atas sesuai dengan selera politik yang dianut mereka masing-masing. Jadilah Garda Merah sebagai ujung tombang kelompok yang didukungnya. Tak ayal lagi ujung tombak ini saling mencari dan mengarahkan sasarannya kepada Pimpinan, Kader organisasi atasan.
Hari-hari berikutnya RBKP di kampusku luar biasa pula. Pimpinan Partai, Kader Partai, Pimpinan Liga Pemuda betul-betul disunati di depan massa sepanjang hari. Mereka membelejeti tidak saja bidang-bidang politik, tetapi juga kritik terhadap pengelolaan Universitet dan pengajarannya. Penyalahgunaan keuangan dan korupsi di berbagai bidang. Terkadang untuk membelejeti moral seseorang rahasia jajan-menjajannya di luar rumahpun diungkapkan.
Kuminta percaya bahwa, RBKP itu juga telah mendobrak bilik-bilik rumahtangga yang dulunya mesra dan damai. Maka terjadilah perceraian antara sang suami dan si istri karena perbedaan pendapat. Maka tampilah si anak menuding si ayah di depan orang ramai sebagai kaum kontra revolusi. Si penempuh jalan kapitalis. Revisionis. Atau mata-mata musuh.
Pengaruhnya pada kegiatan belajarku adalah: Para mahasiswa Tiongkok yang dulunya akrab denganku pelan-pelan menjauhkan diri dan dingin. Aku mengambil langkah yang sama, demi keselamatan mereka. Sebab tak jarang masalah hubungan dan persahabatan dengan orang asing disangkutpautkan dengan pekerjaan mata-mata dan kejahatan yang merugikan Partai.
Yang lain adalah: Bila sebelum RBKP, aku mempunyai guru tetap sebagai pembimbing latihan. Aku yakin bahwa guru ini punya jaminan politik, ideologi yang baik buat atasannya hingga dipercayakan untuk membimbing mahasiswa asing. Tapi tak lama setelah RBKP mendobrak kampus guru ini tersingkir. Digantikan dengan guru lain. Aku pernah mengalami penggantian pembimbing sampai tiga kali dalam seminggu. Tanpa datang tampak muka, pergi tampak punggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar